Senin, 19 Agustus 2013

Ikut Berbicara Masalah Gerakan Mahasiswa

Emge Pandeka [1]

Sebuah tulisan untuk "turut campur" dalam artikel yang ditulis Daya Cipta, Rio Apinino dan Dicky Dwi Ananta

Tulisan ini bukanlah sebuah tulisan ilmiah yang matang, tulisan ini pun tidak berupaya mengkritisi ataupun menambahkan poin-poin tulisan sebelumnya, mungkin malah bisa dianggap distraksi.

Perdebatan mengenai gerakan mahasiswa, selalu menarik untuk disimak, ataupun jika tidak menarik (bagi mereka yang lebih menyukai spontanitas aksi) akan dituduh onani atau masturbasi pemikiran, walaupun masturbasi adalah kegiatan awal dalam periode kematangan seksual. Maka, marilah kita beronani pemikiran ria, dengan cara mencari jawaban dari tiga buah pertanyaan ini:



1. Pada kelas masyarakat manakah mahasiswa ada?
2. Apakah yang menjadi pendorong bagi gerakan mahasiswa?
3. Kemanakah gerakan mahasiswa saat ini melangkah?
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan ini, andapun dapat menjawabnya sendiri.
1. Pada kelas masyarakat manakah mahasiswa ada?

Menurut pandangan Marxian, kelas masyarakat (pada seterusnya akan disebut kelas dalam tulisan ini) adalah kombinasi dari faktor-faktor obyektif dan subyektif. Secara obyektif, kelas berbagi hubungan umum mengenai kepemilikan alat-alat produksi.Secara subyektif, para anggota dari kelas tersebut akan serta merta memiliki beberapa pemahaman kesamaan dan kepentingan bersama ("kesadaran kelas"). Pada kelas manakah mahasiswa berasal? Tentu akan sulit didefinisikan, karena mahasiswa sendiri sebagian besar belum berhubungan dengan alat dan faktor produksi (kecuali mereka yang bekerja ataupun jadi pengusaha). Maka Mahasiswa secara ekonomi tergantung dari pendanaan pihak-pihak yang mendanainya (orangtua, wali, beasiswa), sampailah kita pada sebuah kesimpulan, mahasiswa adalah bagian dari lumpenproletariat.

Apakah itu lumpenproletariat? Secara singkat lumpenproletariat ialah "pengangguran" ataupun "orang-orang bebas", "orang-orang fakir", mereka yang tidak terikat dalam suatu hubungan kerja tertentu, mereka yang hidup tergantung dari pendanaan orang lain (pengamen, tukang parkir dan lain sebagainya). Kaum Marxian Klasik biasanya menganggap Lumpenproletariat,  merujuk pada analisis-analisis Karl Marx sendiri, mengesampingkan para petani pemilik lahan, "borjuis kecil" (kaum Marhaen) dan lumpen proletariat(level terendah dari proletariat), yang biasanya menganggur, miskin, tidak memiliki kemampuan kerja, bersifat kriminal (copet dan para pencuri) dan karakteristik mereka yang paling sering ditemui adalah ketiadaan kesadaran kelas—sebagai kelompok-kelompok yang tak akan mampu menciptakan revolusi.[2] Namun, pandangan yang berbeda diutarakan oleh Neo-Marxis (khusunya kaum anti-kolonialis) terutama oleh kaum Anarkis. Mereka melihat bahwa kaum lumpenproletariat perlu berkolaborasi dengan kaum proletariat, sebagai senjata untuk melawan kelas penguasa. Sementara kelompok Bolshevik melihat bahwa diperlukan "sebuah panduan" ataupun "kontrol dari partai" bagi kaum lumpenproletariat ini.[3][4]

Tentu menusuk hati sebagian besar mahasiswa, jika mitos yang selama ini mereka usung sebagai "agent of social change", "pejuang pelopor" dan sebagainya diruntuhkan dengan predikat "lumpenproletariat". Tapi jangan khawatir, suatu hari, mahasiswa yang orangtuanya bukan pengusaha ataupun penguasa suatu hari nanti pasti akan masuk barisan "budak upah", kecuali ia memilih jadi politikus ataupun kapitalis.

2. Apakah yang menjadi pendorong bagi gerakan Mahasiswa?

Sebagai anak muda, para mahasiswa pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman langsung untuk mempertanyakan semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.[5] Orang tua, dosen serta jajaran rektorat, politikus dan pengusaha menjadi simbol "mereka yang memaksakan wewenang terhadap orang lain". Berangkat dari kesamaan nasib dan perasaan akibat kesewenang-wenangan, mahasiswa pun sadar untuk membentuk sebuah gerakan mahasiswa. Pada kurpol atau diskusi politik (yang selama ini saya ikuti) pada umumnya, gerakan mahasiswa dibagi menjadi dua watak: Pertama, gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral sebagaimana dikatakan oleh Arief Budiman. Kedua, gerakan mahasiswa sebagai gerakan ekonomi politik kekuasaan. Mahasiswa, didasarkan pada idealisme dan anggapan-anggapan semu sebagai "kelas intelektual", merasa perlu dan butuh untuk berjuang dan menjadi pelopor dalam perubahan (evolusi sosial) yang berangkat dari kenyataan, bahwa sebagian besar mereka berkuliah (dan dikuliahkan) untuk membawa kehidupan yang lebih baik bagi masyarakat, setidak-tidaknya bagi dirinya maupun keluarganya. Baik mahasiswa yang aktif dalam diskusi politik di kampus, mahasiswa yang rajin dan memiliki IPK gemilang, serta mahasiswa yang aktif bergaul serta berbisnis (MLM, entrepreneurship dan sebagainya) berangkat dari pondasi yang sama, yaitu dari harapan memiliki kecukupan dalam urusan ekonomi, sebuah hal yang tidak dapat dipungkiri, bahwa pemilihan program studi perkuliahan sedikit banyak dipengaruhi oleh keinginan dan impian akan profesi di masa mendatang. Pada kenyataannya kampus, tempat mahasiswa berkuliah berfungsi untuk  menciptakan mahasiswa menjadi pekerja bagi kaum kapitalis. Ijazah, IPK , jaringan pertemanan serta aktivitas yang terjadi di dalamnya (sadar maupun tidak sadar) tereduksi menjadi "jaring-jaring penangkap uang" di masa depan. Everett Reimer menganggap bahwa, bagi kebanyakan  orang, sekolah adalah pendukung previlese (keistimewaan), bahkan di saat yang sama merupakan instrumen bersama bagi mobilitas vertikal masyarakat.[6] Maka dapat dipastikan, berangkat dari kesadaran moral dan ekonomi politik yang dikerucutkan menjadi "impian masa depan", alih-alih menghapuskan kesewenangan, mahasiswa terpaksa (atau malah sukarela) menjadi pihak yang bekerja sama dengan pihak yang melakukan kesewenangan ataupun malah menjadi pihak yang melakukan kesewenangan.

3. Kemanakah gerakan mahasiswa saat ini melangkah?

Kita semua sadar, gerakan-gerakan yang dipelopori mahasiswa telah berulang kali terjadi di Indonesia, dapat diringkas dalam beberapa babak:

1.Golongan intelektual didikan Belanda, yang nanti tokoh-tokohnya menjadi pelopor perjuangan kemerdekaan.
2. Gerakan Mahasiswa di tahun 1965-1966 (mengatasnamakan dirinya Angkatan 66), yang turut meruntuhkan Orde Lama dan mendudukkan Orde Baru di singgasana politik.
3. Gerakan Mahasiswa di tahun 1970-an: Gerakan Golput yang memprotes kecurangan Golkar, tahun 1972, Gerakan anti pembangunan Taman Mini Indonesia Indah tahun 1972,

Peristiwa Malari yang memprotes modal asing tahun 1974, yang semuanya berangkat dari kekecewaan atas kebijakan Orde Baru yang mengkhianati gerakan mahasiswa, berujung pada diterapkannya Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.

4. Gerakan Mahasiswa 1998, turut yang melengserkan Orde Baru [7]
5. Gerakan Mahasiswa paska 1998

Pertanyaannya, apakah kesamaan seluruh pergerakan ini? Keseluruhan gerakan ini dapat dikatakan berakhir anti-klimaks, dimana cita-cita bahwa mahasiswa akan mampu memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan untuk Rakyat (baca: Revolusi Sosial) hanya menjadi perubahan-perubahan kebijakan ekonomi politik semata, dimana pihak yang diuntungkan (yang kemungkinan menunggangi) ialah kelas penguasa, walaupun tanpa bermaksud mengurangi pengorbanan mahasiswa, banyak perubahan-perubahan baik yang tercapai (walaupun banyak juga yang pada akhirnya ditelikung kembali oleh pihak yang berkuasa).

Mengapa hal ini terjadi? Karena sedari awal gerakan ini meletup, mahasiswa sesungguhnya terasing dari Rakyat yang ingin mereka bela. Karena memang keseharian (walaupun ada kesamaan nasib dan perasaan) antara mahasiswa dengan Rakyat yang mereka bela (buruh, tani, pedagang kaki lima) jelas berbeda. Sama halnya jika berbicara mengenai sudut  pandang pengamat dan yang diamati. Bagaimana mengatasinya? Beberapa kawan mengusulkan untuk kembali melakukan apa yang dahulu pernah  LEKRA yaitu mulai melakukan gerakan Turba (turun ke bawah) untuk membantu agar sang seniman (dalam hal ini pelopor perjuangan), tidak terasing dengan subjek keseniannya (sebagai bentuk perjuangan), yaitu Rakyat. Herstri Setiawan menjelaskan, turun ke bawah yang ditetapkan sebagai metode kerja Lekra, semestinya dilakukan dengan menempuh jalan “tiga sama” (sama makan, sama tidur, sama kerja).[8] Setelah turba (ataupun turba imajiner lewat buku bacaan maupun kuliah di media sosial) selesai dilakukan, pada suatu masa tertentu mahasiswa mau tidak mau akan kembali ke kehidupan kampusnya, maka kesamaan dengan Rakyat yang mereka ingin perjuangkan hanyalah tinggal catatan kenangan. Di fase inilah akan terjadi kegalauan akut akibat "perbedaan" keseharian hidup mahasiswa dan Rakyat yang dibelanya. Di satu sisi ia merasa terpanggil untuk membela Rakyat, di sisi lainnya ia tahu bahwa dirinya, sebagai mahasiswa bertugas untuk sesegera mungkin menyelesaikan kuliahnya agar tidak membebani orang tua. Sudah lazim, untuk menemukan slogan dan komentar yang menyerang mahasiswa di media massa kapitalis hari ini "katakan tidak pada demo anarkis", "berikan solusi nyata bukan demonstrasi", "lebih banyak bekerja, bukan hanya bicara" dan lain-lain, belum lagi anggapan bahwa aktivis kampus ialah mereka yang bodoh, diperalat partai dan politikus, gerombolan sakit hati dan sebagainya. Gerakan dan gagasan borjuis di kalangan mahasiswa seperti entrepreneurship, kelas seminar karier dan acara-acara motivasi akan menjadi lebih menarik buat mahasiswa, belum lagi bombardir buku-buku dan tontonan macam "Laskar Pelangi" yang serta-merta memandulkan kekuatan kolektif kerjasama mahasiswa, mendorongnya kepada persaingan ekonomomi politik individu. Wajar, jika ketidaksabaran, diiringi dengan mandeknya bentuk gerakan membuat banyak mahasiswa memilih untuk "menyelamatkan diri sendiri" dengan anggapan, setidaknya ada upaya yang dianggap lebih mudah (juga aman) untuk mereka capai yang nantinya diharapkan memberi dampak bagi kesejahteraan masyarakat (terutama diri mereka pribadi). Maka akan sangat mudah menemukan penyangkalan di kalangan mahasiswa sebagaimana penyangkalan yang dilakukan oleh Deng Xiao Ping, "menjadi kaya ialah sebuah kemuliaan" atau "menjadi kaya akan lebih berguna bagi masyarakat dan negara". Lalu seperti Lenin pernah menulis dan berujar, sampailah kita kepada pertanyaan "Apa yang harus dikerjakan?"

Catatan:

1. Penulis adalah Lonte Korporasi dan juga bukan mahasiswa maupun alumni UI

2. Anarchism and Marxism.

http://en.wikipedia.org/wiki/Anarchism_and_marxism

3. V.I. Lenin, Guerilla Warfare, Collected Works Vol XI.

http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1906/gw/iii.htm#v11pp65-216

4. Mao ze Dong, Analysis of the Classes in Chinese Society. http://www.marxists.org/reference/archive/mao/selected-works/volume-1/mswv1_1.htm

5.Ernest Mandel,  Gerakan Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek.

http://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm

6.Everett Reimer, School is Dead: Alternatives in Education, (London: Penguin Education special. 1971)

7.Gerakan mahasiswa di Indonesia.

http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_mahasiswa_di_Indonesia

8. Hersri Setiawan, Aku Eks Tapol, (Yogyakarta: Galang Press. 2003)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar