Selasa, 20 Agustus 2013

Marhaenisme dan Marxisme

Oleh Rio Apinino*

Tanggapan Untuk Iqbal Pirzada dalam Tulisannya Marhaenisme

Dalam tulisan ini saya bukan bermaksud ingin menjabarkan lebih lanjut marhaenisme an sich, namun mencoba menilai bagaimana marhaenisme di luar dari sekedar jargon-jargon perekat massa. Marhaenisme yang dipercaya sebagai penerapan marxisme dalam alam Indonesia akan saya bandingkan dengan marxisme itu sendiri. Dalam pada itu diskusi pembuka sudah cukup baik dimulai oleh comrade Iqbal Pirzada dalam tulisannya berjudul “Marhaenisme”. Tulisan ini juga merupakan kritik atas pandangan Iqbal tentang marhaenisme.

Marhaen, Marhaenis, dan Marhaenisme

Sukarno yang hidup di era kolonialisme merupakan salah satu putra terbaik yang pernah dimililki bangsa ini. Kisah hidupnya: massa-cinta-penjara-kudeta bagaikan jejalin yang seolah ditakdirkan Tuhan hanya jadi milik Sukarno seorang. Salah satu bentuk pemikiran yang paling nyata dan paling diingat oleh rakyat Indonesia dewasa ini tentulah marhaenisme. Dalam pidato pembukanya di kongres GMNI tahun 1959, Sukarno menjelaskan beberapa pokok-pokok marhaenisme.

“bagi saya, asas marhaenisme adalah suatu asas yang paling cocok untuk gerakan rakyat di Indonesia. Rumusannya adalah sebagai berikut: marhaenisme adalah asas, yang menghendaki susunan masyarakat dan negara yang di dalam segala halnya menyelamatkan kaum marhaen...marhaenisme adalah cara perjuangan yang revolusioner sesuai dengan watak kaum marhaen pada umumnya. Marhaenisme adalah dua asas dan cara perjuangan tegelijk, menuju kepada hilangnya kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme.”

Dalam kesempatan yang sama, Sukarno menjelaskan siapa sebenarnya kaum marhaen tersebut.

“Dan siapakah yang saya namakan kaum marhaen itu? yang saya namakan marhaen adalah setiap rakyat Indonesia yang melarat atau lebih tepat: yang telah dimelaratkan oleh setiap kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme... Kaum marhaen ini terdiri dari tiga unsur. Pertama: unsur kaum proletar Indonesia; kedua unsur kaum tani melarat Indonesia; dan ketiga: kaum melarat Indonesia yang lain lain”

Untuk menyadarkan dan menggerakkan massa rakyat, Sukarno menyebut tugas ini berada ditangan kaum marhaenis. Baginya,

“kaum marhaenis yang saya maksud adalah setiap pejuang dan setiap partiot bangsa. Yang mengorganisir berjuta-juta kaum marhaen itu, dan yang bersama-sama dengan tenaga massa marhaen itu hendak menumbangkan sistem kapitalisme, imperialisme, kolonialisme, dan yang bersama-sama dengan massa marhaen itu membanting tulang untuk membangun negara dan masyarakat, yang kuat, bahagia sentausa, adil dan makmur”

Dengan beberapa asas inti dari marhaenisme inilah saya akan beranjak lebih jauh. Dalam magnum-opusnya –Di Bawah Bendera Revolulsi- Sukarno tidak menyebutkan secara eksplisit tentang marhaenisme, Sukarno hanya menyebutkan tentang kaum marhaen sebagai jawaban atas pertanyaan “siapakah rakyat yang dijajah itu?” Namun, seiring makin seringnya Sukarno tampil dimuka publik, maka istilah marhaenisme ini kadung meluas sebagai –isme/ajaran dari Sukararno. Hal ini diperjelas dengan pidato yang saya kutip di atas misalnya. Banyak kalangan mempercayai bahwa marhaenisme adalah sebuah teori yang utuh, ada juga yang menganggap bahwa marhaenisme hanya simbolisasi Sukarno untuk merekatkan rakyat melawan kolonialisme-imperalisme.


Menurut klaim Sukarno, marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia. Baginya, kondisi ekonomi politik bangsa Indonesia berbeda dengan kondisi ekonomi politik di Eropa dimana Marx mengeluarkan tesis-tesisnya. Salah satu yang menjadi pembedanya adalah bahwa masyarakat Indonesia belumlah mencapai tahap perkembangan kapitalisme sebagaimana terjadi di Eropa. Perkembangan kapitalisme Eropa menyebabkan masyarakat terbagi dalam dua kelas yang saling berkontradiksi: borjuis sebagai pemilik faktor produksi dan proletar yang hanya mampu memberikan tenaga kerjanya kepada para borjuis sebagai sarana penyambung hidup. Kapitalisme di Indonesia, yang dibawa penjajah Belanda memiliki corak yang berbeda, bahwa borjuasi yang dalam tradisi Eropa berkontradiksi dengan kaum feodal tetapi dalam konteks Indonesia para borjuasi ini malah berselingkuh dengan kaum feodal dengan satu tujuan: mengeruk kekayaan alam sebanyak-banyaknya. Hal ini mejadikan struktur masyarakat bukan terbagi dalam dua kelas saja sebagaimana tradisi marxisme klasik, namun juga banyak kelas yang juga dirugikan oleh sistem ekonomi politik kapitalisme-imperialisme. Dengan dasar itulah Sukarno ‘menyesuaikan’ teori marxisme yang dia gunakan sebagai pisau analisis dalam melihat kolonialisme-imperialisme.

Marhaenisme Bukan Marxisme

Sebelum membahas lebih jauh, agaknya tulisan Iqbal dalam menempatkan term marhaenisme harus diperjelas. Dalan tulisannya, Iqbal menganggap bahwa dalam teori marxisme, marhaen adalah kelas borjuasi kecil. Hal ini tidaklah tepat. Jelaslah bahwa marhaenisme menaungi semua kelas yang termiskinkan oleh sistem kolonialisme-imperialisme, termasuk kelas proletar yang tentu tidak termasuk dalam bagian ‘borjuis kecil’. Kesalahan ini bagi saya hanyalah masalah ketidakfokusan Iqbal dalam menulis, tidak lebih.
Selain itu, dalam tulisannya Iqbal juga menyebutkan,

“Model marhaenisme hampir sama dengan marxisme, akan tetapi perbedaan mendasarnya terletak pada objek pembelaan dimana marxisme membela kaum proletar sementara marhaenisme membela semua golongan masyarakat Indonesia yang tertindas”

Marxisme tidak pernah menempatkan kelas proletar sebagai objek pembelaan, karena kelas proletar justru adalah subjek yang bergerak membuat sejarahnya sendiri. Pun adalah kurang tepat jika marxisme dianggap hanya akan membebaskan (dalam bahasa Iqbal: membela) kelas proletar saja. Justru kelas proletarlah yang akan membebasakan kelas-kelas lainnya dari penindasan kapitalisme. Memang, pembacaan mengenai kelas-kelas sosial terus berkembang. Seorang Marxis Analitis, Erik Olin Wright misalnya, menjelaskan layer-layer atau lapisan-lapisan dalam kelas borjuis dan proletar. Namun, hal tersebut tidak mengurangi esensi bahwa kelas yang saling berkontradiksi pokok dalam kapitalisme hanyalah 2: borjuis dan proletar, sebagaimana yang dijelaskan Marx dalam Manifesto Komunis.
Sukarno sendiri dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi, memuji Marx sebagai pembela kaum miskin paling gigih. Menurutnya,

“Dari muda sampai wafatnya, manusia yang hebat ini tiada berhenti-hentinya membela dan memberi penerangan pada si miskin. Bagaimana mereka itu sudah menjadi sengsara, dan bagaimana jalannya mereka itu akan mendapat kemenangan;…riwayat dunia belum pernah menemui ilmu dari suatu manusia, yang begitu cepat masuknya dalam keyakinannya satu golongan di dalam pergaulan hidup, sebagai ilmunya kampiun kaum buruh ini;… sebab, walaupun teori-teorinya sangat sukar dan berat bagi kaum pandai, maka amat gampanglah teori itu dimengerti oleh kaum tertindas dan sengsara, yakni kaum melarat-kepandaian yang berkeluh kesah itu” –Sukarno, Di Bawah Bendera Revolusi hlm 219

Kapitalisme merupakan sistem ekonomi-politik yang terdiri dari kelas utama yang membangunnya namun saling berkontradiksi: borjuis dan proletar. Untuk menghancurkan sistem ekonomi-politik kapitalisme, satu-satunya cara adalah menghancurkan hubungan antara borjuis dan proletar tersebut. Itu artinya, tidak akan ada revolusi yang benar-benar menuju pada emansipasi manusia tanpa menjadikan kelas proletar sebagai kelas yang paling revolusioner. Sukarno memang pernah menyebutkan buruh dan tani-lah yang merupakan soko guru revolusi Indonesia, tetapi Sukarno tidak menjelaskan bagaimana menempati kelas buruh dan tani ini secara lebih terperinci. Hal ini tentu mengingatkan kita dengan problem yang dialami Sovyet ketika penggulingan rezim Tsar oleh Partai Bolsevik. Bedanya, Lenin sebagai teoritis utama partai tersebut, memberikan jawaban yang jelas. Bahwa tetaplah kelas proletar yang menjadi kelas paling revolusioner yang dalam praktiknya bukan hanya mengejar emansipasi bagi dirinya sendiri, tetapi juga emansipasi bagi seluruh kelas yang ditindas pada zaman Tsar.

Menjadikan proletar sebagai kelas yang revolusioner itu artinya sama dengan membebaskan kelas-kelas lain dan menuju pada emansipasi sejati. Tugas kelas proletar adalah emansipasi umat manusia secara keseluruhan. Dalam termin Sukarno, hal ini dikenal sebagai “jembatan emas” dimana di ujung “jembatan emas” itulah kemerdekaan sejati bisa diraih. Disinilah persisnya kekurangan marhaenisme. Sukarno tidak menyebutkan siapa kelas yang benar-benar menjadi garda terdepan untuk membebaskan rakyat Indonesia dari cengkraman kapitalisme. Bahkan, menurut tulisan Iqbal, Sukarno justru telah menginggalkan analisis kelas sama sekali dengan marhanismenya itu. Dan dengan meninggalkan analisa kelas inilah marhaenisme tidak bisa diklaim (bahkan oleh Sukarno sendiri) sebagai marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Penutup

Bangsa Indonesia memang berhasil memperoleh kemerdekaan. Sebuah revolusi demokratik berhasil ditegakkan dalam artian mengusur penjajahan kolonial dan mencoba membangun “jembatan emas” menuju kemerdekaan sesungguhnya. Revolusi demokratik ini harus ditempatkan sebagai manifestasi perjuangan kelas, yaitu kelas-kelas yang sedari tadi kita sebut sebagai kelas yang dimiskinkan oleh kolonialisme-imperialisme. Kita tahu juga usaha-usaha pembangunan Indonesia menuju sosialisme sebagai antitesa kapitalisme gagal di tengah jalan akibat revolusi yang dibajak oleh para oportunis dan akhirnya luluh lantah diterjang rezim kapitalistik-komprador orde baru.

Pada akhirnya, dalam konteks kekinian, marhaenisme ala Sukarno yang minus analisa kelas tidak akan pernah mencukupi sebagai landasan teori untuk pembebasan manusia. Marhaenisme minus analisa kelas bukanlah marxisme sebagaimana yang diyakini selama ini. Kapitalisme yang masih bercokol dan semakin kompleks seperti saat ini sudah sangat berurat-berakar membutuhkan teori dan praktek yang benar-benar ampuh untuk melawannya, dan teori serta praktek itu ditemukan dalam marxisme yang melihat kelas pekerja sebagai satu-satunya kelas revolusioner yang mampu membawa kelas-kelas lain ke arah emansipasi sesungguhnya: tidak berhenti pada revolusi demokratik yang nyata-nyata hanya pergantian rezim secara berkala dan tidak menghilangkan kapitalisme sebagai akar masalah, tetapi revolusi sosialis yang benar-benar bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa penindasan, tanpa kapitalisme, tanpa kelas.

***

*Mahasiswa Sastra UI. Beredar di twitland dengan ID @rioapinino

3 komentar:

  1. Salam kenal, gimana kalo saya bilang Marhaenisme itu hanya sebatas kampanye populis Bung Karno? Karena pada masa Orla jarang masyarakat bawah jadi perhatian, pemerintah fokus ke masalah internasional.

    BalasHapus
  2. Menurut Soekarno, di dalam perjuangan Marhaen memang diakui bahwa kaum proletar mengambil bagian yang besar sekali karena perjuangan kaum Marhaen adalah perjuangan yang modern dan rasional. Sebab kaum proletarlah yang kini lebih hidup di dalam ideologi modern, kaum proletarlah kelas yang kini langsung berhadapan dengan kapitalisme. Maka, kaum proletar lebih mengerti seluk beluk masyarakat modern. Hal tersebut dibandingkan oleh Soekarno dengan sikap masih tradisionalnya petani Indonesia. Kaum tani Indonesia pada umumnya masih hidup dalam ideologi feodalisme dan hidup di dalam kepercayaan terhadap hal-hal gaib dan mistis.
    Bung Karno juga menunjukkan kekolotan para petani tersebut yaitu dalam cara pergaulan hidup dan cara produksi. Cara produksi mereka itu oleh Bung Karno dikatakan sebagai cara produksi seperti zaman Kerajaan Majapahit. Akibatnya warna ideologi mereka juga masih kolot seperti zaman Majapahit pula. Sebaliknya kaum proletar telah mengenal cara produksi kapitalisme, pendek kata menurut Soekarno segala kemoderenan abad ke-20 telah dikenal kaum proletar. Oleh sebab itu, sangat rasional jika mereka kaum proletar dalam perjuangan antikapitalisme dan antiimperialisme itu berjalan di muka sebagai pelopor. Baca : "Marhaen dan Proletar" dalam "Dibawah Bendera Revolusi" hal 253-256.

    BalasHapus
  3. Bung Karno tu contracditio interminis n kontradiksionalpersonality. Jualan politiknya selalu populis tapi selera personalnya kapitalis. Dia hobbi poligami (Norma Sanger artis remaja masa itu pun disikat)n Dansa-dansi kerap dilakukan di istana. Kl kunjungan ke daerah selalu minta disediakan pagar ayu (barisan gadis2 cantik.

    BalasHapus