Oleh M. Iqbal Pirzada*
Menurut sumber yang ada, kata marhaenisme diambil
dari nama seorang petani yang secara tidak sengaja ditemui oleh Soekarno di
daerah Cigereleng, Bandung[1].
Petani tersebut memiliki tanah, alat-alat pertanian, bibit dan pupuk untuk
bertani. Akan tetapi, Marhaen, sang petani, tetap merupakan orang miskin. Dari
sini Soekarno merasa heran karena meski memiliki alat produksi dan lahan
sendiri untuk bertani, petani tersebut tetap miskin. Soekarno kemudian berfikir
bahwa kemiskinan yang dialami oleh Marhaen disebabkan oleh sistem yang ada,
yaitu sistem imperialisme dan kapitalisme saat itu. Soekarno kemudian melihat
bahwa masyarakat Indonesia itu bukan kaum proletar, karena mereka memiliki alat
produksi dan tanah sendiri, akan tetapi penghasilan mereka tetap kecil karena
penjajahan yang menimpa Indonesia.
Dalam konteks pertanian, perspektif marxis
menggolongkan kaum marhaen sebagai kelompok borjuis kecil[2].
Kelompok ini adalah kelompok yang melaksanakan simple commodity mode of production, yaitu membatasi perilaku
penyerapan nilai terbatas hanya pada keluarga sendiri. Menurut Marx, kelompok
ini merupakan transitional class,
atau kelas yang akan punah dan akan segera menjadi kaum proletar. Dalam hal
politik, kelompok ini berada diantara kaum kapitalis dan kaum proletar, yang
sikap politiknya penuh dengan kontradiksi dan tidak mampu membangun kesadaran
kelas. Jika ditempatkan dalam konsepsi Marx, antagonisme kelas hanya akan
terjadi antara kaum proletar dengan kaum kapitalis, dan bukan antara kaum
marhaen dengan kaum kapitalis. Dengan begini, dalam konsepsi Marx sebenarnya
kaum marhaen tidak memiliki signifikansi politik. Akan tetapi, bagi Soekarno, justeru
golongan marhaen lah yang akan melawan kaum kapitalis di Indonesia, karena
golongan marhaen lah yang dominan dan konsepsi Marx tentang kaum proletar tidak
cocok untuk diterapkan di Indonesia yang belum mencapai tahap sistem ekonomi
kapitalisme dalam level seperti yang ada di Eropa. Akan tetapi, di sisi lain
ada yang memandang bahwa marhaen dalam sektor pertanian bukan sekedar pencari
nafkah layaknya kaum proletar, akan tetapi kaum marhaen ini adalah kaum yang
menempatkan pertanian sebagai way of life.
Berbeda dengan kaum proletar yang menjajakan dirinya sebagai komoditas terhadap
kaum kapitalis, atau kaum kaputalis yang menempatkan dirinya sebagai homo economicus dalam rantai proses
produksi, kaum marhaen ini bisa dilihat lebih sebagai human agencies dalam proses pertanian.
Meski diilhami oleh petani yang bernama Marhaen
tadi, akan tetapi Soekarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai representasi
masyarakat miskin Indonesia, apapun latar belakang mereka, baik pedagang kecil,
petani kecil, cendekiawan kecil, pegawai kecil dan lain sebagainya[3].
“…Marhaen, nama itu aku berikan kepada semua orang Indonesia yang
melarat, baik proletar maupun yang bukan proletar, asal melarat. Baik buruh,
maupun tani, maupun nelayan, maupun pegawai kantor, maupun insinyur-insinyur,
maupun master-master, maupun dokter-dokter, asal dia melarat, artinya kecil,
saja namakan dia Marhaen”
Pertanyaan selanjutnya yang menghinggapi Soekarno
adalah mengapa orang-orang Indonesia ini bisa miskin? Soekarno melihat sejarah,
bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa mengalami kejayaan, Indonesia sudah
lebih dahulu berjaya. Pada abad ke-9 Indonesia sudah membangun candi Borobudur
dan candi Prambanan, pada abad ke 12 Indonesia punya kerajaan Majapahit yang
memiliki wilayah kekuasaan dari Madagaskar sampai sebelah selatan Amerika[4].
Dari fakta sejarah tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa jelas sekali bangsa
Indonesia bukan bangsa yang bodoh, akan tetapi imperialisme dan kapitalisme lah
yang kemudian membuat bangsa Indonesia jadi miskin. Soekarno menggambarkan
bahwa pada tahun 1930an ketika terjadi malaise Belanda setiap tahunnya
mengangkut 1.159.601.000 gulden dari Indonesia, sementara orang-orang Indonesia
sendiri hanya digaji sebanyak satu gobang (2,5 sen) atau 4 sen kalau jadi kuli
kontrak[5].
Dari latar belakang ini, Marhaenisme kemudian lahir
menjadi ideologi pembela kaum miskin dari sistem penguasa[6].
Marhaenisme sendiri merupakan antithesis dari imperialisme yang saat itu sedang
gencar terjadi di Indonesia. Model marhaenisme hampir sama dengan model
marxisme, akan tetapi perbedaan mendasarnya terletak pada objek pembelaan di
mana Marxisme membela kaum proletar sementara Marhaenisme membela semua
golongan masyarakat Indonesia yang tertindas. Soekarno tidak menyamakan
marhaenisme dengan marxisme karena dilihatnya bahwa Indonesia pada saat itu
belum mencapai kemajuan ekonomi seperti yang terjadi di Eropa dengan sistem
kapitalismenya. Soekarno mengambil bagian penting dari marxisme yaitu hostoris
materialisme yang kemudian digabungkan dengan dua elemen modernitas yang
diperlukan oleh Indonesia: nasionalisme dan demokrasi.
Dalam kaitannya dengan marxisme ini, Michael Laifer
menyebut marhaenisme sebagai varian dari marxisme[7].
Soekarno sendiri pernah mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang
diterapkan di Indonesia[8].
Hal ini dikarenakan prinsip-prinsip perjuangan yang digambarkan Soekarno dalam
marhaenisme diilhami oleh ajaran marxisme yang ia pelajari. Marxisme misalnya
mengajarkan bahwa untuk dapat mengubah susunan suatu masyarakat, maka jangan
mengharapkan peran dari golongan yang diuntungkan oleh tatanan masyarakat
tersebut karena mereka tidak mungkin rela untuk menyerahkan hak-hak istimewa
yang mereka terima dari susunan masyarakat yang ada. Dari sini Soekarno
kemudian mencari golongan yang dirugikan oleh tatanan masyarakat yang dibentuk
oleh imperialisme pada waktu itu. Dari sana mulai muncul pertanyaan apakah
golongan masyarakat Indonesia yang dirugikan adalah golongan proletar di Eropa seperti
yang diungkapkan Marx, golongan borjuis di Perancis yang dirugikan oleh kaum
agamawan dan raja-raja? Atau imigran di Amerika yang dirugikan oleh Inggris?
Soekarno kemudian menemukan jawaban bahwa golongan yang dirugikan oleh sistem
imperialisme di Indonesia pada saat itu adalah golongan marhaen seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya.
Setelah menemukan golongan yang dirugikan oleh
tatanan sosial yang ada, maka timbul pertanyaan selanjutnya mengenai bagaimana
mempersatukan golongan marhaen ini? Soekarno
tidak mendasarkan golongan marhaen atas kelas seperti yang dilakukan oleh Marx.
Marhaen ini adalah orang Indonesia dari berbagai macam latar belakang
pekerjaan. Menurut Soekarno, golongan marhaen ini hanya dapat disatukan oleh massa actie, yaitu sekelompok masyarakat
yang sudah memiliki kemauan kuat bersama. Soekarno melihat bahwa perjuangan
yang telah dilakukan oleh para pahlawan terdahulu gagal karena dilakukan secara
sendiri-sendiri. Maka dari itu perlu ada perjuangan bersama dalam massa actie tersebut. Agar dapat
berjuang bersama, Soekarno kemudian mencari kesamaan dari orang-orang Indonesia
dan ditemukan jawabannya adalah gotong royong. Gotong royong ini kemudian
menjelma menjadi Pancasila.
Pada saat itu, Soekarno mengkampanyekan konsep
marhaenisme agar para elite Indonesia menghilangkan pandangan yang merendahkan
tentang rakyatnya seperti pandangan bahwa rakyat Indonesia itu bodoh,
kampungan, dan lain sebagainya. Bagi Soekarno, rakyat miskin memang merupakan
golongan masyarakat lemah, akan tetapi jika digerakkan akan mampu mengobarkan
revolusi yang bisa mengubah dunia.
***
*Mahasiswa Hubungan Internasional UI 2009
[1]
Taufik Adi Susilo (2008). Soekarno, Biografi SIngkat 1901-1970. Jogjakarta: Garasi. Hal 84.
[2] Sl. Sularto (2001). Dialog dengan Sejarah, Soekarno Seratus Tahun.
Jakarta: Kompas. Hal. 175.
[3]
Ibid. 85.
[4] Syamsul Hadi ed (1991). Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran. Jakarta:
Pustaka Simponi Jakarta. Hal. 137.
[5] Ibid.
[6] Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa
marhaenisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh Ir. Soekarno sebagai
ideologi PNI-Lama (1927-1931) dan kemudian ditetapkan sebagai asas resmi PNI
dalam manifes Kongres PNI ke-6 di Surabaya, pada 1952.
[7] M. Dawam Rahardjo. Marhaenisme. Diakses dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1999/07/05/KL/mbm.19990705.KL97950.id.html
pada 23/05/2012 12.05.
[8] Syamsul Hadi. Op.Cit. Hal. 137.
Admin minta penjelasan dong tentang nama Marhaen, katanya ada yang bilang singkatan dari "Marxisme-Hegelisme-Engelisme" mohon pencerahannya ya.
BalasHapus