Senin, 19 Agustus 2013

Marhaenisme

Oleh M. Iqbal Pirzada*

Menurut sumber yang ada, kata marhaenisme diambil dari nama seorang petani yang secara tidak sengaja ditemui oleh Soekarno di daerah Cigereleng, Bandung[1]. Petani tersebut memiliki tanah, alat-alat pertanian, bibit dan pupuk untuk bertani. Akan tetapi, Marhaen, sang petani, tetap merupakan orang miskin. Dari sini Soekarno merasa heran karena meski memiliki alat produksi dan lahan sendiri untuk bertani, petani tersebut tetap miskin. Soekarno kemudian berfikir bahwa kemiskinan yang dialami oleh Marhaen disebabkan oleh sistem yang ada, yaitu sistem imperialisme dan kapitalisme saat itu. Soekarno kemudian melihat bahwa masyarakat Indonesia itu bukan kaum proletar, karena mereka memiliki alat produksi dan tanah sendiri, akan tetapi penghasilan mereka tetap kecil karena penjajahan yang menimpa Indonesia.


Dalam konteks pertanian, perspektif marxis menggolongkan kaum marhaen sebagai kelompok borjuis kecil[2]. Kelompok ini adalah kelompok yang melaksanakan simple commodity mode of production, yaitu membatasi perilaku penyerapan nilai terbatas hanya pada keluarga sendiri. Menurut Marx, kelompok ini merupakan transitional class, atau kelas yang akan punah dan akan segera menjadi kaum proletar. Dalam hal politik, kelompok ini berada diantara kaum kapitalis dan kaum proletar, yang sikap politiknya penuh dengan kontradiksi dan tidak mampu membangun kesadaran kelas. Jika ditempatkan dalam konsepsi Marx, antagonisme kelas hanya akan terjadi antara kaum proletar dengan kaum kapitalis, dan bukan antara kaum marhaen dengan kaum kapitalis. Dengan begini, dalam konsepsi Marx sebenarnya kaum marhaen tidak memiliki signifikansi politik. Akan tetapi, bagi Soekarno, justeru golongan marhaen lah yang akan melawan kaum kapitalis di Indonesia, karena golongan marhaen lah yang dominan dan konsepsi Marx tentang kaum proletar tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia yang belum mencapai tahap sistem ekonomi kapitalisme dalam level seperti yang ada di Eropa. Akan tetapi, di sisi lain ada yang memandang bahwa marhaen dalam sektor pertanian bukan sekedar pencari nafkah layaknya kaum proletar, akan tetapi kaum marhaen ini adalah kaum yang menempatkan pertanian sebagai way of life. Berbeda dengan kaum proletar yang menjajakan dirinya sebagai komoditas terhadap kaum kapitalis, atau kaum kaputalis yang menempatkan dirinya sebagai homo economicus dalam rantai proses produksi, kaum marhaen ini bisa dilihat lebih sebagai human agencies dalam proses pertanian.

Meski diilhami oleh petani yang bernama Marhaen tadi, akan tetapi Soekarno kemudian menjadikan Marhaen sebagai representasi masyarakat miskin Indonesia, apapun latar belakang mereka, baik pedagang kecil, petani kecil, cendekiawan kecil, pegawai kecil dan lain sebagainya[3].

“…Marhaen, nama itu aku berikan kepada semua orang Indonesia yang melarat, baik proletar maupun yang bukan proletar, asal melarat. Baik buruh, maupun tani, maupun nelayan, maupun pegawai kantor, maupun insinyur-insinyur, maupun master-master, maupun dokter-dokter, asal dia melarat, artinya kecil, saja namakan dia Marhaen”

Pertanyaan selanjutnya yang menghinggapi Soekarno adalah mengapa orang-orang Indonesia ini bisa miskin? Soekarno melihat sejarah, bahwa jauh sebelum bangsa-bangsa Eropa mengalami kejayaan, Indonesia sudah lebih dahulu berjaya. Pada abad ke-9 Indonesia sudah membangun candi Borobudur dan candi Prambanan, pada abad ke 12 Indonesia punya kerajaan Majapahit yang memiliki wilayah kekuasaan dari Madagaskar sampai sebelah selatan Amerika[4]. Dari fakta sejarah tersebut, Soekarno menyimpulkan bahwa jelas sekali bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh, akan tetapi imperialisme dan kapitalisme lah yang kemudian membuat bangsa Indonesia jadi miskin. Soekarno menggambarkan bahwa pada tahun 1930an ketika terjadi malaise Belanda setiap tahunnya mengangkut 1.159.601.000 gulden dari Indonesia, sementara orang-orang Indonesia sendiri hanya digaji sebanyak satu gobang (2,5 sen) atau 4 sen kalau jadi kuli kontrak[5].

Sumber: langitperempuan.com

Dari latar belakang ini, Marhaenisme kemudian lahir menjadi ideologi pembela kaum miskin dari sistem penguasa[6]. Marhaenisme sendiri merupakan antithesis dari imperialisme yang saat itu sedang gencar terjadi di Indonesia. Model marhaenisme hampir sama dengan model marxisme, akan tetapi perbedaan mendasarnya terletak pada objek pembelaan di mana Marxisme membela kaum proletar sementara Marhaenisme membela semua golongan masyarakat Indonesia yang tertindas. Soekarno tidak menyamakan marhaenisme dengan marxisme karena dilihatnya bahwa Indonesia pada saat itu belum mencapai kemajuan ekonomi seperti yang terjadi di Eropa dengan sistem kapitalismenya. Soekarno mengambil bagian penting dari marxisme yaitu hostoris materialisme yang kemudian digabungkan dengan dua elemen modernitas yang diperlukan oleh Indonesia: nasionalisme dan demokrasi.

Dalam kaitannya dengan marxisme ini, Michael Laifer menyebut marhaenisme sebagai varian dari marxisme[7]. Soekarno sendiri pernah mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme yang diterapkan di Indonesia[8]. Hal ini dikarenakan prinsip-prinsip perjuangan yang digambarkan Soekarno dalam marhaenisme diilhami oleh ajaran marxisme yang ia pelajari. Marxisme misalnya mengajarkan bahwa untuk dapat mengubah susunan suatu masyarakat, maka jangan mengharapkan peran dari golongan yang diuntungkan oleh tatanan masyarakat tersebut karena mereka tidak mungkin rela untuk menyerahkan hak-hak istimewa yang mereka terima dari susunan masyarakat yang ada. Dari sini Soekarno kemudian mencari golongan yang dirugikan oleh tatanan masyarakat yang dibentuk oleh imperialisme pada waktu itu. Dari sana mulai muncul pertanyaan apakah golongan masyarakat Indonesia yang dirugikan adalah golongan proletar di Eropa seperti yang diungkapkan Marx, golongan borjuis di Perancis yang dirugikan oleh kaum agamawan dan raja-raja? Atau imigran di Amerika yang dirugikan oleh Inggris? Soekarno kemudian menemukan jawaban bahwa golongan yang dirugikan oleh sistem imperialisme di Indonesia pada saat itu adalah golongan marhaen seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Setelah menemukan golongan yang dirugikan oleh tatanan sosial yang ada, maka timbul pertanyaan selanjutnya mengenai bagaimana mempersatukan golongan marhaen ini? Soekarno tidak mendasarkan golongan marhaen atas kelas seperti yang dilakukan oleh Marx. Marhaen ini adalah orang Indonesia dari berbagai macam latar belakang pekerjaan. Menurut Soekarno, golongan marhaen ini hanya dapat disatukan oleh massa actie, yaitu sekelompok masyarakat yang sudah memiliki kemauan kuat bersama. Soekarno melihat bahwa perjuangan yang telah dilakukan oleh para pahlawan terdahulu gagal karena dilakukan secara sendiri-sendiri. Maka dari itu perlu ada perjuangan bersama dalam massa actie tersebut. Agar dapat berjuang bersama, Soekarno kemudian mencari kesamaan dari orang-orang Indonesia dan ditemukan jawabannya adalah gotong royong. Gotong royong ini kemudian menjelma menjadi Pancasila.

Pada saat itu, Soekarno mengkampanyekan konsep marhaenisme agar para elite Indonesia menghilangkan pandangan yang merendahkan tentang rakyatnya seperti pandangan bahwa rakyat Indonesia itu bodoh, kampungan, dan lain sebagainya. Bagi Soekarno, rakyat miskin memang merupakan golongan masyarakat lemah, akan tetapi jika digerakkan akan mampu mengobarkan revolusi yang bisa mengubah dunia.

***

*Mahasiswa Hubungan Internasional UI 2009


[1] Taufik Adi Susilo (2008). Soekarno, Biografi SIngkat 1901-1970.  Jogjakarta: Garasi. Hal 84.
[2] Sl. Sularto (2001). Dialog dengan Sejarah, Soekarno Seratus Tahun. Jakarta: Kompas. Hal. 175.
[3] Ibid. 85.
[4] Syamsul Hadi ed (1991). Bung Karno dalam Pergulatan Pemikiran. Jakarta: Pustaka Simponi Jakarta. Hal. 137.
[5] Ibid.
[6] Ensiklopedi Indonesia menyebutkan bahwa marhaenisme adalah ideologi yang dikembangkan oleh Ir. Soekarno sebagai ideologi PNI-Lama (1927-1931) dan kemudian ditetapkan sebagai asas resmi PNI dalam manifes Kongres PNI ke-6 di Surabaya, pada 1952.
[8] Syamsul Hadi. Op.Cit. Hal. 137.

1 komentar:

  1. Admin minta penjelasan dong tentang nama Marhaen, katanya ada yang bilang singkatan dari "Marxisme-Hegelisme-Engelisme" mohon pencerahannya ya.

    BalasHapus