Rabu, 04 September 2013

Salah Kaprah Pengelolaan Pendidikan Tinggi

Oleh Alldo Fellix Januardy
Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa 2013

Universitas Negeri adalah ‘kampus milik rakyat’. Jargon kerakyatan yang menempatkan pendidikan sebagai hak untuk setiap warga Negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 mungkin saat ini terdengar sebagai jargon yang klise. Biaya kuliah semakin mahal. Universitas Negeri kini tak lagi terjangkau oleh rakyat kebanyakan dan malah digerogoti korupsi.


Beberapa waktu lalu kita lihat di berbagai media, terdapat aksi mahasiswa di salah satu universitas ternama yang rela ‘menjual ginjalnya’ untuk membayar biaya pendidikan dan peristiwa tersebut bukan kali pertama. Dalam kurun waktu tahun 2012 sampai tahun 2013 setidaknya berita-berita mengenai mahasiswa yang tidak mampu membayar uang kuliah mewarnai media massa, itupun belum menggenapi berita-berita yang tidak tersorot media namun lazim terjadi di kebanyakan Universitas Negeri. Ada apa?

Penyebab Tingginya Biaya Kuliah

Perdebatan mengenai bagaimana seharusnya Universitas Negeri dikelola dimulai sejak era reformasi. Setelah bertahun-tahun menjadi ‘kampus rakyat’ dan berhasil meluluskan ribuan anak nelayan hingga petani karena mendapatkan bantuan mayoritas dari pemerintah, Universitas Negeri mulai dirasa pemerintah mampu untuk mengelola institusinya masing-masing.

Pada tahun 2000, pemerintah memberlakukan berbagai Peraturan Pemerintah yang mengubah status beberapa Universitas Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan memberikannya otonomi pengelolaan keuangan. Ide ini dipertahankan hingga dikukuhkan ke dalam bentuk Undang-Undang pada tahun 2009 melalui Undang-Undang Nomor 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan.

Undang-Undang ini rupanya dianggap sebagai ‘durian runtuh’ oleh berbagai Universitas Negeri. Universitas semakin kreatif di dalam mengelola infrastrukturnya. Proyek-proyek yang tadinya tidak mendapatkan izin untuk dilangsungkan oleh pemerintah karena tidak diprioritaskan dalam anggaran Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dilangsungkan oleh berbagai Universitas Negeri karena hanya memerlukan izin dari organ internal universitas.

Kebebasan pengelolaan keuangan yang diberikan pemerintah kepada Universitas Negeri ternyata menjadi bumerang. Pemerintah lupa bahwa Universitas Negeri selama ini dikelola dengan sebagian besar hibah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan dana secara mandiri dalam skala yang besar. Ketika wewenang pengelolaan diberikan, kampus-kampus yang selama ini mengalami ‘diet’ anggaran dari pemerintah sehingga sulit membangun proyek-proyek infrastruktur mulai mengekspansi dirinya secara kreatif; dan berlebihan.

Dengan diberlakukannya berbagai peraturan perundang-undangan di atas, pengembangan universitas berubah dari institusi keilmuan menjadi institusi tempat munculnya proyek-proyek baru yang seringkali tidak relevan dengan kebutuhan prioritas dari stakeholder sebuah universitas, terutama mahasiswa. Universitas turut lupa bahwa ia adalah kawah candradimuka ilmu pengetahuan, bukan lahan subur untuk membangun proyek-proyek mercusuar; yang kemudian malah dikorupsi.

Darimana seluruh dana untuk membangun proyek-proyek mercusuar tersebut? Kebanyakan masih bersumber dari APBN dan hibah dari pihak swasta. Namun, pemerintah dan Universitas Negeri tidak mengkalkulasi biaya pengelolaan rutin yang juga akan meningkat  dari bertambahnya proyek-proyek infrastruktur tersebut. Universitas ‘dilanda’ beban yang membengkak untuk membayar biaya rutin mulai dari penggunaan listrik, air, tenaga kebersihan dan berbagai fasilitas baru dari proyek-proyek yang ada.

Kepada siapa biaya sebesar itu dikorbankan? Mahasiswa. Ironisnya, pembebanan biaya pengelolaan yang membengkak kepada mahasiswa ini dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Biaya kuliah Universitas Negeri pun secara pasti dari tahun ke tahun naik drastis. Kuliah semakin mahal. Universitas Negeritidak lagi aksesibel bagi masyarakat yang berasal dari kalangan ekonomi lemah.

Antisipasi Yang Tak Diindahkan

Mahkamah Konstitusi melalui putusan MK Nomor 11-14-21-126 dan 136/PII-VII/2009 tentang Judicial Review Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan sebenarnya telah mencoba mengantisipasi semakin mahalnya biaya pendidikan dengan mengetuk palu pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan pada tahun 2010, di dalam kutipan putusannya terdapat pernyataan,” … dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.

Mahkamah Konstitusi sudah memperingatkan bahwa otonomi pengelolaan keuangan bukan solusi untuk universitas Negeri. Pemerintah dan Universitas Negeri harus segera melakukan perombakan paradigma penyelenggaraan pendidikan secara besar-besaran. Jika pola yang telah terbukti ‘menggugurkan’ kesempatan banyak mahasiswa untuk mendapatkan haknya mengenyam pendidikan terus diulang, maka kuliah akan semakin jadi ‘barang mahal’ yang hanya mampu ‘dibeli’ oleh sebagian masyarakat. Indonesia sedang lari dari cita-cita pendidikannya.

Mengubah Paradigma

Pendidikan adalah hak. Milik publik. Milik setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali. Dengan menyadari hal ini, maka pertanyaan klasik yang membenturkan antara aksesibilitas dan kualitas dari institusi pendidikan dengan sendirinya telah menjawab prioritas mana yang wajib didahulukan. Meski, menurut hemat penulis, keduanya tak saling bertentangan dan tak perlu selalu dibenturkan. Syaratnya, Universitas Negeri harus terus mengevaluasi dan mengukur diri.

Salah kaprah pengelolaan dari berbagai universitas yang mengakibatkan tingginya biaya kuliah terjadi karena Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bersama dengan organ internal pengelola Universitas Negeri lalai menangkap kebutuhan utama dari berbagai pemangku kepentingan universitas sehingga merusak ritme prioritas pembangunan infrastruktur universitas.

Universitas Negeri di seluruh Indonesia juga punya potensi yang selama ini belum dikembangkan, yaitu riset dan ventura. Riset di mayoritas universitas di Indonesia malah terhitung sebagai beban, menunggu bantuan dari hibah donor dan pemerintah, bukannya sumber pendapatan potensial yang sebenarnya bisa didapat dari kerjasama dengan industri. Ventura Universitas Negeri juga tidak dikelola secara profesional sehingga kapasitas pendanaannya terus turun setiap tahunnya. Jika mengelola dua hal mendasar ini saja Universitas Negeri tidak becus, apakah mereka layak menyebut dirinya sebagai universitas yang otonom? Apakah mereka layak bersaing dengan pusat-pusat keilmuan di Eropa dan Amerika? Saya rasa jawabannya adalah tidak.

Pengelola universitas harus menyadari bahwa tingginya biaya pengelolaan akibat pembangunan yang tak terkontrol, tidak boleh serta merta dibebankan kepada mahasiswa semata melalui berbagai pembukaan program-program pendidikan dan peningkatan biaya kuliah. Hal ini penting untuk menjaga kualitas Universitas Negeri agar tetap dalam performa terbaik dengan jumlah mahasiswa yang proporsional dan tidak melalaikan tanggung jawab mereka untuk menyaring mahasiswa yang memiliki kekurangan dari sisi finansial.

Bukan Lagi Soal Ideologi

Universitas Negeri yang tidak lagi aksesibel bagi masyarakat kurang mampu adalah masalah besar. Apapun ideologi kita, kuliah mahal adalah fakta dan merupakan masalah. Apapun ideologi kita, mismanajemen Universitas Negeri adalah fakta dan merupakan masalah. Apapun ideologi kita, mahasiswa kurang mampu setiap tahunnya ada yang drop out karena masalah finansial adalah fakta dan merupakan masalah. Lewat perspektif mana lagi kita harus berdebat jika masalahnya ternyata di depan mata dan tak perlu lagi memerlukan perdebatan?

Ditambah, Universitas Negeri yang harusnya menjadi institusi terpercaya juga terus mengalami demoralisasi. Korupsi ‘masuk´ kampus. Insan akademis yang berkontribusi di bidang publik pun satu persatu jadi tersangka korupsi. Pertanyaannya, masihkah memerlukan perdebatan ideologis untuk menentukan apakah korupsi oleh institusi akademik adalah kesalahan yang memalukan atau bukan?

Mengubah visi dan paradigma pengelolaan universitas adalah kunci. Dunia pendidikan Indonesia, harus duduk tenang dan berpikir ulang untuk menjawab pertanyaan,”Universitas Negeri untuk rakyat yang mana?”

Jika itu tidak mau dimulai, mari ucapkan selamat tinggal kepada pendidikan terjangkau. Mari ucapkan selamat tinggal kepada ‘kampus rakyat’.

..

Education for all.

Semoga kalimat ini bukan mimpi.


____


Penulis menerima kritik dan saran yang dapat disampaikan melalui e-mail pribadi: alldofjanuardy@live.com atau akun twitter: @alldofj.

1 komentar: