Oleh Rio Apinino
Salah satu tuntutan
yang seringkali diperjuangkan kelas pekerja di seluruh dunia, utamanya kelas
pekerja di negara berkembang, adalah upah yang layak. Hal ini pula yang
kemudian menjadi salah satu tuntutan utama MOGOK NASIONAL yang akan
dilaksanakan kaum buruh di seluruh Indonesia pada tanggal 28 sampai dengan 30
Oktober 2013 selain tuntutan penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat
serta penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing.
Hal ini tentu bukan tanpa dasar. Di tengah inflasi yang semakin mencekik,
harga-harga yang terus meroket dan ketidakpastian hidup ditengah lautan
kapitalisme yang memiliki eses krisis yang terus berulang, upah bagi buruh
cenderung stagnan. Sedangkan di satu sisi, kontribusi buruh terhadap ekonomi
Indonesia selama ini cenderung meningkat[1].
Bagaimana membaca
tuntutan kenaikan upah ini? tentu ada beragam analisis dan perspektif. Tetapi,
yang jelas adalah, kita sebenarnya sudah memiliki seperangkat teori yang sangat
komprehensif tentang bagaimana kapitalisme sebagai sistem ekonomi-politik yang
ada saat ini, bekerja. Dan teori tersebut adalah marxisme. Marxisme, terutama
kritik ekonomi-politik-nya, memblejeti
dan menelanjangi cara kerja kapitalisme secara imanen. Dengan mempelajari
kritik ekonomi-politik marxisme terhadap kapitalisme, kita akan menemukan
berbagai macam konsep yang vital dari kapitalisme. Dalam esai ini, saya akan
menjelaskan salah satu konsep kapitalisme yaitu konsep nilai-lebih (surplus value). Nilai-lebih secara
sederhana adalah nilai yang dihasilkan oleh kelas pekerja dalam memproduksi
komoditas dan diambil alih oleh para kapitalis sebagai sumber keuntungannya.
Dengan memahami konsep nilai-lebih, kita akan secara lantang berkata: ambil
alih kembali nilai-lebih yang dirampas para kapitalis!
Kerja Upahan
Kapitalisme adalah
sistem ekonomi-politik yang dikonstitusikan oleh relasi antara kelas kapitalis,
sebagai pihak yang memiliki alat-alat produksi, dan kelas proletar yang tidak
memiliki alat-alat produksi. Relasi ini merupakan hasil dari gerak sejarah
dimana sebelum kapitalisme ada, corak produksi yang dominan adalah feodalisme
yang di dasari pada kepemilikan tanah[2]. Untuk
dapat melanjutkan hidupnya, buruh, yang tidak memiliki alat produksi dan hanya
memiliki tenaga di dalam dirinya, terpaksa untuk menjual tenaga kerjanya tersebut
kepada pemilik alat produksi, yaitu kapitalis. Kemudian, buruh mendapat upah sebagai kompensasi atas hasil kerja
dan waktu kerja tertentu yang mereka berikan. Dalam hal ini nampaknya kapitalis
membeli kerja para buruh dengan uang, tetapi pada kenyataannya, apa yang
dijual buruh kepada para kapitalis adalah tenaga
kerja mereka. Kapitalis membeli tenaga kerja ini dalam waktu tertentu,
entah sehari, seminggu atau sebulan. Setelah membeli tenaga kerja itu,
kapitalis menyuruh buruh bekerja selama waktu yang telah ditentukan.
Mari membuat sebuah
ilustrasi agar menjadi lebih jelas. Misalnya saja seorang buruh yang bekerja
sebagai pengrajin kayu dalam pabrik milik kapitalis. Buruh mulai bekerja untuk
mengubah kayu yang merupakan bahan pokok menjadi perabotan-perabotan, misalkan
saja kursi atau meja untuk dibayar sebesar 50 ribu. Pertanyaannya, apakah upah
sebesar 50 ribu tersebut adalah bagian yang sudah ada di dalam meja dan kursi
atau dalam kata lain, di komoditas hasil kerjanya? Tentu tidak. Hal ini terjadi
karena ada kemungkinan meja dan kursinya tidak laku terjual di pasar, terjual
tetapi tidak memenuhi upah buruh, atau justru mendapat untung yang berkali
lipat lebih besar daripada upah si buruh. Ketika meja dan kursi itu belum
selesai, buruh tukang kayu telah mendapat upahnya dari kekayaan si kapitalis
yang telah ada sebelumnya. Hal ini menujukkan bahwa apapun yang terjadi pada
kursi dan meja setelah diproduksi tidak ada sangkut pautnya dengan buruh tukang
kayu karena tenaga kerja tukang kayu telah dibeli dari kekayaan si kapitalis.
Oleh karena itu, apa yang dimaksud upah
bukanlah andil buruh dalam komoditas yang dihasilkannya melainkan hanya
sebagian dari faktor produksi yang dimiliki kapitalis, tak beda dengan mesin
dan bahan baku seperti kayu sebagaimana contoh di atas. Sebagaimana yang
dijelaskan Marx,
“...upah bukan andil
si buruh dalam barang-dagangan yang dihasilkannya. Upah adalah sebagian dari
barangdagangan-barangdagangan yang telah ada, dengan mana si kapitalis membeli
untuk dirinya sediri jumlah tertentu tenagakerja yang produktif”[3]
Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, buruh menjual tenaga kerjanya dilakukan dengan terpaksa
karena hanya hal itu yang bisa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Kerja bukan dilakukan untuk memperoleh meja dan kayu yang telah mereka
ciptakan, dan justru buruh terasing dari komoditas yang mereka hasilkan sendiri.
Yang dihasilkan dari mereka adalah, upah dari meja dan kursi tersebut yang
digunakan untuk membeli beras, menyewa kontrakan murah, dan memenuhi pendidikan
anaknya yang semakin tidak terjangkau. Dalam mata si kapitalis, buruh hanyalah
salah satu faktor dari berbagai macam faktor produksi lain yang telah ia beli untuk
menciptakan komoditas dalam rangka akumulasi kapital.
Proses Produksi dan Keuntungan
Dalam bagian
sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana relasi kerja upahan sebagai bentuk
relasi produksi dalam kapitalisme. Seorang buruh, yang tidak memiliki alat
produksi, menyerahkan tenaga kerja mereka kepada para kapitalis untuk bekerja
dalam kuantitas waktu kerja atau kuantitas komoditas tertentu untuk ditukarkan
dalam bentuk upah. Kapitalis mengkonsumsi tenaga kerja buruh di dalam proses
kerja. Bagaimana proses kerja dalam kapitalisme? Marx menjelaskan,
“Proses kerja, atas
suatu dasar kapitalis, mempunyai dua kekhasan. 1. Pekerja bekerja dibawah
kontrol kapitalis, 2. Produksi menjadi milik kapitalis, karena proses kerja itu
kini hanyalah suatu proses diantara dua hal/barang yang dibeli oleh si
kapitalis: tenaga kerja dan alat alat produksi”[4]
Lantas, bagaimana
proses produksi komoditas itu terjadi dan darimana asal mula keuntungan dari
para kapitalis? Proses produksi komoditi, terjadi dengan melibatkan buruh dan
tenaga kerjanya untuk mengoperasikan alat-alat produksi lain seperti mesin dan
bahan-bahan bentah. Oleh karena itu, nilai komoditas terdiri dari dua unsur
(yang merupakan faktor produksi): 1. Biaya untuk alat-alat produksi seperti
bahan mentah dan mesin-mesin, yang disebut sebagai kapital konstan dan 2.
Biaya untuk upah buruh atau disebut juga kapital
variabel. Adapun keuntungan merupakan unsur ketiga dari sebuah komoditas
selain kedua unsur ini. lantas, darimana sumber kentungan itu sendiri?
Untuk menjawab
pertanyaan ini, Marx memulainya dengan mengkritik pandangan ekonom klasik
Inggris seperti Adam Smith. Bagi para ekonom klasik, keuntungan berasal dari
proses pertukaran. Maksudnya, dalam proses pertukaran, seseorang (kapitalis)
yang menukarkan barangnya lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya akan
memperoleh untung. Poin ini yang dikritik oleh Marx. Dalam kapitalisme, semua
penjual adalah juga pembeli dan sebaliknya, semua pembeli adalah juga penjual.
Karenanya, jika seorang bisa menjual barang di atas harga produksinya, maka yang
lain akan bisa melakukan hal yang sama. Maka, jika semua orang menjual
komoditas di atas biaya produksinya, tentu tidak akan ada keuntungan umum yang
diperoleh.
Berdasarkan kritik
tersebut, bagi Marx, keuntungan umum
yang didapat dari kapitalis berasal dari penghisapan nilai-lebih oleh kapitalis
yang dihasilkan oleh kelas pekerja. Keuntungan ini hanya dimungkinkan jika
ada faktor produksi yang mampu menciptakan nilai, dan faktor ini hanya terdapat
dalam buruh dan tenaga kerjanya. Dalam membeli tenaga kerja buruh dalam bentuk
upah, kapitalis memperoleh hak untuk menggunakan mereka dalam memproduksi
komoditas sesuka hati mereka. Dalam proses produksi ini, hanya buruh dan tenaga
kerjanya sajalah yang mampu untuk menciptakan nilai baru dari komoditas tersebut. Misalnya saja, dalam contoh
yang sama, seorang buruh tukang kayu lah –sebagai produsen sesungguhnya- yang
menciptakan nilai baru, yaitu nilai yang dimiliki oleh meja dan kursi yang
tidak dimiliki oleh bahan mentahnya, kayu.
Pertambahan nilai
atau nilai baru yang dihasilkan seorang buruh dalam proses produksi selalu
berjumlah jauh lebih besar daripada total biaya yang dibutuhkan untuk mengupah
buruh. Menurut Marx,
“Sebagai suatu
proses penciptaan nilai, proses kerja itu menjadi suatu proses produksi
nilai-lebih pada saat ia diperpanjang melampaui titik dimana ia menyetorkan
suatu ekuivalen (kesetaraan) sederhana untuk nilai-tenaga kerja yang dibayar
itu”[5]
Mari kita coba
perjelas konsep nilai-lebih dengan contoh. Misalnya saja, seorang buruh
ditarget mengerjakan 30 piece sepatu
dalam sehari. Jika satu piece sepatu
dijual seharga Rp 150 ribu, sedangkan harga bahannya dan biaya-biaya lain
sekitar Rp 100 ribu per piece, maka
buruh tersebut akan memberi Rp 50 ribu per piece
per hari pada pemilik pabrik, totalnya Rp 1,5 juta per hari. Sementara ia hanya
diupah sekitar Rp 85 ribu per hari (UMP DKI
Jakarta). Jadi, sebenarnya sebelum menyelesaikan piece kedua pun buruh dan kapitalis sudah impas. Bahkan,
sebagaimana kita lihat dalam ilustrasi di atas, buruh telah memberi keuntungan
berlipat ganda pada pemilik pabrik daripada upah yang diterimanya. Tetapi,
sekalipun sebelum menyelesaikan piece
sepatu kedua buruh sudah impas, ia tentu tidak diperbolehkan untuk berhenti
bekerja karena sistem kerja upahan mengharuskan ia bekerja selama 8 jam sehari.
Dengan sistem kerja upahan yang seperti ini, kapitalis akan terus mengeruk
keuntungan dari selisih antara biaya yang dikeluarkannya sebagai upah, dan
nilai yang dihasilkan buruh melalui kerja. Kalaupun pengusaha memberi
“insentif”, jumlahnya jauh lebih kecil daripada total nilai yang dihasilkan si
buruh. Mengambil contoh yang sama, seandainya pemilik pabrik memberi insentif sebesar
10 persen dari total keuntungan yang diserahkan buruh, maka tiap buruh akan
mendapat insentif sebesar Rp 150 ribu sehari. Apakah ada kejadian seperti ini
kita temui sehari-hari? Pasti kita hanya bermimpi. Ketika kapitalis memperoleh nilai
baru sejumlah Rp 1,5 juta per hari lewat kerja buruh, buruh hanya dapat membeli
barang senilai Rp 85 ribu per hari setelah diupah. Jadi, ada selisih sebesar Rp
1.415.000.
http://stephaniemcmillan.org/ |
Selisih inilah yang
disebut nilai-lebih. Dari sinilah datangnya keuntungan –dan konsentrasi
kekayaan di tangan segelintir pengusaha. Maka, keuntungan kapitalis, pada
dasarnya bersifat penghisapan atau eksploitasi atas pekerja. Berapapun besar
upah yang buruh terima, tetap saja tidak akan sebanding dengan besarnya
nilai-lebih yang buruh serahkan pada kapitalis dalam produksi. Konsep upah,
sejatinya hanyalah agar buruh mampu untuk tetap hidup agar bisa tetap datang ke
pabrik keesokan harinya, dan tetap produktif serta mampu untuk mereproduksi
calon buruh baru. Sebagaimana menurut Marx,
“Harga rata-rata
dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup
yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh sebagai seorang buruh dalam
hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan
berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup
yang sekedarnya itu”[6]
Relasi Yang Timpang Akan Tetap Terus Ada
Selama Kapitalisme Ada
Berdasarkan
pemaparan nilai-lebih di atas, dapat disimpulkan pada dasarnya sistem
kerja-upahan yang ada dalam moda produksi kapitalisme mensyaratkan adanya
ketimpangan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan hanya dengan adanya
ketimpangan itulah kelas kapitalis akan mampu untuk tetap terus melakukan
akumulasi kapital. Bagaimana menyelesaikan relasi yang timpang ini? Satu-satunya jalan adalah mengambil-alih
faktor produksi yang dalam sistem kapitalisme dimiliki oleh segelintir orang
agar watak kelas-nya hilang dan menjadi watak sosial. Hanya dengan jalan
itulah penindasan dan eksploitasi kelas pekerja –yang merupakan kelas
mayoritas- melalui sistem kerja upahan, akan hilang.
Socialsm, The True Path to
Liberate Working People!
[1] Untuk data dan penjelasan yang lebih komprehensif,
silahkan dilihat tulisan dari Mohamad Zaki Husein “Rasionalitas Tuntutan
Kenaikan Upah Minimum 50 Persen” di http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional_10.html
[2] Untuk penjelasan tentang sejarah perkembangan
masyarakat lebih lanjut, silahkan lihat Karl Marx dan Friedrich Engels
“Manifesto Partai Komunis”
[3] Karl Marx. Kerja
Upahan dan Kapital. Hlm. 5 (Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/edicahy/
[4] Friedrich Engels. Tentang
Das Kapital. Hlm. 64 (Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/edicahy/
[5] Ibid. Hlm 66
[6] Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis. Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1959. Hlm 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar