Senin, 21 Oktober 2013

Nilai-lebih (Surplus-Value) sebagai Sumber Keuntungan Kapitalis

Oleh Rio Apinino

Salah satu tuntutan yang seringkali diperjuangkan kelas pekerja di seluruh dunia, utamanya kelas pekerja di negara berkembang, adalah upah yang layak. Hal ini pula yang kemudian menjadi salah satu tuntutan utama MOGOK NASIONAL yang akan dilaksanakan kaum buruh di seluruh Indonesia pada tanggal 28 sampai dengan 30 Oktober 2013 selain tuntutan penyelenggaraan jaminan sosial bagi seluruh rakyat serta penghapusan sistem kerja kontrak dan outsourcing. Hal ini tentu bukan tanpa dasar. Di tengah inflasi yang semakin mencekik, harga-harga yang terus meroket dan ketidakpastian hidup ditengah lautan kapitalisme yang memiliki eses krisis yang terus berulang, upah bagi buruh cenderung stagnan. Sedangkan di satu sisi, kontribusi buruh terhadap ekonomi Indonesia selama ini cenderung meningkat[1].

Bagaimana membaca tuntutan kenaikan upah ini? tentu ada beragam analisis dan perspektif. Tetapi, yang jelas adalah, kita sebenarnya sudah memiliki seperangkat teori yang sangat komprehensif tentang bagaimana kapitalisme sebagai sistem ekonomi-politik yang ada saat ini, bekerja. Dan teori tersebut adalah marxisme. Marxisme, terutama kritik ekonomi-politik-nya, memblejeti dan menelanjangi cara kerja kapitalisme secara imanen. Dengan mempelajari kritik ekonomi-politik marxisme terhadap kapitalisme, kita akan menemukan berbagai macam konsep yang vital dari kapitalisme. Dalam esai ini, saya akan menjelaskan salah satu konsep kapitalisme yaitu konsep nilai-lebih (surplus value). Nilai-lebih secara sederhana adalah nilai yang dihasilkan oleh kelas pekerja dalam memproduksi komoditas dan diambil alih oleh para kapitalis sebagai sumber keuntungannya. Dengan memahami konsep nilai-lebih, kita akan secara lantang berkata: ambil alih kembali nilai-lebih yang dirampas para kapitalis!

Kerja Upahan

Kapitalisme adalah sistem ekonomi-politik yang dikonstitusikan oleh relasi antara kelas kapitalis, sebagai pihak yang memiliki alat-alat produksi, dan kelas proletar yang tidak memiliki alat-alat produksi. Relasi ini merupakan hasil dari gerak sejarah dimana sebelum kapitalisme ada, corak produksi yang dominan adalah feodalisme yang di dasari pada kepemilikan tanah[2]. Untuk dapat melanjutkan hidupnya, buruh, yang tidak memiliki alat produksi dan hanya memiliki tenaga di dalam dirinya, terpaksa untuk menjual tenaga kerjanya tersebut kepada pemilik alat produksi, yaitu kapitalis. Kemudian, buruh mendapat upah sebagai kompensasi atas hasil kerja dan waktu kerja tertentu yang mereka berikan. Dalam hal ini nampaknya kapitalis membeli kerja para buruh dengan uang, tetapi pada kenyataannya, apa yang dijual buruh kepada para kapitalis adalah tenaga kerja mereka. Kapitalis membeli tenaga kerja ini dalam waktu tertentu, entah sehari, seminggu atau sebulan. Setelah membeli tenaga kerja itu, kapitalis menyuruh buruh bekerja selama waktu yang telah ditentukan.

Mari membuat sebuah ilustrasi agar menjadi lebih jelas. Misalnya saja seorang buruh yang bekerja sebagai pengrajin kayu dalam pabrik milik kapitalis. Buruh mulai bekerja untuk mengubah kayu yang merupakan bahan pokok menjadi perabotan-perabotan, misalkan saja kursi atau meja untuk dibayar sebesar 50 ribu. Pertanyaannya, apakah upah sebesar 50 ribu tersebut adalah bagian yang sudah ada di dalam meja dan kursi atau dalam kata lain, di komoditas hasil kerjanya? Tentu tidak. Hal ini terjadi karena ada kemungkinan meja dan kursinya tidak laku terjual di pasar, terjual tetapi tidak memenuhi upah buruh, atau justru mendapat untung yang berkali lipat lebih besar daripada upah si buruh. Ketika meja dan kursi itu belum selesai, buruh tukang kayu telah mendapat upahnya dari kekayaan si kapitalis yang telah ada sebelumnya. Hal ini menujukkan bahwa apapun yang terjadi pada kursi dan meja setelah diproduksi tidak ada sangkut pautnya dengan buruh tukang kayu karena tenaga kerja tukang kayu telah dibeli dari kekayaan si kapitalis. Oleh karena itu, apa yang dimaksud upah bukanlah andil buruh dalam komoditas yang dihasilkannya melainkan hanya sebagian dari faktor produksi yang dimiliki kapitalis, tak beda dengan mesin dan bahan baku seperti kayu sebagaimana contoh di atas. Sebagaimana yang dijelaskan Marx,

“...upah bukan andil si buruh dalam barang-dagangan yang dihasilkannya. Upah adalah sebagian dari barangdagangan-barangdagangan yang telah ada, dengan mana si kapitalis membeli untuk dirinya sediri jumlah tertentu tenagakerja yang produktif”[3]

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, buruh menjual tenaga kerjanya dilakukan dengan terpaksa karena hanya hal itu yang bisa mereka lakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kerja bukan dilakukan untuk memperoleh meja dan kayu yang telah mereka ciptakan, dan justru buruh terasing dari komoditas yang mereka hasilkan sendiri. Yang dihasilkan dari mereka adalah, upah dari meja dan kursi tersebut yang digunakan untuk membeli beras, menyewa kontrakan murah, dan memenuhi pendidikan anaknya yang semakin tidak terjangkau. Dalam mata si kapitalis, buruh hanyalah salah satu faktor dari berbagai macam faktor produksi lain yang telah ia beli untuk menciptakan komoditas dalam rangka akumulasi kapital.

Proses Produksi dan Keuntungan

Dalam bagian sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana relasi kerja upahan sebagai bentuk relasi produksi dalam kapitalisme. Seorang buruh, yang tidak memiliki alat produksi, menyerahkan tenaga kerja mereka kepada para kapitalis untuk bekerja dalam kuantitas waktu kerja atau kuantitas komoditas tertentu untuk ditukarkan dalam bentuk upah. Kapitalis mengkonsumsi tenaga kerja buruh di dalam proses kerja. Bagaimana proses kerja dalam kapitalisme? Marx menjelaskan,

“Proses kerja, atas suatu dasar kapitalis, mempunyai dua kekhasan. 1. Pekerja bekerja dibawah kontrol kapitalis, 2. Produksi menjadi milik kapitalis, karena proses kerja itu kini hanyalah suatu proses diantara dua hal/barang yang dibeli oleh si kapitalis: tenaga kerja dan alat alat produksi”[4]

Lantas, bagaimana proses produksi komoditas itu terjadi dan darimana asal mula keuntungan dari para kapitalis? Proses produksi komoditi, terjadi dengan melibatkan buruh dan tenaga kerjanya untuk mengoperasikan alat-alat produksi lain seperti mesin dan bahan-bahan bentah. Oleh karena itu, nilai komoditas terdiri dari dua unsur (yang merupakan faktor produksi): 1. Biaya untuk alat-alat produksi seperti bahan mentah dan mesin-mesin, yang disebut sebagai kapital konstan dan 2. Biaya untuk upah buruh atau disebut juga kapital variabel. Adapun keuntungan merupakan unsur ketiga dari sebuah komoditas selain kedua unsur ini. lantas, darimana sumber kentungan itu sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Marx memulainya dengan mengkritik pandangan ekonom klasik Inggris seperti Adam Smith. Bagi para ekonom klasik, keuntungan berasal dari proses pertukaran. Maksudnya, dalam proses pertukaran, seseorang (kapitalis) yang menukarkan barangnya lebih tinggi daripada harga yang sebenarnya akan memperoleh untung. Poin ini yang dikritik oleh Marx. Dalam kapitalisme, semua penjual adalah juga pembeli dan sebaliknya, semua pembeli adalah juga penjual. Karenanya, jika seorang bisa menjual barang di atas harga produksinya, maka yang lain akan bisa melakukan hal yang sama. Maka, jika semua orang menjual komoditas di atas biaya produksinya, tentu tidak akan ada keuntungan umum yang diperoleh.

Berdasarkan kritik tersebut, bagi Marx, keuntungan umum yang didapat dari kapitalis berasal dari penghisapan nilai-lebih oleh kapitalis yang dihasilkan oleh kelas pekerja. Keuntungan ini hanya dimungkinkan jika ada faktor produksi yang mampu menciptakan nilai, dan faktor ini hanya terdapat dalam buruh dan tenaga kerjanya. Dalam membeli tenaga kerja buruh dalam bentuk upah, kapitalis memperoleh hak untuk menggunakan mereka dalam memproduksi komoditas sesuka hati mereka. Dalam proses produksi ini, hanya buruh dan tenaga kerjanya sajalah yang mampu untuk menciptakan nilai baru dari komoditas tersebut. Misalnya saja, dalam contoh yang sama, seorang buruh tukang kayu lah –sebagai produsen sesungguhnya- yang menciptakan nilai baru, yaitu nilai yang dimiliki oleh meja dan kursi yang tidak dimiliki oleh bahan mentahnya, kayu.

Pertambahan nilai atau nilai baru yang dihasilkan seorang buruh dalam proses produksi selalu berjumlah jauh lebih besar daripada total biaya yang dibutuhkan untuk mengupah buruh. Menurut Marx,

“Sebagai suatu proses penciptaan nilai, proses kerja itu menjadi suatu proses produksi nilai-lebih pada saat ia diperpanjang melampaui titik dimana ia menyetorkan suatu ekuivalen (kesetaraan) sederhana untuk nilai-tenaga kerja yang dibayar itu”[5]

Mari kita coba perjelas konsep nilai-lebih dengan contoh. Misalnya saja, seorang buruh ditarget mengerjakan 30 piece sepatu dalam sehari. Jika satu piece sepatu dijual seharga Rp 150 ribu, sedangkan harga bahannya dan biaya-biaya lain sekitar Rp 100 ribu per piece, maka buruh tersebut akan memberi Rp 50 ribu per piece per hari pada pemilik pabrik, totalnya Rp 1,5 juta per hari. Sementara ia hanya diupah sekitar Rp 85 ribu per hari (UMP DKI Jakarta). Jadi, sebenarnya sebelum menyelesaikan piece kedua pun buruh dan kapitalis sudah impas. Bahkan, sebagaimana kita lihat dalam ilustrasi di atas, buruh telah memberi keuntungan berlipat ganda pada pemilik pabrik daripada upah yang diterimanya. Tetapi, sekalipun sebelum menyelesaikan piece sepatu kedua buruh sudah impas, ia tentu tidak diperbolehkan untuk berhenti bekerja karena sistem kerja upahan mengharuskan ia bekerja selama 8 jam sehari. Dengan sistem kerja upahan yang seperti ini, kapitalis akan terus mengeruk keuntungan dari selisih antara biaya yang dikeluarkannya sebagai upah, dan nilai yang dihasilkan buruh melalui kerja. Kalaupun pengusaha memberi “insentif”, jumlahnya jauh lebih kecil daripada total nilai yang dihasilkan si buruh. Mengambil contoh yang sama, seandainya pemilik pabrik memberi insentif sebesar 10 persen dari total keuntungan yang diserahkan buruh, maka tiap buruh akan mendapat insentif sebesar Rp 150 ribu sehari. Apakah ada kejadian seperti ini kita temui sehari-hari? Pasti kita hanya bermimpi. Ketika kapitalis memperoleh nilai baru sejumlah Rp 1,5 juta per hari lewat kerja buruh, buruh hanya dapat membeli barang senilai Rp 85 ribu per hari setelah diupah. Jadi, ada selisih sebesar Rp 1.415.000.
http://stephaniemcmillan.org/

Selisih inilah yang disebut nilai-lebih. Dari sinilah datangnya keuntungan –dan konsentrasi kekayaan di tangan segelintir pengusaha. Maka, keuntungan kapitalis, pada dasarnya bersifat penghisapan atau eksploitasi atas pekerja. Berapapun besar upah yang buruh terima, tetap saja tidak akan sebanding dengan besarnya nilai-lebih yang buruh serahkan pada kapitalis dalam produksi. Konsep upah, sejatinya hanyalah agar buruh mampu untuk tetap hidup agar bisa tetap datang ke pabrik keesokan harinya, dan tetap produktif serta mampu untuk mereproduksi calon buruh baru. Sebagaimana menurut Marx,

“Harga rata-rata dari kerja-upahan ialah upah minimum, yaitu jumlah bahan-bahan keperluan hidup yang mutlak diperlukan untuk mempertahankan buruh sebagai seorang buruh dalam hidup sekedarnya. Oleh karena itu, apa yang telah dimiliki oleh buruh-upahan berkat kerjanya, hanyalah cukup untuk memperpanjang dan melanjutkan lagi hidup yang sekedarnya itu”[6]

Relasi Yang Timpang Akan Tetap Terus Ada Selama Kapitalisme Ada

Berdasarkan pemaparan nilai-lebih di atas, dapat disimpulkan pada dasarnya sistem kerja-upahan yang ada dalam moda produksi kapitalisme mensyaratkan adanya ketimpangan dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan hanya dengan adanya ketimpangan itulah kelas kapitalis akan mampu untuk tetap terus melakukan akumulasi kapital. Bagaimana menyelesaikan relasi yang timpang ini? Satu-satunya jalan adalah mengambil-alih faktor produksi yang dalam sistem kapitalisme dimiliki oleh segelintir orang agar watak kelas-nya hilang dan menjadi watak sosial. Hanya dengan jalan itulah penindasan dan eksploitasi kelas pekerja –yang merupakan kelas mayoritas- melalui sistem kerja upahan, akan hilang.

Socialsm, The True Path to Liberate Working People!


[1] Untuk data dan penjelasan yang lebih komprehensif, silahkan dilihat tulisan dari Mohamad Zaki Husein “Rasionalitas Tuntutan Kenaikan Upah Minimum 50 Persen” di http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/kenaikan-upah-minimum-50-itu-rasional_10.html
[2] Untuk penjelasan tentang sejarah perkembangan masyarakat lebih lanjut, silahkan lihat Karl Marx dan Friedrich Engels “Manifesto Partai Komunis”
[3] Karl Marx. Kerja Upahan dan Kapital. Hlm. 5 (Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/edicahy/
[4] Friedrich Engels. Tentang Das Kapital. Hlm. 64 (Terjemahan) diakses dari http://www.geocities.com/edicahy/
[5] Ibid. Hlm 66
[6] Karl Marx dan Friedrich Engels. Manifesto Partai Komunis. Jakarta: Yayasan Pembaruan, 1959. Hlm 57

Tidak ada komentar:

Posting Komentar