Sabtu, 05 Oktober 2013

Mari Melihat (Kembali) UU Pendidikan Tinggi Kita!


Oleh Dicky Dwi Ananta
Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda,
Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI)

Dalam pembukaan UUD 1945 secara tegas tertulis bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan itu, maka Negara melalui pemerintah memiliki tanggung jawab untuk terlibat aktif dalam usaha mencerdaskan kehidupan warga negaranya. Cara yang dilakukan untuk melaksanakan perintah konstitusi tersebut, tak bisa tidak, harus melalui pendidikan nasional. Dengan demikian, pendidikan nasional merupakan tanggung jawab pemerintah dan harus bersifat menyeluruh bagi setiap warga negara Indonesia.


Salah satu isu hangat untuk dibicarakan (kembali) mengenai sistem pendidikan nasional adalah penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Mengapa hal tersebut sedang hangat? Karena pada Juli 2012 kemarin, pemerintah bersama DPR baru saja mengesahkan Undang-Undang yang berlaku secara nasional untuk mengatur sistem pendidikan tinggi, yaitu UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (selanjutnya disebut UU Dikti). UU tersebut dinilai sangat berbahaya karena memiliki tendensi memasukan pendidikan sebagai salah satu fitur komoditas yang bisa diperjual-belikan secara bebas. Akibatnya, aksesbilitas masyarakat secara luas untuk mendapatkan pendidikan tinggi menjadi taruhannya. Maka dalam tulisan ini, diskusi diarahkan seputar UU tersebut untuk dianalisa dengan kebutuhan perlawanan sekarang, yaitu Judicial Review atas UU tersebut di MK. Juga, untuk me-refresh kembali bagaimana kita memandang UU yang telah disahkan tersebut, sekaligus menguatkan posisi dialogis kita atasnya. Selain itu, juga sebagai bagian dari propaganda gerakan untuk menolak peraturan dan kebijakan pemerintah yang mendorong adanya liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi pendidikan di Indonesia.

Menengok Kembali UU Pendidikan Tinggi

Apa sebenarnya yang terjadi dengan UU Dikti hingga dapat dikatakan sebagai jalan mulus privatisasi pendidikan tinggi di Indonesia? Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dicatat di sini.

Pertama, semangat Badan Hukum (BH) dalam UU Dikti. Pengaturan tentang bentuk BH terdapat pada pasal 65, “Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.” Dengan adanya aturan tersebut PTN Badan Hukum diberikan hak istimewa untuk, di antaranya dipisahkannya harta kekayaan dari negara, tata kelola dan pengambilan keputusan yang mandiri, hak mengelola dana secara mandiri, mengangkat dan memberhentikan dosen sendiri, mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi, atau membuka dan menutup program studi. Konsep ‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bukanlah untuk nama atau bentuk hukum tertentu, melainkan lebih pada fungsi penyelenggaraan pendidikan. BH pada UU ini memiliki tendensi untuk menjadi konsep BH dalam artian bentuk institusi, maka konsekuensinya PTN BH bisa melakukan praktek liberalisasi dan komersialisasi.

Kedua,  gagasan otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi. Dalam UU Dikti, otonomi dijelaskan di pasal 64, yang di dalamnya ada otonomi akademik dan non-akademik. Dalam hal otonomi akademik, hal itu merupakan sebuah keharusan. Bentuk bagaimanapun sebuah perguruan tinggi, di tempat manapun, dan waktu kapanpun, otonomi akademik harus ada, bahkan menjadi syarat bagi perguruan tinggi itu berdiri. Hal yang menjadi masalah adalah otonomi dalam bentuk non akademik, yang disebutkan di pasal 64 ayat 3 yang meliputi pengelolaan organisasi, keuangan, kemahasiswan, ketenagaan, dan sarana prasarana. Otonomi keuangan menjadi awal bagaimana biaya kuliah yang tinggi menjadi memungkin. Padahal dalam amar putusan MK mengenai pembatalan UU BHP menyatakan bahwa, “Kewenangan institusi pendidikan untuk mencari dana secara otonom berpotensi melanggar hak atas pendidikan bagi peserta didik.” Kehadiran otonomi dalam perguruan tinggi pun, dalam artian non akademik, selalu didengung-dengungkan akademisi pro-otonom sebagai syarat terciptanya otonomi akademik. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya. Bahkan, bukan menjadi keharusan. Mengutip kembali amar putusan MK, “Otonomi pengelolaan pendidikan tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat mengagalkannya.” Bila hal itu pernah dinyatakan inskonstitusional, lantas mengapa semangat otonomi masih dibawa? Jawabannya ada di poin ketiga.

Ketiga, besarnya pengaruh institusi kapitalisme global dalam agenda setting pendidikan tinggi. Umar, dalam tulisannya yang berjudul “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme”, mengajukan bahwa setidaknya ada dua hal yang menjadi semangat UU ini, yaitu “globalisasi perguruan tinggi” yang digaungkan WTO dan “reformasi perguruan tinggi” yang diagendakan Bank Dunia.[2] Melalui dua institusi tersebut, kebijakan tentang pendidikan tinggi di Indonesia diarahkan untuk menjadi bagian dari kapitalisme global. Melalui perjanjian GATS tahun 1994, Indonesia diharuskan meliberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya pendidikan. Pendidikan di situ secara khusus adalah pendidikan tinggi.[3] Sedangkan, reformasi perguruan tinggi dari  Bank Dunia diarahkan untuk, pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT, kedua, mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisi ulang peran pemerintah; dan keempat, fokus pada kualitas, performa, dan persamaan. Agenda tersebut ada di beberapa pasal, antara lain, Pasal 48 (Kerjasama penelitian dengan industri dan dunia usaha), pasal 65 (wewenang PTN Badan Hukum untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi), pasal 85 (pembiayaan pendidikan tinggi oleh mahasiswa), pasal 86 (insentif kepada dunia usaha untuk membiayai pendidikan tinggi), pasal 87 (hak mengelola kekayaan negara), pasal 88 (standar satuan biaya operasional pendidikan), pasal 89 (pendanaan PTN Badan Hukum), dan yang paling mencolok, pasal 90 (penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PT negara lain).[4]  

Keempat, UU dikti adalah baju lain dari UU BHP. Substansi UU Pendidikan Tinggi ini sebenarnya memiliki semangat yang sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU BHP), padahal UU ini telah dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010. Alasan dibatalkannya karena berpotensi memberikan diskriminasi atas hak penndidikan. Pasca pembatalan UU BHP tersebut, Bank Dunia, pada tanggal 17 April 2010, mengeluarkan dokumen Indonesia Managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi: “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP.” Dalam dokumen tersebut diperlihatkan, bahwa masalah pendidikan di Indonesia disebabkan oleh publik yang kurang mengeluarkan uang lebih banyak untuk pendidikan tinggi, karena saat ini masyarakat umum menganggap pendidikan hanya sebagai barang tersier/mewah.[5]  

Kelima, UU Dikti menjustifikasi pelepasan tanggung jawab negara pada pendidikan. Dengan skema yang seperti UU BHP, semangat privatisasi memberikan jalan bagi pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya di sektor pendidikan. Dengan otonomi keuangan, perguruan tinggi diharapkan dapat mencari pendanaannya sendiri, yaitu melalui masyarakat, mahasiswa, dan kerja sama industri. Hal ini juga sesuai dengan tujuan dari reformasi perguruan tinggi tadi, yaitu untuk mendefinisikan ulang peran pemerintah. Beberapa pasal dalam UU ini melegitimasi hal tersebut, terutama dalam hal keuangan, seperti pasal 86 tentang pembiayaan dari dunia usaha dan industri melalui fasilitasi dan insentif, pasal 88 mengatur standar satuan biaya operasional yang ditanggung oleh mahasiswa, serta pasal 89 yang menyatakan dengan jelas bahwa pendanaan PTN Badan Hukum adalah subsidi.[6]

Perlunya Kontekstualisasi Lahirnya UU Dikti

Untuk melihat jejak kemunculan peraturan pemerintah yang memberikan ruang privatisasi pendidikan saat ini, kita perlu menggunakan analisa secara struktural dan historis atasnya. Dengan begitu kita bisa melihat bahwa kebijakan seperti itu ditentukan oleh latar belakang material yang jelas dan menyejarah. Pembacaan seperti ini berguna untuk menghindari kerancuan dakwaan moral bahwa kebijakan pendidikan tinggi seperti itu akibat dari, sekedar, “pemerintah yang jahat”.

Pendidikan, dalam hal ini Pendidikan Tinggi, merupakan bagian dari barang publik. Bila dilihat secara konseptual, pendidikan merupakan bagian dari quasi public goods, dimana sebagian besar urusan penyelenggaraannya bertumpu pada pemerintah.[7] Wujud nyata bahwa pendidikan tinggi merupakan bagian dari barang publik adalah tanggung jawab pemerintah dalam menanggung biaya pelayanannya. Dari hal itu maka pemerintah memmiliki peran yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan, walaupun tidak menutup kemungkinan swasta akan ikut berperan dalam penyelenggaraannya. Namun, tetaplah peran pemerintah yang paling besar.

Selain menjadi barang publik, pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya HAM Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dasar bahwa pendidikan menjadi HAM Ekosob adalah Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 12, 16, 42, 48, 54, dan 60 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C dan 28E Bab Hak Asasi Manusia UUD NKRI 1945.[8] Khusus mengenai pendidikan tinggi, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada Pasal 13 ayat (2) huruf c mengatakan sebagai berikut: pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap. Artinya negara-negara menyepakati bahwa pendidikan tinggi ke depannya harus diadakan secara cuma-cuma secara bertahap.

Dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan dari Negara Republik Indonesia berdiri adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Term “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” itu akan mewujud dalam bentuk penyediaan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, bagi warga negara secara adil dan menyeluruh. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan pasal 31 UUD 1945 tentang hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap warga negara. Argumen ini atas bertendensi untuk menyampaikan bahwa pendidikan, dalam hal ini pendidikan tinggi, merupakan (a) barang publik, (b) hak setiap warga negara dan (c) menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.

Namun, beberapa argumen di atas harus dikomparasi dengan kenyataan sekarang, terutama kontekstualisasinya dengan sistem politik-ekonomi yang berlangsung saat ini, yaitu sistem politik-ekonomi neoliberalisme. Argumen di atas dalam konteks politik-ekonomi neoliberalisme berusaha dibalikkan. Dalam paradigma neoliberalisme, peran serta pemerintah/negara haruslah disingkirkan dari hubungan individu dan masyarakat. Bahkan negara menjadi musuh utama dari paham neoliberalisme.[9] Di sisi lain, sistem yang didorong untuk menjadi sarana terwujudnya kesejahteraan adalah pasar bebas. Pasar bebas menjadi mekanisme utama yang akan mengatur bagaimana sumber daya akan terdistribusi secara efisien sehingga diharapkan kesejahteraan akan tercipta dengan sendirinya secara trickling down.

Neoliberalisme meletakan “pasar” dalam posisi yang sangat fundamental. Dia-lah yang segala-galanya. Maka, aturan dasar yang diajukan oleh neoliberalisme adalah 'liberalisasikan perdagangan dan finance’; 'biarkan pasar menentukan harga’, 'akhiri inflasi', 'stabilisasi ekonomi makro', 'privatisasi', 'pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan'.[10] Dalam Washington Consesus terdapat sepuluh “ajaran pokok” yang menjadi doktrin Neoliberalisme di dunia, yaitu disiplin fiskal, peninjauan ulang prioritas pengeluaran pemerintah, reformasi perpajakan, suku bunga pada tingkat moderat yang ditentukan pasar, stabilitas nilai tukar yang kompetitif, mengamankan hak milik, deregulasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi keuangan dan penghapusan hambatan PMA, dan privatisasi BUMN.[11] Lahirnya UU Dikti, atau bentuk privatisasi pendidikan lainnya, mau tidak mau harus kita kontekskan dengan skema di atas. Pendidikan tinggi yang sebelumnya sebagai barang publik (dengan segala asumsi di dalamnya), berusaha digeser menjadi barang privat dalam penyelenggaraannya.

Praktek ini berpangkal dari krisis ekonomi pada tahun 1997. Saat itu IMF menawarkan utang kepada Indonesia. Di dalam penawaran utang tersebut, terdapat beberapa kesepakatan yang harus diterima Indonesia sebagai konsesinya. Konsesi ini dikenal dengan sebutan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP). SAP yang berisikan agenda di atas bemaksud “menyesuaikan” struktur ekonomi Indonesia agar bisa lebih terintegrasi dengan perdagangan internasional, tepatnya dengan kapitalisme internasional. Menggunakan kalimat sederhana, seluruh paket SAP mengarah kepada pengecilan peran negara, sekaligus meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara lebih terfokus sebagai penjamin keamanan, memberlakukan hukum untuk ketertiban, dan hanya dalam keadaan terpaksa memberi bantuan “darurat”.[12]

Selain dari IMF, pada saat bersamaan, Bank Dunia menyetujui pinjaman untuk empat program penyesuaian struktural antara tahun 1998-1999, yaitu Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar 1 miliar dollar Amerika Serikat, Policy Reform Support Loan II (PRSL II) sebesar 500 juta dollar Amerika Serikat, Social Safety Net Adjusment Loan (SSNL) sebesar 600 juta dollar Amerika Serikat, dan Water Resources Sector Adjusment Loan (WATSAL) sebesar 300 juta dollar Amerika Serikat. Baik PRSL dan PRSL II maupun WATSAL merupakan pinjaman program yang bertujuan mendorong pelaksanaan deregulasi, liberalisasi, dan peningkatan peran serta pihak swasta di berbagai sektor ekonomi, keuangan, perbankan, dan infrastruktur, termasuk kelistrikan dan air bersih.[13] 

Agenda SAP yang termanifestasi dalam Letter of Intent (LoI) IMF, World Bank, dan Bank Pembangunan Asia, secara ringkas tergambar dari beberapa hal, diantaranya adalah (a) liberalisasi keuangan; antara lain: kurs bebas, devisa bebas, pengembangan BEJ, (b) liberalisasi perdagangan, (c) meratifikasi keputusan WTO, (d) pengetatan prioritas APBN, termasuk pencabutan subsidi, (e) privatisasi BUMN, (f)  penjualan korporasi domestik kepada modal internasional, (g) perlindungan maksimal bagi hak milik pribadi (swasta), (h) penerapan harga pasar bagi energy, (i) mekanisme harga bagi pasar tenaga kerja, minimalkan perlindungan buruh, (j) Bank Indonesia sepenuhnya mengikuti BasselI dan BasselII dari BIS.[14] LoI IMF itu yang ditanda tangani pemerintah Indonesia selama periode akhir 1997 hingga 2003 berjumlah 24 buah.[15] Kesepakatan di atas secara sistematis membuat Indonesia semakin bergantung pada lembaga keuangan internasional, sekaligus berada dalam jeratan neoliberalisme yang semakin kuat.

Dalam konteks pendidikan di Indonesia, privatisasi pendidikan merupakan bagian dari program pengurangan atau penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di sektor pendidikan dan menyerahkan mekanismenya pada pasar. Mengikuti paham neoliberalisme, pembiayaan di bidang pendidikan tersebut dianggap sesuatu yang tidak efisien untuk anggaran pemerintah. Oleh karena itu harus dikurangi, bahkan kalau bisa dihilangkan. Salah satu cara untuk mengurangi subsidi adalah dengan dijalankannya praktek privatisasi di pendidikan tinggi. Dengan itu, pendidikan tinggi diharapkan dapat mencari sumber pendanaannya sendiri dan tidak bergantung pada pendanaan dari pemerintah. Hal itu juga dikuatkan dengan adanya kesepakatan GATS di tahun 1994, dimana Indonesia berada di dalamnya untuk meliberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya pendidikan. Pendidikan di situ secara khusus adalah pendidikan tinggi.[16]

Menurut Sofian Efendi, alasan pemerintah melakukan kebijakan privatisasi adalah rendahnya angka partisipasi masyarakat terhadap pendidikan tinggi, dan rendahnya mutu pendidikan tinggi itu sendiri.[17] Sedangkan menurut Jony Raimon Purba, terdapat tiga alasan, yaitu keterbatasan anggaran pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan, peranan lembaga internasional lewat kebijakan SAP (Structural Adjusment Programe), dan kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri sebagai akibat arus globalisasi yang menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan sesuai sistem pasar.[18] Alasan tersebut kemudian yang menjadi justifikasi pemerintah untuk memprivatisasi pendidikan tinggi di Indonesia.

Privatisasi pendidikan sendiri, menurut Henry M. Levin, merupakan transfer aktivitas, aset, dan tanggung jawab dari pemerintah/ institusi publik kepada sektor privat/ individual dan agensi-agensi. Dalam hal ini mengubah pengelolaan pendidikan tinggi bukan oleh pemerintah, dengan tujuan untuk profit maupun non-profit. Privatisasi juga sering dikenal sebagai liberalisasi, dimana agen bebas dari regulasi pemerintah dan pasar dapat memberi alternatif pelayanan dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah/ sistem yang dialokasikan negara.[19] Bentuk dari privatisasi pendidikan tinggi itu, menurut Bielfield dan Levin, dilakukan dengan beberapa cara, seperti meningkatnya lembaga pendidikan yang disediakan oleh sektor swasta, pendanaan pendidikan mayoritas dari ditanggung sektor swasta (masyarakat dan sumbangan) dibanding dari pemerintah (APBN), meningkatkan monitor (check and balances) dari masyarakat terhadap lembaga pendidikan dan regulasi pemerintah.[20] Kemudian ditambahkan oleh Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley, privatisasi pendidikan mengambil bentuk, seperti membebani peserta didik tanggung jawab pendanaan pendidikan, dengan bayaran (SPP) dan biaya pendidikan lainnya. Bentuk lainnya ialah komersialisasi, seperti: mendapatkan pendanaan dari kegiatan konsultasi, lisensi, penjualan kekayaan intelektual, mendapatkan keuntungan dari hasil kolaborasi dengan industri, menyewakan aset perguruan tinggi, dan sumber lainnya untuk meningkatkan pendapatan.[21] Dalam melihat praktek privatisasi yang dijalankan di Indonesia, kita akan berpegang ada konsepsi tersebut.

Sebagai bagian dari kerja neoliberalisme, praktek privatisasi pendidikan tinggi dilakukan melalui kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia itu sendiri. Praktek privatisasi tersebut dijalankan dengan pembuatan rangkaian peraturan yang secara prinsip berupaya menarik peran pemerintah dari penyelenggaraan pendidikan tinggi. Rangkaian peraturan tersebut dapat dirunut dari uraian di bawah ini:

a.   Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 1999
PP ini secara umum menjelaskan tentang pendidikan tinggi secara mendetail. Hal yang menjadi poin khusus adalah pasal 114 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Pembiayaan perguruan tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat, dan pihak luar negeri. Terkait dengan dana dari masyarakat, maka yang berasal dari sumber-sumber sebagai berikut: (1) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); (2). biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi; (3). hasil kontrak kerja yang sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; (4). hasil penjualan produk yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; (5). sumbangan dan hibah dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-pemerintah; dan (6). penerimaan dari masyarakat lainnya.”[22]

b.   Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 1999
PP ini mengatur tentang perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan PP ini, memungkinkan sebuah Universitas dapat berubah menjadi badan hukum. Kelanjutan dari PP ini adalah berubahnya beberapa Universitas negeri menjadi PT BHMN, antara lain UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair. Dalam PP ini diatur beberapa poin penting tentang pemisahan kekayaan Universitas dan negara, sumber pendanaan PT BHMN: pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri, usaha, dan tabungan universitas, struktur organisasi, mekanisme check and balances, dan ketenagakerjaan.[23]

c.   Keputusan Dirjen Dikti Kemendiknas No. 28/DIKTI/Kep/2002
Kepmen ini berisi tentang Penyelenggaraan Program Reguler dan Non Reguler di Perguruan Tinggi Negeri. Terbatasnya dana untuk pendidikan tinggi menjadi alasannya mengapa harus dibuka program non-reguler. Dengan biaya yang lebih tinggi (karena tak mendapat subsidi), program non-reguler ini diharapkan dapat memberikan bantuan pemasukan bagi PTN.[24]

d.   Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
UU ini merupakan peraturan yang menjadi platform bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pasca adanya UU ini, semua jenjang pendidikan harus mengacu padanya. Dalam Uini, perguruan tinggi harus menyelenggarakan tridharma pendidikan tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian. Terkait pendanaan pedidikan tinggi, masyarakat diwajibkan memberikan dukungan sumberdaya di pendidikan tinggi (pasal 9), peserta didik diwajibkan menanggung biaya pendidikan (pasal 12), UU ini juga memperbolehkan perguruan tinggi untuk mencari pendanaannya sendiri dari masyarakat (pasal 24), kemudian juga mengatur bahwa pendanaan pedidikan tinggi ditanggung bersama antara pemerintah, pemda, dan masyarakat, tetapi tidak diatur detailnya (pasal 46). Kemudian terdapat beberapa poin penting lagi, yaitu tentang pengalokasiaan dana pendidikan (pasal 49), kemandirian pengelolaan (pasal 50), Badan Hukum Pendidikan (BHP) (pasal 53), diperbolehkannya lembaga pendidikan asing di Indonesia (pasal 64 dan 65).[25]

e.   Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 2005
Peraturan ini berisi tentang pola keuangan BLU (Badan Layanan Umum) untuk PTN. Dengan peraturan ini, PTN berprinsip diperbolehkan mencari sumber dananya sendiri dan diberikan keleluasaan untuk menerapkan prinsip bisnis dalam pelayanan pada masyarakat sehingga pendidikan tinggi dimaksudkan sebagai komoditas jasa yang diperjual belikan tanpa profit. Beberaapa Unversitas yang menjadi BLU adalah UNPAD, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Hasanudin, Universitas 11 Maret, UIN Sunan Gunung Jati, UIN Kalijaga, UIN Alaudin, dan UIN Jakarta.[26]

f.    Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005
Peraturan ini mengatur tentang subsidi silang biaya operasi perguruan tinggi. Alasan dari peraturan ini adalah ketidakmampuan pemerintah dalam meyelenggarakan pendidikan tinggi secara penuh. Oleh karena itu praktekk subsidi silang antara peserta didik yang mampu dan tidak mampu dilakukan.  Dengan subsidi silang ini diharapkan pendanaan dari masyarakat dapat bertambah.[27]

g.   Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008
Peraturan ini menjelaskan tentang pendanaan pendidikan tinggi secara lebih detail, terutama mengenai tanggung jawab pemerintah, pemda, dan masyarakat. Masyarakat tersebut adalah (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, (b) peserta didik (oraangtua atau wali), (c) dan siapapun yang mempunyai perhatian dan peranan dalam bidang pendidikan. Dengan peraturan ini menegaskan jika masyarakat menjadi salah satu penangung jawab pendidikan tinggi di Indonesia.[28]

h.   UU No. 9 Tahun 2009
Peraturan ini membahas tentang konsep badan hukum pendidikan di Indonesia. Namun kemudian UU ini dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009 karena dianggap menjadi jalan komersialisasi pendidikan tinggi di Indonesia. Secara garis besar, UU ini mengamatkan agar satuan pendidikan di Indonesia berbentuk badan hukum sehingga pendanaannya menjadi tanggung jawab satuan pendidikan itu sendiri. Terdapat mekanisme pelepasan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena itu, MK kemudian membatalkan UU ini secara keseluruhan.[29]

i.    Undang-Undang No. 12 tahun 2012
UU ini baru disahkan pada 13 Juli 2012 kemarin. Namun, UU ini telah menimbulkan kontroversi di masyarakat karena dianggap sebagai bangkitnya Badan Hukum Pendidikan gaya baru. Argumentasi untuk UU ini telah dijelaskan di atas. 

Posisi Pendidikan dalam Kapitalisme

Dari pengalaman empiris di atas, privatisasi pendidikan digunakan untuk semakin meleburkan pendidikan tinggi lebih “masuk” pada kapitalisme global. Maka akan timbul pertanyaan, Bagaimana sebenarnya posisi pendidikan dalam skema kapitalisme sehingga ia memandangnya sangat penting untuk di’ekspansi’? Sesi ini kita akan diskusikan hal tersebut.

Dalam sistem Kapitalisme, terdapat ciri antropologis yang kentara atasnya yaitu rasionalitas dan kontinuitas. Dengan ciri tersebut, terdapat suatu skema yang harus selalu dibangun olehnya untuk mempertahankan eksistensinya, yaitu reproduksi. Reproduksi di sini diartikan secara spesifik sebagai reproduksi kondisi produksi. Kondisi produksi ini diasumsikan bahwa di setiap tatanan sosial memiliki modus produksi yang dominan. Reproduksi ini bertujuan untuk mempertahankan kondisi produksi yang telah mengada, di dalam dan di bawah relasi produksi yang definitif tersebut. Menurut Althusser, terdapat dua hal yang harus selalu direproduksi kapitalisme, yaitu kekuatan produktif dan hubungan produksi yang telah ada.[30]

Dalam kapitalisme, kekuatan produksi terletak pada alat produksi dan sumber daya manusia. Reproduksi pada kekuatan produksi meliputi reproduksi pada dua hal tersebut. Karena berhubungan dengan pendidikan, kita akan langsung fokus pada reproduksi sumber daya manusia. Pendidikan dalam hal ini, merupakan bagian dari reproduksi sumber daya manusia.

Reproduksi material dari sumber daya manusia diperoleh pekerja melalui upah yang diterimanya. Namun, kondisi tersebut belum cukup untuk menjamin reproduksi di bidang sumber daya manusia.  Dalam perkembangan selanjutnya, kapitalisme memiliki kebutuhan untuk menjadikan pekerja berkompeten. Kompeten di sini maksudnya bahwa pekerja harus cocok ditempatkan dalam suatu pembagian kerja yang kompleks. Dengan begitu, terdapat tuntutan bahwa setiap pekerja harus memiliki keahlian tertentu dan jumlahnya yang terdeferensiasi. Berhadapan dengan itu, maka pekerja harus dibentuk dan direproduksi dengan cara yang seperti itu.

Sistem dan institusi pendidikan (kapitalis) di sini berperan dalam membentuk dan menjalankan reproduksi keahlian pekerja tersebut, yang tidak dapat dijalankan oleh sistem internal produksi sendiri. Dalam pendidikan, setiap manusia diajarkan cara membaca, menulis, dan berhitung. Keahlian dasar ini merupakan bentuk manifestasi hasil pendidikan yang dapat digunakan dalam pelbagai jenis pekerjaan dan pembagiannya. Dengan begitu, ajaran utama dari sistem pendidikan kapitalis adalah pembelajaran tentang “know-how’ (tahu-teknik).

Tetapi selain mempelajari tentang pengetahuan dan teknik, pelajar di institusi pendidikan diajarkan tentang aturan tingkah laku yang baik, yang tak lain merupakan norma dan tata aturan yang diciptakan untuk mengatur kehidupan mereka dalam ranah yang telah ditentukan oleh penguasa/kapitalis. Maka, sebenarnya, dalam sekolah setiap orang diajarkan untuk selalu patuh pada tatanan yang dibangun penguasa/kapitalis. Kesimpulan dari ini, seperti yang dijelaskan Althhusser, bahwa “Reproduksi tenaga kerja membutuhkan tidak saja reproduksi keahlian mereka, tetapi pada saat yang sama, merupakan reproduksi ketundukan sumber daya manusia kepada aturan yang sudah mapan.”[31] Dengan begitu, reproduksi sumber daya manusia yang dijalankan institusi pendidikan, memberikan dua hal yaitu reproduksi keahlian dan reproduksi ketundukan pada ideologi penguasa/kapitalis.  Hal ini dapat dilihat pada reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang beroperasi pada pekerja, karena jelas reproduksi keahlian hanya dapat terjaadi dalam bentuk dan dibawah ketundukan pada ideologi yang sedang berjalan.

Berkaitan dengan ketundukan ideologis, institusi pendidikan berperan besar dalam menjalankan proses ideologisasi ini. Dalam bahasa Althusser institusi pendidikan ditempatkan sebagai ISA (Ideological State Aparatus) paling dominan dalam relasi produksi kapitalisme.[32] Aparatus jenis ini merupakan alat dari negara untuk melakukan secara massif proses yang menonjolkan ideologi, termasuk di dalamnya pembentukan dan penjagaannya. Hal ini sangat penting karena tak ada kelas atau penguasa yang dapat berkuasa lama, tanpa memegang kendali dan menjalankan hagemoni di sekeliling aparatus ideologis. ISA digunakan kelas yang berkuasa untuk menjaga hagemoni ideologi tersebut.

Apa siginifikansi penjagaan hagemoni ideologi ini? Bagi kapitalisme, ini adalah bagian dari reproduksi relasi produksi yang telah berjalan. Dengan adanya ISA, proses kesadaran mengenai relasi produksi yang eksploitatif ditempatkan dalam konteks yang biasa-biasa saja, dengan demikian, gejolak perlawanan dijauhkan dari pekerja dan relasi produksi dapat berjalan secara kontinyu. Dengan ISA, proses pendispilinan tubuh juga dijalankan dengan mengikuti pola kerja yang ada dalam kehidupan kapitalisme. Dalam dunia sekarang, adakah sebuah institusi aparatus negara ideologis yang dapat memaksa peserta di dalamnya terlibat dalam aktivitas selama, minimal, delapan jam selama enam hari, kecuali sekolah? Pendisiplinan ini dibentuk dalam kerangka menyiapkan diri-diri manusia dalam memasuki dunia kerja berikutnya.

Melihat paparan, yang sebagian besar diambil dari pemikiran Althusser, di atas kita bisa tempatkan bahwa sistem dan institusi pendidikan memiliki peran yang strategis di tubuh kapitalisme. Pertama sebagai bagian dari skema reproduksi alat produski, dimana dalam hal ini menempati sebagai reproduksi sumber daya manusia, dan Kedua, berperan sebagi penjalan utama dari reproduksi relasi hubungan produksi dengan menjadi ISA.

Terkait dengan itu dalam konteks dunia pendidikan kita, pendidikan tinggi merupakan sebuah reproduksi tenaga kerja terdidik yang ditujukan untuk diupah murah. Mengapa murah? Jumlah persaingan yang ketat diantara pencari pekerja menjadi jawabannya. Saat suplai melimpah, nilai tenaga kerja semakin turun. Menjadi terdidik, menjadikan setiap pekerja meiliki kompetensi yang bisa ditempatkan di posisi tertentu dalam pembagian kerja yang kompleks.

Di samping itu, dengan sistem sekarang yang menjadikan pendidikan tinggi sangat mahal, proses reproduksi ketundukan sangat ditekankan. Karena alasan kuliah mahal, bentuk berpikir kritis di perguruan tinggi menjadi nomor sekian. Yang utama dan paling penting bagi mahasiswa adalah ijazah yang kemudian dapat digunakan untuk mencari kerja. Proses akademik yang menngutamakan nalar berpikir semakin dikurangi secara sttruktural. Ini akan mereproduksi tenaga kerja yang tunduk dan patuh tanpa ada budaya kritis.

Selain sebagai moda reproduksi alat produksi, institusi pendidikan menjadi salah satu alat legitimasi utama dari sistem kapitalisme saat ini. Dengan diskursus akademik yang ada, kampus-kampus tertentu di Indonesia menjadi rumah produksi pemikir-pemikir yang menjejalkan pemikiran yang mendukung berlakunya sistem kapitalisme itu sendiri. Bahkan, kampus juga menjadi basis utama para pendukung UU Dikti yang merupakan bagian dari privatisasi pendidikan tinggi. Dengan demikian, sebagai ISA yang bertugas menjaga hagemoni pemikiran, institusi pendidikan menjadi sangat relevan saat ini.

Penutup

Pengalaman adanya privatisasi pendidikan tinggi sebenarnya bukanlah hal yang pertama kita alami. Sejak 2000 hal itu telah ada, dan perjuangan melawan itu membawa hasil yang posistif dengan dibatalkannya UU BHP pada 2010. Dalam hal ini, sebenarnya peluang melawan kebijakan ini masih sangat terbuka. Saat ini proses Judicial Review sedang berjalan di MK. Maka menjadi kebutuhan bagi kita untuk memperbesar gerakan untuk melawan itu dan memenangkan pertarungan ini.

Pengalaman ini pun juga bukan milik kita sepenuhnya. Berbagai tempat di belahan dunia juga mengalami hal demikian. Privatisasi pendidikan dengan tendensi utama menjadikan pendidikan semakin terintegrasi dengan kapitalisme global merupakan musuh bagi pendidikan yang berpihak pada rakyat secara luas. Kita lihat kawan-kawan kita di Chile, Montreal, hingga London juga mengalaminya. Mereka bisa melawan dan memenangkan pertarungan saat mahasiswa bergabung dengan gerakan rakyat lainnya. Karena bagaimanapun, isu pendidikan tidak hanya milik mahasiswa, tetapi milik publik secara luas. Oleh karena itu, mari bersatu pada kekuatan rakyat untuk memenangkan ini. Tak segan-segannya saya ulangi lagi seruan ini:
Buruh (dan calon buruh) di seluruh dunia, Bersatulah!!!

Daftar Pustaka         

Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies.
Yogyakarta: Jalasutra. 2008.
Effendi, Sofian. GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Makalah tidak diterbitkan. Makalah
pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005
Fakih, Mansour. Neoliberalisme dan Globalisasi. Jurnal Al Manar. Edisi 1. Januari, 2004.
Nugroho, Galih Ramadian. Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode Tahun
2000-2012(Studi Komparasi Indonesia dan India). Skripsi sarjana. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. 2012.
Risky, Awalil dan Nasyid Majidi. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta: E-
Publishing. 2008.
Purba, Jony Raimon. Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi Kasus: Penerapan
Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 2008.
Priyono, B. Herry. “Sesat Neoliberalisme”, diunduh dari
http://indoprogress.com/sesat-neoliberalisme/ diakses pada 20 Mei 2013 pukul 20.13 WIB
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme” diunduh
dari http://indoprogress.com/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/ diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 13.05 WIB
“Batalkan UU Pendidikan Tinggi: Pernyataan Sikap Partai Rakyat Pekerja” diunduh dari
http://www.prp-indonesia.org/2013/batalkan-uu-pendidikan-tinggi diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB
“Pendidikan Tinggi Di Tengah Privatisasi dan Cengkeraman Pemerintah” diunduh dari




[1] Tulisan ini disampaikan pada diskusi rutin Pimpinan Pusat Kolektif-Nasional PEMBEBASAN (Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional) Jakarta, 4 Oktober 2013.
[2] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme” diunduh dari http://indoprogress.com/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/ diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 13.05 WIB
[3] Sofian Effendi, “GATS dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, makalah tidak diterbitkan. Makalah pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005, hlm. 2
[4]Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, op.cit.
[5] “Batalkan UU Pendidikan Tinggi: Pernyataan Sikap Partai Rakyat Pekerja” diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2013/batalkan-uu-pendidikan-tinggi diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB
[6] Ahmad Rizky Mardhatillah Umar, op.cit.
[7] Mohamad Mahsun, “Pengukuran Kinerja Sektor Publik”, (Jogjakarta: BPFEUI UGM, 2006) hlm. 10
[8] “Pendidikan Tinggi Di Tengah Privatisasi dan Cengkeraman Pemerintah” diunduh dari http://www.elsam.or.id/?id=2016&lang=in&act=view&cat=c/12 diakses pada 19 Mei 2013 14.35 WIB.
[9] B. Herry Priyono, “Sesat Neoliberalisme”, diunduh dari http://indoprogress.com/sesat-neoliberalisme/ diakses pada 20 Mei 2013 pukul 20.13 WIB
[10] Mansour Fakih, “Neoliberalisme dan Globalisasi”, Jurnal Al Manar, Edisi 1, (Januari, 2004) hlm. 4
[11] Awalil Risky dan Nasyid Majidi, “Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia”, (Jakarta: E-Publishing, 2008) hlm. 240
[12] Ibid. hlm  282-284
[13] Jony Raimon Purba, “Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi Kasus: Penerapan Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di Indonesia”  (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2008)
[14] Awalil, op.cit. hlm. 285
[15] Ibid. hlm  282
[16] Sofian Effendi, op.cit hlm. 2
[17] Ibid . hlm. 10
[18] Jony, op.cit.
[19] Henry M. Levin dalam Galih Ramadian Nugoroho, Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode Tahun 2000-2012(Studi Komparasi Indonesia dan India). (Skripsi sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012), hlm. 18
[20] Clive R Belfield & Henry M. Levin, dalam Galih, ibid. hlm. 18
[21] Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley dalam Galih, ibid. hlm 19
[22] Galih Ramadian Nugroho, ibid. hlm. 59
[23] Ibid. hlm 60-63
[24] Ibid. hlm 64
[25] Ibid. hlm 64-66
[26] Ibid. hlm. 66
[27] Ibid. hlm. 67-68
[28] Ibid. hlm. 68
[29] Joni Roiman, op.cit, hlm.
[30] Louis Althusser, “Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies”, (Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 4
[31] Ibid. hlm. 9
[32] Ibid. hlm. 20

1 komentar: