Rabu, 23 Oktober 2013

Sesat Pikir Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi: Konteks Universitas Indonesia

Oleh: Alldo Fellix Januardy
Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa

Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman terkait otonomi pendidikan tinggi dan juga merespon gagasan yang termuat dalam tulisan dari tautan ini: http://kapitanindonesia.blogspot.com/2013/09/universitas-indonesia-pengelolaan-atas.html. Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mengatasnamakan institusi apapun. Penulis menerima masukan, saran dan diskusi yang dapat diletakkan dalam bagian ‘komentar’ tulisan ini atau via twitter @alldofj. Penulis juga menjunjung tinggi otonomi akademik dan kebebasan mimbar akademik.

Demi Veritas, Probitas, Justitia.


Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi: Otonomi Yang Dipaksakan

Melalui UU Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia bergabung menjadi anggota World Trade Organization dengan meratifikasi WTO Agreement.Partisipasi Indonesia dalam organisasi internasional – yang sering menuai kritik justru merugikan posisi Negara-negara dunia ketiga untuk bersaing dalam perdagangan global – ini, juga melahirkan perjanjian-perjanjian lain. Salah satunya adalah General Agreement On Trade in Services(GATS).

Dengan meratifikasi GATS, maka Indonesia menyepakati untuk mengadakan liberalisasi terhadap 12 sektor jasa yang salah satunya adalah sektor jasa pendidikan.

Menyambut hal tersebut, dimulailah perdebatan mengenai otonomi pengelolaan pendidikan tinggi sejak tahun 1999. Pada tahun tersebut, terbit PP Nomor 61 Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang merupakan langkah awal untuk meliberalisasi sektor jasa pendidikan, dimulai dari pendidikan tinggi. Universitas Indonesia juga berubah menjadi BHMN pada tahun 2000 melalui PP Nomor 152 Tahun 2000. Peristiwa ini banyak membuat ahli hukum “geleng-geleng kepala”, bagaimana tidak, kedua PP tersebut menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai sumber hukum untuk peraturan teknis terkait. Padahal, dalam KUHPer tidak dikenal konsep BHMN.

Kelompok pro-otonomi kemudian memperjuangkan pembentukan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang meliberalisasi seluruh institusi pendidikan Negeri mulai dari level sekolah dasar hingga level pendidikan tinggi. Menangkap potensi komersialisasi, palu Mahkamah Konstitusi pada tahun 2009 menegakkan kebenaran dengan membatalkan UU tersebut yang dalam salah satu dalil putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 menyatakan: “Dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik yaitu dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta didik.”

Meski telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, konsepsi otonomi pendidikan tinggi tetap mengundang perdebatan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan aktivis mahasiswa yang pada masa tersebut yang meyakini bahwa konsep otonomi pengelolaan akan berimplikasi buruk terhadap aksesibilitas pendidikan, biaya pendidikan akan naik secara drastis akibat universitas dikelola dengan metode yang mendekati swasta, Majelis Wali Amanat bertindak layaknya dewan komisaris dan Rektor layaknya direktur eksekutif dalam sebuah perusahaan. Logika ini didapatkan karena universitas yang tadinya tidak memiliki wewenang pengelolaan di bidang ketenagaan, sarana prasarana dan keuangan, dilimpahkan begitu saja secara bebas kepada universitas.

Kemudian, setelah mengalami kegagalan dengan idenya yang ternyata tidak konstitusional, kelompok pro-otonomi mencari dalil lain untuk tetap melanggengkan ide tersebut, yaitu dengan mencampuradukkan otonomi akademik dengan otonomi pengelolaan tanpa menengok situasi politik dari masa ke masa.

Mencampuradukkan Situasi Politik dengan Otonomi Akademik

Kelompok pro-otonomi Pendidikan Tinggi sering mencampuradukkan situasi politik Indonesia sebelum tahun 1999 ketika Universitas Indonesia masih berbentuk Unit Pelaksana Teknis Satuan Kerja Perguruan Tinggi Negeri (UPT Satker-PTN) sebagai sebab musabab tidak berjalannya otonomi akademik.

“Seminar dihalang-halangi, diskusi dipersulit dan riset tak diberi dana”adalah alasan yang sering dilontarkan kelompok pro-otonomi sebagai landasan yang memperkuat bahwa otonomi pengelolaan harus diberikan kepada universitas. Mungkin mereka “gegar otak” dan lupa ingatan dengan kondisi yang terjadi dengan Indonesia sebelum tahun 1999, rezim Orde Baru berkuasa. Rezim Orde Baru adalah rezim yang dikenal tidak segan untuk “menghilangkan” oposisi politiknya, apalagi sekadar menghalangi hal-hal sesepele diskusi akademik agar tak timbul diskursus apapun tentang kebijakan pemerintah pada masa itu.

Pada faktanya, semenjak menjadi universitas yang otonom sejak tahun 2000, saat ini pada tahun 2013, ketika Universitas Indonesia sudah berusia 12 tahun menjalankan bentuk otonomi (kecuali pada tahun 2010 karena berlakunya PP Nomor 66 Tahun 2010), permasalahan dan keluhan-keluhan yang dibahas dalam rapat-rapat paripurna Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia masih sama persis dengan permasalahan-permasalahan yang dihadapi ketika UI masih berbentuk UPT Satker-PTN sebelum tahun 1999.

“Seminar dihalang-halangi, diskusi dipersulit dan riset tak diberi dana”,alasan-alasan ini masih saja dikemukakan setelah 12 tahun otonomi Universitas Indonesia berjalan. Pertanyaannya, jika setelah 12 tahun diberikan otonomi pengelolaan dan UI masih menghadapi permasalahan yang sama dengan sebelum diberikan otonomi pengelolaan, kesalahannya ada pada siapa lagi? Inilah salah kaprah terbesar terkait otonomi pengelolaan dan implikasinya terhadap otonomi akademik. UI melemparkan ketidakprofesionalannya mengelola birokrasi universitas kepada bentuk hukum yang dinilai kurang fleksibel. Padahal setelah diberikan bentuk hukum sesuai keinginanya selama 12 tahun, tetap saja UI tidak perform dalam masalah pencairan dana. 

Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan sebenarnya dimana letak permasalahan otonomi akademik tidak berlangsung selama 15 tahun setelah reformasi, meski universitas telah diberikan bentuk yang otonom? Betul, jawabannya adalah kegagalan pemerintah dan universitas mengelola birokrasinya; dan bukan pada soal-soal otonomi. Jika ada pihak-pihak yang masih mempermasalahkan soal kerumitan birokrasi akibat tidak diberikannya otonomi pengelolaan, pendapat tersebut tidak lagi valid.

Setelah mendapatkan penyebab otonomi akademik terhalang dan ternyata bukan karena otonomi pengelolaan, kita harus kritisi dan pertanyakan lebih dalam mengapa mereka tetap begitu bersemangat memperjuangkan otonomi pengelolaan UI? Mungkin semata-mata kekuasaan.

(Lagi) Sesat Pikir Standar Pengelolaan: Akibat Tidak Paham Regulasi

Penulis dalam tautan http://kapitanindonesia.blogspot.com/2013/09/universitas-indonesia-pengelolaan-atas.html menyatakan: “Pendanaan yang berasal dari ventura atau usaha itu tidak mungkin mencapai hingga 1/3 dari total pendapatan bersih universitas. Hal ini dikarenakan perguruan tinggi negeri adalah institusi pendidikan, bukan institusi bisnis layaknya perseroan terbatas. Fungsi utama institusi pendidikan adalah memberikan jasa pelayanan pendidikan, bukan mencari pendanaan lewat berbisnis sebesar-besarnya” dan “jangan menetapkan standar “sama rata sama rasa” terhadap semua akun yang ada dalam pendapatan UI.” Dalam hal ini saya seratus persen sepakat dengan pernyataan penulis tersebut.

Sayangnya, UU Pendidikan Tinggi justru bersikap kontra dengan logika kami berdua karena yang dijamin dalam UU Pendidikan Tinggi melalui pasal 89 ayat (6) hanyalah dana wajib alokasi penelitian sebesar 30% dari total dana yang diberikan oleh APBN/APBD. UU Pendidikan Tinggi tidak memberikan gambaran tentang berapa kontribusi Negara terhadap pengelolaan universitas. Maka, saya mencoba untuk mengikuti tren hibah APBN sejak 2008 hingga 2012 kepada UI, dan akan didapatkan angka rata-rata hanya sejumlah 22-23%, artinya, penulis dalam tautan diatas dan saya akan sama-sama merasa sedih dan kelimpungan bagaimana UI harus mengelola dirinya karena ternyata beban yang harus ditanggung oleh pendanaan internal UI bukan hanya 66%, tetapi 77-78%.

Darimana sumber dana ini berasal? Karena penulis dalam tautan di atas dan saya memiliki logika yang sama bahwa universitas bukanlah perseroan sehingga membebankan 33% kepada sumber ventura adalah hal yang memberatkan, maka kontribusi ventura terhadap beban pendanaan internal UI akan dipastikan lebih rendah dari angka tersebut. Saya mencoba membuka kembali tren sumber pendapatan ventura UI sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 dan akan didapatkan rata-rata potensi kontribusi ventura sebesar 22%.

Sekarang, kita kembalikan cara menghitungnya pada logika penulis pada tautan di atas, jika sumbangsih APBN/APBD adalah sebesar 22%, sumbangsih ventura sebesar 22%, kemana sisanya harus dibebankan? Jika kita hanya menggunakan pola pikir ekonomis, maka satu-satunya sumber dana yang tersisa adalah mahasiswa, yaitu sebesar 56%. Kebutuhan anggaran UI pada tahun 2013 adalah 1,4 Triliun Rupiah dengan potensi penambahan biaya pengelolaan sebesar 300 Milyar Rupiah per tahun. Maka, pada tahun 2014, UI akan membutuhkan dana pada kisaran 1,7 Triliun. Berapa yang harus kita, sebagai mahasiswa, bayarkan? Hitung saja 56% dikalikan dengan 1,7 Triliun.

Ini menjelaskan gejala mengapa tak heran jika dari tahun ke tahun kuota kelas dan biaya pendidikan dari kelas khusus internasional dan kelas paralel mengalami kenaikan yang signifikan. Juga tidak menutup kemungkinan jika mahasiswa dari program regular kehilangan daya kritisnya, kita akan menjadi sasaran komersialisasi dan kapitalisasi yang sama.

Kembali Melihat Dari Dua Sisi: “Kuliah Bagus Memang Harus Mahal”

Saya juga sepakat dengan pendapat penulis dari tautan di atas yang menyatakan bahwa melihat laporan keuangan sebuah institusi jangan dari sisi kreditnya saja, karena dari pengeluaran juga terdapat hak untuk kita sebagai penikmat fasilitas. Namun, untuk membantah logika ini rasanya tidak diperlukan survei khusus atas pertanyaan,”seberapa leletkah internet di fakultasmu?” atau,”apakah kamu mendapatkan ruang parkir mobil yang memadai di fakultasmu?” atau.”dengan jumlah BOP-B yang kamu bayar dan jumlah SUC yang selalu diberikan DIrektur Kemahasiswaan UI setiap tahun, sesuai atau tidak dengan buruknya fasiltas yang kamu terima?”

Orang dengan logika ekonomis akan menjawab bahwa itu adalah persoalan manajemen, tinggal tambah saja internetnya dan perluas lahan parkir atau bangun gedung baru. Pertanyaannya, darimana uang tersebut berasal jika kita sudah memahami logika anggaran pada bagian sebelumnya? Dari mahasiswa. Selamat menaikkan uang kuliah kita.

Pertanyaan berikutnya juga timbul, benarkah untuk memperbaiki serangkaian permasalahan di atas memerlukan otonomi pengelolaan? Jawabannya tidak. Permasalahan seperti pada paragraf sebelumnya dapat selesai hanya dengan melakukan konsolidasi anggaran berdasarkan instruksi Rektor UI atau Dekan Fakultas di UI.

Mari kita renungkan juga kondisi pengelolaan faktual Universitas Indonesia setelah 12 tahun melangsungkan otonomi. Caranya sederhana, cukup lihat saja kondisi kamar mandinya. Kondisi banyak kamar mandi UI tak ubahnya kondisi kamar mandi taman ria yang hampir pailit: air mati, kaca pecah, banyak kloset rusak, tidak terawat, kotor dan jarang dikontrol kebersihannya.

Benarkah untuk memperbaiki kondisi kamar mandi yang demikian memerlukan otonomi? Tidak, kecuali jika kita ingin memasang karpet sutra dan pendingin ruangan hanya untuk kamar mandi. Kesalahan ada pada pengelola administratif, terutama bagian umum dari masing-masing unit/dekanat fakultas. Jika mengurus hal sesederhana menyediakan toilet umum yang manusiawi saja tidak dapat UI lakukan dengan baik, bagaimana UI mau menjalankan otonomi pengelolaan? Kemudian mari kita renungkan, benarkah kita perlu otonomi pengelolaan untuk memperbaiki hal-hal yang sesederhana itu? Jawabannya adalah tidak. Semua kekurangan yang terjadi penyebabnya karena banyak unit di UI yang belum menjalankan tugasnya dengan baik dan detil. Lagi dan lagi, semua permasalahan di atas dapat selesai hanya dengan insiatif instruksi pejabat setingkat Rektor UI dan Dekan Fakultas.

Kelompok pro-otonomi, terutama dari fakultas-fakultas, akan mempersalahkan sentralisasi keuangan selama periode kepemimpinan Rektor UI 2007 – 2012 sebagai akibat fakultas tidak dapat menjalankan kinerjanya dengan optimal. Padahal, kebijakan sentralisasi keuangan dapat diimplementasikan UI akibat wewenang yang diberikan oleh otonomi pengelolaan universitas. Adalah sebuah logical fallacy  jika menuding kebijakan internal keuangan yang dirasa tak sesuai dengan idealisme kerja sebuah unit (dan malah lahir dari bentuk otonomi universitas), lalu tetap mati-matian mendukung otonomi, bukannya mendukung revisi kebijakan pengelolaan keuangan internal yang dapat diselesaikan hanya dengan level SK Rektor UI.  Maka, kelompok pro-otonomi salah “sasaran tembak”, terlalu jauh dan terlalu naif.

Setelah membedah permasalahan pengelolaan dan keuangan, ternyata ditemukan fakta bahwa ini bukan lagi soal otonomi pengelolaan. Lalu, jika permasalahan tersebut ternyata adalah kesalahan eksekutor dan bukan kesalahan otonomi atau bukan otonomi, mengapa kelompok pro-otonomi masih begitu menggebu-gebu ingin mengimplementasikan otonomi pengelolaan universitas?

Sesat Pikir BOP-B

Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM UI 2012 pernah membuat kajian tentang evaluasi pelaksanaan BOP-B yang pada kesimpulannya menyatakan bahwa memang pelaksanaan teknis BOP-B masih carut marut, masih banyak mahasiswa yang membayar tidak sesuai dengan kemampuannya dan masih banyak mahasiswa yang drop outkarena tidak mampu membayar biaya pendidikannya pada tingkat tertentu, baik mahasiswa baru ataupun mahasiswa lama.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Jika kita menggunakan logika anggaran sebagaimana telah dikupas pada bagian sebelumnya, maka Universitas Indonesia yang urung memiliki kapasitas fundraising karena bentuknya bukanlah persero harus memiliki target pendapatan dari sumber dana terakhirnya, yaitu mahasiswa. Sebelum angka BOP-B ditetapkan, UI bahkan sudah memasang target tentang berapa pemasukan yang harus UI terima dari mahasiswa dan beban angka tersebut berpotensi menjadi 56% dari 1,7 Triliun pada tahun 2014. Sialnya jika UI bertahan terus menggunakan logika mengekspektasikan pendapatan utama dari mahasiswa UI, maka BOP-B bukanlah sebuah mekanisme yang murni berkeadilan, tetapi hanya formalitas dan undian lotere bagi mahasiswa yang kebetulan beruntung mendapatkan angka yang sesuai dengan kemampuannya.

Sesat Pikir Beasiswa

Kelompok pro-otonomi akan menyatakan bahwa dengan segala kemahalan biaya pendidikan, UI masih memiliki program beasiswa bagi mahasiswa yang tidak mampu. Kita harus kritik mindset yang memperlakukan beasiswa layaknya “duit sumbangan” untuk menutupi “apa yang kurang”. Mengapa? Beasiswa lebih dari sekadar itu, beasiswa adalah bentuk apresiasi terhadap mahasiswa yang di tengah kesulitannya masih berupaya untuk mendapatkan prestasi akademik yang baik. Maka, jangan buat seolah beasiswa adalah “jalan terakhir” untuk membuat mereka yang tak puas angka BOP-Bnya tetap bisa berkuliah disini. Beasiswa bukan jaminan sosial untuk hak dasar, tetapi dana apresiasi.

Logika “Take it or leave it”

Beberapa waktu lalu ketika sedang ramai terjadi America Shutdown, saya sempat menonton siaran Voice of America . Ada wartawan yang mengadakan wawancara dengan beberapa warga Amerika terkait implementasi dari Obama Care, program kerja pemerintahan Obama yang mengadopsi gaya Negara Sosialis dalam memberikan hak dasar kesehatan bagi seluruh rakyat Amerika tanpa terkecuali, kaya-miskin ataupun bekerja-tidak bekerja.

Betapa terkejutnya saya dengan pernyataan-pernyataan responden yang kontra dari Negara yang menganut ideologi liberal tersebut. Mereka menyatakan,”proker aneh. Ngapain orang miskin yang malas kok dibantu”; “saya bekerja dan saya tak rela nafkah saya untuk membiayai orang lain yang bahkan saya tak kenal”; “saya tak bisa menangkap logika Obama Care. Lebih baik investasikan uang tersebut ke infrastruktur daripada SDM yang tak produktif”.

Logika “take it or leave it” dan logika “every man for himself” adalah logika liberal. Sayangnya, banyak liberalis yang tak mau ditunjuk hidungnya sebagai seorang liberal seolah-olah itu adalah istilah yang tidak netral, terutama jika berkaitan dengan hak dasar.

Menyatakan “take it or leave it” dalam konteks hak pendidikan yang dijamin oleh konstitusi sama dengan menyatakan kepada calon mahasiswa baru,”UI itu bagus dan mahal. Kalau kamu ga bisa bayar sejumlah AC, Perpus kece, dsb. Jangan kuliah disini. Ambil saja kampus abal-abal yang gentengnya bocor saat kuliah.”

Penutup

Sebagai penutup, saya akan mengutip kalimat yang sangat saya sepakati dari penulis dalam tautan tadi, yaitu: “UI bukan kampus bisnis, UI adalah mercusuar berdirinya jati diri bangsa. UI berdiri jatuh dan bangun bersama jatuh bangun bangsa. Lulusan UI adalah para aktor yang kedepan akan memperbaiki bangsa ini. Menpolhukam banyak berasal dari lulusan FHUI, Menkes dari FKUI, 13 dari 15 pejabat orde baru berasal dari FEUI. Soe Hok Gie berkuliah di FIB UI, memiliki kawan diskusi bersama Prof Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Dorodjatun Kuntjoro-Djakti, dll. Ini membuktikan UI bukan sekedar kampus, dia adalah pabrik para aktor agent of change bangsa ini. Hidup UI!”


Tokoh-tokoh tadi lahir dan menjadi besar dalam format pengelolaan universitas yang bukan otonomi ditambah tekanan politik dari rezim otoriter pada masanya; dan tetap tumbuh menjadi seorang tokoh yang besar. Otonomi bukanlah satu-satunya jalan keluar.

1 komentar: