Oleh: Alldo Fellix Januardy
Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur
Mahasiswa
Tulisan ini dibuat untuk memberikan pemahaman terkait otonomi pendidikan
tinggi dan juga merespon gagasan yang termuat dalam tulisan dari tautan ini: http://kapitanindonesia.blogspot.com/2013/09/universitas-indonesia-pengelolaan-atas.html. Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mengatasnamakan
institusi apapun. Penulis menerima masukan, saran dan diskusi yang dapat
diletakkan dalam bagian ‘komentar’ tulisan ini atau via twitter @alldofj. Penulis juga menjunjung tinggi otonomi akademik dan kebebasan
mimbar akademik.
Demi Veritas,
Probitas, Justitia.
Otonomi Pengelolaan Pendidikan Tinggi: Otonomi Yang Dipaksakan
Melalui UU Nomor 7 Tahun 1994, Indonesia bergabung menjadi anggota World Trade Organization dengan
meratifikasi WTO Agreement.Partisipasi
Indonesia dalam organisasi internasional – yang sering menuai kritik justru
merugikan posisi Negara-negara dunia ketiga untuk bersaing dalam perdagangan
global – ini, juga melahirkan perjanjian-perjanjian lain. Salah satunya adalah General Agreement On Trade in
Services(GATS).
Dengan meratifikasi GATS, maka Indonesia menyepakati untuk mengadakan
liberalisasi terhadap 12 sektor jasa yang salah satunya adalah sektor jasa
pendidikan.
Menyambut hal tersebut, dimulailah perdebatan mengenai otonomi pengelolaan
pendidikan tinggi sejak tahun 1999. Pada tahun tersebut, terbit PP Nomor 61
Tahun 1999 tentang Penetapan Perguruan Tinggi Sebagai Badan Hukum Milik Negara
(BHMN) yang merupakan langkah awal untuk meliberalisasi sektor jasa pendidikan,
dimulai dari pendidikan tinggi. Universitas Indonesia juga berubah menjadi BHMN
pada tahun 2000 melalui PP Nomor 152 Tahun 2000. Peristiwa ini banyak membuat
ahli hukum “geleng-geleng kepala”, bagaimana tidak, kedua PP
tersebut menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) sebagai sumber
hukum untuk peraturan teknis terkait. Padahal, dalam KUHPer tidak dikenal
konsep BHMN.
Kelompok pro-otonomi kemudian memperjuangkan pembentukan Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) yang meliberalisasi
seluruh institusi pendidikan Negeri mulai dari level sekolah dasar hingga level
pendidikan tinggi. Menangkap potensi komersialisasi, palu Mahkamah Konstitusi
pada tahun 2009 menegakkan kebenaran dengan membatalkan UU tersebut yang dalam
salah satu dalil putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU-VII/2009 menyatakan: “Dalam keadaan tidak adanya
kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan
adalah peserta didik yaitu
dengan cara menciptakan pungutan dengan nama lain di luar biaya sekolah atau
kuliah yang akhirnya secara langsung atau tidak langsung membebani peserta
didik.”
Meski telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, konsepsi otonomi pendidikan
tinggi tetap mengundang perdebatan dari berbagai pihak, terutama dari kalangan
aktivis mahasiswa yang pada masa tersebut yang meyakini bahwa konsep otonomi
pengelolaan akan berimplikasi buruk terhadap aksesibilitas pendidikan, biaya
pendidikan akan naik secara drastis akibat universitas dikelola dengan metode
yang mendekati swasta, Majelis Wali Amanat bertindak layaknya dewan komisaris
dan Rektor layaknya direktur eksekutif dalam sebuah perusahaan. Logika ini
didapatkan karena universitas yang tadinya tidak memiliki wewenang pengelolaan
di bidang ketenagaan, sarana prasarana dan keuangan, dilimpahkan begitu saja
secara bebas kepada universitas.
Kemudian, setelah mengalami kegagalan dengan idenya yang ternyata tidak
konstitusional, kelompok pro-otonomi mencari dalil lain untuk tetap
melanggengkan ide tersebut, yaitu dengan mencampuradukkan otonomi akademik
dengan otonomi pengelolaan tanpa menengok situasi politik dari masa ke masa.
Mencampuradukkan Situasi Politik dengan Otonomi Akademik
Kelompok pro-otonomi Pendidikan Tinggi sering mencampuradukkan situasi
politik Indonesia sebelum tahun 1999 ketika Universitas Indonesia masih
berbentuk Unit Pelaksana Teknis Satuan Kerja Perguruan Tinggi Negeri (UPT
Satker-PTN) sebagai sebab musabab tidak berjalannya otonomi akademik.
“Seminar dihalang-halangi, diskusi dipersulit dan riset tak
diberi dana”adalah alasan yang sering dilontarkan kelompok pro-otonomi sebagai
landasan yang memperkuat bahwa otonomi pengelolaan harus diberikan kepada
universitas. Mungkin mereka “gegar otak” dan
lupa ingatan dengan kondisi yang terjadi dengan Indonesia sebelum tahun 1999,
rezim Orde Baru berkuasa. Rezim Orde Baru adalah rezim yang dikenal tidak segan
untuk “menghilangkan” oposisi politiknya, apalagi sekadar menghalangi hal-hal
sesepele diskusi akademik agar tak timbul diskursus apapun tentang kebijakan
pemerintah pada masa itu.
Pada faktanya, semenjak menjadi universitas yang otonom sejak tahun 2000,
saat ini pada tahun 2013, ketika Universitas Indonesia sudah berusia 12 tahun
menjalankan bentuk otonomi (kecuali pada tahun 2010 karena berlakunya PP Nomor
66 Tahun 2010), permasalahan dan keluhan-keluhan yang dibahas dalam rapat-rapat
paripurna Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia masih sama persis dengan
permasalahan-permasalahan yang dihadapi ketika UI masih berbentuk UPT
Satker-PTN sebelum tahun 1999.
“Seminar dihalang-halangi, diskusi dipersulit dan riset tak
diberi dana”,alasan-alasan ini masih saja dikemukakan setelah 12 tahun otonomi
Universitas Indonesia berjalan. Pertanyaannya,
jika setelah 12 tahun diberikan otonomi pengelolaan dan UI masih menghadapi
permasalahan yang sama dengan sebelum diberikan otonomi pengelolaan,
kesalahannya ada pada siapa lagi? Inilah salah kaprah terbesar terkait otonomi
pengelolaan dan implikasinya terhadap otonomi akademik. UI melemparkan
ketidakprofesionalannya mengelola birokrasi universitas kepada bentuk hukum
yang dinilai kurang fleksibel. Padahal setelah diberikan bentuk hukum sesuai
keinginanya selama 12 tahun, tetap saja UI tidak perform dalam
masalah pencairan dana.
Berdasarkan pemaparan di atas, kita dapat mengambil kesimpulan sebenarnya
dimana letak permasalahan otonomi akademik tidak berlangsung selama 15 tahun
setelah reformasi, meski universitas telah diberikan bentuk yang otonom? Betul,
jawabannya adalah kegagalan pemerintah dan universitas mengelola birokrasinya;
dan bukan pada soal-soal otonomi. Jika ada pihak-pihak yang masih
mempermasalahkan soal kerumitan birokrasi akibat tidak diberikannya otonomi
pengelolaan, pendapat tersebut tidak lagi valid.
Setelah mendapatkan penyebab otonomi akademik terhalang dan ternyata bukan
karena otonomi pengelolaan, kita harus kritisi dan pertanyakan lebih dalam
mengapa mereka tetap begitu bersemangat memperjuangkan otonomi pengelolaan UI? Mungkin semata-mata kekuasaan.
(Lagi) Sesat Pikir Standar Pengelolaan: Akibat Tidak Paham Regulasi
Penulis dalam tautan http://kapitanindonesia.blogspot.com/2013/09/universitas-indonesia-pengelolaan-atas.html menyatakan: “Pendanaan yang berasal
dari ventura atau usaha itu tidak mungkin mencapai hingga 1/3 dari total
pendapatan bersih universitas. Hal ini dikarenakan perguruan tinggi negeri
adalah institusi pendidikan, bukan institusi bisnis layaknya perseroan
terbatas. Fungsi utama institusi pendidikan adalah memberikan jasa pelayanan
pendidikan, bukan mencari pendanaan lewat berbisnis sebesar-besarnya” dan “jangan
menetapkan standar “sama rata sama rasa” terhadap semua akun yang ada dalam
pendapatan UI.” Dalam hal ini
saya seratus persen sepakat dengan pernyataan penulis tersebut.
Sayangnya, UU Pendidikan Tinggi justru bersikap kontra dengan logika kami
berdua karena yang dijamin dalam UU Pendidikan Tinggi melalui pasal 89 ayat (6)
hanyalah dana wajib alokasi penelitian sebesar 30% dari total dana yang diberikan
oleh APBN/APBD. UU Pendidikan Tinggi tidak memberikan gambaran tentang berapa
kontribusi Negara terhadap pengelolaan universitas. Maka, saya mencoba untuk
mengikuti tren hibah APBN sejak 2008 hingga 2012 kepada UI, dan akan didapatkan
angka rata-rata hanya sejumlah 22-23%, artinya, penulis dalam tautan diatas dan
saya akan sama-sama merasa sedih dan kelimpungan bagaimana UI harus mengelola
dirinya karena ternyata beban yang harus ditanggung oleh pendanaan internal UI
bukan hanya 66%, tetapi 77-78%.
Darimana sumber dana ini berasal? Karena penulis dalam tautan di atas dan
saya memiliki logika yang sama bahwa universitas bukanlah perseroan sehingga
membebankan 33% kepada sumber ventura adalah hal yang memberatkan, maka
kontribusi ventura terhadap beban pendanaan internal UI akan dipastikan lebih
rendah dari angka tersebut. Saya mencoba membuka kembali tren sumber pendapatan
ventura UI sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 dan akan didapatkan rata-rata
potensi kontribusi ventura sebesar 22%.
Sekarang, kita kembalikan cara menghitungnya pada logika penulis pada
tautan di atas, jika sumbangsih APBN/APBD adalah sebesar 22%, sumbangsih
ventura sebesar 22%, kemana sisanya harus dibebankan? Jika kita hanya
menggunakan pola pikir ekonomis, maka satu-satunya sumber dana yang tersisa
adalah mahasiswa, yaitu sebesar 56%. Kebutuhan anggaran UI pada tahun 2013
adalah 1,4 Triliun Rupiah dengan potensi penambahan biaya pengelolaan sebesar
300 Milyar Rupiah per tahun. Maka, pada tahun 2014, UI akan membutuhkan dana
pada kisaran 1,7 Triliun. Berapa yang harus kita, sebagai mahasiswa, bayarkan?
Hitung saja 56% dikalikan dengan 1,7 Triliun.
Ini menjelaskan gejala mengapa tak heran jika dari tahun ke tahun kuota
kelas dan biaya pendidikan dari kelas khusus internasional dan kelas paralel
mengalami kenaikan yang signifikan. Juga tidak menutup kemungkinan jika
mahasiswa dari program regular kehilangan daya kritisnya, kita akan menjadi
sasaran komersialisasi dan kapitalisasi yang sama.
Kembali Melihat Dari Dua Sisi: “Kuliah Bagus Memang Harus Mahal”
Saya juga sepakat dengan pendapat penulis dari tautan di atas yang
menyatakan bahwa melihat laporan keuangan sebuah institusi jangan dari sisi
kreditnya saja, karena dari pengeluaran juga terdapat hak untuk kita sebagai
penikmat fasilitas. Namun, untuk membantah logika ini rasanya tidak diperlukan
survei khusus atas pertanyaan,”seberapa leletkah internet di
fakultasmu?” atau,”apakah kamu mendapatkan ruang parkir mobil yang memadai di
fakultasmu?” atau.”dengan jumlah BOP-B yang kamu bayar dan
jumlah SUC yang selalu diberikan DIrektur Kemahasiswaan UI setiap tahun, sesuai
atau tidak dengan buruknya fasiltas yang kamu terima?”
Orang dengan logika ekonomis akan menjawab bahwa itu adalah persoalan
manajemen, tinggal tambah saja internetnya dan perluas lahan parkir atau bangun
gedung baru. Pertanyaannya, darimana uang tersebut berasal jika kita sudah
memahami logika anggaran pada bagian sebelumnya? Dari mahasiswa. Selamat
menaikkan uang kuliah kita.
Pertanyaan berikutnya juga timbul, benarkah untuk memperbaiki serangkaian
permasalahan di atas memerlukan otonomi pengelolaan? Jawabannya tidak.
Permasalahan seperti pada paragraf sebelumnya dapat selesai hanya dengan
melakukan konsolidasi anggaran berdasarkan instruksi Rektor UI atau Dekan
Fakultas di UI.
Mari kita renungkan juga kondisi pengelolaan faktual Universitas Indonesia
setelah 12 tahun melangsungkan otonomi. Caranya sederhana, cukup lihat saja
kondisi kamar mandinya. Kondisi banyak kamar mandi UI tak ubahnya kondisi kamar
mandi taman ria yang hampir pailit: air mati, kaca pecah, banyak
kloset rusak, tidak terawat, kotor dan jarang dikontrol kebersihannya.
Benarkah untuk memperbaiki kondisi kamar mandi yang demikian memerlukan
otonomi? Tidak, kecuali jika kita ingin memasang karpet sutra dan pendingin
ruangan hanya untuk kamar mandi. Kesalahan ada pada pengelola administratif,
terutama bagian umum dari masing-masing unit/dekanat fakultas. Jika mengurus
hal sesederhana menyediakan toilet umum yang manusiawi saja tidak dapat UI
lakukan dengan baik, bagaimana UI mau menjalankan otonomi pengelolaan? Kemudian
mari kita renungkan, benarkah kita perlu otonomi pengelolaan untuk memperbaiki
hal-hal yang sesederhana itu? Jawabannya adalah tidak. Semua kekurangan yang
terjadi penyebabnya karena banyak unit di UI yang belum menjalankan tugasnya
dengan baik dan detil. Lagi dan lagi, semua permasalahan di atas dapat selesai
hanya dengan insiatif instruksi pejabat setingkat Rektor UI dan Dekan Fakultas.
Kelompok pro-otonomi, terutama dari fakultas-fakultas, akan mempersalahkan
sentralisasi keuangan selama periode kepemimpinan Rektor UI 2007 – 2012 sebagai
akibat fakultas tidak dapat menjalankan kinerjanya dengan optimal. Padahal,
kebijakan sentralisasi keuangan dapat diimplementasikan UI akibat wewenang yang
diberikan oleh otonomi pengelolaan universitas. Adalah sebuah logical fallacy jika menuding kebijakan internal
keuangan yang dirasa tak sesuai dengan idealisme kerja sebuah unit (dan malah
lahir dari bentuk otonomi universitas), lalu tetap mati-matian mendukung otonomi,
bukannya mendukung revisi kebijakan pengelolaan keuangan internal yang dapat
diselesaikan hanya dengan level SK Rektor UI. Maka, kelompok pro-otonomi
salah “sasaran tembak”,
terlalu jauh dan terlalu naif.
Setelah membedah permasalahan pengelolaan dan keuangan, ternyata ditemukan
fakta bahwa ini bukan lagi soal otonomi pengelolaan. Lalu, jika permasalahan
tersebut ternyata adalah kesalahan eksekutor dan bukan kesalahan otonomi atau
bukan otonomi, mengapa kelompok pro-otonomi masih begitu menggebu-gebu ingin
mengimplementasikan otonomi pengelolaan universitas?
Sesat Pikir BOP-B
Departemen Advokasi dan Kesejahteraan Mahasiswa BEM UI 2012 pernah membuat
kajian tentang evaluasi pelaksanaan BOP-B yang pada kesimpulannya menyatakan
bahwa memang pelaksanaan teknis BOP-B masih carut marut, masih banyak mahasiswa
yang membayar tidak sesuai dengan kemampuannya dan masih banyak mahasiswa yang drop outkarena tidak mampu
membayar biaya pendidikannya pada tingkat tertentu, baik mahasiswa baru ataupun
mahasiswa lama.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jika kita menggunakan logika anggaran
sebagaimana telah dikupas pada bagian sebelumnya, maka Universitas Indonesia
yang urung memiliki kapasitas fundraising karena bentuknya bukanlah persero
harus memiliki target pendapatan dari sumber dana terakhirnya, yaitu mahasiswa.
Sebelum angka BOP-B ditetapkan, UI bahkan sudah memasang target tentang berapa
pemasukan yang harus UI terima dari mahasiswa dan beban angka tersebut
berpotensi menjadi 56% dari 1,7 Triliun pada tahun 2014. Sialnya jika UI
bertahan terus menggunakan logika mengekspektasikan pendapatan utama dari
mahasiswa UI, maka BOP-B bukanlah sebuah mekanisme yang murni berkeadilan,
tetapi hanya formalitas dan undian lotere bagi mahasiswa yang kebetulan
beruntung mendapatkan angka yang sesuai dengan kemampuannya.
Sesat Pikir Beasiswa
Kelompok pro-otonomi akan menyatakan bahwa dengan segala kemahalan biaya
pendidikan, UI masih memiliki program beasiswa bagi mahasiswa yang tidak mampu.
Kita harus kritik mindset yang memperlakukan beasiswa layaknya
“duit sumbangan” untuk menutupi “apa yang kurang”. Mengapa? Beasiswa lebih dari
sekadar itu, beasiswa adalah bentuk apresiasi terhadap mahasiswa yang di tengah
kesulitannya masih berupaya untuk mendapatkan prestasi akademik yang baik. Maka,
jangan buat seolah beasiswa adalah “jalan terakhir” untuk membuat mereka yang
tak puas angka BOP-Bnya tetap bisa berkuliah disini. Beasiswa bukan jaminan
sosial untuk hak dasar, tetapi dana apresiasi.
Logika “Take it or leave it”
Beberapa waktu lalu ketika sedang ramai terjadi America Shutdown, saya sempat menonton siaran Voice of America . Ada wartawan yang mengadakan
wawancara dengan beberapa warga Amerika terkait implementasi dari Obama Care, program kerja pemerintahan Obama
yang mengadopsi gaya Negara Sosialis dalam memberikan hak dasar kesehatan bagi
seluruh rakyat Amerika tanpa terkecuali, kaya-miskin ataupun bekerja-tidak
bekerja.
Betapa terkejutnya saya dengan pernyataan-pernyataan responden yang kontra
dari Negara yang menganut ideologi liberal tersebut. Mereka menyatakan,”proker
aneh. Ngapain orang miskin yang malas kok dibantu”; “saya bekerja dan saya tak
rela nafkah saya untuk membiayai orang lain yang bahkan saya tak kenal”; “saya
tak bisa menangkap logika Obama Care. Lebih baik investasikan uang tersebut ke
infrastruktur daripada SDM yang tak produktif”.
Logika “take it or leave
it” dan logika “every man for himself” adalah logika liberal. Sayangnya,
banyak liberalis yang tak mau ditunjuk hidungnya sebagai seorang liberal
seolah-olah itu adalah istilah yang tidak netral, terutama jika berkaitan
dengan hak dasar.
Menyatakan “take it or
leave it” dalam konteks hak
pendidikan yang dijamin oleh konstitusi sama dengan menyatakan kepada calon
mahasiswa baru,”UI itu bagus dan mahal. Kalau kamu ga bisa bayar sejumlah
AC, Perpus kece, dsb. Jangan kuliah disini. Ambil saja kampus abal-abal yang
gentengnya bocor saat kuliah.”
Penutup
Sebagai penutup, saya akan mengutip kalimat yang sangat saya sepakati dari
penulis dalam tautan tadi, yaitu: “UI bukan kampus bisnis, UI adalah
mercusuar berdirinya jati diri bangsa. UI berdiri jatuh dan bangun bersama
jatuh bangun bangsa. Lulusan UI adalah para aktor yang kedepan akan memperbaiki
bangsa ini. Menpolhukam banyak berasal dari lulusan FHUI, Menkes dari FKUI, 13
dari 15 pejabat orde baru berasal dari FEUI. Soe Hok Gie berkuliah di FIB UI,
memiliki kawan diskusi bersama Prof Emil Salim, Widjojo Nitisastro, Dorodjatun
Kuntjoro-Djakti, dll. Ini membuktikan UI bukan sekedar kampus, dia adalah
pabrik para aktor agent of change bangsa ini. Hidup UI!”
Tokoh-tokoh tadi lahir dan menjadi besar dalam format pengelolaan
universitas yang bukan otonomi ditambah tekanan politik dari rezim otoriter
pada masanya; dan tetap tumbuh menjadi seorang tokoh yang besar. Otonomi bukanlah
satu-satunya jalan keluar.
thanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id