Rabu, 01 Januari 2014

MP3EI Ditinjau dalam Kerangka Kapitalisme Global

Oleh: Dicky Dwi Ananta, Mitrardi Sangkoyo, Robie Kholilurrahman,

Pendahuluan

Pemerintah, melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011, telah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) untuk menjadi arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga tahun 2025. MP3EI diyakini sebagai konsep yang komprehensif dengan memadukan berbagai potensi wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Muatan utama MP3EI seperti yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam pengantar peraturan presiden tersebut adalah debottlenecking, percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional.[1] Bila diringkas maka esensi di dalamnya antara lain; pengembangan potensi daerah melalui koridor ekonomi, konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi nasional terkait infrastruktur dan regulasi, dan kemitraan dengan dukungan pihak swasta melalui public private partnership. Pada bagian awal, kami akan menunjukkan logika dari MP3EI yang tertuang dalam dokumen aslinya.


MP3EI bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2025 dengan indikator pendapatan per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011 –2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan dan inflasi seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju.[2] Untuk menuju itu, dengan MP3EI Indonesia menyadari posisinya di dunia sebagai sebuah negara dengan bentang alam yang luas, populasi terbesar keempat di dunia, dan kandungan bahan, sumber energi primer dan zona klimatologis yang ideal. Oleh karena itu,  menurut MP3EI Indonesia perlu memposisikan dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat mobilitas logistik global. Untuk mengembangkannya, MP3EI menggunakan prinsip “percepatan pembangunan” dengan menggunakan strategi “not business as usual”, dan mengundang sumber-sumber pembiayaan swasta dengan konsep public private partnership. Pemerintah merumuskan dan menerapkan kerangka regulasi lewat berbagai instrumen hukum dan ekonomik, untuk menaikkan tingkat pelayanan infrastruktur ekonomi dan keuangan. MP3EI mengembangkan beberapa program utama, antara lain, pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta pengembangan kawasan strategis.[3] Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, antara lain, kelapa sawit, kakao, karet, peternakan, perkayuan, minyak dan gas, batubara, nikel, temabag, bauksit, perikanan, pariwisata, pertanian pangan, jabodetabek area, KSN selat sunda, peralatan trasnportasi, telematika, perkapalan, tekstil, makanan-minuman, besi baja, dan alat utama sistem pertahanan (alutsista).[4]

Percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia dilakukan dengan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi, menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk itu, akan dikembangkan delapan koridor ekonomi utama dengan spesifikasinya masing-masing, antara lain: 

Koridor Ekonomi Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan Lumbung Energi Nasional”;
Koridor Ekonomi Jawa memiliki tema pembangunan sebagai “Pendorong Industri dan Jasa  Nasional”,
Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat Produksi dan  Pengolahan Hasil Tambang & Lumbung Energi Nasional”,
Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai ‘’Pusat Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian, Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional”.
Koridor Ekonomi Bali – Nusa Tenggara memiliki tema pembangunan sebagai ‘’Pintu Gerbang Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional’’.
Koridor Ekonomi Papua – Kepulauan Maluku memiliki tema pembangunan sebaga “Pusat  Pengembangan Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.

Dengan adanya keenam koridor tersebut, MP3EI mengasumsikan bahwa akan terjadi Pertumbuhan tahunan PDB nasional sekitar 12,7% secara nasional, dengan pertumbuhan wilayah di dalam koridor sebesar 12,9%. Sedangkan pertumbuhan di luar koridor juga akan mengalami peningkatan sebesar 12,1% sebagai hasil dari adanya spillover effect pengembangan kawasan koridor ekonomi.[5] Dengan modal ini, Indonesia diprediksi menjadi negara maju dan sejahtera pada 2025 dengan PDB sekitar USD 4,3 Triliun dan menjadi negara dengan PDB terbesar ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, sekitar 82% atau USD 3,5 Triliun akan ditargetkan sebagai kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian dari transformasi ekonomi[6].

Keenam koridor MP3EI tersebut juga akan berfungsi mendorong konektivitas nasional dengan peningkatan infrastruktur sebagai pendukung arus modal di dalam dan antar koridor. Lembaga-lembaga pendidikan dan riset juga akan memainkan peran penting dalam MP3EI, dengan model  keterkaitan dunia pendidikan dan penelitian dengan industri.

Investasi raksasa di bawah kendali pemerintah seperti skema MP3EI sebenarnya bukan fenomena baru. Hal tersebut pernah ditempuh oleh rejim Orde Baru, dengan resep yang melibatkan pemangkasan hambatan regulasi, pemberian insentif, dan percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendukung kepentingan pelaku-pelaku ekonomi besar.[7] Penglihatan dan terhadap fenomena MP3EI tidak bisa tidak harus didasarkan pada konteks struktural dan historis. MP3EI lahir dari konteks politik-ekonomi neoliberalisme yang menyokong pembebasan alir kapital dari kepentingan sosial maupun mekanisme regulasi. Penguasaan wilayah-wilayah kehidupan di sepanjang koridor-koridor MP3EI merupakan bagian dari politik ruang dalam sistem kapitalisme. Dalam hal ini jejaring koridor tersebut juga berfungsi sebagai infrastruktur ruang ekonomi dalam rangka menghapus hambatan ruang (spatial barrier), agar perputaran modal, barang dan jasa, tenaga kerja, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam dapat berlangsung tanpa hambatan.

Dalam posisi ini, kami melihat MP3EI tak bisa dilepaskan dari fenomena globalisasi rantai produksi dan konsumsi. Keyakinan itu dapat dilihat dari pernyataan resmi pemerintah bahwa MP3EI merupakan jawaban untuk menghadapi pasar bebas Asia dan arus kapital global yang tanpa batas. Percepatan dan perluasan ekonomi di Indonesia harus segera dilakukan agar tidak tertinggal. Bila MP3EI merupakan jawaban untuk menyongsong globalisasi, globalisasi sendiri merupakan anak kandung kapitalisme. Dengan demikian, MP3EI sesungguhnya adalah sebuah skenario di dalam sistem kapitalisme. Itulah sebabnya, dalam konteks global tersebut, pertanyaan yang diajukan dalam paper ini adalah: “Bagaimana MP3EI ditinjau dari perspektif perkembangan ekonomi-politik kapitalisme global saat ini?

Menakar Posisi Indonesia dalam Sistem Kapitalisme Dunia Melalui MP3EI

World-System Theory bukan sudut pandang mainstream dalam dunia akademis studi politik dan globalisasi. World-System Theory sendiri memang tidak menyebut pemikiranya sebagai pemikiran ilmu sosial tertentu secara khusus dan skesklusif, karena World-System Theory memandang ilmu sosial sebagai suatu kesatuan; politik, sosiologi, dan ekonomi dilihat sebagai suatu kesatuan, dan dianalisis secara historis.[8] Bagi World-System Theory, pemisahan ilmu-ilmu ini menyebabkan analisis yang dilakukan tidak komprehensif dan cenderung membenarkan ketidaksesuaian hasil penelitian antar bidang studi sebagai disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Dalam dunia akademis mainstream, World-System Theory, karenanya, menjadi sebuah sudut pandang yang interdisipliner, digunakan oleh berbagai bidang studi.

Bagi studi politik dan globalisasi, World-System Theory—atau World-System Analysis—memberikan sudut pandang alternatif dalam melihat khususnya persoalan-persoalan ekonomi-politik. World-System Theory menolak level analisis individu dan negara karena menganggap semua kejadian saling terkait dan berpola; sistemik. World-System Theory juga seringkali digolongkan sebagai bagian dari sudut pandang strukturalisme yang bertradisi Marxist bersama teori-teori seperti dependensi dan imperialisme. World-System Theory cukup untuk meruntuhkan segala argumentasi yang memiliki asumsi berbeda, seperti bahwa perang bukan disebabkan oleh usaha negara untuk survive, kebijakan luar negeri suatu negara bukan disebabkan oleh pertimbangan yang dilakukan oleh negara tersebut, dan regionalisme bukan usaha negara-negara untuk mendapatkan keuntungan demi dirinya sendiri. Secara garis besar, menurut World-System Theory segala peristiwa terjadi karena alasan ekonomi, dan bidang-bidang lain seperti politik, sosial, dan budaya, adalah turunan dari tujuan ekonomi tersebut. Ekonomi menjadi basis.[9]

World-System Theory menyatakan bahwa hanya ada satu sistem sosial, di samping sistem-sistem kecil yang tidak memiliki kaitan dengan sistem lain; sistem-sisten kesukuan yang diteliti oleh antropolog. Bagi World-System, sistem sosial tunggal tersebut adalah ‘World-System’, sistem yang merupakan sebuah dunia, yang dapat berbentuk World-Empire atau World-Economy.[10] Sistem-sistem sosial lain seperti negara, suku, dan lain-lain, tidak diakui selain sebagai turunan dan ‘perpanjangan tangan’ dari World-System. Bisa jadi, ada lebih dari satu World-System di dunia yang saling bersaing dan berusaha menjatuhkan; berusaha menjadi satu-satunya World-System. Sejak abad pertengahan, terdapat beberapa World-Empire seperti Inggris, Persia, dan Cina. World-Empire sendiri merupakan sebuah entitas politik yang terpusat dan memiliki relasi perintah yang jelas; sebuah negara penjajah. World-Empire menjalankan relasi ekonomi secara internal, namun sudah bersifat eksploitatif dan menciptakan dependensi.[11]

Sedangkan World-Economy merupakan sistem tanpa pusat, selain mekanisme kapitalisnya. Negara, perusahaan, organisasi, dan lain-lain merupakan hasil dari mekanisme kapitalis dari World-Economy yang berusaha untuk melanggengkan status quo yang eksploitatif dan dependen,  karena menguntungkan bagi sebagian orang. World-Economy dalam dunia modern (pasca Traktat Westphalia 1648) ditandai dengan mekanisme kapitalisnya, sehingga disebut Capitalist World-Economy.[12]

Dalam Capitalist World-Economy sebagai World-System di zaman modern, relasi ekonomi (perdagangan, membedakan dengan feodalisme yang cenderung produksi) melibatkan setidaknya 3 pihak, yaitu: negara core, wilayah periphery, dan wilayah semi-periphery. Keduanya disebut wilayah karena Capitalist World-Economy membentuk pemerintahan dan militer yang kuat di negara-negara core  dan menjaga negara-negara lain tetap lemah, supaya dapat melakukan deal-deal untuk melanggengkan eksploitasi dan dependensi asing. Selain itu, wilayah selain core tidak harus merupakan sebuah negara merdeka. Secara geografis, bola dunia terbagi ke 3 kelompok di atas, di samping External Area sebagai wilayah yang berada di luar Capitalist World-Economy, yang bisa jadi sekaligus sebuah World-Economy lain, ataupun sekadar tereksklusifkan dari relasi perdagangan dalam Capitalist Worl-Economy karena penolakan dari negara itu sendiri.[13]

Negara-negara core adalah yang diuntungkan oleh Capitalist World-Economy, karena relasi perdagangannya dengan wilayah periphery tidak seimbang: eksploitatif, menciptakan dependensi, dan menciptakan mekanisme yang melanggengkan sistem. Negara-negara ini adalah Negara-Negara Industri Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang khususnya pasca Perang Dunia II muncul sebagai Blok Barat pemenang PD II dan berusah melanggengkan posisinya di World-System melalui berbagai institusi keuangan global seperti WTO, IMF, dan World Bank.

Sedangkan wilayah periphery adalah negara-negara dunia ketiga pada umumnya, yang mengalami keterbelakangan struktural, disengaja oleh negara-negara core guna mendukung dan mempertahankan relasi ekonomi yang ada, khususnya negara-negara di Afrika dan Amerika Latin pada abad lalu. Wilayah periphery menyediakan sumber daya alam dan tenaga kerja murah untuk dieksploitasi oleh negara-negara core sedangkan negara-negara core memproduksi produk-produk industri yang tidak bisa diproduksi oleh wilayah periphery karena monopoli teknologi dan modal oleh negara-negara  core.

Wilayah semi-periphery bukan sekadar kumpulan pengecualian, melainkan sebuah bagian yang penting dalam Capitalist World-Economy. Ia bisa berfungsi sebagai core bagi periphery tertentu sekaligus menjadi periphery bagi core tertentu. Ia juga bisa merupakan negara core yang melemah dominasinya, atau wilayah periphery yang mengalami ’promosi untuk naik tingkat’. Semi-periphery memiliki karakteristik tersendiri, seperti ia tidak lagi semata-mata dieksploitasi oleh core, namun dapat berperan misalnya sebagai tempat relokasi industri dari negara core dan mempersiapkannya menjadi pelanjut dari mekanisme kapitalis saat negara core menurun kapabilitasnya. Negara-negara industri baru masuk ke dalam kategori ini, seperti Cina, Brazil, India, Indonesia, Mexico, dan lain-lain.

Kelompok lain dari negara-negara di dunia yang tidak masuk ke dalam Capitalist World-Economy disebut External Arena, di mana Korea Utara merupakan salahsatu contoh untuk hari ini. Uni Soviet di era Perang Dingin juga disebut sebagai External Arena, bahkan sebagai World-System lain yang bersaing dengan Capitalist World-Economy dan berusaha saling menjatuhkan. Suatu negara dapat saja menjalankan sebuah gerakan nasional dan antisistemik untuk berusaha menggulingkan Capitalist World-Economy atau mengeluarkan diri dari reladi dagang yang tak berimbang (unequal exchange) tersebut, baik menjadi entitas yang independen atau berusah membentuk World-System lain. Tentunya, Capitalist World-Economy menginginkan semua negara masuk ke dalam sistem supaya lebih banyak sumber daya dan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi.

Melalui kaca mata World-System Theory, dunia terlihat sebagai proses produksi dan akumulasi modal global. Proses ini terjadi melalui pembagian kerja secara internasional (international division of labour). Bagian dari proses produksi yang dilakukan di negara-negara core berbeda dengan yang dilakukan di negara-negara periphery. Misalnya, negara-negara core memproduksi bagian dari produk yang membutuhkan teknologi dan SDM (sumber daya manusia) tingkat tinggi. Sedangkan wilayah periphery memproduksi komponen-komponen kecil dari produk yang tidak membutuhkan teknologi dan SDM terdidik. Tentunya setiap negara di dunia ini, berdasar pola produksi seperti apa yang dominan di sana, dapat dikategorisasikan ke salahsatu dari empat pembagian wilayah dunia seperti telah diuraikan di atas, yaitu negara core, periphery, semi-periphery, atau external area.

Untuk melihat di manakah posisi Indonesia dalam proses produksi dan akumulasi modal global hari ini, perlu dilihat konteks historisnya, yaitu perkembangan posisi Indonesia tersebut di waktu-waktu yang sebelumnya. Menurut hemat kami, perkembangan posisi Indonesia tersebut dapat dibagi menjadi empat fase berdasar World-System Theory, yaitu: 1) Pra Kemerdekaan: Wilayah Koloni dari World-Empire Belanda, 2) Orde Lama: Usaha menjadi External Area dan membentuk World-Economy tandingan dari Capitalist World Economy, 3) Orde Baru: Periphery yang berusaha menjadi Semi-Periphery dari Capitalist World Economy, dan 4) Pasca Orde Baru hingga MP3EI: Kecenderungan ’turun tingkat’ kembali ke Perpihery dalam Capitalist World Economy.

1. Pra Kemerdekaan: Wilayah Koloni dari World-Empire Belanda

Sebelum merdeka, Indonesia merupakan negara koloni dari Kerajaan Belanda dan untuk waktu yang singkat, diduduki oleh militer Jepang. Wilayah kepulauan Indonesia secara bertahap dikuasai oleh Kerajaan Belanda sebagai wilayah Koloni terutama di sepanjang abad ke XIX, dengan pergantian pendek ketika pecah perang Napoleon di Eropa, ketika Stamford Raffles menduduki Jawa (1811-1816). Di samping itu Bengkulu di pantai barat Sumatra merupakan wilayah "milik" Inggris (1785-1824), dan Timor Timur adalah jajahan Portugis (1702-1975). Aceh baru menjadi bagian Hindia Belanda di tahun 1907. Di masa penjajahan ini pola produksi di Indonesia direncanakan dan dinikmati hasilnya oleh penjajah, yaitu Kerajaan Belanda, secara monopolistis. Ini dilakukan melalui penerapan berbagai peraturan ekonomi Kolonial seperti hak ooctroi, pelayaran Hongi, UU Agraria, dan berbagai peraturan tanam paksa.

Sebagai aset terpenting dari salahsatu World-Empire yang ada di dunia saat itu yaitu World-Empire Kerajaan Belanda, bahkan juga setelah surutnya pengaruh globalnya di tutup abad ke XVIII, Hindia Belanda sudah menjalankan pola produksi yang serupa dengan yang dilakukan wilayah periphery dalam Capitalist World Economy, namun dengan beberapa perbedaan. Di antaranya adalah hirarki kontrolnya jelas dan satu arah yaitu dari negara penjajah ke daerah jajahan, dan nilai lebih yang dihasilkan di Hindia Belanda disalurkan semata-mata ke negeri Belanda, tidak ke negeri-negeri lain. Ini membedakannya dengan wilayah periphery dalam Capitalist World Economy di mana tidak ditemukan di sana hirarki kontrol yang jelas, karena banyaknya aktor investasi yang bermain, tanpa monopoli oleh entitas politik tertentu. Dalam wilayah periphery juga oleh karenanya nilai lebih tersalur menyebar ke negeri-negeri sumber investasi masing-masing.

Peristiwa-peristiwa seputar momen kemerdekaan Indonesia tak dapat dipisahkan dari Perang Dunia kedua, konflik terbuka di antara negara-negara Inti dari sistem ekonomi kapitalis dunia, yang menyundut Perang Asia Timur Raya dan memicu pendudukan Jepang di tahun 1942. Setelah Jepang menyerah kalah pada kekuatan militer Sekutu, sulit bagi Belanda, yang makin terpuruk ekonomi ekspornya di Hindia Belanda karena Perang Dunia II, untuk menegakkan kembali kekuasaannya seperti dulu. Amerika Serikat juga mulai masuk ke Indonesia. Hal ini misalnya dilakukan dengan mengancam menghentikan bantuan rekonstruksi pasca perang Marshall Plan ke Belanda jika Belanda masih bersikeras mempertahankan Irian Barat. Tekanan Amerika Serikat ini tentunya juga berdasar kepentingan nasionalnya dan analisis ekonomi politik, yaitu keberadaan tambang emas di sana dan pertimbangan bahwa investasi lebih mudah masuk jika Irian Barat berada di bawah pemerintahan yang baru di Indonesia dibandingkan jika berada di bawah Belanda.

2. Orde Lama: Usaha menjadi External Area dan membentuk World-Economy tandingan 

Indonesia Orde Lama adalah External Arena karena beberapa karakteristik. Bagaimanapun, Wallesrstein mengakui bahwa tidak mudah untuk memilah antara External Arena dan Periphery Area. Namun dalam kasus Indonesia, beberapa karakteristik di bawah menunjukkan posisi tersebut, yang secara umum merupakan ketidakadaan karaktreristik-karakteristik Periphery Area: 

Pemerintah pusat yang kuat dan independen dari campur tangan kekuatan asing. 
Dalam kebijakan luar negerinya yang revolusioner dan konfrontatif, Sukarno menolak segala macam intervensi dan bantuan bersyarat dari negara-negara besar sebagai negara-negara core dalam Capitalist World-Economy. Di antaranya diungkapkan secara implisit di depan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones, “Go to hell with your aid!

Indonesia justru memanfaatkan keinginan negara-negara besar untuk menaruh kepentingan di Indonesia untuk keuntungan-keuntungan pragmatis seperti bantuan diplomasi Amerika Serikat untuk mengancam penyetopan bantuan ekonomi Marshall Plan kepada Belanda jika tidak segera angkat kaki dari Papua Barat. Sedangkan dari Uni Soviet Indonesia mengambil keuntungan berupa bantuan militer dan dana pembangunan.

Berikut rincian bantuan militer Uni Soviet kepada Indonesia berhubungan dengan pembebasan Irian Barat[14]:

Total bantuan: 1 miliar US$, terdiri dari:
- 70 kapal untuk ALRI, terdiri dari: 6 kapal torpedo, 4 kapal jaga, 12 kapal selam, 12 kapal motor luncur rudal, 12 kapal motor luncur torpedo, 10 kapal penyapu ranjau, dan pesawat tempur MIG-17, MIG-19, dan MIG-21.
- 100 tank amfibi untuk mariner.
- Pesawat torpedo moderm (TU-16 KS dan TU-16),
- Pesawat pengebom, dan
- Pesawat intelijen jarak jauh.

Tidak mengekspor barang mentah dan menyediakan buruh murah ke negara core.
Pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin tidak tercatat terjadi relasi dagang barang mentah maupun buruh murah baik seperti yang terjadi di era penjajahan maupun seperti yang terjadi di era Orde Baru.

Mempertahankan diri dari masuk ke Capitalist World-Economy. 
Karakteristik ini yang paling khas dari era Orde Lama Indonesia, bahkan Orde Lama tampak berusaha membangun World-System tersendiri, sebuah tatanan dunia alternatif yang lebih equal dan lebih humanis. Hal ini tercermin dari pidato Sukarno di Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960 yang berjudul “To Build The World A New”.[15] 

Orde Lama menjalankan usaha ini melalui berbagai agenda seperti penyelenggaraan KAA, GNB, penyamaan pandangan revisionis bersama Cina, penyusunan NEFO-GANEFO-CONEFO, poros Jakarta-Pnom Penh-Peking-Pyong Yang, dan konfrontasi terhadap pendirian Federasi Malaya yang dianggap sebagai ‘antek neokolonialisme dan imperialisme’. Sukarno bersama PM Cina Chou En-lai menyamakan persepsi mereka tentang revisionisme dalam perbincangan mereka, untuk menjalakan sebuah PBB yang baru di antara bangsa-bangsa yang sedang bangkit, sebuah “PBB yang lain, suatu badan yang revolusioner mungkin terbentuk sehingga drama persaingan dapat dipentaskan dengan badan yang menamakan dirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa”.[16]  Penolakan terhadap hubungan dengan negara-negara core yang dibahasakan oleh Sukarno sebagai ‘nekolim’ ini menjadi terlihat jelas arahnya setelah secara drastis Suharto di Orde Baru justru segera mengikatkan diri dengan negara-negara donor tersebut.

3. Orde Baru: Periphery yang berusaha menjadi Semi-Periphery dari Capitalist World Economy
Pasca jatuhnya Orde Lama, segera mekanisme pengikatan Indonesia ke dalam eksploitasi dan dependensi dijalankan oleh negara-negara core dalam Capitalist World-Economy. Pilger menyatakan dalam dokumenternya bahwa dalam suatu pertemuan antara utusan Indonesia dan para utusan negara core dan pemimpin bisnis dunia, Indonesia telah dibagi menjadi beberapa bidang seperti jasa makanan, sektor keuangan, pertambangan, dan perdagangan.[17] 

Indonesia segera berpindah posisi dari External Area di era Orde Lama yang lantang menggalang koalisi anti-nekolim (neo-kolonialisme/penjajahan baru oleh negara-negara core) menjadi periphery yang terikat dalam relasi dagang tak berimbang dengan negara-negara tersebut. Di antara UU pertama yag diluluskan oleh Orde baru adalah UU No. 1 tahun 1971 tentang Penanaman Modal Asing, setelah Indonesia masuk World Bank dan diadakan Pertemuan Tokyo, lalu Paris Club, yang kemudian menjadi IGGI pada tahun 1967. Diplomat Amerika Serikat, Marshall Green, menyatakan: “merupakan sebuah momen penting dalam sejarah bahwa Indonesia, negara berenduduk terbanyak ke-5 di dunia, secara strategis berada di persilangan antara dua benua dan dua samudra, membalikkan perlakuannya 180 derajat”.[18

Selain itu, pada tahun 1967 juga digulirkan ”Law Regarding Foreign Investment” atas konsultasi Amerika Serikat, menyebabkan pemerintah Indonesia hanya mendapatkan seperlima keuntungan dari sekitar US$ 95 miliar kekayaan mineral Indonesia, hingga pada tahun 2010 baru peraturan tersebut direvisi, [19] yang dengan kata lain, dalam jangka waktu tersebut, Indonesia didikte oleh Amerika Serikat mengenai peraturan investasi, menyesuaikan dengan bagaimana peraturan tersebut paling menguntungkan Amerika Serikat.

Selain masuk ke dalam institusi-institusi keuangan global, Indonesia juga segera masuk ke dalam jaringan perekonomian swasta global. Berikut adalah data beberapa kontak paling awal dengan perusahaan asing di di Indonesia:[20]

Tabel 1.

Di era Orde Baru tersebut, pemerintah Indonesia menjalankan pembangunan perekonomian yang sangat menekankan pada industrialisasi, merubah corak pembangunan dari yang tadinya berbasis pada pertanian. Beberapa ahli berpendapat bahwa industrialisasi modern di Indonesia dimulai saat Suharto memegang tampuk kepemimpinan nasional tahun 1960-an. Dirubahlah proyeksi pembangunan Indonesia dari yang tadinnya berfokus pada pertanian menjadi berfokus pada industri. Saat itu industrialisasi dianggap sebaga satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ke level seperti yang dialami oleh masyarakat di negara-negara industri, sebagai sebuah pandangan umum dari negara berkembang.[21] 

Perubahan struktural terjadi di Orde Baru, terlihat dari share GDP sektor pertanian yang pada pertengahan 1960 sebesar 53%, menjadi 19% di awal 1990-an, dan share sektor industri manufaktur yang di pertengahan 1960 sebesar 8%, menjadi 24% pada 1995.[22] Selain itu, kebijakan industri juga berevolusi berdasar orientasi pasar dari barang produksi, apakah substitusi impor atau orientasi ekspor. Evolusi berdasar orientasi pasar dari barang hasil produksi tersebut adalah:[23] 

Industrialisasi Substitusi Impor (ISI), sebagai penerapan dari contoh sukses dari Amerika Latin, yang dijalankan melalui Repelita pertama dan kedua yang fokus mendukung industri pertanian, infrastruktur, dan kerajinan tangan.

Industrialisasi Orientasi Ekspor (IOE), yang dilakukan sejak oil boom selesai dan pemerintah menganggap bahwa strategi ISI tiddak lagi dapat diaplikasikan, sehingga negara melakukan strategic retreat dari peranannya dalam perekonomian, bersamaan dengan memperkuat sektor non-migas.

Perubahan struktural dari fokus ke pertanian menjadi fokus ke manufaktur, dan perubahan strategi industrialisasi dari ISI menjadi IOE yang dilakukan Orde Baru, seperti diuraikan di atas, menunjukkan usahanya untuk ‘naik kelas’ dari periphery menjadi semi-periphery. Kasus Indonesia di atas merupakan bagian dari tren yang lebih besar yaitu yang terjadi secara global. Froebel menunjukkan bahwa di era 1970-an telah terjadi pergeseran pembagian kerja internasional yaitu tanda-tanda de-industrialisasi di negara-negara maju, yang industri-industrinya berpindah ke negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang ini ‘naik kelas’ dalam pembagian kerja internasional, dari yang tadinya sebagai pemasok bahan mentah atau periphery, mulai menjadi semi-periphery dengan mendapatkan porsi industri manufaktur yang tadinya dilakukan di negara-negara core, sehingga memulai pola pembangunan orientasi ekspor. Sebagian dari negara-negara ini kemudian dikenal sebagai gejala East Asian Miracle.[24]

4. Pasca Orde Baru hingga MP3EI: Kecenderungan ’turun tingkat’ kembali ke Perpihery dalam Capitalist World Economy.

Di bawah hukum persaingan sistem kapitalisme global, wajar bagi sebuah negara untuk memiliki rencana pembangunan perekonomian, untuk ‘naik kelas’ dalam Capitalist World Economy dari periphery menjadi semi-periphery. Rejim Orde Baru mempunyai angan-angannya sendiri tentang ekonomi. Pada Pemilihan Umum 1971 Ali Moertopo sebagai tangan kanan Suharto, mengkampanyekan "akselerasi pembangunan ekonomi 25 tahun". Rencana besar ini kemudian diterapkan lewat rangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), seperti yang dilakukan di negara-negara bekas koloni lainnya. Menjelang kejatuhan pemerintahan Suharto, keadaan struktur ekonomi Indonesia ternyata jauh dari yang dibayangkan lewat "akselerasi pembangunan" tersebut.

Tiga belas tahun setelah Suharto jatuh, Indonesia mendeklarasikan sebuah rencana  serupa, yaitu "Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia". Sekilas, MP3EI tampak menjawab kebutuhan ini. Namun ternyata jika ditelisik lebih dalam, kerangka MP3EI tidak berbentuk seperti yang umumnya dibayangkan jika berbicara tentang sebuah masterplan pembangunan nasional.

Pertama, karena konsep dari MP3EI ini adalah ‘kebijakan payung’ yang mana ia tidak datang dengan daftar program yang akan mulai dijalankan, tetapi justru mengumpulkan proyek-proyek yang sudah berjalan di daerah-daerah untuk diatasnamakan sebagai bagian dari MP3EI. Karenanya, alih-alih sebagai proyek pembangunan nasional, MP3EI lebih pas disebut sebagai skema penyaluran dana investasi dari berbagai pihak dalam kerangka PPP (Public-Private Partnership). Sektor swasta menjadi sumber dana terbesar (51%) dalam bauran sumber dana investasi MP3EI, sedangkan sisanya ditanggung Campuran (21%), BUMN (18%), dan Pemerintah (10%).[25]

Kedua, arah pembangunan yang dituju tampaknya tidak menjanjikan sebuah profil perekonomian yang mapan dan maju. Arahnya tidak ke industrialisasi nasional dengan membangun proyek-proyek industri yang ‘serius’ seperti misalnya otomotif dan elektronik, tetapi justru dominan di sektor ekstraktif. Dari 22 program ekonomi yang dicanangkan seperti telah disinggung di atas, penulis mendaftar hanya 5 sektor yang berpotensi diarahkan ke industri berat, yaitu alutsista, besi-baja, peralatan transportasi, telematika, dan perkapalan. Sisanya, setengah dari 22 program tersebut berfokus pada industri ekstraktif (sektor primer) di samping beberapa program lain yang dikategorisasikan ke sektor agraris dan kawasan strategis. Sederhananya, Indonesia berencana menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita besar pada tahun 2025. Dan Indonesia berangan-angan, dengan pengerukan sumber daya habis-habisan melalui skema MP3EI ini, target tersebut akan tercapai.

Sebenarnya Indonesia telah melakukan serangkaian usaha industrialisasi nasional sejak Orde Lama hingga Orde Baru, bahkan telah melakukan perubahan struktural dalam bauran PDB dari yang didominasi oleh sektor agraris menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa seperti telah diuraikan di atas. Di era Orde Baru Indonesia juga telah bereksperimen untuk membangun basis industri nasional yang kuat misalnya dengan PT PINDAD, PT PAL, industri pesawat terbang, dan rencana industri mobil nasional walaupun belum dapat pula disebut berhasil sepenuhnya.

Namun berhentinya eksperimen pembangunan nasional tersebut merupakan salahsatu karakteristik pola pembangunan pasca Orde Baru. Bahkan beberapa kalangan menunjukkan tren deindustrialisasi pasca Orde Baru melalui beberapa parameter seperti di antaranya sumbangan industri manufaktur terhadap bauran PDB dan terhadap bauran penyerapan tenaga kerja nasional.[26]

MP3EI disebut sebagai program pembangunan nasional, yang tampaknya yang pertama pasca Orde Baru. Oleh karena itu kecenderungan MP3EI yang tidak melanjutkan industrialisasi namun justru mempertahankan comparative advantage sebagai pemasok bahan mentah, menjadi hal yang tidak wajar. Karena, ini berarti Indonesia tidak meneruskan usaha ‘naik kelas’-nya, namun justru dengan deindustrialisasi, seperti kembali ke posisinya yang sebelumnya di Capitalist World Economy yaitu sekadar sebagai periphery.

MP3EI sebagai Spatio-temporal Fix

Salah satu masalah yang mengiringi kapitalisme, dan menjadi sumber krisis yang inheren, adalah adanya over produksi (over production), yaitu situasi dimana komoditi yang dihasilkan kapitalis sangat berlebih dan tidak dapat diserap oleh pasar. Sedangkan rumus dasar dari kapitalisme adalah C-M-C’[27], yaitu kapitalis harus menghasilkan komoditi untuk menghasilkan nilai-lebih (kapital), kemudian dipertukarkan di pasar untuk mendapatkan uang, selanjutnya uang tersebut harus diinvestasikan kembali guna menghasilkan komodoti lebih banyak dengan tujuan untuk mendapatkan nilai-lebih ang lebih banyak lagi (kapital). Dalam kondisi krisis akumulasi tersebut mandeg. Mengenai krisis tersebut, dijelaskan Harvey sebagai berikut,

“…I proposed a theory of a 'spatial fix' (more accurately a spatio-temporal fix) to the crisis-prone inner contradictions of capital accumulation. The central point of this argument concerned a chronic tendency within capitalism, theoretically derived out of a reformulation of Marx's theory of the tendency for the profit rate to fall, to produce crises of overaccumulation. Such crises are typically registered as surpluses of capital (in commodity, money, or productive capacity forms) and surpluses of labour power side by side, without there apparently being any means to bring them together profitably to accomplish socially useful tasks.”[28]

Selanjutnya, dijelaskan dalam penjelasannya di buku lain, di The Limits Capital,

“…The general import of these hypotheses is to confirm that location is an active moment within the overall circulation and accumulation of capital, that what we will later call 'uneven geographical development' together with radical re-structurings of the space economy of capitalism play a vital role in the processes of crisis formation and resolution, and that there may even be a 'spatial fix' (as we call it) to the internal contradictions of capitalism.”[29]

Menanggapi hal demikian, cara untuk mengatasinya terletak pada kapital. Jika hal tersebut ingin dihindari, maka harus ditemukan cara-cara untuk menyerap surplus kapital. Pada posisi demikian, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh kapitalis adalah ekspansi secara geografis dan reorganisasi spasial untuk dapat reinvestasi lagi sehingga akumulasi kapital dapat berlanjut. Ini yang dinamakan dengan konsep spatial fix atau lebih tepatnya spatio-temporal fix. Namun opsi tersebut tak bisa dipisahkan dari proses pergeseran temporal dimana surplus kapital dialihkan ke proyek-proyek jangka panjang agar nilai mereka dapat kembali bersirkulasi lewat aktivitas produktif. Karena ekspansi geografis tersebut menghasilkan investasi dalam infrastruktur-infrastruktur fisik dan sosial yang bertahan lama, maka penciptaan dan rekonfigurasi keruangan dapat menunda krisis kapitalisme.

Oleh karena itu, surplus kapital dan tenaga kerja yang terjadi, menurut Harvey, secara potensial dapat diserap melalui (a) pengalihan temporal dalam bentuk investasi dalam proyek-proyek kapital jangka panjang yang akan menunda masuknya kembali nilai-nilai kapital dalam sirkulasi kapital, (b) pengalihan spasial melalui pembukaan pasar baru, kapasitas produksi yang baru, peluan-peluang sosial, dan tenaga kerja baru, (c) gabungan antara keduanya.[30] Namun demikian, serangkain spatio temporal fix ini bersifat temporer dan dalam jangka menengah gagal untuk mengatasi problem overakumulasi. Karena overakumulasi pada sirkuit sekunder (pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan tersier (belanja sosial, riset dan pengembangan) akan mengarahkan overakumulasi baru bila tidak produktif pada masa depan dengan durasi yang panjang. Overakumulasi ini yang menjadi sebab krisis baru dalam jangka menengah.

Pada sesi ini, penulis akan menunjukan bahwa MP3EI merupakan skema spatio-temporal fix bagi krisis kapitalisme global. Titik poin argumen tersebut berawal dari posisi yang diambil penulis dalam melihat MP3EI itu sendiri. Bagi penulis, MP3EI adalah semacam brosur tawaran investasi bagi swasta yang ingin menanamkan uangnya di Indonesia. Dengan itu, sejumlah uang dapat terinvestasi kembali untuk sebuah kegiatan produktif yang akan menghasilkan nilai-labih baru sehingga dapat diwujudkan sebagai akumulasi kapital baru. Proses tersebut dilakukan dengan reorganisasi ruang untuk menjadi area sirkulasi, yang dalam MP3EI diwujudkan dalam bentuk koridor ekonomi dan infrastruktur yang akan dibangun.

Sebagaimana penjelasan Harvey di atas, kapitalisme selalu mengalami kontradiksi di dalamnya. Kontradiksi itu mewujud dalam kerentanannya akan krisis. Hal ini ternyata dikuatkan dari studinya Wesley Clair Mitchel, seorang ekonom Amerika Serikat, yang menghitung setidaknya terdapat 15 krisis dalam 110 tahun kapitalisme sejak 1810-1920. Sementara Paul Samuelson mencatat tujuh resesi dalam 30 tahun sejak 1945-1975. Dan, diantara dua periode tersebut terdapat depresi besar setiap sepuluh tahun.[31] Krisis kemudian berlanjut pada akhir periode 1990-an. Dan, terulang kembali pada 2008, yang kemudian merembet hingga tahun 2010-2011 dengan kolapsnya negara-negara di Eropa Selatan. Akar krisis kronik dalam kapitalisme dianalisa Harvey dari argumentasi Marx mengenai tendensi kejatuhan tingkat laba sehingga menciptakan krisis overakumulasi.[32]

Ide dasar dari spatio-temporal fix adalah upaya untuk menyerap kembali overakumulasi itu dengan ekspansi geografis dan reorganisasi ruang. Overakumulasi di sini memiliki arti bahwa dalam suatu territorial tertentu terjadi surplus kapital (yang berupa berlimpahnya komoditi di pasar yang tak bisa dijual tanpa merugi, kapasitas produkti yang menganggur dan atau surplus uang yang tak memiliki saluran investasi produktif dan menguntungkan) dan surplus tenaga kerja (meningkatnya pengangguran).[33] Untuk mengatasi itu, dibuatlah tiga skema yang telah dijelaskan di atas. Inti dari skema tersebut adalah mengalihkan arus kapital dari sirkulasi primer (produksi-konsumsi langsung) ke sirkulasi sekunder (berupa pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan sirkulasi tersier (belanja-belanja sosial). Dari situlah surplus kapital terserap dan disirkulasikan secara temporal.

Dengan latar belakang krisis pada tahun 2008 dan 2010-2011 di Eropa Selatan, surplus kapital secara global harus disalurkan dengan cara spatio-temporal fix tersebut. Adanya MP3EI memberikan jawaban atas hal tersebut. MP3EI memfasilitasi ekspansi geografi dan reorganisasi spasial untuk menyerap surplus kapital. Dengan kerangka pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi dapat dicapai dengan pusat-pusat pertumbuhan, MP3EI mendesain koridor-koridor ekonomi. Kemudian, agar semua poros ekonomi tersebut dapat saling terhubung, berikut dengan pasar internasional, maka perlu adanya konektivitas nasional. Konektivitas nasional dan internasional tersebut mensyaratkan di dalamnya pembangunan infrastruktur atas hal itu. Sedangkan, guna menunjang itu semua, peningkatan sumber daya manusia harus dijalankan dengan pendidikan. Dengan demikian, master plan ini diyakini akan membawa kesejahteraan bangsa yang dicapai dengan asas trickling down. Pola tersebut pas untuk mendefinisikan spatio-temporal fix.               

Melihat hal demikian, penulis memisahkan pembangunan koridor ekonomi dan pembangunan konektivitas nasional-internasional, dengan pembangunan sumber daya manusia.. Pembangunan koridor ekonomi dan konektivitas nasional-internasional merupakan skema dari sirkuit sekunder, yaitu proses pembentukan kapital tetap dengan proyek-proyek infrastuktur berjangka panjang. Sedangkan, pembangunan sumber daya manusia merupakan skema sirkuit tersier, yang dijalankan dengan belanja-belanja sosial, seperti pendidikan, pelatihan keterampilan, kesehatan, dll. Pola tersebut dijalankan dalam skema sirkulasi kapital. Tentu, dalam hal ini tujuan akhirnya adalah sirkulasi kapital yang dapat berlanjut dengan aktivitas produktif berjangka panjang, sekaligus dapat menunda krisis.

Argumentasi bahwa MP3EI dapat menyerap sejumlah surplus kapital, dapat dibuktikan dari data mengenai nilai potensial investasi di pembangunan koridor ekonomi dan konektivitas nasional-internasional tersebut. Berdasarkan teks asli MP3EI, nilai indikasi investasi pada enam koridor ekonomi total sebesar Rp. 4.012 triliun. (tabel 1.) Nilai indikasi investasi tertinggi terdapat di koridor Jawa dengan nilai investasi mencapai 34%, sedangkan yang terendah di koridor Bali-Nusa Tenggara dengan 3%. Nilai indikasi investasi ini juga menjadi nilai komodifikasi dari ruang yang diciptakan melalui koridor-koridor tersebut.

Dalam melaksanakan proyek ini, skema yang dijalankan pemerintah adalah Public-private partnership (PPP). Dengan skema tersebut, pembiayaan tersbesar akan ditanggung pihak swasta. Sedangkan pemerintah, cukup menyediakan iklim yang baik bagi investasi dengan sejumlah regulasi. Ini bisa dilihat dari proyeksi investor yang akan masuk, dimana pihak swasta diharapkan 51% akan mendanai proyek tersebut. Dengan demikian, maka sekitar Rp. 2.006 triliun diharapkan berasal dari swasta.   

Tabel 2. Nilai Indikasi Investasi
sumber: Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, hlm. 49

Selain dari koridor ekonomi, nilai komodifiksi juga bisa dilihat dari kegiatan utamanya. Nilai investasi yang diharapkan untuk 22 kegiatan utama tersebut total sebesar Rp. 2.226 triliun. Dari 22 kegiatan utama tersebut, migas memiliki nilai indikasi investasi terbesar dengan nilai Rp. 463 triliun. Kemudian, nilai total investasi kegiatan utama ditambah dengan infrastruktur pendukungnya mencapai Rp. 4012 triliun. (tabel 3) Nilai tersebut yang diundang oleh pemerintah untuk ditanamkan di Indonesia, dengan sebagian besar kegiatan utama tersebut berbasiskan kegiatan ekstraktif.

Tabel 3. Indikasi Investasi Kegiatan Ekonomi Utama
Sumber: Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, hlm. 49

Selain indikasi nilai indikasi investasi untuk pengembangan kegiatan ekonomi utama di masing-masing koridor, melalui MP3EI ini juga telah teridentifikasi indikasi investasi untuk pengembangan infrastruktur yang mendukung penguatan konektivitas nasional. Nilai indikasi investasi untuk pembangunan infrastruktur ini mencapai Rp. 1.786 triliun. Pembangunan infrastuktur ketiga terbesar diperuntukan bagi infrastruktur listrik dan energy, jalan raya, dan rel kereta api. (tabel 4.) Tujuan konektivitas ini adalah untuk menghubungkan intra koridor ekonomi, antar poros ekonomi, dan konektivitas internasional.

Tabel 4. Indikasi Investasi Infrastruktur
Sumber: Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, hlm. 50
Koridor ekonomi lengkap dengan kegiatan utamanya merupakan bentuk nyata dari reorganisasi spasial agar akumulasi kapital dapat berlanjut kembali. Hal itu kemudian diikuti dengan pembangunan-pembangunan infrastruktur untuk menunjang agar arus kapital dapat berjalan dengan lancar. Pembangunan inffrastruktur ini selain menyerap surplus kapital juga dapat menyerap surplus tenaga kerja. Pengerjaan proyek-proyek besar berjangka panjang tersebut dapat memberikan pekerjaan bagi para pengangguran.  Skema tersebut menarik surplus kapital dengan jumlah yang besar dan menundanya untuk masuk kembali ke sirkulasi kapital. Dengan demikian, sirkulasi tidak menjadi  jenuh, dan krisis dapat ditunda. Inilah sumbangan MP3EI dalam menanggulangi krisis kapitalisme global saat ini.

Finansialisasi Alam melalui MP3EI

Semua tradisi ekonomi dunia telah mencoba secara analitis untuk memisahkan peran keuangan dari ‘ekonomi riil.’ Akumulasi dipahami sebagai pembentukan kapital riil yang meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan, dan bertolak belakang dengan apresiasi aset-aset keuangan, yang meningkatkan klaim-klaim kekayaan namun tidak meningkatkan output. Keuangan (finance) merupakan pemeran utama yang tidak tergantikan dalam proses akumulasi kapital. Joseph Schumpeter, seorang ekonom dan ilmuwan politik dari Austria, menyebutkan pasar keuangan sebagai markas besarnya sistem kapitalisme. Dalam konteks historis terkini, terjadi fenomena menarik dalam mekanisme kapitalisme yang disebutkan oleh Paul Sweezy, seorang ekonom Marxis, sebagai ‘finansialisasi dari proses akumulasi kapital.’ Menurutnya, finansialisasi merupakan salah satu dari tiga kecenderungan utama dalam ekonomi di akhir abad ke-20, bersamaan dengan tumbuhnya kekuatan monopoli dan stagnasi. Finansialisasi yang dialami pada dekade-dekade akhir abad menandakan adanya perubahan fundamental dalam sifat kapitlisme: akumulasi—pembentukan kapital riil di ranah barang dan jasa—semakin subordinat terhadap keuangan, seakan-akan merealisasikan kekhawatiran John Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris, bahwa spekulasi akan mendominasi produksi.

Sejak dekade 1970-an, kita memang sedang mengalami apa yang disebutkan oleh Kari Polanyi-Levitt, profesor emiritus ekonomi dari McGill University di Montreal dan anak dari filsuf Karl Paul Polanyi, sebagai ‘The Great Financialization.’ Menurut John Bellamy Foster, profesor sosiologi dari University of Oregon, finansialisasi dapat didefinisikan sebagai perubahan jangka panjang di pusat gravitasi ekonomi kapitalistik dari produksi menjadi keuangan. Menurutnya, perubahan tersebut tercerminkan dalam segala aspek ekonomi, termasuk 5 aspek utama: (1) keuntungan keuangan yang meningkat sebagai bagian dari total keuntungan; (2) peningkatan hutang yang relatif terhadap produk domestik bruto; (3) tumbuhnya FIRE (finance, insurance, real estate—keuangan, asuransi, lahan yasan) sebagai bagian dari pendapatan nasional; (4) proliferasi instrumen-instrumen keuangan yang eksotis dan buram; dan (5) peran yang semakin berkembang dari gelembung-gelembung keuangan. Kecenderungan umum dari finansialisasi ini berjalan terus, dengan didorong dan ditopang oleh kebijakan ekonomi neoliberal.

Untuk melihat secara lebih jernih peran dari keuangan dalam ekonomi modern, pemikiran Keynes di awal dekade 1930-an menjadi penting untuk diperiksa lebih lanjut, terutama dalam tulisannya yang berjudul A Monetary Theory of Production. Di dalamnya, Keynes menekankan bahwa teori ekonomi ortodoks mengenai pertukaran didasarkan atas konsep ekonomi barter, yang mana uang diperlakukan dalam ekonomi ortodoks atau neoklasik sebagai sesuatu yang ‘netral,’ yang seharusnya tidak mempengaruhi sifat esensial dari sebuah transaksi sebagai pertukaran antar benda yang riil. Sebaliknya, Keynes menawarkan teori moneter dari produksi yang mana uang merupakan salah satu aspek operatif dari ekonomi. Foster menyebutkan bahwa keuntungan utama dari pendekatannya Keynes adalah bahwa ia menetapkan bagaimana krisis-krisis ekonomi dimungkinkan. Di sini, Keynes secara langsung menyerang Hukum Say, sebuah pemahaman ekonomi ortodoks bahwa penawaran menciptakan permintaannya sendiri, sehingga krisis ekonomi secara prinsipil merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Menentang ini semua, Keynes menulis bahwa “ledakan dan depresi merupakan fenomena-fenomena yang khas terhadap sebuah ekonomi di mana uang tidak netral.”

Secara lebih mendasar, fenomena finansialisasi merupakan manifestasi dari apa yang sudah dianalisa oleh Karl Marx, seorang manusia biasa dari Jerman. Marx mengatakan bahwa di dalam rumus umum untuk kapital (M-C-M’—kapital awal-komoditi-kapital awal ditambah dengan nilai-lebih) terdapat kecenderungan dari kapital untuk berusaha mentransformasikan dirinya murni menjadi sebuah ekonomi keuangan atau spekulatif; rumus M-C-M’ kemudian berubah menjadi M-M’, yang mana uang beranak uang tanpa rantai perantara berbentuk produksi komoditi. Marx menulis bahwa di dalam M-M’, “hubungan kapital mencapai bentuk yang paling dangkal dan terjimatkan.” Foster menyebutkan bahwa jika pada awalnya M-M’ merujuk pada kapital berbunga (interest-bearing capital), seiring dengan perkembangan kapitalisme ia berubah menjadi permintaan spekulatif terhadap uang secara lebih umum. Marx menjelaskan bahwa kredit menggantikan posisi uang; kapital lama-kelamaan menjelma sebagai bentuk-bentuk duplikat dari 2 tipe internalnya, yakni kapital riil (real capital—stok dari pabrik, peralatan, serta barang yang dihasilkan dari produksi) dan kapital fiktif (fictitious capital—struktur dari klaim-klaim finansial yang diproduksi oleh lembaran kertas-berharga yang berhak atas kapital riil). Marx menuturkan bahwa sejauh kegiatan ekonomi diarahkan menuju pengapresiasian kapital fiktif yang berada dalam dunia keuangan ketimbang akumulasi dari kapital riil yang berada dalam dunia produksi, maka kapital itu sendiri telah bermetaformose menjadi bentuk yang murni bersifat spekulatif. Dalam volume tiga dari Das Kapital, Marx mengatakan: “Di dalam cara dari bagaimana bahkan sebuah akumulasi hutang dapat terlihat sebagai sebuah akumulasi kapital, kita melihat distorsi yang terlibat dalam sistem kredit mencapai puncaknya.”

Apa saja wujud, atau apa saja yang mengalami finansialisasi dewasa ini? Jawabannya: segalanya, termasuk seluruh alam semesta ini. Genealogi dari finansialisasi-segalanya, khususnya finansialisasi alam, selain ditarik dari perkembangan kapitalisme, secara filosofis juga dapat dilihat dari perkembangan pemikiran utilitarianisme sebagai filsafat etis di Eropa pada abad ke-18, yang mana alam mengalami pereduksian menjadi sumber daya alam, yang dalam diskursus utilitarianisme bertujuan untuk memisahkan secara saling eksklusif manusia dengan alam. Alam dipandang, dieksploitasi, dan dipergunakan oleh manusia berdasarkan nilai ekonomis yang dikonstruksikan di dalamnya. Walaupun sejak awal peradaban manusia alam sudah dicoba untuk ‘ditaklukkan’ dan dimanfaatkan untuk kebutuhan kita sehari-hari, sejak berkembangnya diskursus utilitarianisme (yang kemudian manifes dalam pemikiran ekonomi neoklasik), negara dan institusi pemerintahan mulai secara sistematis, akademis, dan besar-besaran mengkomodifikasi, memilah dan mengekstraksi alam berdasarkan nilai-tukar yang tinggi untuk perekonomian. Terjadi pula mendiskreditan dan pengabaian terhadap bagian-bagian alam lainnya yang memiliki nilai-tukar yang lebih rendah. Menurut James C. Scott, profesor ilmu politik dan antropologi di Yale University, hal tersebut dapat terlihat dari munculnya perhutanan ilmiah (scientific forestry) di Jerman pada abad ke-18, yang mana hutan dengan segala keragaman floranya diseragamkan untuk ditanami jenis Norway spruce saja, yang memiliki nilai ekonomi yang paling tinggi. Diversitas yang berada pada skala ribuan yang diabaikan, yang pada akhirnya menyebabkan kematian perhutanan ilmiah tersebut akibat hilangnya komponen-komponen biologis pendampingnya. Faktanya, alam sebagai suatu entitas-matriks biologis yang saling terhubung merupakan bagian integral dari infrastruktur ekologis dari konteks ekologis lokal maupun biosfera secara keseluruhan.

Finansialisasi alam merupakan langkah lanjut dari penciptaan nilai tukar dari ‘barang’ fiktif. Dapat dikatakan apapun bisa dijualbelikan sebagai ‘produk’ keuangan, yang tidak ada benda fisiknya. Ambil contoh kebangkrutan perusahaan, cuaca baik, gas rumah kaca di atmosfer, hutang, dan sebagainya. Produk-produk keuangan tersebut disebut sebagai turunan atau derivatives, dan ‘barang’-nya disebut sebagai underlying asset. Penggunaan istilah asset juga menyingkap proses privatisasi-segalanya. Apakah dengan inovasi atau lebih tepatnya petualangan kapital keuangan ini sistem kapitalisme terbebas dari krisis berkala? Sama sekali tidak. Ia adalah konfirmasi bahwa sistem ini tengah menciptakan penggali kuburnya sendiri. Sesungguhnya finansialisasi-segalanya tersebut juga bersifat revolusioner bagi kapitalisme. Daur waktu yang tadinya dibutuhkan untuk sirkuit produksi, barang dan realisasi profit, sekarang terbebaskan. Cadangan minyak bumi telah dapat diperjualbelikan sebelum diekstraksi. Itu juga sesungguhnya dorongan di balik space closure dan gejala land grab. Lantas, di mana MP3EI di dalam seluruh potret finansialisasi-segalanya tersebut? MP3EI merupakan mekanisme, mesin untuk melanggengkan dan melancarkan finansialisasi terhadap segala sektor yang ada, termasuk pada alam di seluruh kepulauan Nusantara beserta isi-isinya. Seorang hanya memerlukan membuka dan membaca sekilas dokumen resmi Masterplan untuk mengetahui bahwa paradigma ‘pembangunan’ yang dimaksud sekedar melayani logika ekspansi dan akumulasi kapital, tanpa menghiraukan faktor-faktor sosial-ekologis, terutama keselamatan dan kedaulatan rakyat serta infrastruktur ekologis dari tiap-tiap pulau.

Penutup

Keterkaitan ketiga teori dan konsep yang digunakan penulis, dapat diargumentasikan sebagai berikut. Dengan teori sistem dunia, penulis berusaha melihat MP3EI sebagai bagian dari sistem kapitalisme global. Menggunakan teori tersebut, posisi Indonesia melalui MP3EI bisa dibaca dan dikontekstualisasi dengan kerangka International division labor. Setelah meletakan Indonesia pada posisinya di konteks sistem kapitalisme dunia, kita dapat memeriksa proyeksi MP3EI ini untuk apa. Perkembangan kapitalisme dalam kenyataannya selalu mengandung kontradiksi di dalamnya, sehingga ia selalu menghasilkan krisis, terutama krisis akumulasi-berlebih (overaccumulation). Di tengah usaha keluar dari gelombang krisis tersebut, kapitalisme mereorganisasi ruang sebagai cara untuk mengatasinya. Itulah yang disebut spatio-temporal fix. MP3EI dalam paper ini dibaca sebagai obat sementara untuk menyerap surplus kapital melalui koridor ekonomi dan pembangunan infrastruktur. Bersamaan dengan spatio-temporal fix, reorganisasi ruang sebagai re-sirkulasi kapital membuatnya menjadi sebuah proses komodifikasi ruang. Karena dalam MP3EI ini reorganisasi ruang dilakukan dengan usaha yang berbasiskan industri ekstraktif, maka komodifikasi ruang tersebut menjadi bagian dari finansialisasi alam. Finansialisasi alam ini menjadi bentuk kontemporer dari kapitalisme global yang dijalankan melalui, salah satunya, MP3EI.   

Dengan argumentasi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa MP3EI merupakan proyek pembangunan yang dikondisikan oleh perkembangan kapitalisme global, yang menempatkan Indonesia berada dalam posisi yang menunjukkan kecenderungan ’turun tingkat’ kembali ke Periphery dalam Capitalist World Economy. MP3EI yang berbasiskan kegiatan ekstraktif menunjukan hal demikian. Indonesia menjadi penyuplai bahan mentah untuk rantai produksi global yang merupakan bagian dari geografi ekonomi baru. Karena berada dalam sirkuit kapital secara internasional, posisi Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan kapitalisme global, termasuk krisis yang terkandung di dalamnya. Krisis ini membawa konsekuensi untuk ditanggulangi dengan ekspansi geografi dan reorganisasi spasial. MP3EI berada dalam konteks tersebut. Ia menjadi sarana untuk menyerap surplus kapital yang ada dengan investasi pada koridor-koridor ekonominya beserta pembangunan infrastruktur pendukungnya. Implikasinya sangat jelas: MP3EI sama sekali tidak mempertimbangkan atau melihat faktor-faktor sosial-ekologis yang imanen dalam kompleksitas kesatuan antara pulau-pulau di Indonesia dengan masyarakat yang ada di dalamnya. Koridorisasi serta pembangunan infrastruktur yang sudah disebutkan merupakan usaha untuk mengkomodifikasi ruang serta memfinansialisasikan alam. MP3EI gagal untuk mempertimbangkan kelangsungan sosial-ekologis yang ditopang melalui keselamatan manusia dan alam, termasuk keberadaan infrastruktur-infrastruktur ekologis tiap-tiap pulau. Melihat pola perusakan yang dibawa oleh MP3EI, penulis berpendapat bahwa MP3EI merupakan pengkhianatan terhadap kedaulatan negara dan bangsa, serta pengingkaran terhadap kepengurusan publik yang sudah seharusnya berorientasi pada keselamatan manusia dan alam.

Terakhir, sebagai kewajiban aksiologis dari paper ini agar dapat menyelamatkannya dari keterpurukan akademis yang kerap kali dilakukan oleh kalangan akademis itu sendiri, pada bagian akhir ini penulis menyeru kepada segenap pembaca paper ini untuk merapatkan barisan dalam solidaritas dan dalam usaha untuk belajar dan memeriksa kembali secara sungguh-sungguh ’makhluk’ yang disebut sebagai MP3EI ini. Hanya ada dua kata kerja yang tersisa, yang merupakan hutang yang kami tanggung terhadap generasi yang akan datang dan belum lahir: melawan kerusakan dan memulihkan perusakan.


Daftar Pustaka

Froebel, F. Heinrichs J., dan O. Kreye. The New International Division of Labour. Cambridge: Cambridge University Press. 1979, dalam Beverley Mullings, “New International Division of Labour” dalam Barney Warf. Encyclopedia of Human Geography. California: SAGE Publications. 2006.

Harvey. David.  The Limits of Capital. London and New York: Verso. 1982.

------------------. The New Imperialism. Oxford: Oxford University Press. 2003.

------------------.  Imperialisme Baru. Yogyakarta: Resist Book. 2012

Pilger, John. The New Rulers of The World. (Motion Picture). 2001.

Kementerian Koordinator Perekonomian. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan  Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Perekonomian. 2011.

Keynes, John Maynard. “A Monetary Theory of Production,” dalam Keynes, Collected Writings, volume 13. London: Macmillan, 1973.

Leifer, Michael. “Dari Konfrontasi ke Konfrontasi”. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta:  Gramedia. 1983.

Mansur, Ahmad. Is Indonesia Undergoing A Process of De-Industrialization?. Tesis master,  Institute of Social Studies. 2008.

Marijan, Kacung. “Industrial Policy, Industrialisation and Cluster Industries in Indonesia: An Overview”. UNISIA. Vol. XXX No. 64 Juni 2007.

Marx, Karl. Theories of Surplus Value, Bagian 2. Moscow: Progress Publishers, 1968.

--------------. Capital, Volume 3. London: Penguin. 1981.

--------------. Das Kapital Buku II: Proses Sirkulasi Kapital terj. Oey Hay Djoen. London:  Penguin Classic. 1992.

Schumpeter, Joseph Alois. The Theory of Economic Development: An Inquiry Into Profits,  Capital, Credit, Interest, and the Business Cycle. New Jersey: Transaction Publishers, 1982.

Shaikh, Anwar. “Pengantar Sejarah Teori Krisis”, Jurnal Bersatu, Edisi April 2009.

Scott, James C. Seeing Like A State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have           Failed. Yale: Yale University Press, 1999.

Wallerstein, Immanuel. A World-System Perspective On The Social Science”, The British   Journal of Sociology, Vol. No. 27 Issue No. 3. London School of Economics. 1976.

----------------------------. “The Strong Core-States: Class-Formation and International Commerce”, The Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century. New York: Academic Press. 1976.

Winters, Jeffrey A. “The Preboom years, 1965-1974: Investor  Confidence and Political  Contradictions”, Power In Motion: Capital Mobility and The Indonesian State. New York: Cornell University Press. 1996.

Sumber Internet:

Foster, John Bellamy. “The Financialization of Accumulation.” Monthly Review 62, no. 5  (Oktober 2010). http://monthlyreview.org/2010/10/01/the-financialization-of-accumulation. Diunduh pada 19 Desember 2013 pukul 11.04 WIB.

Ivanov, Alexandor. “Yubileum yang ke-60 Hubungan Rusia-Indonesia”, Kedutaan Besar  Federasi Rusia untuk Republik Indonesia. Diunduh dari http://www.indonesia.mid.ru/60years/02_i.html diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.

Maimunah, Siti. “MP3EI dan Keselamatan Rakyat”,  diunduh dari http://www.jatam.org/saung-berita/berita-kampanye/274--mp3ei-dan-keselamatan-rakyat.html diakses pada 6 Oktober 2013 pukul 22.15 WIB.

Polanyi-Levitt, Kari. “The Great Financialization,” John Kenneth Galbraith Prize Lecture, June 8, 2008. http://karipolanyilevitt.com/documents/The-Great-Financialization.pdf. Diunduh pada 20 Desember 2013 pukul 09.10 WIB.

Sweezy, Paul Marlor. “More (or Less) on Globalization.” Monthly Review 49, no. 4 (September 1997). http://monthlyreview.org/1997/09/01/more-or-less-on-globalization. Diunduh pada           20 Desember 2013 pukul 09.45 WIB.

Vries, Idries De. “Economically, Indonesia Has a Way to Go”, dalam The Jakarta Globe (2011), diunduh dari http://www.thejakartaglobe.com/commentary/economically-indonesia-has-a-way-to-go/459911 diakses pada 19 Desember 2013 pukul 18.30 WIB

“Membangun Dunia Kembali”, diunduh dari http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=2547&type=2 diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.






[1]Kementerian Koordinator Perekonomian, “Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025”, (Jakarta,  2011) hlm. 8
[2] Ibid. hlm. 15
[3]  Ibid. hlm. 22
[4] Ibid.
[5] Ibid. hlm. 48
[6] Ibid.
[7] Siti Maimunah, “MP3EI dan Keselamatan Rakyat”, diunduh dari http://www.jatam.org/saung-berita/berita-kampanye/274--mp3ei-dan-keselamatan-rakyat.html diakses pada 6 Oktober 2013 pukul 22.15 WIB.
[8] Immanuel Wallerstein, “A World-System Perspective On The Social Science”, The British  Journal of Sociology, Vol. No. 27 Issue No. 3 (London School of Economics, 1976), hlm. 343-352.
[9] Ibid., halaman 187.
[10] Immanuel Wallerstein, “The strong core-states: class-formation and international commerce”, The Modern World-System: Capitalist Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (New York: Academic Press, 1976), hlm. 229-233.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Alexandor Ivanov, “Yubileum yang ke-60 Hubungan Rusia-Indonesia”, Kedutaan Besar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia. Diunduh dari http://www.indonesia.mid.ru/60years/02_i.html diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.
[15] Lihat naskah di “Membangun Dunia Kembali”, diunduh dari http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=2547&type=2 diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.
[16] Michael Leifer, “Dari Konfrontasi ke Konfrontasi”, Politik Luar Negeri Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 150.
[17] John Pilger, The New Rulers of The World (2001).
[18] Jeffrey A. Winters, “The Preboom years, 1965-1974: Investor  Confidence and Political Contradictions”, Power In Motion: Capital Mobility and The Indonesian State (New York: Cornell University Press, 1996), halaman 54.
[19] Idries De Vries, “Economically, Indonesia Has a Way to Go”, dalam The Jakarta Globe (2011), diakses dari http://www.thejakartaglobe.com/commentary/economically-indonesia-has-a-way-to-go/459911.
[20] Winters, Ibid., hlm. 57.
[21] Kacung Marijan, “Industrial Policy, Industrialisation and Cluster Industries in Indonesia: An Overview” dalam UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007, hlm. 104.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 106-109.
[24] F. Froebel, Heinrichs J., dan O. Kreye, The New International Division of Labour (Cambridge: Cambridge University Press, 1979) dalam Beverley Mullings, “New International Division of Labour” dalam Barney Warf, Encyclopedia of Human Geography (California: SAGE Publications, 2006), hlm. 332-334.
[25] Kementerian Koordinator Perekonomian, ibid. hlm. 49.
[26] Ahmad Mansur, “Is Indonesia Undergoing A Process of De-Industrialization?”, Tesis master, Institute of Social Studies, 2008.
[27] Karl Marx, “Das Kapital Buku II: Proses Sirkulasi Kapital terj. Oey Hay Djoen”, (London: Penguin Classic, 1992,) hlm. 4
[28] David Harvey, “The New Imperialism” (Oxford: Oxford University Press. 2003), hlm.87-88
[29] David Harvey, “The Limits of Capital”, (London and New York: Verso. 1982), hlm. 390
[30] David Harvey, “Imperialisme Baru”, (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. 121
[31] LIhat Anwar Shaikh, “Pengantar Sejarah Teori Krisis”, Jurnal Bersatu, Edisi april 2009, hlm.21
[32] David Harvey, op.cit. hlm. 98
[33] Ibid. hlm. 121

Tidak ada komentar:

Posting Komentar