Pendahuluan
Pemerintah, melalui Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2011,
telah menetapkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) untuk menjadi arah pembangunan ekonomi Indonesia hingga tahun
2025. MP3EI diyakini sebagai konsep yang komprehensif dengan memadukan berbagai
potensi wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Muatan utama MP3EI
seperti yang disampaikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam pengantar
peraturan presiden tersebut adalah debottlenecking,
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional.[1] Bila
diringkas maka esensi di dalamnya antara lain; pengembangan potensi daerah
melalui koridor ekonomi, konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana
aksi nasional terkait infrastruktur dan regulasi, dan kemitraan dengan dukungan
pihak swasta melalui public private partnership. Pada bagian
awal, kami akan menunjukkan logika dari MP3EI yang tertuang dalam dokumen
aslinya.
MP3EI bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada
tahun 2025 dengan indikator pendapatan
per kapita yang berkisar antara USD 14.250 – USD 15.500 dengan nilai total
perekonomian (PDB) berkisar antara USD 4,0 – 4,5 triliun. Untuk mewujudkannya
diperlukan pertumbuhan ekonomi riil sebesar 6,4 – 7,5 persen pada periode 2011
–2014, dan sekitar 8,0 – 9,0 persen pada periode 2015 – 2025. Pertumbuhan
ekonomi tersebut akan dibarengi oleh penurunan inflasi dari sebesar 6,5 persen
pada periode 2011 – 2014 menjadi 3,0 persen pada 2025. Kombinasi pertumbuhan
dan inflasi seperti itu mencerminkan karakteristik negara maju.[2] Untuk menuju itu, dengan MP3EI Indonesia menyadari
posisinya di dunia sebagai sebuah negara dengan bentang alam yang luas,
populasi terbesar keempat di dunia, dan kandungan bahan, sumber energi primer
dan zona klimatologis yang ideal. Oleh karena itu, menurut MP3EI Indonesia perlu
memposisikan dirinya sebagai basis ketahanan pangan dunia, pusat pengolahan
produk pertanian, perkebunan, perikanan, dan sumber daya mineral serta pusat
mobilitas logistik global. Untuk mengembangkannya, MP3EI menggunakan prinsip “percepatan pembangunan” dengan menggunakan strategi “not business as usual”, dan mengundang
sumber-sumber pembiayaan swasta dengan
konsep public private partnership. Pemerintah
merumuskan dan menerapkan kerangka regulasi lewat berbagai instrumen hukum dan
ekonomik, untuk menaikkan tingkat pelayanan infrastruktur ekonomi dan keuangan.
MP3EI mengembangkan beberapa program utama, antara lain, pertanian,
pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, dan telematika, serta
pengembangan kawasan strategis.[3]
Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama, antara
lain, kelapa sawit, kakao, karet, peternakan, perkayuan, minyak dan gas,
batubara, nikel, temabag, bauksit, perikanan, pariwisata, pertanian pangan,
jabodetabek area, KSN selat sunda, peralatan trasnportasi, telematika,
perkapalan, tekstil, makanan-minuman, besi baja, dan alat utama sistem
pertahanan (alutsista).[4]
Percepatan dan perluasan ekonomi Indonesia dilakukan dengan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi, untuk memaksimalkan keuntungan aglomerasi,
menggali potensi dan keunggulan daerah serta memperbaiki ketimpangan spasial
pembangunan ekonomi Indonesia. Untuk itu, akan dikembangkan delapan koridor
ekonomi utama dengan spesifikasinya masing-masing, antara lain:
Koridor Ekonomi Sumatera memiliki tema pembangunan sebagai “Sentra
Produksi dan Pengolahan Hasil Bumi dan
Lumbung Energi Nasional”;
Koridor Ekonomi Jawa memiliki tema pembangunan sebagai
“Pendorong Industri dan Jasa Nasional”,
Koridor Ekonomi Kalimantan memiliki tema pembangunan sebagai “Pusat
Produksi dan Pengolahan Hasil Tambang
& Lumbung Energi Nasional”,
Koridor Ekonomi Sulawesi memiliki tema pembangunan sebagai ‘’Pusat
Produksi dan Pengolahan Hasil Pertanian,
Perkebunan, Perikanan, Migas dan Pertambangan Nasional”.
Koridor Ekonomi Bali – Nusa
Tenggara memiliki tema
pembangunan sebagai ‘’Pintu Gerbang
Pariwisata dan Pendukung Pangan Nasional’’.
Koridor Ekonomi Papua –
Kepulauan Maluku memiliki
tema pembangunan sebaga “Pusat Pengembangan
Pangan, Perikanan, Energi, dan Pertambangan Nasional”.
Dengan
adanya keenam koridor tersebut, MP3EI mengasumsikan bahwa akan terjadi
Pertumbuhan tahunan PDB nasional sekitar 12,7% secara nasional, dengan
pertumbuhan wilayah di dalam koridor sebesar 12,9%. Sedangkan pertumbuhan di
luar koridor juga akan mengalami peningkatan sebesar 12,1% sebagai hasil dari
adanya spillover effect pengembangan
kawasan koridor ekonomi.[5]
Dengan modal ini, Indonesia diprediksi menjadi negara maju dan sejahtera pada
2025 dengan PDB sekitar USD 4,3 Triliun dan menjadi negara dengan PDB terbesar
ke-9 di dunia. Untuk mewujudkan hal tersebut, sekitar 82% atau USD 3,5 Triliun
akan ditargetkan sebagai kontribusi PDB dari koridor ekonomi sebagai bagian
dari transformasi ekonomi[6].
Keenam
koridor MP3EI tersebut juga akan berfungsi mendorong konektivitas nasional
dengan peningkatan infrastruktur sebagai pendukung arus modal di dalam dan
antar koridor. Lembaga-lembaga pendidikan dan riset juga akan memainkan peran
penting dalam MP3EI, dengan model
keterkaitan dunia pendidikan dan penelitian dengan industri.
Investasi
raksasa di bawah kendali pemerintah seperti skema MP3EI sebenarnya bukan
fenomena baru. Hal tersebut pernah ditempuh oleh rejim Orde Baru, dengan resep
yang melibatkan pemangkasan hambatan regulasi, pemberian insentif, dan
percepatan pembangunan infrastruktur untuk mendukung kepentingan pelaku-pelaku
ekonomi besar.[7] Penglihatan dan
terhadap fenomena MP3EI tidak bisa tidak harus didasarkan pada konteks
struktural dan historis. MP3EI lahir dari konteks politik-ekonomi
neoliberalisme yang menyokong pembebasan alir kapital dari kepentingan sosial
maupun mekanisme regulasi. Penguasaan wilayah-wilayah kehidupan di sepanjang
koridor-koridor MP3EI merupakan bagian dari politik ruang dalam sistem
kapitalisme. Dalam hal ini jejaring koridor tersebut juga berfungsi sebagai
infrastruktur ruang ekonomi dalam rangka menghapus hambatan ruang (spatial barrier), agar perputaran modal,
barang dan jasa, tenaga kerja, penguasaan atas tanah dan kekayaan alam dapat
berlangsung tanpa hambatan.
Dalam
posisi ini, kami melihat MP3EI tak bisa dilepaskan dari fenomena globalisasi rantai
produksi dan konsumsi. Keyakinan itu dapat dilihat dari pernyataan resmi
pemerintah bahwa MP3EI merupakan jawaban untuk menghadapi pasar bebas Asia dan
arus kapital global yang tanpa batas. Percepatan dan perluasan ekonomi di
Indonesia harus segera dilakukan agar tidak tertinggal. Bila MP3EI merupakan
jawaban untuk menyongsong globalisasi, globalisasi sendiri merupakan anak
kandung kapitalisme. Dengan demikian, MP3EI sesungguhnya adalah sebuah skenario
di dalam sistem kapitalisme. Itulah sebabnya, dalam konteks global tersebut,
pertanyaan yang diajukan dalam paper ini
adalah: “Bagaimana MP3EI ditinjau dari
perspektif perkembangan ekonomi-politik kapitalisme global saat ini?
Menakar Posisi Indonesia
dalam Sistem Kapitalisme Dunia Melalui MP3EI
World-System Theory bukan sudut pandang mainstream dalam dunia akademis studi politik dan globalisasi. World-System Theory sendiri memang tidak
menyebut pemikiranya sebagai pemikiran ilmu sosial tertentu secara khusus dan
skesklusif, karena World-System Theory
memandang ilmu sosial sebagai suatu kesatuan; politik, sosiologi, dan ekonomi
dilihat sebagai suatu kesatuan, dan dianalisis secara historis.[8]
Bagi World-System Theory, pemisahan
ilmu-ilmu ini menyebabkan analisis yang dilakukan tidak komprehensif dan
cenderung membenarkan ketidaksesuaian hasil penelitian antar bidang studi
sebagai disebabkan oleh perbedaan sudut pandang. Dalam dunia akademis mainstream, World-System Theory, karenanya, menjadi
sebuah sudut pandang yang interdisipliner, digunakan oleh berbagai bidang
studi.
Bagi
studi politik dan globalisasi, World-System
Theory—atau World-System Analysis—memberikan
sudut pandang alternatif dalam melihat khususnya persoalan-persoalan
ekonomi-politik. World-System Theory
menolak level analisis individu dan negara karena menganggap semua kejadian
saling terkait dan berpola; sistemik.
World-System Theory juga seringkali digolongkan sebagai bagian dari sudut
pandang strukturalisme yang bertradisi Marxist bersama teori-teori seperti
dependensi dan imperialisme. World-System
Theory cukup untuk meruntuhkan segala argumentasi yang memiliki asumsi
berbeda, seperti bahwa perang bukan disebabkan oleh usaha negara untuk survive, kebijakan luar negeri suatu
negara bukan disebabkan oleh pertimbangan yang dilakukan oleh negara tersebut,
dan regionalisme bukan usaha negara-negara untuk mendapatkan keuntungan demi dirinya
sendiri. Secara garis besar, menurut World-System
Theory segala peristiwa terjadi karena alasan ekonomi, dan bidang-bidang
lain seperti politik, sosial, dan budaya, adalah turunan dari tujuan ekonomi
tersebut. Ekonomi menjadi basis.[9]
World-System Theory menyatakan bahwa hanya ada satu sistem
sosial, di samping sistem-sistem kecil yang tidak memiliki kaitan dengan sistem
lain; sistem-sisten kesukuan yang diteliti oleh antropolog. Bagi World-System, sistem sosial tunggal
tersebut adalah ‘World-System’,
sistem yang merupakan sebuah dunia, yang dapat berbentuk World-Empire atau World-Economy.[10]
Sistem-sistem sosial lain seperti negara, suku, dan lain-lain, tidak diakui
selain sebagai turunan dan ‘perpanjangan tangan’ dari World-System. Bisa jadi, ada lebih dari satu World-System di dunia yang saling bersaing dan berusaha
menjatuhkan; berusaha menjadi satu-satunya World-System.
Sejak abad pertengahan, terdapat beberapa World-Empire
seperti Inggris, Persia, dan Cina. World-Empire
sendiri merupakan sebuah entitas politik yang terpusat dan memiliki relasi
perintah yang jelas; sebuah negara penjajah. World-Empire menjalankan relasi ekonomi secara internal, namun
sudah bersifat eksploitatif dan menciptakan dependensi.[11]
Sedangkan
World-Economy merupakan sistem tanpa
pusat, selain mekanisme kapitalisnya. Negara, perusahaan, organisasi, dan
lain-lain merupakan hasil dari mekanisme kapitalis dari World-Economy yang berusaha untuk melanggengkan status quo yang
eksploitatif dan dependen, karena
menguntungkan bagi sebagian orang. World-Economy
dalam dunia modern (pasca Traktat Westphalia 1648) ditandai dengan mekanisme
kapitalisnya, sehingga disebut Capitalist
World-Economy.[12]
Dalam
Capitalist World-Economy sebagai World-System di zaman modern, relasi
ekonomi (perdagangan, membedakan dengan feodalisme yang cenderung produksi)
melibatkan setidaknya 3 pihak, yaitu: negara core, wilayah periphery,
dan wilayah semi-periphery. Keduanya
disebut wilayah karena Capitalist
World-Economy membentuk pemerintahan dan militer yang kuat di negara-negara
core dan menjaga negara-negara lain tetap lemah,
supaya dapat melakukan deal-deal
untuk melanggengkan eksploitasi dan dependensi asing. Selain itu, wilayah
selain core tidak harus merupakan
sebuah negara merdeka. Secara
geografis, bola dunia terbagi ke 3 kelompok di atas, di samping External Area sebagai wilayah yang
berada di luar Capitalist World-Economy,
yang bisa jadi sekaligus sebuah World-Economy
lain, ataupun sekadar tereksklusifkan dari relasi perdagangan dalam Capitalist Worl-Economy karena penolakan
dari negara itu sendiri.[13]
Negara-negara
core adalah yang diuntungkan oleh Capitalist World-Economy, karena relasi
perdagangannya dengan wilayah periphery
tidak seimbang: eksploitatif, menciptakan dependensi, dan menciptakan mekanisme
yang melanggengkan sistem. Negara-negara ini adalah Negara-Negara Industri
Eropa Barat dan Amerika Serikat, yang khususnya pasca Perang Dunia II muncul
sebagai Blok Barat pemenang PD II dan berusah melanggengkan posisinya di World-System melalui berbagai institusi
keuangan global seperti WTO, IMF, dan World
Bank.
Sedangkan
wilayah periphery adalah
negara-negara dunia ketiga pada umumnya, yang mengalami keterbelakangan
struktural, disengaja oleh negara-negara core
guna mendukung dan mempertahankan relasi ekonomi yang ada, khususnya
negara-negara di Afrika dan Amerika Latin pada abad lalu. Wilayah periphery menyediakan sumber daya alam
dan tenaga kerja murah untuk dieksploitasi oleh negara-negara core sedangkan negara-negara core memproduksi produk-produk industri
yang tidak bisa diproduksi oleh wilayah periphery
karena monopoli teknologi dan modal oleh negara-negara core.
Wilayah
semi-periphery bukan sekadar kumpulan
pengecualian, melainkan sebuah bagian yang penting dalam Capitalist World-Economy. Ia bisa berfungsi sebagai core bagi periphery tertentu sekaligus menjadi periphery bagi core
tertentu. Ia juga bisa merupakan negara core
yang melemah dominasinya, atau wilayah periphery
yang mengalami ’promosi untuk naik tingkat’. Semi-periphery memiliki karakteristik tersendiri, seperti ia tidak
lagi semata-mata dieksploitasi oleh core,
namun dapat berperan misalnya sebagai tempat relokasi industri dari negara core dan mempersiapkannya menjadi
pelanjut dari mekanisme kapitalis saat negara core menurun kapabilitasnya. Negara-negara industri baru masuk ke
dalam kategori ini, seperti Cina, Brazil, India, Indonesia, Mexico, dan
lain-lain.
Kelompok
lain dari negara-negara di dunia yang tidak masuk ke dalam Capitalist World-Economy disebut External Arena, di mana
Korea Utara merupakan salahsatu contoh untuk hari ini. Uni Soviet di era Perang
Dingin juga disebut sebagai External
Arena, bahkan sebagai World-System
lain yang bersaing dengan Capitalist
World-Economy dan berusaha saling menjatuhkan. Suatu negara dapat saja menjalankan
sebuah gerakan nasional dan antisistemik untuk berusaha menggulingkan Capitalist World-Economy atau
mengeluarkan diri dari reladi dagang yang tak berimbang (unequal exchange) tersebut, baik menjadi entitas yang independen
atau berusah membentuk World-System
lain. Tentunya, Capitalist World-Economy
menginginkan semua negara masuk ke dalam sistem supaya lebih banyak sumber daya
dan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi.
Melalui
kaca mata World-System Theory, dunia
terlihat sebagai proses produksi dan akumulasi modal global. Proses ini terjadi
melalui pembagian kerja secara internasional (international division of labour). Bagian dari proses produksi yang
dilakukan di negara-negara core
berbeda dengan yang dilakukan di negara-negara periphery. Misalnya, negara-negara core memproduksi bagian dari produk yang membutuhkan teknologi dan
SDM (sumber daya manusia) tingkat tinggi. Sedangkan wilayah periphery memproduksi komponen-komponen
kecil dari produk yang tidak membutuhkan teknologi dan SDM terdidik. Tentunya
setiap negara di dunia ini, berdasar pola produksi seperti apa yang dominan di
sana, dapat dikategorisasikan ke salahsatu dari empat pembagian wilayah dunia
seperti telah diuraikan di atas, yaitu negara core, periphery, semi-periphery, atau external area.
Untuk
melihat di manakah posisi Indonesia dalam proses produksi dan akumulasi modal
global hari ini, perlu dilihat konteks historisnya, yaitu perkembangan posisi
Indonesia tersebut di waktu-waktu yang sebelumnya. Menurut hemat kami,
perkembangan posisi Indonesia tersebut dapat dibagi menjadi empat fase berdasar
World-System Theory, yaitu: 1) Pra
Kemerdekaan: Wilayah Koloni dari World-Empire
Belanda, 2) Orde Lama: Usaha menjadi External
Area dan membentuk World-Economy
tandingan dari Capitalist World Economy,
3) Orde Baru: Periphery yang berusaha
menjadi Semi-Periphery dari Capitalist World Economy, dan 4) Pasca
Orde Baru hingga MP3EI: Kecenderungan ’turun tingkat’ kembali ke Perpihery dalam Capitalist World Economy.
1. Pra Kemerdekaan: Wilayah Koloni dari World-Empire Belanda
Sebelum merdeka, Indonesia merupakan negara koloni dari Kerajaan Belanda dan untuk waktu yang singkat, diduduki oleh militer Jepang. Wilayah kepulauan Indonesia secara bertahap dikuasai oleh Kerajaan Belanda sebagai wilayah Koloni terutama di sepanjang abad ke XIX, dengan pergantian pendek ketika pecah perang Napoleon di Eropa, ketika Stamford Raffles menduduki Jawa (1811-1816). Di samping itu Bengkulu di pantai barat Sumatra merupakan wilayah "milik" Inggris (1785-1824), dan Timor Timur adalah jajahan Portugis (1702-1975). Aceh baru menjadi bagian Hindia Belanda di tahun 1907. Di masa penjajahan ini pola produksi di Indonesia direncanakan dan dinikmati hasilnya oleh penjajah, yaitu Kerajaan Belanda, secara monopolistis. Ini dilakukan melalui penerapan berbagai peraturan ekonomi Kolonial seperti hak ooctroi, pelayaran Hongi, UU Agraria, dan berbagai peraturan tanam paksa.
Sebagai aset terpenting dari salahsatu World-Empire yang ada di dunia saat itu yaitu World-Empire Kerajaan Belanda, bahkan juga setelah surutnya pengaruh globalnya di tutup abad ke XVIII, Hindia Belanda sudah menjalankan pola produksi yang serupa dengan yang dilakukan wilayah periphery dalam Capitalist World Economy, namun dengan beberapa perbedaan. Di antaranya adalah hirarki kontrolnya jelas dan satu arah yaitu dari negara penjajah ke daerah jajahan, dan nilai lebih yang dihasilkan di Hindia Belanda disalurkan semata-mata ke negeri Belanda, tidak ke negeri-negeri lain. Ini membedakannya dengan wilayah periphery dalam Capitalist World Economy di mana tidak ditemukan di sana hirarki kontrol yang jelas, karena banyaknya aktor investasi yang bermain, tanpa monopoli oleh entitas politik tertentu. Dalam wilayah periphery juga oleh karenanya nilai lebih tersalur menyebar ke negeri-negeri sumber investasi masing-masing.
Peristiwa-peristiwa seputar momen kemerdekaan Indonesia tak dapat dipisahkan dari Perang Dunia kedua, konflik terbuka di antara negara-negara Inti dari sistem ekonomi kapitalis dunia, yang menyundut Perang Asia Timur Raya dan memicu pendudukan Jepang di tahun 1942. Setelah Jepang menyerah kalah pada kekuatan militer Sekutu, sulit bagi Belanda, yang makin terpuruk ekonomi ekspornya di Hindia Belanda karena Perang Dunia II, untuk menegakkan kembali kekuasaannya seperti dulu. Amerika Serikat juga mulai masuk ke Indonesia. Hal ini misalnya dilakukan dengan mengancam menghentikan bantuan rekonstruksi pasca perang Marshall Plan ke Belanda jika Belanda masih bersikeras mempertahankan Irian Barat. Tekanan Amerika Serikat ini tentunya juga berdasar kepentingan nasionalnya dan analisis ekonomi politik, yaitu keberadaan tambang emas di sana dan pertimbangan bahwa investasi lebih mudah masuk jika Irian Barat berada di bawah pemerintahan yang baru di Indonesia dibandingkan jika berada di bawah Belanda.
2. Orde Lama: Usaha menjadi External Area dan membentuk World-Economy tandingan
1. Pra Kemerdekaan: Wilayah Koloni dari World-Empire Belanda
Sebelum merdeka, Indonesia merupakan negara koloni dari Kerajaan Belanda dan untuk waktu yang singkat, diduduki oleh militer Jepang. Wilayah kepulauan Indonesia secara bertahap dikuasai oleh Kerajaan Belanda sebagai wilayah Koloni terutama di sepanjang abad ke XIX, dengan pergantian pendek ketika pecah perang Napoleon di Eropa, ketika Stamford Raffles menduduki Jawa (1811-1816). Di samping itu Bengkulu di pantai barat Sumatra merupakan wilayah "milik" Inggris (1785-1824), dan Timor Timur adalah jajahan Portugis (1702-1975). Aceh baru menjadi bagian Hindia Belanda di tahun 1907. Di masa penjajahan ini pola produksi di Indonesia direncanakan dan dinikmati hasilnya oleh penjajah, yaitu Kerajaan Belanda, secara monopolistis. Ini dilakukan melalui penerapan berbagai peraturan ekonomi Kolonial seperti hak ooctroi, pelayaran Hongi, UU Agraria, dan berbagai peraturan tanam paksa.
Sebagai aset terpenting dari salahsatu World-Empire yang ada di dunia saat itu yaitu World-Empire Kerajaan Belanda, bahkan juga setelah surutnya pengaruh globalnya di tutup abad ke XVIII, Hindia Belanda sudah menjalankan pola produksi yang serupa dengan yang dilakukan wilayah periphery dalam Capitalist World Economy, namun dengan beberapa perbedaan. Di antaranya adalah hirarki kontrolnya jelas dan satu arah yaitu dari negara penjajah ke daerah jajahan, dan nilai lebih yang dihasilkan di Hindia Belanda disalurkan semata-mata ke negeri Belanda, tidak ke negeri-negeri lain. Ini membedakannya dengan wilayah periphery dalam Capitalist World Economy di mana tidak ditemukan di sana hirarki kontrol yang jelas, karena banyaknya aktor investasi yang bermain, tanpa monopoli oleh entitas politik tertentu. Dalam wilayah periphery juga oleh karenanya nilai lebih tersalur menyebar ke negeri-negeri sumber investasi masing-masing.
Peristiwa-peristiwa seputar momen kemerdekaan Indonesia tak dapat dipisahkan dari Perang Dunia kedua, konflik terbuka di antara negara-negara Inti dari sistem ekonomi kapitalis dunia, yang menyundut Perang Asia Timur Raya dan memicu pendudukan Jepang di tahun 1942. Setelah Jepang menyerah kalah pada kekuatan militer Sekutu, sulit bagi Belanda, yang makin terpuruk ekonomi ekspornya di Hindia Belanda karena Perang Dunia II, untuk menegakkan kembali kekuasaannya seperti dulu. Amerika Serikat juga mulai masuk ke Indonesia. Hal ini misalnya dilakukan dengan mengancam menghentikan bantuan rekonstruksi pasca perang Marshall Plan ke Belanda jika Belanda masih bersikeras mempertahankan Irian Barat. Tekanan Amerika Serikat ini tentunya juga berdasar kepentingan nasionalnya dan analisis ekonomi politik, yaitu keberadaan tambang emas di sana dan pertimbangan bahwa investasi lebih mudah masuk jika Irian Barat berada di bawah pemerintahan yang baru di Indonesia dibandingkan jika berada di bawah Belanda.
2. Orde Lama: Usaha menjadi External Area dan membentuk World-Economy tandingan
Indonesia Orde Lama adalah External Arena karena beberapa karakteristik. Bagaimanapun, Wallesrstein mengakui bahwa tidak mudah untuk memilah antara External Arena dan Periphery Area. Namun dalam kasus Indonesia, beberapa karakteristik di bawah menunjukkan posisi tersebut, yang secara umum merupakan ketidakadaan karaktreristik-karakteristik Periphery Area:
Pemerintah pusat yang kuat dan independen dari campur tangan kekuatan asing.
Dalam kebijakan luar negerinya yang revolusioner dan konfrontatif, Sukarno menolak segala macam intervensi dan bantuan bersyarat dari negara-negara besar sebagai negara-negara core dalam Capitalist World-Economy. Di antaranya diungkapkan secara implisit di depan Duta Besar Amerika Serikat Howard Jones, “Go to hell with your aid!”
Indonesia justru memanfaatkan keinginan negara-negara besar untuk menaruh kepentingan di Indonesia untuk keuntungan-keuntungan pragmatis seperti bantuan diplomasi Amerika Serikat untuk mengancam penyetopan bantuan ekonomi Marshall Plan kepada Belanda jika tidak segera angkat kaki dari Papua Barat. Sedangkan dari Uni Soviet Indonesia mengambil keuntungan berupa bantuan militer dan dana pembangunan.
Berikut rincian bantuan militer Uni Soviet kepada Indonesia berhubungan dengan pembebasan Irian Barat[14]:
Total bantuan: 1 miliar US$, terdiri dari:
-
70 kapal untuk ALRI, terdiri dari: 6 kapal torpedo, 4 kapal jaga, 12 kapal
selam, 12 kapal motor luncur rudal, 12 kapal motor luncur torpedo, 10 kapal
penyapu ranjau, dan pesawat tempur MIG-17, MIG-19, dan MIG-21.
-
100 tank amfibi untuk mariner.
-
Pesawat torpedo moderm (TU-16 KS dan TU-16),
-
Pesawat pengebom, dan
-
Pesawat intelijen jarak jauh.
Tidak mengekspor barang mentah dan menyediakan buruh murah ke negara core.
Pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin tidak tercatat terjadi relasi dagang barang mentah maupun buruh murah baik seperti yang terjadi di era penjajahan maupun seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Mempertahankan diri dari masuk ke Capitalist World-Economy.
Karakteristik ini yang paling khas dari era Orde Lama Indonesia, bahkan Orde Lama tampak berusaha membangun World-System tersendiri, sebuah tatanan dunia alternatif yang lebih equal dan lebih humanis. Hal ini tercermin dari pidato Sukarno di Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960 yang berjudul “To Build The World A New”.[15]
Orde Lama menjalankan usaha ini melalui berbagai agenda seperti penyelenggaraan KAA, GNB, penyamaan pandangan revisionis bersama Cina, penyusunan NEFO-GANEFO-CONEFO, poros Jakarta-Pnom Penh-Peking-Pyong Yang, dan konfrontasi terhadap pendirian Federasi Malaya yang dianggap sebagai ‘antek neokolonialisme dan imperialisme’. Sukarno bersama PM Cina Chou En-lai menyamakan persepsi mereka tentang revisionisme dalam perbincangan mereka, untuk menjalakan sebuah PBB yang baru di antara bangsa-bangsa yang sedang bangkit, sebuah “PBB yang lain, suatu badan yang revolusioner mungkin terbentuk sehingga drama persaingan dapat dipentaskan dengan badan yang menamakan dirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa”.[16] Penolakan terhadap hubungan dengan negara-negara core yang dibahasakan oleh Sukarno sebagai ‘nekolim’ ini menjadi terlihat jelas arahnya setelah secara drastis Suharto di Orde Baru justru segera mengikatkan diri dengan negara-negara donor tersebut.
3. Orde Baru: Periphery yang berusaha menjadi Semi-Periphery dari Capitalist World Economy
Pasca jatuhnya Orde Lama, segera mekanisme pengikatan Indonesia ke dalam eksploitasi dan dependensi dijalankan oleh negara-negara core dalam Capitalist World-Economy. Pilger menyatakan dalam dokumenternya bahwa dalam suatu pertemuan antara utusan Indonesia dan para utusan negara core dan pemimpin bisnis dunia, Indonesia telah dibagi menjadi beberapa bidang seperti jasa makanan, sektor keuangan, pertambangan, dan perdagangan.[17]
Indonesia segera berpindah posisi dari External Area di era Orde Lama yang lantang menggalang koalisi anti-nekolim (neo-kolonialisme/penjajahan baru oleh negara-negara core) menjadi periphery yang terikat dalam relasi dagang tak berimbang dengan negara-negara tersebut. Di antara UU pertama yag diluluskan oleh Orde baru adalah UU No. 1 tahun 1971 tentang Penanaman Modal Asing, setelah Indonesia masuk World Bank dan diadakan Pertemuan Tokyo, lalu Paris Club, yang kemudian menjadi IGGI pada tahun 1967. Diplomat Amerika Serikat, Marshall Green, menyatakan: “merupakan sebuah momen penting dalam sejarah bahwa Indonesia, negara berenduduk terbanyak ke-5 di dunia, secara strategis berada di persilangan antara dua benua dan dua samudra, membalikkan perlakuannya 180 derajat”.[18
Selain itu, pada tahun 1967 juga digulirkan ”Law Regarding Foreign Investment” atas konsultasi Amerika Serikat, menyebabkan pemerintah Indonesia hanya mendapatkan seperlima keuntungan dari sekitar US$ 95 miliar kekayaan mineral Indonesia, hingga pada tahun 2010 baru peraturan tersebut direvisi, [19] yang dengan kata lain, dalam jangka waktu tersebut, Indonesia didikte oleh Amerika Serikat mengenai peraturan investasi, menyesuaikan dengan bagaimana peraturan tersebut paling menguntungkan Amerika Serikat.
Selain masuk ke dalam institusi-institusi keuangan global, Indonesia juga segera masuk ke dalam jaringan perekonomian swasta global. Berikut adalah data beberapa kontak paling awal dengan perusahaan asing di di Indonesia:[20]
Tidak mengekspor barang mentah dan menyediakan buruh murah ke negara core.
Pada Masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin tidak tercatat terjadi relasi dagang barang mentah maupun buruh murah baik seperti yang terjadi di era penjajahan maupun seperti yang terjadi di era Orde Baru.
Mempertahankan diri dari masuk ke Capitalist World-Economy.
Karakteristik ini yang paling khas dari era Orde Lama Indonesia, bahkan Orde Lama tampak berusaha membangun World-System tersendiri, sebuah tatanan dunia alternatif yang lebih equal dan lebih humanis. Hal ini tercermin dari pidato Sukarno di Sidang Umum PBB tanggal 30 September 1960 yang berjudul “To Build The World A New”.[15]
Orde Lama menjalankan usaha ini melalui berbagai agenda seperti penyelenggaraan KAA, GNB, penyamaan pandangan revisionis bersama Cina, penyusunan NEFO-GANEFO-CONEFO, poros Jakarta-Pnom Penh-Peking-Pyong Yang, dan konfrontasi terhadap pendirian Federasi Malaya yang dianggap sebagai ‘antek neokolonialisme dan imperialisme’. Sukarno bersama PM Cina Chou En-lai menyamakan persepsi mereka tentang revisionisme dalam perbincangan mereka, untuk menjalakan sebuah PBB yang baru di antara bangsa-bangsa yang sedang bangkit, sebuah “PBB yang lain, suatu badan yang revolusioner mungkin terbentuk sehingga drama persaingan dapat dipentaskan dengan badan yang menamakan dirinya Perserikatan Bangsa-Bangsa”.[16] Penolakan terhadap hubungan dengan negara-negara core yang dibahasakan oleh Sukarno sebagai ‘nekolim’ ini menjadi terlihat jelas arahnya setelah secara drastis Suharto di Orde Baru justru segera mengikatkan diri dengan negara-negara donor tersebut.
3. Orde Baru: Periphery yang berusaha menjadi Semi-Periphery dari Capitalist World Economy
Pasca jatuhnya Orde Lama, segera mekanisme pengikatan Indonesia ke dalam eksploitasi dan dependensi dijalankan oleh negara-negara core dalam Capitalist World-Economy. Pilger menyatakan dalam dokumenternya bahwa dalam suatu pertemuan antara utusan Indonesia dan para utusan negara core dan pemimpin bisnis dunia, Indonesia telah dibagi menjadi beberapa bidang seperti jasa makanan, sektor keuangan, pertambangan, dan perdagangan.[17]
Indonesia segera berpindah posisi dari External Area di era Orde Lama yang lantang menggalang koalisi anti-nekolim (neo-kolonialisme/penjajahan baru oleh negara-negara core) menjadi periphery yang terikat dalam relasi dagang tak berimbang dengan negara-negara tersebut. Di antara UU pertama yag diluluskan oleh Orde baru adalah UU No. 1 tahun 1971 tentang Penanaman Modal Asing, setelah Indonesia masuk World Bank dan diadakan Pertemuan Tokyo, lalu Paris Club, yang kemudian menjadi IGGI pada tahun 1967. Diplomat Amerika Serikat, Marshall Green, menyatakan: “merupakan sebuah momen penting dalam sejarah bahwa Indonesia, negara berenduduk terbanyak ke-5 di dunia, secara strategis berada di persilangan antara dua benua dan dua samudra, membalikkan perlakuannya 180 derajat”.[18
Selain itu, pada tahun 1967 juga digulirkan ”Law Regarding Foreign Investment” atas konsultasi Amerika Serikat, menyebabkan pemerintah Indonesia hanya mendapatkan seperlima keuntungan dari sekitar US$ 95 miliar kekayaan mineral Indonesia, hingga pada tahun 2010 baru peraturan tersebut direvisi, [19] yang dengan kata lain, dalam jangka waktu tersebut, Indonesia didikte oleh Amerika Serikat mengenai peraturan investasi, menyesuaikan dengan bagaimana peraturan tersebut paling menguntungkan Amerika Serikat.
Selain masuk ke dalam institusi-institusi keuangan global, Indonesia juga segera masuk ke dalam jaringan perekonomian swasta global. Berikut adalah data beberapa kontak paling awal dengan perusahaan asing di di Indonesia:[20]
Tabel
1.
Di era Orde Baru tersebut, pemerintah Indonesia menjalankan pembangunan perekonomian yang sangat menekankan pada industrialisasi, merubah corak pembangunan dari yang tadinya berbasis pada pertanian. Beberapa ahli berpendapat bahwa industrialisasi modern di Indonesia dimulai saat Suharto memegang tampuk kepemimpinan nasional tahun 1960-an. Dirubahlah proyeksi pembangunan Indonesia dari yang tadinnya berfokus pada pertanian menjadi berfokus pada industri. Saat itu industrialisasi dianggap sebaga satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat ke level seperti yang dialami oleh masyarakat di negara-negara industri, sebagai sebuah pandangan umum dari negara berkembang.[21]
Perubahan struktural terjadi di Orde Baru, terlihat dari share GDP sektor pertanian yang pada pertengahan 1960 sebesar 53%, menjadi 19% di awal 1990-an, dan share sektor industri manufaktur yang di pertengahan 1960 sebesar 8%, menjadi 24% pada 1995.[22] Selain itu, kebijakan industri juga berevolusi berdasar orientasi pasar dari barang produksi, apakah substitusi impor atau orientasi ekspor. Evolusi berdasar orientasi pasar dari barang hasil produksi tersebut adalah:[23]
Industrialisasi Substitusi Impor (ISI), sebagai penerapan dari contoh sukses dari Amerika Latin, yang dijalankan melalui Repelita pertama dan kedua yang fokus mendukung industri pertanian, infrastruktur, dan kerajinan tangan.
Industrialisasi Orientasi Ekspor (IOE), yang dilakukan sejak oil boom selesai dan pemerintah menganggap bahwa strategi ISI tiddak lagi dapat diaplikasikan, sehingga negara melakukan strategic retreat dari peranannya dalam perekonomian, bersamaan dengan memperkuat sektor non-migas.
Perubahan struktural dari fokus ke pertanian menjadi fokus ke manufaktur, dan perubahan strategi industrialisasi dari ISI menjadi IOE yang dilakukan Orde Baru, seperti diuraikan di atas, menunjukkan usahanya untuk ‘naik kelas’ dari periphery menjadi semi-periphery. Kasus Indonesia di atas merupakan bagian dari tren yang lebih besar yaitu yang terjadi secara global. Froebel menunjukkan bahwa di era 1970-an telah terjadi pergeseran pembagian kerja internasional yaitu tanda-tanda de-industrialisasi di negara-negara maju, yang industri-industrinya berpindah ke negara-negara berkembang. Negara-negara berkembang ini ‘naik kelas’ dalam pembagian kerja internasional, dari yang tadinya sebagai pemasok bahan mentah atau periphery, mulai menjadi semi-periphery dengan mendapatkan porsi industri manufaktur yang tadinya dilakukan di negara-negara core, sehingga memulai pola pembangunan orientasi ekspor. Sebagian dari negara-negara ini kemudian dikenal sebagai gejala East Asian Miracle.[24]
4. Pasca Orde Baru hingga MP3EI: Kecenderungan ’turun tingkat’ kembali ke Perpihery dalam Capitalist World Economy.
Di bawah hukum persaingan sistem kapitalisme global, wajar bagi sebuah negara untuk memiliki rencana pembangunan perekonomian, untuk ‘naik kelas’ dalam Capitalist World Economy dari periphery menjadi semi-periphery. Rejim Orde Baru mempunyai angan-angannya sendiri tentang ekonomi. Pada Pemilihan Umum 1971 Ali Moertopo sebagai tangan kanan Suharto, mengkampanyekan "akselerasi pembangunan ekonomi 25 tahun". Rencana besar ini kemudian diterapkan lewat rangkaian Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA), seperti yang dilakukan di negara-negara bekas koloni lainnya. Menjelang kejatuhan pemerintahan Suharto, keadaan struktur ekonomi Indonesia ternyata jauh dari yang dibayangkan lewat "akselerasi pembangunan" tersebut.
Tiga belas tahun setelah Suharto jatuh, Indonesia mendeklarasikan sebuah rencana serupa, yaitu "Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia". Sekilas, MP3EI tampak menjawab kebutuhan ini. Namun ternyata jika ditelisik lebih dalam, kerangka MP3EI tidak berbentuk seperti yang umumnya dibayangkan jika berbicara tentang sebuah masterplan pembangunan nasional.
Pertama, karena konsep dari MP3EI ini adalah ‘kebijakan payung’ yang mana ia tidak datang dengan daftar program yang akan mulai dijalankan, tetapi justru mengumpulkan proyek-proyek yang sudah berjalan di daerah-daerah untuk diatasnamakan sebagai bagian dari MP3EI. Karenanya, alih-alih sebagai proyek pembangunan nasional, MP3EI lebih pas disebut sebagai skema penyaluran dana investasi dari berbagai pihak dalam kerangka PPP (Public-Private Partnership). Sektor swasta menjadi sumber dana terbesar (51%) dalam bauran sumber dana investasi MP3EI, sedangkan sisanya ditanggung Campuran (21%), BUMN (18%), dan Pemerintah (10%).[25]
Kedua, arah pembangunan yang dituju tampaknya tidak menjanjikan sebuah profil perekonomian yang mapan dan maju. Arahnya tidak ke industrialisasi nasional dengan membangun proyek-proyek industri yang ‘serius’ seperti misalnya otomotif dan elektronik, tetapi justru dominan di sektor ekstraktif. Dari 22 program ekonomi yang dicanangkan seperti telah disinggung di atas, penulis mendaftar hanya 5 sektor yang berpotensi diarahkan ke industri berat, yaitu alutsista, besi-baja, peralatan transportasi, telematika, dan perkapalan. Sisanya, setengah dari 22 program tersebut berfokus pada industri ekstraktif (sektor primer) di samping beberapa program lain yang dikategorisasikan ke sektor agraris dan kawasan strategis. Sederhananya, Indonesia berencana menjadi negara maju dengan pendapatan per kapita besar pada tahun 2025. Dan Indonesia berangan-angan, dengan pengerukan sumber daya habis-habisan melalui skema MP3EI ini, target tersebut akan tercapai.
Sebenarnya Indonesia telah melakukan serangkaian usaha industrialisasi nasional sejak Orde Lama hingga Orde Baru, bahkan telah melakukan perubahan struktural dalam bauran PDB dari yang didominasi oleh sektor agraris menjadi didominasi oleh sektor industri dan jasa seperti telah diuraikan di atas. Di era Orde Baru Indonesia juga telah bereksperimen untuk membangun basis industri nasional yang kuat misalnya dengan PT PINDAD, PT PAL, industri pesawat terbang, dan rencana industri mobil nasional walaupun belum dapat pula disebut berhasil sepenuhnya.
Namun berhentinya eksperimen pembangunan nasional tersebut merupakan salahsatu karakteristik pola pembangunan pasca Orde Baru. Bahkan beberapa kalangan menunjukkan tren deindustrialisasi pasca Orde Baru melalui beberapa parameter seperti di antaranya sumbangan industri manufaktur terhadap bauran PDB dan terhadap bauran penyerapan tenaga kerja nasional.[26]
MP3EI disebut sebagai program pembangunan nasional, yang tampaknya yang pertama pasca Orde Baru. Oleh karena itu kecenderungan MP3EI yang tidak melanjutkan industrialisasi namun justru mempertahankan comparative advantage sebagai pemasok bahan mentah, menjadi hal yang tidak wajar. Karena, ini berarti Indonesia tidak meneruskan usaha ‘naik kelas’-nya, namun justru dengan deindustrialisasi, seperti kembali ke posisinya yang sebelumnya di Capitalist World Economy yaitu sekadar sebagai periphery.
MP3EI sebagai Spatio-temporal Fix
Salah
satu masalah yang mengiringi kapitalisme, dan menjadi sumber krisis yang inheren, adalah adanya over produksi (over production), yaitu situasi dimana
komoditi yang dihasilkan kapitalis sangat berlebih dan tidak dapat diserap oleh
pasar. Sedangkan rumus dasar dari kapitalisme adalah C-M-C’[27],
yaitu kapitalis harus menghasilkan komoditi untuk menghasilkan nilai-lebih
(kapital), kemudian dipertukarkan di pasar untuk mendapatkan uang, selanjutnya
uang tersebut harus diinvestasikan kembali guna menghasilkan komodoti lebih
banyak dengan tujuan untuk mendapatkan nilai-lebih ang lebih banyak lagi
(kapital). Dalam kondisi krisis akumulasi tersebut mandeg. Mengenai krisis
tersebut, dijelaskan Harvey sebagai berikut,
“…I proposed a
theory of a 'spatial fix' (more accurately a spatio-temporal fix) to the
crisis-prone inner contradictions of capital accumulation. The central point of
this argument concerned a chronic tendency within capitalism, theoretically
derived out of a reformulation of Marx's theory of the tendency for the profit
rate to fall, to produce crises of overaccumulation. Such crises are typically
registered as surpluses of capital (in commodity, money, or productive capacity
forms) and surpluses of labour power side by side, without there apparently
being any means to bring them together profitably to accomplish socially useful
tasks.”[28]
Selanjutnya,
dijelaskan dalam penjelasannya di buku lain, di The Limits Capital,
“…The general
import of these hypotheses is to confirm that location is an active moment
within the overall circulation and accumulation of capital, that what we will
later call 'uneven geographical development' together with radical
re-structurings of the space economy of capitalism play a vital role in the
processes of crisis formation and resolution, and that there may even be a
'spatial fix' (as we call it) to the
internal contradictions of capitalism.”[29]
Menanggapi
hal demikian, cara untuk mengatasinya terletak pada kapital. Jika hal tersebut
ingin dihindari, maka harus ditemukan cara-cara untuk menyerap surplus kapital.
Pada posisi demikian, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh kapitalis adalah
ekspansi secara geografis dan reorganisasi spasial untuk dapat reinvestasi lagi
sehingga akumulasi kapital dapat berlanjut. Ini yang dinamakan dengan konsep spatial fix atau lebih tepatnya spatio-temporal fix. Namun opsi tersebut
tak bisa dipisahkan dari proses pergeseran temporal dimana surplus kapital
dialihkan ke proyek-proyek jangka panjang agar nilai mereka dapat kembali
bersirkulasi lewat aktivitas produktif. Karena ekspansi geografis tersebut
menghasilkan investasi dalam infrastruktur-infrastruktur fisik dan sosial yang
bertahan lama, maka penciptaan dan rekonfigurasi keruangan dapat menunda krisis
kapitalisme.
Oleh
karena itu, surplus kapital dan tenaga kerja yang terjadi, menurut Harvey,
secara potensial dapat diserap melalui (a) pengalihan temporal dalam bentuk
investasi dalam proyek-proyek kapital jangka panjang yang akan menunda masuknya
kembali nilai-nilai kapital dalam sirkulasi kapital, (b) pengalihan spasial
melalui pembukaan pasar baru, kapasitas produksi yang baru, peluan-peluang
sosial, dan tenaga kerja baru, (c) gabungan antara keduanya.[30]
Namun demikian, serangkain spatio
temporal fix ini bersifat temporer dan dalam jangka menengah gagal untuk
mengatasi problem overakumulasi. Karena overakumulasi pada sirkuit sekunder
(pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan tersier (belanja sosial, riset dan
pengembangan) akan mengarahkan overakumulasi baru bila tidak produktif pada
masa depan dengan durasi yang panjang. Overakumulasi ini yang menjadi sebab
krisis baru dalam jangka menengah.
Pada
sesi ini, penulis akan menunjukan bahwa MP3EI merupakan skema spatio-temporal fix bagi krisis
kapitalisme global. Titik poin argumen tersebut berawal dari posisi yang
diambil penulis dalam melihat MP3EI itu sendiri. Bagi penulis, MP3EI adalah
semacam brosur tawaran investasi bagi swasta yang ingin menanamkan uangnya di
Indonesia. Dengan itu, sejumlah uang dapat terinvestasi kembali untuk sebuah
kegiatan produktif yang akan menghasilkan nilai-labih baru sehingga dapat
diwujudkan sebagai akumulasi kapital baru. Proses tersebut dilakukan dengan
reorganisasi ruang untuk menjadi area sirkulasi, yang dalam MP3EI diwujudkan
dalam bentuk koridor ekonomi dan infrastruktur yang akan dibangun.
Sebagaimana
penjelasan Harvey di atas, kapitalisme selalu mengalami kontradiksi di
dalamnya. Kontradiksi itu mewujud dalam kerentanannya akan krisis. Hal ini
ternyata dikuatkan dari studinya Wesley Clair Mitchel, seorang ekonom Amerika
Serikat, yang menghitung setidaknya terdapat 15 krisis dalam 110 tahun
kapitalisme sejak 1810-1920. Sementara Paul Samuelson mencatat tujuh resesi
dalam 30 tahun sejak 1945-1975. Dan, diantara dua periode tersebut terdapat
depresi besar setiap sepuluh tahun.[31]
Krisis kemudian berlanjut pada akhir periode 1990-an. Dan, terulang kembali
pada 2008, yang kemudian merembet hingga tahun 2010-2011 dengan kolapsnya
negara-negara di Eropa Selatan. Akar krisis kronik dalam kapitalisme dianalisa
Harvey dari argumentasi Marx mengenai tendensi kejatuhan tingkat laba sehingga
menciptakan krisis overakumulasi.[32]
Ide
dasar dari spatio-temporal fix adalah
upaya untuk menyerap kembali overakumulasi itu dengan ekspansi geografis dan
reorganisasi ruang. Overakumulasi di sini memiliki arti bahwa dalam suatu
territorial tertentu terjadi surplus kapital (yang berupa berlimpahnya komoditi
di pasar yang tak bisa dijual tanpa merugi, kapasitas produkti yang menganggur
dan atau surplus uang yang tak memiliki saluran investasi produktif dan menguntungkan)
dan surplus tenaga kerja (meningkatnya pengangguran).[33]
Untuk mengatasi itu, dibuatlah tiga skema yang telah dijelaskan di atas. Inti
dari skema tersebut adalah mengalihkan arus kapital dari sirkulasi primer
(produksi-konsumsi langsung) ke sirkulasi sekunder (berupa pembentukan kapital
dan konsumsi tetap) dan sirkulasi tersier (belanja-belanja sosial). Dari
situlah surplus kapital terserap dan disirkulasikan secara temporal.
Dengan
latar belakang krisis pada tahun 2008 dan 2010-2011 di Eropa Selatan, surplus
kapital secara global harus disalurkan dengan cara spatio-temporal fix tersebut. Adanya MP3EI memberikan jawaban atas
hal tersebut. MP3EI memfasilitasi ekspansi geografi dan reorganisasi spasial
untuk menyerap surplus kapital. Dengan kerangka pemikiran bahwa pertumbuhan
ekonomi tinggi dapat dicapai dengan pusat-pusat pertumbuhan, MP3EI mendesain
koridor-koridor ekonomi. Kemudian, agar semua poros ekonomi tersebut dapat
saling terhubung, berikut dengan pasar internasional, maka perlu adanya konektivitas
nasional. Konektivitas nasional dan internasional tersebut mensyaratkan di
dalamnya pembangunan infrastruktur atas hal itu. Sedangkan, guna menunjang itu
semua, peningkatan sumber daya manusia harus dijalankan dengan pendidikan.
Dengan demikian, master plan ini diyakini akan membawa kesejahteraan bangsa
yang dicapai dengan asas trickling down. Pola
tersebut pas untuk mendefinisikan spatio-temporal
fix.
Melihat
hal demikian, penulis memisahkan pembangunan koridor ekonomi dan pembangunan
konektivitas nasional-internasional, dengan pembangunan sumber daya manusia..
Pembangunan koridor ekonomi dan konektivitas nasional-internasional merupakan
skema dari sirkuit sekunder, yaitu proses pembentukan kapital tetap dengan
proyek-proyek infrastuktur berjangka panjang. Sedangkan, pembangunan sumber
daya manusia merupakan skema sirkuit tersier, yang dijalankan dengan
belanja-belanja sosial, seperti pendidikan, pelatihan keterampilan, kesehatan,
dll. Pola tersebut dijalankan dalam skema sirkulasi kapital. Tentu, dalam hal
ini tujuan akhirnya adalah sirkulasi kapital yang dapat berlanjut dengan
aktivitas produktif berjangka panjang, sekaligus dapat menunda krisis.
Argumentasi
bahwa MP3EI dapat menyerap sejumlah surplus kapital, dapat dibuktikan dari data
mengenai nilai potensial investasi di pembangunan koridor ekonomi dan
konektivitas nasional-internasional tersebut. Berdasarkan teks asli MP3EI,
nilai indikasi investasi pada enam koridor ekonomi total sebesar Rp. 4.012
triliun. (tabel 1.) Nilai indikasi investasi tertinggi terdapat di koridor Jawa
dengan nilai investasi mencapai 34%, sedangkan yang terendah di koridor
Bali-Nusa Tenggara dengan 3%. Nilai indikasi investasi ini juga menjadi nilai
komodifikasi dari ruang yang diciptakan melalui koridor-koridor tersebut.
Dalam
melaksanakan proyek ini, skema yang dijalankan pemerintah adalah Public-private partnership (PPP). Dengan
skema tersebut, pembiayaan tersbesar akan ditanggung pihak swasta. Sedangkan
pemerintah, cukup menyediakan iklim yang baik bagi investasi dengan sejumlah
regulasi. Ini bisa dilihat dari proyeksi investor yang akan masuk, dimana pihak
swasta diharapkan 51% akan mendanai proyek tersebut. Dengan demikian, maka
sekitar Rp. 2.006 triliun diharapkan berasal dari swasta.
Tabel
2. Nilai Indikasi Investasi
sumber: Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, hlm. 49 |
Selain
dari koridor ekonomi, nilai komodifiksi juga bisa dilihat dari kegiatan
utamanya. Nilai investasi yang diharapkan untuk 22 kegiatan utama tersebut
total sebesar Rp. 2.226 triliun. Dari 22 kegiatan utama tersebut, migas
memiliki nilai indikasi investasi terbesar dengan nilai Rp. 463 triliun.
Kemudian, nilai total investasi kegiatan utama ditambah dengan infrastruktur
pendukungnya mencapai Rp. 4012 triliun. (tabel 3) Nilai tersebut yang diundang
oleh pemerintah untuk ditanamkan di Indonesia, dengan sebagian besar kegiatan
utama tersebut berbasiskan kegiatan ekstraktif.
Tabel
3. Indikasi Investasi Kegiatan Ekonomi Utama
Sumber: Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, hlm. 49 |
Selain
indikasi nilai indikasi investasi untuk pengembangan kegiatan ekonomi utama di
masing-masing koridor, melalui MP3EI ini juga telah teridentifikasi indikasi
investasi untuk pengembangan infrastruktur yang mendukung penguatan
konektivitas nasional. Nilai indikasi investasi untuk pembangunan infrastruktur
ini mencapai Rp. 1.786 triliun. Pembangunan infrastuktur ketiga terbesar
diperuntukan bagi infrastruktur listrik dan energy, jalan raya, dan rel kereta
api. (tabel 4.) Tujuan konektivitas ini adalah untuk menghubungkan intra
koridor ekonomi, antar poros ekonomi, dan konektivitas internasional.
Tabel
4. Indikasi Investasi Infrastruktur
Sumber:
Master Plan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia, hlm. 50
|
Koridor
ekonomi lengkap dengan kegiatan utamanya merupakan bentuk nyata dari
reorganisasi spasial agar akumulasi kapital dapat berlanjut kembali. Hal itu
kemudian diikuti dengan pembangunan-pembangunan infrastruktur untuk menunjang
agar arus kapital dapat berjalan dengan lancar. Pembangunan inffrastruktur ini
selain menyerap surplus kapital juga dapat menyerap surplus tenaga kerja.
Pengerjaan proyek-proyek besar berjangka panjang tersebut dapat memberikan
pekerjaan bagi para pengangguran. Skema
tersebut menarik surplus kapital dengan jumlah yang besar dan menundanya untuk
masuk kembali ke sirkulasi kapital. Dengan demikian, sirkulasi tidak
menjadi jenuh, dan krisis dapat ditunda.
Inilah sumbangan MP3EI dalam menanggulangi krisis kapitalisme global saat ini.
Finansialisasi
Alam melalui MP3EI
Semua tradisi ekonomi dunia telah
mencoba secara analitis untuk memisahkan peran keuangan dari ‘ekonomi riil.’
Akumulasi dipahami sebagai pembentukan kapital riil yang meningkatkan output ekonomi secara keseluruhan, dan
bertolak belakang dengan apresiasi aset-aset keuangan, yang meningkatkan
klaim-klaim kekayaan namun tidak meningkatkan output. Keuangan (finance)
merupakan pemeran utama yang tidak tergantikan dalam proses akumulasi kapital.
Joseph Schumpeter, seorang ekonom dan ilmuwan politik dari Austria, menyebutkan
pasar keuangan sebagai markas besarnya sistem kapitalisme. Dalam konteks
historis terkini, terjadi fenomena menarik dalam mekanisme kapitalisme yang
disebutkan oleh Paul Sweezy, seorang ekonom Marxis, sebagai ‘finansialisasi
dari proses akumulasi kapital.’ Menurutnya, finansialisasi merupakan salah satu
dari tiga kecenderungan utama dalam ekonomi di akhir abad ke-20, bersamaan dengan
tumbuhnya kekuatan monopoli dan stagnasi. Finansialisasi yang dialami pada
dekade-dekade akhir abad menandakan adanya perubahan fundamental dalam sifat
kapitlisme: akumulasi—pembentukan kapital riil di ranah barang dan jasa—semakin
subordinat terhadap keuangan, seakan-akan merealisasikan kekhawatiran John
Maynard Keynes, seorang ekonom Inggris, bahwa spekulasi akan mendominasi
produksi.
Sejak dekade 1970-an, kita memang sedang
mengalami apa yang disebutkan oleh Kari Polanyi-Levitt, profesor emiritus
ekonomi dari McGill University di Montreal dan anak dari filsuf Karl Paul
Polanyi, sebagai ‘The Great
Financialization.’ Menurut John Bellamy Foster, profesor sosiologi dari
University of Oregon, finansialisasi dapat didefinisikan sebagai perubahan
jangka panjang di pusat gravitasi ekonomi kapitalistik dari produksi menjadi
keuangan. Menurutnya, perubahan tersebut tercerminkan dalam segala aspek
ekonomi, termasuk 5 aspek utama: (1) keuntungan keuangan yang meningkat sebagai
bagian dari total keuntungan; (2) peningkatan hutang yang relatif terhadap
produk domestik bruto; (3) tumbuhnya FIRE
(finance, insurance, real estate—keuangan,
asuransi, lahan yasan) sebagai bagian dari pendapatan nasional; (4) proliferasi
instrumen-instrumen keuangan yang eksotis dan buram; dan (5) peran yang semakin
berkembang dari gelembung-gelembung keuangan. Kecenderungan umum dari
finansialisasi ini berjalan terus, dengan didorong dan ditopang oleh kebijakan
ekonomi neoliberal.
Untuk melihat secara lebih jernih peran
dari keuangan dalam ekonomi modern, pemikiran Keynes di awal dekade 1930-an
menjadi penting untuk diperiksa lebih lanjut, terutama dalam tulisannya yang
berjudul A Monetary Theory of Production.
Di dalamnya, Keynes menekankan bahwa teori ekonomi ortodoks mengenai pertukaran
didasarkan atas konsep ekonomi barter, yang mana uang diperlakukan dalam
ekonomi ortodoks atau neoklasik sebagai sesuatu yang ‘netral,’ yang seharusnya
tidak mempengaruhi sifat esensial dari sebuah transaksi sebagai pertukaran
antar benda yang riil. Sebaliknya, Keynes menawarkan teori moneter dari
produksi yang mana uang merupakan salah satu aspek operatif dari ekonomi.
Foster menyebutkan bahwa keuntungan utama dari pendekatannya Keynes adalah
bahwa ia menetapkan bagaimana krisis-krisis ekonomi dimungkinkan. Di sini,
Keynes secara langsung menyerang Hukum Say, sebuah pemahaman ekonomi ortodoks
bahwa penawaran menciptakan permintaannya sendiri, sehingga krisis ekonomi
secara prinsipil merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Menentang ini semua,
Keynes menulis bahwa “ledakan dan depresi merupakan fenomena-fenomena yang khas
terhadap sebuah ekonomi di mana uang tidak netral.”
Secara lebih mendasar, fenomena
finansialisasi merupakan manifestasi dari apa yang sudah dianalisa oleh Karl
Marx, seorang manusia biasa dari Jerman. Marx mengatakan bahwa di dalam rumus
umum untuk kapital (M-C-M’—kapital awal-komoditi-kapital awal ditambah dengan
nilai-lebih) terdapat kecenderungan dari kapital untuk berusaha
mentransformasikan dirinya murni menjadi sebuah ekonomi keuangan atau
spekulatif; rumus M-C-M’ kemudian berubah menjadi M-M’, yang mana uang beranak
uang tanpa rantai perantara berbentuk produksi komoditi. Marx menulis bahwa di
dalam M-M’, “hubungan kapital mencapai bentuk yang paling dangkal dan
terjimatkan.” Foster menyebutkan bahwa jika pada awalnya M-M’ merujuk pada
kapital berbunga (interest-bearing
capital), seiring dengan perkembangan kapitalisme ia berubah menjadi
permintaan spekulatif terhadap uang secara lebih umum. Marx menjelaskan bahwa
kredit menggantikan posisi uang; kapital lama-kelamaan menjelma sebagai
bentuk-bentuk duplikat dari 2 tipe internalnya, yakni kapital riil (real capital—stok dari pabrik,
peralatan, serta barang yang dihasilkan dari produksi) dan kapital fiktif (fictitious capital—struktur dari
klaim-klaim finansial yang diproduksi oleh lembaran kertas-berharga yang berhak
atas kapital riil). Marx menuturkan bahwa sejauh kegiatan ekonomi diarahkan
menuju pengapresiasian kapital fiktif yang berada dalam dunia keuangan
ketimbang akumulasi dari kapital riil yang berada dalam dunia produksi, maka
kapital itu sendiri telah bermetaformose menjadi bentuk yang murni bersifat
spekulatif. Dalam volume tiga dari Das Kapital, Marx mengatakan: “Di dalam cara
dari bagaimana bahkan sebuah akumulasi hutang dapat terlihat sebagai sebuah
akumulasi kapital, kita melihat distorsi yang terlibat dalam sistem kredit
mencapai puncaknya.”
Apa saja wujud, atau apa saja yang
mengalami finansialisasi dewasa ini? Jawabannya: segalanya, termasuk seluruh
alam semesta ini. Genealogi dari finansialisasi-segalanya, khususnya
finansialisasi alam, selain ditarik dari perkembangan kapitalisme, secara
filosofis juga dapat dilihat dari perkembangan pemikiran utilitarianisme
sebagai filsafat etis di Eropa pada abad ke-18, yang mana alam mengalami pereduksian menjadi sumber daya alam, yang dalam diskursus utilitarianisme bertujuan
untuk memisahkan secara saling eksklusif manusia dengan alam. Alam dipandang,
dieksploitasi, dan dipergunakan oleh manusia berdasarkan nilai ekonomis yang dikonstruksikan
di dalamnya. Walaupun sejak awal peradaban manusia alam sudah dicoba untuk
‘ditaklukkan’ dan dimanfaatkan untuk kebutuhan kita sehari-hari, sejak
berkembangnya diskursus utilitarianisme (yang kemudian manifes dalam pemikiran
ekonomi neoklasik), negara dan institusi pemerintahan mulai secara sistematis,
akademis, dan besar-besaran mengkomodifikasi, memilah dan mengekstraksi alam
berdasarkan nilai-tukar yang tinggi untuk perekonomian. Terjadi pula
mendiskreditan dan pengabaian terhadap bagian-bagian alam lainnya yang memiliki
nilai-tukar yang lebih rendah. Menurut James C. Scott, profesor ilmu politik
dan antropologi di Yale University, hal tersebut dapat terlihat dari munculnya
perhutanan ilmiah (scientific forestry)
di Jerman pada abad ke-18, yang mana hutan dengan segala keragaman floranya
diseragamkan untuk ditanami jenis Norway
spruce saja, yang memiliki nilai ekonomi yang paling tinggi. Diversitas
yang berada pada skala ribuan yang diabaikan, yang pada akhirnya menyebabkan
kematian perhutanan ilmiah tersebut akibat hilangnya komponen-komponen biologis
pendampingnya. Faktanya, alam sebagai suatu entitas-matriks biologis yang
saling terhubung merupakan bagian integral dari infrastruktur ekologis dari
konteks ekologis lokal maupun biosfera secara keseluruhan.
Finansialisasi alam merupakan langkah
lanjut dari penciptaan nilai tukar dari ‘barang’ fiktif. Dapat dikatakan apapun
bisa dijualbelikan sebagai ‘produk’ keuangan, yang tidak ada benda fisiknya.
Ambil contoh kebangkrutan perusahaan, cuaca baik, gas rumah kaca di atmosfer,
hutang, dan sebagainya. Produk-produk keuangan tersebut disebut sebagai turunan
atau derivatives, dan ‘barang’-nya
disebut sebagai underlying asset.
Penggunaan istilah asset juga
menyingkap proses privatisasi-segalanya. Apakah dengan inovasi atau lebih
tepatnya petualangan kapital keuangan ini sistem kapitalisme terbebas dari
krisis berkala? Sama sekali tidak. Ia adalah konfirmasi bahwa sistem ini tengah
menciptakan penggali kuburnya sendiri. Sesungguhnya finansialisasi-segalanya
tersebut juga bersifat revolusioner bagi kapitalisme. Daur waktu yang tadinya
dibutuhkan untuk sirkuit produksi, barang dan realisasi profit, sekarang
terbebaskan. Cadangan minyak bumi telah dapat diperjualbelikan sebelum
diekstraksi. Itu juga sesungguhnya dorongan di balik space closure dan gejala land
grab. Lantas, di mana MP3EI di dalam seluruh potret
finansialisasi-segalanya tersebut? MP3EI merupakan mekanisme, mesin untuk
melanggengkan dan melancarkan finansialisasi terhadap segala sektor yang ada,
termasuk pada alam di seluruh kepulauan Nusantara beserta isi-isinya. Seorang
hanya memerlukan membuka dan membaca sekilas dokumen resmi Masterplan untuk mengetahui bahwa paradigma ‘pembangunan’ yang
dimaksud sekedar melayani logika ekspansi dan akumulasi kapital, tanpa
menghiraukan faktor-faktor sosial-ekologis, terutama keselamatan dan kedaulatan
rakyat serta infrastruktur ekologis dari tiap-tiap pulau.
Penutup
Keterkaitan
ketiga teori dan konsep yang digunakan penulis, dapat diargumentasikan sebagai
berikut. Dengan teori sistem dunia, penulis berusaha melihat MP3EI sebagai
bagian dari sistem kapitalisme global. Menggunakan teori tersebut, posisi
Indonesia melalui MP3EI bisa dibaca dan dikontekstualisasi dengan kerangka International division labor. Setelah
meletakan Indonesia pada posisinya di konteks sistem kapitalisme dunia, kita
dapat memeriksa proyeksi MP3EI ini untuk apa. Perkembangan kapitalisme dalam
kenyataannya selalu mengandung kontradiksi di dalamnya, sehingga ia selalu
menghasilkan krisis, terutama krisis akumulasi-berlebih (overaccumulation). Di tengah usaha keluar dari gelombang krisis
tersebut, kapitalisme mereorganisasi ruang sebagai cara untuk mengatasinya.
Itulah yang disebut spatio-temporal fix. MP3EI
dalam paper ini dibaca sebagai obat
sementara untuk menyerap surplus kapital melalui koridor ekonomi dan
pembangunan infrastruktur. Bersamaan dengan spatio-temporal
fix, reorganisasi ruang sebagai re-sirkulasi kapital membuatnya menjadi
sebuah proses komodifikasi ruang. Karena dalam MP3EI ini reorganisasi ruang
dilakukan dengan usaha yang berbasiskan industri ekstraktif, maka komodifikasi
ruang tersebut menjadi bagian dari finansialisasi alam. Finansialisasi alam ini
menjadi bentuk kontemporer dari kapitalisme global yang dijalankan melalui,
salah satunya, MP3EI.
Dengan
argumentasi tersebut, penulis menyimpulkan bahwa MP3EI merupakan proyek
pembangunan yang dikondisikan oleh perkembangan kapitalisme global, yang
menempatkan Indonesia berada dalam posisi yang menunjukkan kecenderungan ’turun
tingkat’ kembali ke Periphery dalam Capitalist World Economy. MP3EI yang
berbasiskan kegiatan ekstraktif menunjukan hal demikian. Indonesia menjadi
penyuplai bahan mentah untuk rantai produksi global yang merupakan bagian dari
geografi ekonomi baru. Karena berada dalam sirkuit kapital secara
internasional, posisi Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan perkembangan
kapitalisme global, termasuk krisis yang terkandung di dalamnya. Krisis ini
membawa konsekuensi untuk ditanggulangi dengan ekspansi geografi dan
reorganisasi spasial. MP3EI berada dalam konteks tersebut. Ia menjadi sarana
untuk menyerap surplus kapital yang ada dengan investasi pada koridor-koridor
ekonominya beserta pembangunan infrastruktur pendukungnya. Implikasinya sangat
jelas: MP3EI sama sekali tidak mempertimbangkan atau melihat faktor-faktor
sosial-ekologis yang imanen dalam kompleksitas kesatuan antara pulau-pulau di
Indonesia dengan masyarakat yang ada di dalamnya. Koridorisasi serta
pembangunan infrastruktur yang sudah disebutkan merupakan usaha untuk
mengkomodifikasi ruang serta memfinansialisasikan alam. MP3EI gagal untuk
mempertimbangkan kelangsungan sosial-ekologis yang ditopang melalui keselamatan
manusia dan alam, termasuk keberadaan infrastruktur-infrastruktur ekologis tiap-tiap
pulau. Melihat pola perusakan yang dibawa oleh MP3EI, penulis berpendapat bahwa
MP3EI merupakan pengkhianatan terhadap kedaulatan negara dan bangsa, serta
pengingkaran terhadap kepengurusan publik yang sudah seharusnya berorientasi
pada keselamatan manusia dan alam.
Terakhir,
sebagai kewajiban aksiologis dari paper ini agar dapat menyelamatkannya dari
keterpurukan akademis yang kerap kali dilakukan oleh kalangan akademis itu
sendiri, pada bagian akhir ini penulis menyeru kepada segenap pembaca paper ini
untuk merapatkan barisan dalam solidaritas dan dalam usaha untuk belajar dan
memeriksa kembali secara sungguh-sungguh ’makhluk’ yang disebut sebagai MP3EI
ini. Hanya ada dua kata kerja yang tersisa, yang merupakan hutang yang kami
tanggung terhadap generasi yang akan datang dan belum lahir: melawan kerusakan dan memulihkan perusakan.
Daftar Pustaka
Froebel,
F. Heinrichs J., dan O. Kreye. The New
International Division of Labour. Cambridge: Cambridge
University Press. 1979, dalam Beverley Mullings, “New International Division of
Labour” dalam Barney Warf. Encyclopedia
of Human Geography. California: SAGE Publications. 2006.
Harvey.
David. The Limits of Capital. London and New York: Verso. 1982.
------------------.
The New Imperialism. Oxford: Oxford
University Press. 2003.
------------------. Imperialisme
Baru. Yogyakarta: Resist Book. 2012
Pilger,
John. The New Rulers of The World.
(Motion Picture). 2001.
Kementerian
Koordinator Perekonomian. Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025. Jakarta: Kementerian Koordinator Perekonomian. 2011.
Keynes, John Maynard. “A Monetary Theory of Production,” dalam
Keynes, Collected Writings, volume
13. London: Macmillan, 1973.
Leifer,
Michael. “Dari Konfrontasi ke Konfrontasi”. Politik
Luar Negeri Indonesia. Jakarta: Gramedia.
1983.
Mansur,
Ahmad. Is Indonesia Undergoing A Process
of De-Industrialization?. Tesis master, Institute
of Social Studies. 2008.
Marijan,
Kacung. “Industrial Policy, Industrialisation and Cluster Industries in
Indonesia: An Overview”. UNISIA. Vol.
XXX No. 64 Juni 2007.
Marx,
Karl. Theories of Surplus Value, Bagian
2. Moscow: Progress Publishers, 1968.
--------------.
Capital, Volume 3. London: Penguin. 1981.
--------------.
Das Kapital Buku II: Proses Sirkulasi Kapital terj. Oey Hay Djoen. London: Penguin Classic. 1992.
Schumpeter, Joseph Alois. The Theory of Economic Development: An
Inquiry Into Profits, Capital, Credit,
Interest, and the Business Cycle. New Jersey: Transaction Publishers, 1982.
Shaikh,
Anwar. “Pengantar Sejarah Teori Krisis”, Jurnal
Bersatu, Edisi April 2009.
Scott, James C. Seeing Like A State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition
Have Failed. Yale: Yale
University Press, 1999.
Wallerstein,
Immanuel. A World-System Perspective On The Social Science”, The British
Journal of Sociology, Vol.
No. 27 Issue No. 3. London School of Economics. 1976.
----------------------------.
“The Strong Core-States: Class-Formation and International Commerce”, The Modern World-System: Capitalist
Agriculture and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth
Century. New York: Academic Press. 1976.
Winters,
Jeffrey A. “The Preboom years, 1965-1974: Investor Confidence and Political Contradictions”, Power In Motion: Capital Mobility and The Indonesian State. New
York: Cornell University Press. 1996.
Sumber
Internet:
Foster, John Bellamy. “The Financialization of Accumulation.”
Monthly Review 62, no. 5 (Oktober 2010).
http://monthlyreview.org/2010/10/01/the-financialization-of-accumulation.
Diunduh pada 19 Desember 2013 pukul 11.04 WIB.
Ivanov,
Alexandor. “Yubileum yang ke-60 Hubungan Rusia-Indonesia”, Kedutaan Besar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia.
Diunduh dari http://www.indonesia.mid.ru/60years/02_i.html
diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.
Maimunah,
Siti. “MP3EI dan Keselamatan Rakyat”,
diunduh dari http://www.jatam.org/saung-berita/berita-kampanye/274--mp3ei-dan-keselamatan-rakyat.html
diakses pada 6 Oktober 2013 pukul 22.15 WIB.
Polanyi-Levitt, Kari. “The Great Financialization,” John
Kenneth Galbraith Prize Lecture, June 8, 2008. http://karipolanyilevitt.com/documents/The-Great-Financialization.pdf.
Diunduh pada 20 Desember 2013 pukul 09.10 WIB.
Sweezy, Paul Marlor. “More (or Less) on Globalization.”
Monthly Review 49, no. 4 (September 1997). http://monthlyreview.org/1997/09/01/more-or-less-on-globalization.
Diunduh pada 20 Desember 2013
pukul 09.45 WIB.
Vries,
Idries De. “Economically, Indonesia Has a Way to Go”, dalam The Jakarta Globe (2011), diunduh dari http://www.thejakartaglobe.com/commentary/economically-indonesia-has-a-way-to-go/459911
diakses pada 19 Desember 2013 pukul 18.30 WIB
“Membangun
Dunia Kembali”, diunduh dari http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=2547&type=2
diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.
[1]Kementerian Koordinator Perekonomian, “Masterplan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025”, (Jakarta, 2011) hlm. 8
[2] Ibid. hlm. 15
[3] Ibid. hlm. 22
[4] Ibid.
[5] Ibid. hlm. 48
[6] Ibid.
[7] Siti Maimunah, “MP3EI dan Keselamatan Rakyat”, diunduh dari http://www.jatam.org/saung-berita/berita-kampanye/274--mp3ei-dan-keselamatan-rakyat.html
diakses pada 6 Oktober 2013 pukul 22.15 WIB.
[8] Immanuel Wallerstein, “A World-System Perspective On The Social Science”,
The British Journal of Sociology, Vol.
No. 27 Issue No. 3 (London School of Economics, 1976), hlm. 343-352.
[9] Ibid., halaman 187.
[10] Immanuel Wallerstein, “The strong core-states: class-formation and
international commerce”, The Modern World-System: Capitalist Agriculture and
the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century (New York:
Academic Press, 1976), hlm. 229-233.
[11] Ibid.
[12] Ibid.
[13] Ibid.
[14] Alexandor Ivanov, “Yubileum yang ke-60 Hubungan Rusia-Indonesia”,
Kedutaan Besar Federasi Rusia untuk Republik Indonesia. Diunduh dari http://www.indonesia.mid.ru/60years/02_i.html
diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.
[15] Lihat naskah di “Membangun Dunia Kembali”, diunduh dari http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=2547&type=2
diakses pada 19 Desember 2013 pukul 19.30 WIB.
[16] Michael Leifer, “Dari Konfrontasi ke Konfrontasi”, Politik Luar Negeri
Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1983), hlm. 150.
[17] John Pilger, The New Rulers of The World (2001).
[18] Jeffrey A. Winters, “The Preboom years, 1965-1974: Investor Confidence and Political Contradictions”,
Power In Motion: Capital Mobility and The Indonesian State (New York: Cornell
University Press, 1996), halaman 54.
[19] Idries De Vries, “Economically, Indonesia Has a Way to Go”, dalam The
Jakarta Globe (2011), diakses dari http://www.thejakartaglobe.com/commentary/economically-indonesia-has-a-way-to-go/459911.
[20] Winters, Ibid., hlm. 57.
[21] Kacung Marijan, “Industrial Policy, Industrialisation and Cluster
Industries in Indonesia: An Overview” dalam UNISIA, Vol. XXX No. 64 Juni 2007,
hlm. 104.
[22] Ibid.
[23] Ibid., hlm. 106-109.
[24] F. Froebel, Heinrichs J., dan O. Kreye, The New International Division of
Labour (Cambridge: Cambridge University Press, 1979) dalam Beverley Mullings,
“New International Division of Labour” dalam Barney Warf, Encyclopedia of Human
Geography (California: SAGE Publications, 2006), hlm. 332-334.
[25] Kementerian Koordinator Perekonomian, ibid. hlm. 49.
[26] Ahmad Mansur, “Is Indonesia Undergoing A Process of De-Industrialization?”,
Tesis master, Institute of Social Studies, 2008.
[27] Karl Marx, “Das Kapital Buku II: Proses Sirkulasi Kapital terj. Oey Hay
Djoen”, (London: Penguin Classic, 1992,) hlm. 4
[28] David Harvey, “The New Imperialism” (Oxford: Oxford University Press.
2003), hlm.87-88
[29] David Harvey, “The Limits of Capital”, (London and New York: Verso.
1982), hlm. 390
[30] David Harvey, “Imperialisme Baru”, (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm.
121
[31] LIhat Anwar Shaikh, “Pengantar Sejarah Teori Krisis”, Jurnal Bersatu, Edisi
april 2009, hlm.21
[32] David Harvey, op.cit. hlm. 98
[33] Ibid. hlm. 121
Tidak ada komentar:
Posting Komentar