Jumat, 14 Maret 2014

Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia

Oleh Hilmar Farid*  
Sejarawan

Pernah dimuat di link http://www.scribd.com/doc/42568791/Masalah-Kelas-Dalam-Ilmu-Sosial. Dimuat ulang disini dengan persetujuan penulis dan untuk tujuan pendidikan.

Pengantar


Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di Indonesia tentu akan segera menyadari betapa langkanya literatur mengenai topik tersebut. Kelangkaan itu begitu hebat sehingga seorang mahasiswa undergraduate yang baru mulai belajar tentang Indonesia pun dengan mudah dapat menyorotinya (Levine 1969). Ia menilai para sarjana di zaman itu hanya sibuk dengan perkembangan politik harian di parlemen, partai politik dan birokrasi pemerintah. Buruh, petani, pengangguran, kelas menengah perkotaan dan pedagang atau tuan tanah kecil hanya sesekali tampil dalam tulisan mereka sebagai ‘massa’. Walau hanya berbicara tentang dunia akademik di Amerika dan Australia, kritik itu jelas berlaku untuk ilmu sosial di Indonesia sendiri. Beberapa tahun kemudian Benedict Anderson – seorang sarjana terkemuka dalam studi Indonesia – sambil lalu mengatakan bahwa ada beberapa karya “yang menunjukkan bahwa seruan Levine (untuk memperhatikan kelas) tidak sepenuhnya diabaikan (Anderson 1982: 89). Tidak jelas karya dan penulis mana yang dimaksud, tapi pencarian sederhana dalam database elektronik atau katalog perpustakaan saya kira membuktikan bahwa tak seorang pun yang dibayangkan Anderson dalam komentar pendek itu adalah ilmuwan Indonesia.


Bagi mereka yang mengamati sejarah politik Indonesia modern, menghilangnya konsep dan diskursus kelas dalam ilmu sosial ini akan cepat dikaitkan dengan munculnya Orde Baru. Seperti halnya penghancuran berbasis kelas ‘membersihkan lahan’ bagi pembangunan (Hilmar Farid 2000), represi dalam dunia keilmuan ‘membersihkan pikiran’ dan diiringi oleh apa yang oleh seorang penulis disebut ‘de-edukasi’ (Ward 1973: 75). Orde Baru memastikan bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik dan keilmuan dengan menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu dan mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan bermacam istilah baru yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat dari represi semacam ini sangat dalam dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri. Penulis dan ilmuwan sosial selalu berkompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk menerangkan maksud mereka sesungguhnya.

Bagian awal tulisan ini akan membahas berbagai perubahan dan discursive practices setelah peristiwa 1965-66 yang turut membentuk ilmu sosial di Indonesia. Sikap anti-komunis dan doktrin pembangunan melalui pertumbuhan dan stabilitas, praktek ‘massa mengambang’, peran Amerika Serikat dan gagasan modernisasi yang lahir dalam Perang Dingin, adalah unsur-unsur penting untuk memahami discursive formation ilmu sosial di Indonesia semasa Orde Baru. Banyak masalah yang kemudian dikeluhkan para ilmuwan sendiri, seperti rendahnya kualitas penelitian, mentalitas proyek, kelangkaan kritik teori serta menghilangnya berbagai konsep penting seperti kelas dan gender dalam ilmu sosial, sangat dipengaruhi masalah ini.[1] Sejumlah intelektual sejak 1970-an mulai mengkritik paham liberal yang dominan dalam ilmu sosial di Indonesia dan menawarkan ‘ilmu sosial historis’ sebagai alternatifnya, yang antara lain memperkenalkan kembali konsep kelas. Usaha itu cukup berhasil menantang paradigma dominan itu dengan membongkar bias ideologi dan politik yang terkandung di dalamnya, tapi gagal melakukan pembalikan radikal terhadap apa yang mereka kritik.

Dari pengamatan terhadap beberapa studi dan tulisan dalam langgam ‘ilmu sosial historis’ dan perbandingannya dengan analisis kelas dalam doktrin ortodoksi Marxis, saya berusaha merumuskan sebuah kerangka analisis kelas yang berguna untuk menjangkau “lebih dari apa yang nampak di permukaan” (Levine 1969: 5). Berkebalikan dengan anggapan bahwa masalah kelas tidak relevan lagi dalam ‘dunia serba-pasca’ sekarang ini, saya ingin menunjukkan bahwa analisis mengenai kapitalisme dan kelas tetap berperan penting: bukan hanya untuk memahami realitas sosial, tapi juga untuk mengubahnya.

Orde Baru dan Menghilangnya Kelas


Mobilisasi anti-komunis yang dikobarkan penguasa Orde Baru mencapai puncaknya pada pembubaran PKI dan pelarangan Marxisme melalui ketetapan lembaga tertinggi negara. Untuk memastikan bahwa semua jargon politik radikal tersingkir dari diskursus publik maupun dunia akademik, penguasa menciptakan dan memaksakan penggunaan berbagai istilah baru sebagai gantinya. Istilah ‘buruh’ misalnya dilarang dan diganti dengan ‘karyawan’ atau ‘pekerja’, sementara istilah ‘Tionghoa’ diganti menjadi ‘Cina’.[2] Dalam ilmu sosial pengaruhnya kemudian terlihat dengan munculnya konsep-konsep generik seperti ‘golongan miskin’ atau ‘golongan berpenghasilan rendah’ sebagai pengganti konsep kelas pekerja atau proletariat. Jika dalam diskursus publik kemunculan istilah ini biasanya ditafsirkan semata sebagai eufemisme, maka dalam ilmu sosial pengaruhnya jauh lebih mendalam. Rangkaian konsep generik ini tidak memiliki kekuatan analitik, hampa secara politik, dan dengan begitu memperkuat watak a-politis ilmu sosial masa Orde Baru. Sepintas lalu perubahan ini adalah gema dari mitos “mencairnya batas-batas kelas” yang sangat kuat dalam ilmu sosial liberal di Amerika Serikat awal 1950-an (Westergaard 1972). Namun, sementara di Amerika dan Eropa mitos itu berkembang dalam perdebatan panjang dengan analisis kelas yang bersumber dari Marxisme, di Indonesia kalangan intelektual menelan mitos tersebut dalam kehampaan akibat represi.

Sampai saat ini belum jelas berapa sarjana, pengajar, peneliti dan mahasiswa dalam bidang ilmu sosial yang dibunuh, ditahan, diasingkan atau tidak dapat kembali ke Indonesia sejak Oktober 1965. Tapi melihat skala represi yang begitu luas dan pengawasan ketat terhadap dunia akademik, dapat dipasikan bahwa hampir semua intelektual yang mengusung perspektif kesetaraan yang radikal tersingkir dari arena itu. Di beberapa kampus bahkan terjadi kekurangan tenaga pengajar akibat represi ini (Danandjaja 1989: 390). Mereka yang kembali dari tahanan umumnya tidak diperkenankan mengajar atau meneruskan kegiatan mereka di bidang keilmuan. Sebagian lain, yang saat pembasmian sedang berada di luar negeri, karena berbagai alasan tidak pernah kembali maupun terlibat dalam pembentukan wacana ilmu sosial di Indonesia.

Perkembangan ini membuat kehidupan akademik sesudah 1965 didominasi oleh kalangan intelektual yang baik karena orientasi ideologi dan politiknya, maupun karena alasan keselamatan pribadi, mendukung Orde Baru. Mereka umumnya berasal dari keluarga aristokrat, pedagang kecil dan pegawai negeri, yang lulus dari sekolah Belanda dan mengikuti pendidikan tinggi setelah kemerdekaan (MacDougall 1975). Sebagian bagian dari elite yang tengah menanjak di masa kemerdekaan dan karena ikatan keluarga aristokrasi, mereka jelas tidak berminat pada perubahan tatanan sosial secara radikal, apalagi yang akan mengancam posisi mereka sendiri (McVey 1969: 10). Pertentangan tajam mengenai arah pembangunan Indonesia sejak kemerdekaan yang diperkuat oleh Perang Dingin, mendorong kalangan ini masuk ke dalam kubu anti-komunis yang dengan gigih mencari jalan mencegah Indonesia jatuh ke tangan komunis. Sebagian dari mereka telah menjalin hubungan kuat dengan militer sejak awal 1960-an, yang kemudian menjadi poros utama dalam aliansi militer-sipil untuk menggulingkan Soekarno dan membentuk Orde Baru.[3] Bagi penguasa militer keberadaan mereka tidak hanya memperkuat legitimasi dengan memberi wajah sipil pada rezim militer, tapi juga berguna untuk mengisi pengambilalihan kekuaaan dengan rencana yang konkret. Dengan rencana pembangunan yang bersandar pada ekonomi pasar dan gagasan modernisasi, mereka memberi ‘landasan ilmiah’ pada sikap anti-komunis penguasa Orde Baru (Salim 1991; Sumawinata 1992).

Dalam ilmu sosial yang baru mulai diperkenalkan di perguruan tinggi secara luas pada awal 1960-an, proses itu berjalan lebih lamban. Pada tahun-tahun pertama setelah represi kalangan ilmuwan sosial hanya sibuk membenahi masalah teknis, seperti kekurangan tenaga pengajar, pembukaan fakultas dan program studi ilmu sosial di berbagai perguruan tinggi. Hanya ada beberapa sarjana yang memiliki pengetahuan dan keyakinan cukup untuk memompa semangat anti-komunis dan sekaligus anti-politik dalam bidang studinya. Di sisi lain situasi itu membuat teori modernisasi bukan sekadar satu dari sekian kemungkinan untuk memahami masyarakat, tapi satu-satunya teori atau dengan kata lain menjadi ilmu sosial itu sendiri. Bayangan akan masa depan Indonesia yang modern, rasional dan maju dalam bidang ekonomi melalui sistem pasar dan ingatan mengenai masa lalu yang penuh kekacauan dan bahaya radikalisme politik yang ditanamkan penguasa Orde Baru, secara perlahan menumbuhkan keyakinan akan kebenaran ‘teori’ itu

Konsep kelas tentu saja berada di luar orbit keyakinan ini, terlebih lagi karena “ada prasangka budaya sosial atau budaya politik, yang menduga bahwa masyarakat kita sangat egaliter.” (Tjondronegoro 1997: 83). Masyarakat digambarkan sebagai kesatuan yang utuh, di mana pemisahan antara elite atau pemipin dan massa tidak ada kaitannya dengan struktur sosial yang timpang, melainkan karena kharisma atau ascribed status yang seolah melintasi sejarah.[4] Tidak adanya konflik tajam di daerah pedesaan – setelah pembunuhan massal mereda pertengahan 1960-an – memperkuat keyakinan bahwa masyarakat Indonesia dalam keadaan ‘normal’ pada dasarnya hidup rukun sekalipun ada perbedaan dalam penghasilan, etos kerja dan nasib. Ilmu sosial dalam konteks ini tidak sekadar memberi konfirmasi ilmiah pada kebijakan pemerintah, tapi bahkan menjadi bagian integral dari kebijakan itu sendiri.

Kegamangan mulai nampak ketika pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan memperkuat pemisahan sosial dalam masyarakat. Rezim Orde Baru dan intelektual pendukungnya terus menghadapi dilema karena di satu sisi berpegang pada organic state discourse yang mengingkari perbedaan, tapi di sisi lain harus mengakui terjadinya pemisahan untuk menjaga kontrolnya. Dalam dunia industri misalnya, doktrin kemitraan (partnership) antara buruh dan pengusaha bertabrakan dengan upaya rezim menerapkan undang-undang perburuhan yang mempertegas perbedaan antara buruh dan majikan untuk melindungi kepentingan yang disebut belakangan. Ketika gejolak perburuhan muncul pada 1980-an, rezim tetap bersikukuh pada konsep kemitraan dan mengatakan bahwa gerakan buruh ditunggangi oleh kelompok radikal yang ingin menjatuhkan pemerintah. Kekacauan dalam negara organik selalu disebabkan oleh kelompok lain yang datang dari ‘luar’ (yang selalu digambarkan sebagai kekuatan yang ‘asing’ [alien] dalam sejarah maupun kebudayaan Indonesia). Perbedaan dalam masyarakat sendiri, antara buruh dan majikan misalnya, tidak mungkin mengarah konflik karena “tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila.” (Moertopo 1980: 33-34). Pandangan ini mengarah pada logical fallacy yang parah. Kenyataan sosial menjadi ada atau sebaliknya tidak ada semata-mata karena ideologi negara, penguasa dan intelektual pendukungnya menghendakinya demikian.[5] Dalam konteks ini penggantian istilah ‘kelas’ menjadi ‘golongan’ – yang bertolak dari argumen bahwa masyarakat Indonesia yang egaliter tidak mengenal perbedaan kelas seperti dalam masyarakat Barat – lebih dari sekadar eufemisme, tapi penanaman logika ad baculum yang terus mengendap dalam diskursus publik maupun ilmu sosial.

Untuk memahami pemikiran yang mengalir dari arsitektur discursive formation ini lebih jauh, apa yang dikatakan oleh kalangan ilmuwan sama pentingnya dengan apa yang tidak dikatakan. Studi tentang industrialisasi yang dilakukan oleh intelektual Orde Baru umumnya terarah pada masalah pasar dan kesempatan kerja, investasi dan pertumbuhan serta kesiapan dan mental masyarakat untuk memasuki era industri. Studi seperti ini biasanya dikerjakan dalam rangka memberikan nasehat atau masukan bagi para penentu kebijakan dan proyek pembangunan yang diselenggarakan pemerintah.[6] Penyerobotan tanah, kerja paksa, diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan dan represi yang menjadi unsur penting dalam proses industrialisasi sementara itu tidak pernah dibahas, dan bahkan dihindari. Penguasa Orde Baru secara agresif menunjukkan keberatan mereka terhadap studi semacam itu dan kalangan intelektual membenarkan sikap tersebut dengan menganggap gejala-gejala ini sebagai ‘insiden’ yang berada di luar ranah keilmuan.

Krisis dan Ilmu Sosial Kritis


Keresahan dan ketidakpuasan terhadap pembangunan Orde Baru sudah mulai tumbuh sejak awal 1970-an. Kalangan elite, intelektual dan aktivis mahasiswa yang semula mendukung Orde Baru mulai gamang karena proyek modernisasi yang semula nampak begitu solid ternyata tidak berjalan mulus. Strategi technological diffusion, investasi dan kepemimpinan yang kuat ternyata tidak dengan sendirinya melahirkan masyarakat modern dan demokrasi. Justru sebaliknya pembukaan ekonomi bagi modal dan perdagangan internasional cenderung melahirkan oligarki militer yang korup dan otoriter. Ada dua reaksi berbeda di dalam orthodoxy ilmu sosial. Sebagian besar mengikuti conservative turn dalam paham modernisasi yang menekankan perhatian pada tertib politik sebagai pendamping pertumbuhan ekonomi.[7] Masyarakat yang belum modern dalam pandangan ini tidak dapat dipercaya untuk menerima distribusi kekuasaan. Studi mereka umumnya berusaha membuktikan argumen itu dengan memperlihatkan lemahnya kepemimpinan sosial dan lembaga desa atau adat, dan di sisi lain menekankan pentingnya militer dalam akselerasi modernisasi di Indonesia (Moertopo 1974). Sebagian lain melontarkan ‘kritik’ bahwa modernisasi yang dijalankan selama ini hanya mengacu pada nilai-nilai Barat, padahal menurut mereka, banyak nilai tradisi yang sesungguhnya positif dan perlu mendapat perhatian pemerintah dalam rangka mendorong modernisasi (Amman 1971; Mattulada 1979).

Kritik yang lebih tajam muncul dari luar ortodoksi, terutama dari kalangan intelektual dan mahasiswa yang sejak awal 1970-an memprotes berbagai proyek pembangunan dan kebijakan pemerintah (Budiman 1978; Akhmadi 1981).[8] Mereka lebih jauh mengkritik ortodoksi yang melihat kemiskinan dan beragam masalah sosial sebagai akibat dari kemalasan dan keterbelakangan budaya (Sujatmoko 1980; Siahaan 1980; Alfian et.al. 1980). Ketimpangan dan kemiskinan, termasuk pemisahan sosial dalam masyarakat, menurut mereka adalah warisan kolonialisme yang tidak mengalami perubahan selama kemerdekaan, dan membuat Indonesia menjadi negeri terbelakang dan tergantung pada modal internasional (Sasono dan Arief 1981). Sebagai kritik terhadap ortodoksi yang a-historis, beberapa penulis kemudian mencanangkan perlunya ‘ilmu sosial historis’ atau ‘ilmu sosial kritis’ (Budiman 1983; Bulkin 1984).

Kerangka pemikiran ini bagaimanapun lebih dipersatukan oleh kritik terhadap ortodoksi, khususnya paradigma modernisasi, ketimbang agenda riset atau kerangka teoretik yang koheren. Analisis tentang basis sosial otoriterianisme Orde Baru membawa para penganjur ilmu sosial historis ini bersentuhan dengan teori ketergantungan dan neo-Marxis. Beberapa penggal pemikiran seperti debat Miliband-Poulantzas tentang negara dan debat cara produksi di Dunia Ketiga turut mewarnai diskusi yang juga melibatkan kelompok-kelompok mahasiswa di berbagai kota. Konsep kelas menyembul dalam diskusi ini dengan rujukan pada literatur yang sangat beragam, mulai dari Barrington Moore, Anthony Giddens, sampai Louis Althusser dan Mao Zedong. Beberapa inisiatif seperti Forum Ilmu Sosial Transformatif (FIST) yang berusaha mempertemukan berbagai kecenderungan baru ini hanya berusia pendek dan lebih merupakan upaya menggalang kekuatan oposisi di kalangan intelektual ketimbang proyek intelektual yang koheren dan sistematis. Para penulis secara sporadik menggarap tema-tema tertentu yang dianggap penting dan hampir tidak pernah synthesize argumentasi teoretik maupun temuan empiriknya sehingga menjadi body of literature yang signifikan.

Salah satu ‘proyek’ terpenting dari langgam ini adalah studi tentang kelas menengah dan perannya dalam proses demokratisasi. Kalangan intelektual kritis melihat bahwa gerakan mahasiswa, kegiatan LSM dan kritik sosial dalam media massa serta ekspresi artistik adalah tanda-tanda kebangkitan kelas menengah dan karena itu merasa perlu membekali diri dengan perangkat teoretik agar dapat memahami dan mendorong gerakan kelas menengah itu lebih lanjut. Sebagian besar studi dicurahkan untuk mengenali sosok kelas menengah melalui pendapatan, gaya hidup, bahasa dan perilaku sosialnya. Hanya sedikit yang bergerak lebih jauh menuju analisis yang lebih sistematis dan ketat untuk merumuskan keberadaan kelas menengah dalam sistem kapitalis di Indonesia (Bulkin 1983, 1984; Kuntowidjojo 1985; Muhaimin 1985; Mahasin 1990; Heryanto 1990). Dalam studi yang lebih sistematis mengenai kelas ini pun dorongan untuk membicarakan kelas menengah sebagai agen perubahan nampak jauh lebih kuat, sehingga sekalipun menyadari bahwa secara konseptual istilah ‘kelas menengah’ sangat bermasalah, tidak banyak yang tergerak untuk menelaahnya lebih mendalam.

Gairah mencari agen perubahan ini mendapat dorongan baru dengan munculnya konsep civil society (Budiman, ed. 1990). Diskusi tentang kelas menengah pun surut karena dalam konsep ini – memelintir sedikit perkataan Hegel – “semua sapi dibiarkan abu-abu”. Perbedaan kelas dan masalah serta ketegangan yang ditimbulkan perbedaan itu praktis tidak banyak dibicarakan lagi.[9] Konsep civil society menjadi perangkat ampuh untuk menekankan ketimpangan dalam hubungan negara dan masyarakat, dan sekaligus memberi landasan ilmiah bagi sentimen anti-otoriterianisme. Namun keyakinan ini pun tidak bertahan lama. Terguncangnya kekuasaan otoriter yang terpusat kemudian terbukti memberi jalan pada banyak kecenderungan baru yang tak pernah dibayangkan sebelumnya: tumbuhnya kelompok-kelompok militan berbasis agama dan etnik, dominasi preman dalam politik, kerusuhan dan kekerasan komunal. Menghadapi kenyataan ini sebagian intelektual dan aktivis berpaling kembali pada berbagai aksioma teori modernisasi dan mulai berbicara tentang ‘civilized society’, pluralisme, kesantunan politik modern dan good governance, yang diperjuangkan oleh sebuah ‘persekutuan aneh’ yang melibatkan intelektual publik, civil society organizations, lembaga keuangan internasional dan kalangan bisnis.

Gerakan LSM, aktivis mahasiswa dan sebagian intelektual publik mendorong valorization of civil society ini ke arah berbeda. Mereka umumnya sangat kritis terhadap globalisasi neoliberal, utang luar negeri, lembaga keuangan internasional serta militerisme. Gerakan civil society menurut pandangan ini adalah alternatif untuk membangun ‘dunia yang lebih baik’ dengan menekankan partisipasi, penghargaan terhadap otonomi komunitas dan perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan. Sumber inspirasi utamanya adalah new social movements yang melintasi perbedaan kelas, tidak dogmatik dan menjunjung perspektif kerakyatan (populisme). Aksi politik yang dominan dalam gerakan ini adalah advokasi dan kampanye untuk ‘meningkatkan kesadaran’ orang yang dibela maupun sebagian elite yang memiliki concern terhadap masalah-masalah yang mereka persoalkan.

Sekalipun memiliki perbedaan mendasar baik dalam hal pijakan teoretik maupun orientasi politik, kedua arus gerakan civil society ini menganggap kelas tidak lagi menempati peran penting dalam analisis sosial maupun diskursus politik. Bagi mereka yang memegang paham liberal (dan neoliberal) diskusi tentang kelas dan pertengangan kelas dalam masyarakat adalah sebuah anathema. Sementara kalangan yang lebih kritis menganggap analisis dan praktek politik berbasis kelas sudah ketinggalan zaman dan tidak relevan di hadapan kenyataan sosial yang semakin kompleks. Kedua cara pandang ini, dengan aksentuasi berbeda-beda, melihat pentingnya masyarakat membuat kontrak sosial baru dengan penguasa untuk mengurangi (bukan menghapus) ketimpangan, mendorong electoral politics yang bersih dan berwibawa dan memperjuangkan reformasi lembaga-lembaga politik. Dalam arus pikiran ini perspektif yang menekankan perbedaan kelas bukan hanya ketinggalan zaman tapi bahkan mengganggu tercapainya persatuan yang mutlak diperlukan untuk menghadapi otoriterianisme.

Saya berpendapat sebaiknya. Dalam situasi sosial yang semakin ‘kompleks’ sekarang ini analisis kelas justru semakin relevan dan dapat membantu mencari jalan keluar dari kebuntuan teoretik dan politik yang dihadapi gerakan demokrasi. Langkah awal yang penting untuk mengembangkan analisis dan diskursus kelas adalah membongkar bermacam mitos dan doktrin yang menyertainya. Ilmu sosial historis dalam hal ini relatif berhasil membongkar muatan ideologis dari teori modernisasi dan paham liberal, tapi tidak mencapai kemajuan berarti dalam dialognya dengan tradisi Marxis.

Perang Dingin, Kelas dan Marxisme


Istilah ‘kelas’ mulai menjadi bagian dari kosakata gerakan nasionalis sejak awal abad ke-20 saat ketika para pemimpin gerakan bersinggungan dengan gagasan sosialis yang dibawa oleh aktivis sosialis Belanda. Ketimpangan yang tajam antara penduduk bumiputra dan Eropa, kehadiran perkebunan dan negara kolonial membuat diskursus kelas bertumpang-tindih dengan rangkaian konsep yang lahir dari perlawanan terhadap kekuasaan asing, seperti bangsa dan rakyat.[10] Analisis kelas yang lebih sistematis mulai dilakukan oleh PKI dan serikat buruh yang mulai menyerap Marxisme – lebih tepatnya garis politik Komintern – ke dalam diskursus gerakannya (McVey 1965; Shiraishi 1990). Kedekatan pada analisis kelas dari Komintern, dan kecenderungan mem-proletar-kan gerakan nasionalis menjadi masalah serius dan merangsang serangkaian perdebatan yang kadang mengarah pada perpecahan dalam gerakan (Hilmar Farid 1993). Penumpasan pemberontakan 1926-27 oleh penguasa kolonial mengakhiri proses pergulatan itu dan sekaligus mengubah arena gerakan nasionalis. 

Diskursus kelas di Indonesia sejak awal sangat dipengaruhi oleh ortodoksi Marxis yang dicanangkan oleh Uni Soviet di bawah Stalin.[11] Ortodoksi ini mengubah pikiran Marx dari analisis teoretik mengenai konflik antagonistik antara eksploitasi kapitalis dan perjuangan pekerja untuk pembebasan menjadi pembenaran teoretik bagi akumulasi sosialis dan kekuasaan yang terpusat. Pada jantung analisis ortodoksi ini terletak pemikiran teleologis mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat yang linear. Semua masyarakat di dunia dibayangkan bergerak melalui tahap perkembangan dari komunisme primitif, perbudakan sampai pada feodalisme dan kapitalisme. Dorongan tanpa henti dari kekuatan produktif membuat hubungan yang mengatur produksi senantiasa perlu diperbarui. Dalam masyarakat kapitalis ini berarti mendobrak hubungan buruh-kapitalis yang membelenggu kekuatan produktif untuk menuju tatanan masyarakat yang lebih maju, yakni sosialisme.

Walau sudah bersinggungan sejak 1920-an, pengaruh ortodoksi dalam diskursus kelas di Indonesia baru mulai menguat pada awal 1950-an. Usaha pertama yang menggunakan pemikiran ortodoksi ini untuk menganalisis situasi kelas di Indonesia secara menyeluruh adalah Masyarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia, karya pemimpin PKI, D.N. Aidit (1957).[12] Mengikuti historiografi ortodoks mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat, Aidit menggambarkan perjalanan Indonesia melalui komunisme primitif, perbudakan dan feodalisme. Kekuasaan kolonial menghalangi tahap selanjutnya menuju kapitalisme dengan tetap mempertahankan kekuatan feodal, yang menjadikan Indonesia sebagai negeri ‘semi-kolonial dan semi-feodal’.[13] Perkembangan ini membuat Indonesia seperti negeri bekas jajahan lainnya memiliki struktur kelas yang berbeda dari negeri kapitalis di Eropa. Ia membagi masyarakat ke dalam enam kelas utama yang sepenuhnya ditentukan oleh posisi mereka secara ekonomi maupun sosial: tuan tanah feodal, kapitalis komprador, borjuasi nasional, borjuis kecil perkotaan, petani dan proletariat. Analisis selanjutnya lebih terarah pada potensi maupun impotensi masing-masing kelas sebagai kekuatan revolusi. Dinamika pertentangan kelas nyaris absen dalam tulisan itu karena, seperti tercermin dari politik PKI, tidak bisa menjadi prioritas dalam tahap perjuangan nasional-demokratik.

Jika diikuti secara seksama, diskursus kelas PKI lebih terkait dengan situasi politik ketimbang bertolak dari analisis mengenai kapitalisme. ‘Borjuasi komprador’ misalnya secara eksklusif digunakan untuk mengkategorikan kekuatan politik anti-komunis, terutama Masyumi dan PSI. Setelah kedua partai itu dilarang karena terlibat pemberontakan PRRI – yang bagi PKI merupakan wujud persekutuan kekuatan imperialis dan kaki-tangan kompradornya – kategori itu pun menghilang dari diskursus PKI dan diganti oleh istilah ‘kapitalis birokrat’, yang terutama berlaku bagi para pejabat yang memusuhi partai. Pendekatan serupa dapat dilihat dalam analisis partai mengenai pembagian kelas di pedesaan (Aidit 1964). Laporan berdasarkan penelitian di beberapa desa Jawa Barat itu membuat kategorisasi kelas tidak semata-mata berdasarkan kriteria sosial dan ekonomi, tapi juga sikap politik sehingga melahirkan kategori seperti ‘tuan tanah baik’ dan ‘tuan tanah jahat’.[14] Dalam banyak hal, analisis PKI mengenai susunan kelas lebih terlihat seperti tafsir politik yang menggunakan jargon kelas ketimbang analisis kelas terhadap situasi politik.

Situasi perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua kubu dan memperkuat statism yang mengaburkan perbedaan kelas dalam masyarakat, turut mempengaruhi diskursus kelas yang dikembangkan PKI dan organisasi radikal lainnya. Sebagai bagian dari front melawan imperialisme, para pemimpin PKI lebih sering mengobarkan nasionalisme radikal ketimbang perjuangan kelas, di mana rakyat yang revolusioner tampil sebagai kesatuan melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Masyarakat Indonesia dalam kerangka ini terbelah antara mereka yang setuju pada politik pemerintah yang menentang dua ‘kekuatan jahat’ ini (dan dengan begitu menjadi bagian dari rakyat, terlepas dari asal-usul dan kepentingan kelasnya) dan mereka yang menentangnya. Pergeseran ini tentu menimbulkan ketegangan di kalangan pemimpin partai, terutama ketika Aidit mengumumkan bahwa tugas-tugas perjuangan kelas harus tunduk pada kepentingan nasional (Mortimer 1975: 160-163). Ketegangan ini baru muncul dalam bentuk kritik yang sistematis setelah Oktober 1965, ketika sebagian pemimpin partai yang selamat membuat self-criticism dan menyoroti watak ‘borjuis’ para pemimpin partai lainnya serta kesalahan PKI dalam memahami dinamika perjuangan kelas.

Sepanjang pengetahuan saya, tidak satu pun ilmuwan sosial kritis di Indonesia yang pernah menulis uraian menyeluruh tentang analisis kelas yang dikembangkan PKI. Tapi menariknya hampir semua penulis – baik karena alasan keamanan maupun academic respectability – ingin menekankan perbedaannya dengan apa yang mereka bayangkan sebagai ‘Marxisme ortodoks’ (Bulkin 1983, 1984; Rahardjo 1985).[15] Pengamatan yang sedikit teliti menunjukkan bahwa perbedaan ini lebih terletak pada penggunaan istilah dan jargon teoretik-politik ketimbang substansi. Ortodoksi Marxis baik versi Soviet, Tiongkok maupun PKI, dan ilmu sosial historis yang berusaha menolak semua itu memiliki kesamaan yang sangat mendasar, yakni kecenderungan membuat klasifikasi yang membagi masyarakat ke dalam kotak-kotak yang disebut ‘kelas’. Upaya itu dimulai dengan membuat abstraksi dari kenyataan dengan terlebih dulu mengisolasi subyeknya untuk dianalisis bentuk dan isinya secara teliti, untuk selanjutnya dirumuskan sebagai ‘kelas’ yang dilengkapi sekian kriteria. Perbedaannya lebih terletak pada cara dan kriteria yang digunakan serta skema kelas yang lahir dari upaya klasifikasi tersebut; sementara Marxisme-Leninisme mengatakan pertentangan kelas inheren dalam skema tersebut dan merupakan sebuah kontradiksi pokok yang menggerakkan sejarah, analisis liberal maupun ilmu sosial historis melihat pertentangan tidak hanya bersumber pada perbedaan kelas, tapi juga karena masalah etnik, kebangsaan, agama, atau ras.

Persamaan antara analisis kelas PKI dan ilmu sosial historis dapat dilihat misalnya dalam perlakuan masing-masing terhadap ‘kelas menengah’. Bagi Bulkin, kelas menengah adalah “kelompok sosial dalam masyarakat yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin suratkabar, kaum pengusaha dan pedagang pribumi, ahli hukum dan kelompok-kelompok profesional lainnya.” (Bulkin 1984: 6). Mahasin sementara itu menetapkan kriteria kelas menengah pada asal-usul sosialnya dalam keluarga priyayi, petani kaya dan pedagang kecil, dan terutama pada kebudayaan dan gaya hidup yang berbeda (Mahasin 1990: 91). Pemikiran ini tidak berbeda jauh dari Aidit yang juga menggunakan kriteria pengaruh politik dan otoritas sosial dalam analisisnya mengenai kelas di daerah pedesaan (Aidit 1964). Penetapan kaum cendekiawan sebagai bagian dari kelas menengah perkotaan dalam ilmu sosial historis karena pemikiran mereka yang terbuka (Bulkin 1983; Mahasin 1990) tidak banyak bedanya dari kategori ‘intelektual progresif’ yang digambarkan Aidit sebagai bagian dari borjuis kecil perkotaan. Usaha klasifikasi semacam ini akhirnya seringkali terjerembab ke dalam pemberhalaan kategori yang bukan hanya lemah secara teoretik tapi juga bermasalah secara politik.

Pada aras teoretik, kategorisasi kelas seperti ini biasanya digunakan untuk menempelkan label pada seseorang atau kumpulan orang yang dianggap memiliki karakteristik serupa. Masalah sangat mendasar akan segera terlihat ketika konsep semacam ini menemui kenyataan sosial yang begitu dinamis. Ketika krisis mulai melanda Indonesia, ribuan ‘tenaga profesional’ yang biasanya disebut kelas menengah kehilangan pekerjaan. Sebagian dari mereka, jika mengikuti logika kategorisasi itu, untuk sementara waktu menjadi orang ‘tanpa kelas’ karena tidak punya pekerjaan, menjadi bagian dari ‘kelas pekerja’ dengan menjadi supir taksi, atau kembali menjadi ‘borjuis kecil perkotaan’ dengan membuka toko setelah mendapat suntikan modal dari orang tuanya yang kapitalis. Sama halnya dengan ratusan ribu buruh yang dipecat dan – mengikuti kategorisasi kelas dari Aidit – menjadi ‘borjuis kecil’ karena tidak lagi bekerja di pabrik dan menyambung hidup dengan menjadi perantara dalam ekonomi obyekan di kota-kota besar. Upaya menetapkan batas-batas kelas dengan cara seperti ini senantiasa menghadapi kesulitan ketika melihat kenyataan sosial yang konkret, kecuali dengan cara mengubah kriteria dan kategori itu terus-menerus sampai akhirnya kehilangan arti sebagai kategori. Di samping tidak banyak membantu memahami dinamika masyarakat, kecenderungan ini juga rentan terhadap kritik dari pandangan mainstream yang ingin ditantang.

Skema kelas kapitalis di Indonesia yang dibuat Robison (1986) tidak luput dari masalah seperti ini (Glassburner 1987). Sekalipun cukup canggih dibandingkan kebanyakan skema kelas dalam ilmu sosial historis di Indonesia dan bermanfaat untuk mengenali who is who dalam lingkungan elite Orde Baru, analisisnya akan menemui masalah serupa seperti di atas ketika misalnya membahas industri film dan sinetron yang dikuasai ‘kapitalis India’, yang tidak termasuk dalam skema kelasnya. Dalam studi tentang wilayah lain ada banyak penulis yang membentangkan skema kelas yang jauh lebih koheren, kompleks dan terlihat meyakinkan (Portes 1985, 2003; de Little 1992, Wright 1997) jika dibandingkan analisis kelas tentang Indonesia atau Asia Tenggara. Bagaimanapun, semuanya masih bekerja dalam kerangka pemikiran yang sama dan akhirnya terbentur pada persoalan teoretik yang sama. Dengan kata lain, masalahnya bukan terletak pada ketepatan menentukan kategori dan menggambarkan skema kelas yang canggih, tapi justru pada upaya membuat klasifikasi itu sendiri.

Secara politik, upaya menetapkan perbedaan kelas yang tepat dan pasti dengan menggunakan bermacam kriteria bisa berakibat sangat serius. Di Uni Soviet misalnya, Stalin menggunakannya sebagai dasar untuk menindas ‘kelas kulak’ atau petani kaya yang menghambat revolusi. Di Tiongkok pikiran Mao Zedong mengenai kelas menjadi dasar untuk menetapkan ‘musuh rakyat’ yang kemudian mendapat ganjaran atas watak kelasnya yang anti-revolusi saat berlangsungnya Revolusi Kebudayaan.[16] Kelas yang disimpulkan dari agregat sosial tertentu dalam konteks ini menjadi berbahaya dan mematikan. Sebagai analisis untuk mendukung gerakan perubahan pun kategorisasi kelas seperti ini bisa menjadi sangat menyesatkan. Gerakan buruh di Indonesia misalnya saat ini menghadapi gelombang pemecatan massal yang membuat ratusan ribu orang, termasuk sejumlah besar aktivis serikat buruh yang militan, kehilangan pekerjaan. Jika menggunakan kategorisasi kelas yang ketat maka saat dipecat mereka pun tidak lagi menjadi bagian dari kelas pekerja dan karena itu tidak dapat (dan tidak perlu) diperjuangkan lagi oleh serikat buruh. Skema labour flexibilization saat ini membuat organisasi buruh akan kesulitan menetapkan strategi pengorganisasian dan perjuangan jika masih bersandar pada konsepsi kaku mengenai kelas. Aktivis dan pemimpin serikat yang sekarang memperjuangkan kepastian kerja dan tidak bersuara menentang sistem kontrak dan skema flexibilization lainnya, bahkan bisa menjadi kekuatan konservatif seperti yang menghambat berkembangnya gerakan buruh.

Menuju Analisis Kelas tentang Indonesia


Jalan buntu analisis kelas yang selama ini coba dikembangkan di Indonesia menurut saya berakar pada dua masalah. Pertama, kegagalan menempatkan keseluruhan diskursusnya dalam analisis mengenai sistem kapitalis. Sekalipun mengklaim menekankan pentingnya sejarah, ilmu sosial historis dalam banyak hal juga bersifat a-historis. Pandangan teleologis yang menempatkan kapitalisme yang berkembang penuh atau matang sebagai titik tolak membuat analisis mereka lebih terarah pada kegagalan atau hambatan yang dihadapi masyarakat untuk menuju ke bentuk ideal tersebut, ketimbang memperhatikan secara teliti bagaimana sistem kapitalis tumbuh dan berkembang dalam kenyataan.[17] Masalah kedua adalah pemahaman yang keliru mengenai sistem kapitalis itu sendiri. Baik PKI maupun ilmu sosial historis dalam hal ini tidak bergerak jauh dari analisis ekonomi politik neoklasik, seperti halnya karya Walt Rostow hanya menjadi mirror-image dari analisis Marxisme Soviet mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat.

Dalam uraiannya tentang proses produksi kapitalis, Marx (1867) menunjukkan kekeliruan ekonomi klasik yang mempertukarkan penampakan dengan substansi, dan melihat hubungan antarmanusia yang kompleks sebagai thing. Seluruh penjelasannya bertolak dari upaya membongkar reifikasi ini dengan menelaah sistem kapitalis itu unsur demi unsur, dimulai dari komoditi sebagai bentuk paling elementer dari kemakmuran dalam masyarakat kapitalis. Komoditi dalam analisisnya bukan sekadar barang yang diperjual-belikan, tapi sebagai perwujudan dari pertentangan labour and capital, dan karena itu lebih tepat dilihat sebagai sebuah hubungan sosial. Bagi Marx, persoalan terpenting kemudian adalah memahami bagaimana perwujudan itu (dan hubungan yang melandasinya) tumbuh dan meluas dalam masyarakat. Ia menunjukkan bahwa sistem itu hanya mungkin berjalan dengan adanya imposition of work, di mana orang dipaksa untuk bekerja dan menjual tenaganya sebagai komoditi. Pemaksaan itu inheren dalam kapital, dan sepanjang sejarah yang terjadi adalah pergulatan antara labour and capital untuk menentukan (a) apakah kerja dapat dipaksakan atau tidak, (b) intensitas kerja yang dipaksakan dan (c) harga dari kerja yang dipaksakan. Hal yang membedakan produksi komoditi dalam sistem kapitalis dan produksi komoditi pra-kapitalis adalah sifat terus-menerus dan tanpa batas (boundless). Hanya dengan memaksakan kerja melalui bentuk komoditi kapital dapat bertahan dan pemisahan kelas dapat dipelihara.

Dengan demikian, kapital bukan sekadar thing, tapi keseluruhan proses yang dijabarkan Marx dalam skema M-C-M’, atau dengan kata lain sebuah hubungan sosial yang bergerak. Kritik yang sangat elementer tapi sering diabaikan dalam diskusi tentang kapital, termasuk oleh ortodoksi Marxis dan ilmu sosial kritis di Indonesia. Dalam pandangan mereka, mengikuti ekonomi klasik dan vulgar yang justru dikritik Marx, kapital adalah uang, barang, mesin atau alat kerja yang digunakan dalam produksi komoditi. Kelas-kelas muncul di sekitar pemilikan terhadap alat produksi dan memasuki pertentangan atau konflik ketika ada ketidakadilan dalam menentukan ‘siapa mendapat apa’. Bagi Marx, kapital itu sendiri adalah hubungan sosial yang mengandung kontradiksi dan hanya dapat bertahan dengan mengatur semua segi kehidupan manusia ke dalam kerja untuk menghasilkan komoditi. Sementara analisis ekonomi politik merasa cukup valid menggunakan angka pertumbuhan ekonomi atau arus modal ke dalam perekonomian tertentu, untuk mengukur perkembangan kapital, Marx menekankan pentingnya memeriksa bagaimana produksi dan pengambilalihan surplus berlangsung dalam kenyataan. ‘Kapital’ yang dimengerti sebagai uang, barang, mesin atau alat kerja, dalam pandangannya tidak akan menjadi kapital tanpa adanya kerja yang menciptakan nilai.[18]

Konsep kelas dalam kerangka ini digunakan untuk memahami hubungan antagonistik dalam kapital sebagai hubungan sosial. Pemisahan dalam masyarakat menjadi kelas-kelas merupakan prasyarat bagi produksi kapitalis, yang dicapai melalui pemaksaan terutama dengan memisahkan orang dari alat produksi dan reproduksi sosial, sehingga harus menjual tenaga kerjanya untuk bertahan hidup. Proses ini di banyak tempat – Marx sendiri mengambil contoh Inggris di mana kapitalisme telah mencapai bentuk yang lebih solid – memakan waktu sangat panjang. Kelas dalam situasi ini tidak muncul seperti “terbitnya matahari di ufuk timur”, seperti yang biasanya dibayangkan dalam metode klasifikasi yang diuraikan di atas. Kelas juga bukan sebuah kategori abstrak yang berlaku lintas-sejarah, tapi sebuah pengertian kunci untuk memahami dinamika kapitalisme. Pikiran Marx dan banyak penulis Marxis lain di luar ortodoksi Soviet dan Tiongkok, yang menolak pemberhalaan kategori dan kembali menempatkan kelas dalam analisis tentang sistem kapitalis adalah titik tolak penting untuk mengembangkan analisis kelas mengenai Indonesia. Uraian lengkap dan menyeluruh tentang metode yang diperlukan berada di luar jangkauan tulisan ini. Dalam uraian berikuat saya memusatkan perhatian pada persoalan krusial dalam analisis kelas, yakni class formation, yang sangat langka dalam literatur ilmu sosial kritis di Indonesia. Uraian itu akan merujuk pada beberapa studi yang baik karena kekurangan maupun adequacy-nya dapat membantu mengembangkan titik tolak tersebut.

The rise of capital oleh Richard Robison (1986) sering disebut sebagai usaha pertama untuk mengembangkan analisis kelas mengenai politik kontemporer Indonesia. Buku itu memberikan informasi cukup rinci mengenai kelas kapitalis yang dibaginya menjadi empat kategori berdasarkan hubungan masing-masing dengan kekuasaan negara. Kritik terhadap karya ini biasanya berkisar pada kelemahan bukti-bukti empirik yang menunjang bangunan argumentasinya, atau rumusannya mengenai faksi-faksi kelas kapitalis yang meragukan serta kegunaan analisis kelas-nya untuk memahami perubahan kebijakan ekonomi (Glassburner 1987; Basri 1992).[19] Padahal masalah utama dengan karya ini terletak pada pemahamannya mengenai kelas dan kapitalisme. Robison mencurahkan perhatiannya pada ‘revolusi kapitalis’ yang dibawa oleh Orde Baru, yang menurutnya melahirkan kelas-kelas baru, termasuk kelas kapitalis domestik. Perbedaan kepentingan, orientasi politik dan hubungan dengan birokrasi membuat kelas kapitalis ini tidak pernah tampil sebagai kesatuan dan tetap lemah di hadapan negara, yang menjadi fokus utama dalam tulisannya. Asal-usul kelemahan ini ditelusurinya dalam sejarah kolonial yang gagal memberikan pondasi cukup bagi tumbuhnya kelas kapitalis yang kuat. Dengan menyeleksi fakta-fakta historis yang menunjang argumentasinya ia cukup berhasil menggambarkan tumbuhnya kelas kapitalis di Indonesia dan menjelaskan mengapa kelas ini tidak berperan besar seperti ‘layaknya’ borjuasi dalam sistem kapitalis. Tapi kerangka itu pada saat bersamaan menghalangi penglihatannya mengenai proses ekspansi kapital dan dinamika sistem kapitalis di Indonesia.

Pembahasan mengenai faksi-faksi kelas kapitalis dengan menonjolkan perbedaan di antara mereka membuat ketegangan dan pertentangan antara kelas kapitalis ini sebagai kesatuan dengan kelas pekerja tidak tersentuh sama sekali. Hal ini terjadi karena pandangannya mengenai akumulasi kapital adalah semacam pengumpulan kekayaan, terutama uang, yang ditanamkan dalam sektor ekonomi tertentu. Masalah yang paling penting dengan begitu adalah sumber daya, hubungan dan pengaruh politik (clientelism) dari faksi-faksi kelas kapitalis dan akses masing-masing pada sumber keuangan. Cara ‘kapital’ direalisasikan menjadi kapital yang sebenarnya menjadi jantung dari analisis mengenai sistem kapitalis, sepertinya merupakan sesuatu yang tidak problematik. Dari uraiannya mengenai angka pertumbuhan, arus masuk modal internasional, meningkatnya ekspor dan sektor industri manufaktur memperlihatkan bahwa Robison – seperti banyak penulis lain dalam ilmu sosial kritis Indonesia – masih melihat kapital sebagai aset atau benda dan terperangkap dalam Verdinglichung (Marx 1867: 76-89). Pembentukan kelas baginya lebih merupakan konsolidasi orang atau kelompok tertentu dalam berbagai ‘kategori’ yang disusunnya berdasarkan bebagai kriteria yang tidak ada kaitannya dengan hubungan antagonistik yang inheren dalam kapital. Analisisnya mengenai ‘revolusi kapitalis’ sepenuhnya terarah pada perubahan kebijakan di masa Orde Baru yang membuka jalan bagi kembalinya modal asing dan bantuan untuk mendorong pertumbuhan, sementara tatanan sosial yang memaksa orang menjadi “angkatan kerja siap pakai” sebelum ‘kapital’ mengalir masuk dan sesudah direalisasi menjadi kapital (yang membuat tatanan itu semakin kuat) tidak tersentuh.

Analisis kelas yang berpijak pada pemahaman mengenai kapital sebagai hubungan sosial memiliki penglihatan berbeda. Akumulasi kapital di satu sisi memang merupakan pengumpulan uang dan aset di tangan kapitalis, tapi di sisi lain juga merupakan akumulasi tenaga kerja, dan lebih penting lagi, penguatan tatanan yang bersandar pada kerja melalui bentuk komoditi (commodity form). Apa yang disebut Robison sebagai ‘revolusi kapitalis’ pada saat bersamaan adalah ‘revolusi’ dalam kehidupan banyak orang yang dipaksa bekerja melalui bentuk komoditi. ‘Bab yang hilang’ dalam tulisan Robison ini kemudian diisi oleh beberapa studi tentang kelas pekerja di Indonesia pada masa Orde Baru (Bourchier, ed. 1994; Hadiz 1997). Sementara Robison menggambarkan the rise of capital, para penulis tentang buruh industri ini berbicara tentang the other side of the rise of capital, tanpa melihat ketegangan dan konflik laten di antara keduanya. Seperti Robison yang menjelaskan kemunculan kelas kapitalis akibat mengalirnya bantuan asing dan modal ke Indonesia, Hadiz mengatakan “[the] new industrial working class is largely the product of Indonesia’s increasingly important manufacturing sector.” (Hadiz 1997: 111).Tapi keduanya tidak menjelaskan bahwa ‘kapital’ tu hanya dapat direalisasi dengan menghancurkan bentuk produksi non-kapitalis dan memaksa orang bekerja dalam logika kapitalis. Beberapa petunjuk yang tersebar dalam tulisan mereka, sayangnya tidak dikembangkan lebih lanjut dan membiarkan masalah class formation pun terbengkalai. Kehadiran “cheap and docile labour force” (Deyo 1986; Hadiz 1997) diterima sebagai kenyataan dalam late industrialised countries tanpa memeriksa lebih jauh proses yang membuat orang ‘bersedia’ bekerja dalam situasi begitu buruk dan dengan upah sangat rendah. Pemisahan orang dari alat produksi, komodifikasi dan akumulasi tenaga kerja dalam produksi kapitalis absen dari penjelasan mereka, sehingga analisis mereka mengarah pada pandangan mekanistik mengenai kelas buruh sebagai by-product industrialisasi.

Pembahasan Marx mengenai ursrprungliche akkumulation (original accumulation) dan perluasan kapital sebagai hubungan sosial sangat penting untuk mengatasi kelemahan teoretik ini (dengan segala implikasi politiknya). Dengan konsep ini Marx berusaha menjelaskan basis historis bagi produksi kapitalis yang memisahkan produsen langsung dari alat produksi, dan dengan begitu mengubah means of subsistence and production menjadi kapital sementara para produsen menjadi pekerja-upahan (Marx 1867: 753). Keseluruhan proses itu memperlihatkan bahwa produksi kapitalis – yang saat ini nampak sebagai sesuatu yang wajar – muncul dan menjadi dominan dalam sejarah melalui paksaan, kadang bahkan dengan cara yang sangat brutal. Ursrprungliche akkumulation ini adalah proses yang tidak hanya terjadi sekali dalam sejarah. Dalam kata-kata Marx, “once this separation is given, the production process can only produce it anew, reproduce it, and reproduce it on an expanded scale (Marx 1858: 462). Perlawanan terhadap proses itu dan disruption dalam produksi kapitalis selalu mendorong kapital untuk menjaga keberlanjutannya dengan memperkuat dan memperbarui metode penaklukan.

Sejarah industri gula, tembakau dan karet di Jawa dan Sumatra memperlihatkan proses ursrprungliche akkumulation ini dengan jelas (Stoler 1985; Elson 1986; Knight 1989, 1992; Breman 1996). Sistem tanam paksa di Jawa, pemberlakuan koelie ordonnantie dan poenale sanctie di Sumatera yang mengikat pekerja dalam kontrak dengan hukuman berat jika mereka melanggarnya, dan masuknya ekonomi uang adalah strategi yang diterapkan penguasa kolonial untuk memastikan adanya tenaga kerja siap pakai yang dapat menggerakkan ‘kapital’ menjadi kapital. Hal terpenting bukanlah nilai yang diciptakan dalam proses ini dan banyak studi menunjukkan bahwa uang yang dihasilkan dalam masa awal ini tidak banyak artinya bagi pembentukan ‘kapital’ di Belanda (Maddison 1989; van der Eng 1998). Masalah yang lebih penting adalah pemisahan produsen dari means of subsistence dan alat produksi, atau dengan kata lain penghancuran cara produksi non-kapitalis yang memaksa orang bekerja melalui bentuk komoditi untuk menyambung hidup. Pemisahan yang berulangkali terjadi dalam periode yang panjang adalah landasan bagi perkembangan kapital di masa selanjutnya.

Peristiwa kekerasan 1956-66 di seluruh Indonesia di samping merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam konteks ini juga merupakan momen ursprungliche akkumulation (Hilmar Farid 2001) yang dapat memperjelas dimensi lain dari ‘revolusi kapitalis’ yang dibicarakan Robison. Pembunuhan massal di banyak tempat diikuti perampasan tanah dan harta milik lainnya, dan mencampakkan keluarga yang selamat sebagai ‘tenaga kerja bebas’ (karena kehilangan tanah dan means of subsistence mereka).[20] Stigma ‘PKI’ membuat para korban ini dan keluarga mereka bergentayangan mencari kerja dengan kondisi yang sangat buruk sekalipun (sebagai ganti keselamatan rahasia sebagai ‘eks-tapol’ atau ‘keluarga PKI’) dan berdesak-desakan membentuk ‘cheap and docile labour force’ di Indonesia. Penguasa Orde Baru pun secara sistematis menggunakan ‘masalah komunis’ ini sebagai alat untuk memperketat kontrol dalam hubungan industrial (Tanter 1988, 1990) dan mengatasi perlawanan terhadap ekspansi kapital di pedesaan (Fauzi 1997). Di masa ini pula Orde Baru memperkenalkan kembali kerja paksa dan represi fisik terhadap pekerja yang di beberapa tempat berperan cukup penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perluasan kapital.

Seperti halnya ursprungliche akkumulation di masa kolonial tidak berperan penting dalam pengumpulan kekayaan dan pembentukan ‘kapital’, kekerasan 1965-66 pun tidak menghasilkan surplus value yang berarti bagi pembentukan ‘kapital’ di masa Orde Baru. Seperti ditunjukkan Robison, ‘kapital’ di masa Orde Baru dibawa masuk oleh bantuan dan pinjaman dari luar negeri. Bagaimanapun, mengikuti pemikiran tentang kapital sebagai hubungan sosial yang dikemukakan Marx, peristiwa kekerasan itu berperan penting memisahkan tenaga kerja dan means of subsistence dan alat produksi dan merupakan prasyarat bagi realisasi ‘kapital’ menjadi kapital. Hubungan industrial yang diatur dan dipelihara dengan kekerasan menjadi landasan yang memungkinkan perluasan dan intensifikasi kapital di masa selanjutnya. Tentu saja ini tidak berarti bahwa Orde Baru mengandalkan perbudakan untuk melancarkan akumulasi kapital, tapi praktek semacam itu juga tidak sepenuhnya absen dari sejarah sistem kapitalis semasa Orde Baru.[21] Pembentukan kelas di masa Orde Baru juga bukan proses ‘sekali jadi’, tapi proses yang sangat kompleks yang hanya dapat dipahami secara penuh melalui pengamatan historis yang cermat.

Pembahasan ini lebih jauh akan menuju pada pengertian kelas pekerja yang selama ini dianggap identik dengan buruh (lebih khusus lagi industrial labour) yang bekerja untuk mendapatkan upah. Analisis mengenai kapital sebagai hubungan sosial memperlihatkan bahwa masalah terpenting dalam pembentukan kelas bukanlah status resmi seseorang, tapi imposition of work yang membelah masyarakat ke dalam kelas yang terpaksa bekerja dalam bentuk komoditi dan mereka yang menarik keuntungan dan mengelola proses itu. Tentu saja dalam kenyataan proses itu sangat rumit. Dalam produksi perkebunan misalnya kebanyakan tenaga kerja pada musim tebang dan pengolahan adalah petani yang direkrut untuk jangka waktu tertentu saja. Tapi seperti diperlihatkan Stoler dalam studinya mengenai perkebunan di Sumatera Timur, kehadiran perkebunan mempengaruhi “the core of community relations and domestic organization.” (Stoler 1985: 189). Sistem kapitalis dengan begitu adalah sebuah proses yang terus menerus melakukan pemisahan sosial melalui pemaksaan kerja, dan mempengaruhi keseluruhan masyarakat dengan terus-menerus menyedot berbagai aspek kehidupan ke dalam produksi komoditi. Kelas pekerja bukan hanya mereka yang menjual tenaga kerja untuk mendapat upah tapi semua orang yang menciptakan nilai atau berperan dalam menghasilkan surplus sekalipun tanpa upah.[22]

Analisis ini sebaliknya juga berpengaruh pada pemikiran mengenai kelas kapitalis di Indonesia. Robison dalam beberapa tulisannya mengenai persoalan ini (1982, 1985, 1986) nampak tidak konsisten. Di beberapa bagian ia berusaha menegaskan keberadaan kelas kapitalis, tapi pada bagian lain meragukan kesimpulannya sendiri (Winters 1996). Kerancuan ini terutama terjadi karena Robison, seperti kebanyakan ilmuwan sosial kritis lainnya, mematok analisis mereka dalam kerangka negara-bangsa (Indonesia) padahal kapital selalu bersifat global. Alhasil keinginan untuk menemukan ‘kelas kapitalis domestik’ (karena adanya tekanan pada batas-batas negara-bangsa) cenderung mengarah pada kesimpulan yang absurd, karena mengacaukan basis beroperasinya kapital dengan identitas kebangsaan. Kategori ‘borjuasi nasional’ yang digunakan Robison saat ini memerlukan redefinisi yang sangat mendasar mengingat sejumlah tokoh penting dalam kategori ini sejak 1998 tidak lagi bermukim di Indonesia. Pemisahan kapital domestik dan asing mungkin berguna untuk mengidentifikasi kepentingan yang spesifik dari masing-masing dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomi, tapi tidak banyak artinya dalam diskusi tentang dinamika kapital.[23] Dalam kerangka negara-bangsa militer dan birokrat Orde Baru membentuk ruling class yang berperan penting dalam pengelolaan tenaga kerja dan produksi kapitalis, tapi jika ditempatkan dalam konteks internasional, keberadaan mereka tidak lebih sebagai watchdog dan perpanjangan tangan modal asing. Dalam globalisasi neoliberal batas-batas negara bangsa tidak banyak artinya bagi dinamika kapital, walaupun lembaga negara masih berperan penting untuk menjamin keberlangsungan sistem itu dalam daerah yang dikuasainya.

Kelas, Teori dan Politik


Implikasi teoretik yang paling dasar dari kerangka analisis kelas di atas adalah pemikiran ulang mengenai disciplinary division yang dipegang kuat dalam ortodoksi ilmu sosial Indonesia.[24] Uraian di atas menunjukkan perlunya sumbangan dari berbagai bidang studi mulai dari ekonomi, sosiologi dan ilmu politik sampai hukum dan kriminologi. Proyek semacam itu tentu tidak dapat dibayangkan dalam ortodoksi ilmu sosial Indonesia yang masih terus mempertahankan ‘batas-batas’ ilmu sosial yang jelas dan pasti. Dengan kata lain hal yang menghalangi berkembangnya analisis kelas di Indonesia bukan hanya sentimen anti-komunis yang begitu kuat di lingkungan intelektual Orde Baru, tapi juga pembagian ilmu sosial ke dalam berbagai disiplin yang berbeda. Karena itu setiap telaah serius mengenai kelas dan kapitalisme di Indonesia sudah sepatutnya menyeberangi batas-batas artifisial tersebut. Mengingat kuatnya paham itu dalam ortodoksi ilmu sosial Indonesia, maka mungkin yang diperlukan bukan hanya pemikiran ulang tapi bahkan unthinking sebagai landasan paradigma yang baru (Wallerstein 1996).

Masalah lain adalah embedded statism dalam ilmu sosial yang bermuara pada penetapan negara-bangsa sebagai unit analisis. Penggunaan batas negara-bangsa tidak hanya mengandung problematik yang diuraikan di atas, tapi juga cenderung mengarahkan seluruh diskusi di sekitar kebijakan nasional ketimbang kenyataan sosial yang konkret di mana batas-batas wilayah administratif tidak terlalu berarti. Analisis tentang kelas dan kapitalisme di ‘Indonesia’ sejauh ini hanya berkutat pada pengalaman di wilayah tertentu, terutama Jawa dan Sumatera, sementara sedikit sekali analisis tentang daerah-daerah lain (yang biasanya menjadi lahan studi antropologi), sehingga kesimpulan dengan klaim ‘nasional’ dengan sendirinya sangat meragukan.[25] Indonesia saat ini sulit ditempatkan dalam salah satu kategori yang lahir dari pemikiran tentang tahap-tahap perkembangan masyarakat seperti merchant capitalism, agrarian capitalism atau semi-industrialised capitalism, bukan karena Indonesia adalah negeri yang unik – seperti sering dilontarkan ilmuwan sosial yang menutupi ketidakmampuan menjelaskan dengan berlindung pada pernyataan absurd semacam itu – tapi karena kategorisasi semacam itu cenderung menyesatkan.

Mengikuti kerangka Marx mengenai berbagai ‘fase’ ekspansi kapitalisme, Indonesia seperti banyak negeri lain di dunia, tengah mengalami ‘fase-fase’ ekspansi kapital yang berbeda pada saat bersamaan. Industri manufaktur yang merepresentasikan mature capitalism dengan hubungan industrial yang jelas dan diatur melalui hukum, serta keberadaan free wage labour dengan standar upah tertentu, hidup berdampingan dan terkait dengan ursprungliche akkumulation yang melibatkan perampasan tanah dan means of subsistence lainnya, bentuk kerja yang menyerupai human bondage dan unpaid labour. Pembahasan yang menggunakan negara bangsa sebagai unit analisis semestinya memahami saling-hubungan antara ‘fase-fase’ yang berbeda untuk mencapai kesimpulan yang memuaskan mengenai kelas dan kapitalisme di Indonesia.

Analisis mengenai kelas dalam konteks kapital sebagai hubungan sosial ini juga memiliki implikasi bagi agenda politik gerakan yang berbasis kelas. Dalam ortodoksi Marxis, kekuatan utama untuk menghadapi kapitalisme adalah kelas pekerja, khususnya buruh industri yang dianggap sebagai unsur yang paling mudah menghimpun diri karena sifat pekerjaannya. Tugas terpenting dari kelas pekerja ini adalah mengambilalih alat-alat produksi dari tangan borjuasi sehingga dapat menciptakan tatanan sosial tanpa eksploitasi. Pengalaman Uni Soviet dan Tiongkok, sebagai dua kekuatan penganut ortodoksi yang terbesar di dunia, membuktikan bahwa tugas tersebut tidak pernah dipenuhi. Tatanan sosialis yang didirikan memang berhasil menyingkirkan borjuasi dari kehidupan politik maupun produksi, tapi tidak dengan sendirinya menghapus jantung produksi kapitalis: endless imposition of work. Analisis Marx mengenai kelas dalam kapitalisme memperlihatkan dengan jelas bahwa masalah terbesar dengan kapitalisme bukan hanya pada cara kerja itu diatur, tapi justru pengorganisasian seluruh bidang kehidupan di sekitar kerja melalui bentuk komoditi. Perbedaan kelas tidak berakhir begitu saja dengan diumumkannya pembentukan negara buruh, karena yang terjadi kemudian adalah pengaturan kerja (yang sama) oleh kekuatan yang berbeda.

Persoalan terpenting dalam politik kelas karena itu bukan sekadar memperkuat bargaining power buruh di hadapan kapital, tapi menghapus hubungan menindas yang memaksa orang bekerja melalui bentuk komoditi. Pergulatan itu, seperti ditunjukkan Marx, tidak hanya terjadi dalam situasi ‘kapitalisme matang’ seperti dibayangkan oleh ortodoksi Marxis maupun sebagian ilmuwan sosial kritis Indonesia, tapi pada setiap fase ekspansi kapital. Perjuangan mempertahankan tanah yang diserobot kapital adalah perlawanan terhadap ekspansi hubungan yang menindas itu dan sama pentingnya dengan perjuangan buruh yang menuntut kenaikan upah maupun perhimpunan koperasi yang mencari jalan alternatif di luar bentuk komoditi untuk memenuhi kebutuhan hidup komunitasnya. Pengertian kelas yang bertumpu pada analisis tentang kapital sebagai hubungan sosial dapat membantu mencari titik singgung antara bentuk-bentuk berbeda dari perlawanan terhadap kapital.[26] Di Indonesia saat ini perjuangan menantang kekuasaan kapital pada dasarnya terpecah ke dalam berbagai sektor, yang mencerminkan kuatnya pendekatan yang mengklasifikasi orang berdasarkan kategori yang kaku. Analisis historis yang dapat mengungkap dinamika pertentangan kelas dan melampaui upaya kategorisasi semacam itu sangat diperlukan untuk mengatasi jalan buntu yang dihadapi banyak gerakan sosial dan politik saat ini.

Penutup


Pasang-surut diskursus kelas di Indonesia menunjukkan hubungan kuat antara ilmu sosial dan kekuasaan. Kemunculan Orde Baru yang menentang dan memberantas gerakan berbasis kelas diiringi pembersihan dalam dunia akademik dan diskursus publik yang kemudian mengharamkan konsep ‘kelas’. Namun, sungguh keliru jika menganggap represi Orde Baru sebagai satu-satunya alasan tidak berkembangnya upaya analisis kelas yang serius dalam ilmu sosial di Indonesia. Seperti di negeri bekas jajahan lainnya, diskursus kelas menghadapi tantangan kuat dari berbagai konsep lain yang memaknai pertarungan sosial dalam masyarakat, terutama bangsa dan rakyat. PKI yang merupakan representasi gerakan berbasis kelas di Indonesia pun sejak 1960 mulai bergeser dari ortodoksi Marxis mengenai kelas dan mengembangkan diskursus “perjuangan rakyat melawan imperialisme”. Adalah Orde Baru yang kemudian mendakwa PKI dengan pretensi “menjunjung perjuangan kelas” yang sudah lama ditinggalkannya dan menuntut orang menolak analisis kelas atas dasar itu.

Di tengah kebuntuan paradigma modernisasi, sebagian ilmuwan mengembangkan ilmu sosial yang berwawasan sejarah (ilmu sosial historis), yang lebih nampak sebagai alternatif karena mengkritik paradigma dominan ketimbang karena memiliki agenda riset yang jelas. Ilmu sosial historis ini adalah bagian dari kritik menyeluruh terhadap agenda pembangunan dan otoriterianisme Orde Baru yang didukung terutama oleh intelektual publik dan aktivis mahasiswa. Diskusi tentang kelas mulai berkembang saat kalangan ini mencari ‘agen perubahan’ atau kekuatan yang dapat menghadapi Orde Baru. Keyakinan akan pentingnya struktur sosial dalam analisis politik, membuat studi dan diskusi terarah pada “basis sosial demokratisasi”, khususnya kelas menengah yang mulai tumbuh dan memperlihatkan pengaruh pada 1980-an. Bagaimanapun diskusi tentang kelas menengah mulai surut ketika konsep ‘civil society’ – yang mengaburkan batas-batas kelas – mulai mengemuka dalam perjuangan menentang otoriterianisme. 

Seluruh uraian itu memperlihatkan bahwa ilmu sosial pada dasarnya adalah bagian dari pergulatan sosial dan tidak mungkin sepenuhnya dilepas dari masalah kepentingan dan bias politik. Masalahnya pihak-pihak yang bertentangan sudah terlalu lama dipahami dalam kerangka Perang Dingin (kapitalisme versus sosialisme) yang nyata tidak membawa perdebatan teoretik maupun perjuangan politik keluar dari jalan buntu yang cenderung apocalyptic. Dalam paham liberal sekarang berkembang doktrin “tidak ada alternatif”: dunia tidak mungkin lebih baik dari apa yang dicapai oleh sistem kapitalis sekarang. Sebaliknya dalam doktrin ortodoksi Marxis dikenal slogan: sosialisme atau kebiadaban. Diskursus kelas yang berpijak pada analisis historis menunjukkan bahwa sesungguhnya ada banyak alternatif terhadap ‘takdir’ yang ditetapkan oleh ortodoksi kiri maupun kanan. 

Kepustakaan


Abdullah, Taufik (1983). “Ilmu sosial dan peranannya di Indonesia,” Prisma, 12(6), Juni.
Aidit, Dipa Nusantara (1957). Masyarakat Indonesia dan revolusi Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1962a). Marxisme dan pembinaan nasion Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1962b). Sosialisme Indonesia dan sjarat-sjarat pelaksanaannja. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1964). Kaum tani mengganjang setan-setan desa. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan, eds (1980). Kemiskinan struktural : suatu bunga rampai. Jakarta : Pulsar
Alisjahbana, Iskandar, et.al. (1985). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Sinar Harapan
Amaluddin, Mohammad (1987). Kemiskinan dan polarisasi sosial : studi kasus di desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Amman, Paul (1971). “Tradisi sebagai dasar modernisasi,” Basis, 20(7), hlm. 194-202.
Anderson, Benedict O’Gorman (1982). “Perspective and method in American research on Indonesia,” in Benedict Anderson and Audrey Kahin, eds. Interpreting Indonesian politics: thirteen contributions to the debate. Ithaca: Cornell Modern Indonesian Project, Cornell University.
Basri, Muhammad Chatib (1992). “Catatan dari pergulatan ekonomi di Indonesia: sebuah upaya merambah pemikiran Richard Robison,” Ekonomi dan Keuangan, 42(3), hlm. 235-262
Bourchier, David, ed. (1994). Indonesia’s emerging proletariat: workers and their struggles. Indonesia Annual Lecture Series, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies.
Breman, Jan (1989). Taming the coolie beast: plantation society and the colonial order in Southeast Asia. Delhi: Oxford University Press.
Budiardjo, Carmel (1996). Surviving Indonesia’s gulag: a western woman tells her story. London: Cassell.
Budiman, Arief (1978). “The student movement in Indonesia: a study of the relationship between culture and structure,” Asian Survey, 18(6), hlm. 609-625.
———————— (1983). “Ilmu-ilmu sosial a-historis,” wawancara dalam Prisma, 12(6), Juni.
Bulkin, Farchan (1983). “State and Society: Indonesian Politics Under the New Order, 1966-1978,” PhD Dissertation, University of Washington.
———————— (1984). “Kapitalisme, golongan menengah dan negara: sebuah catatan penelitian,” Prisma, 13(2), hlm. 3-22.
Caffentzis, George (2002). “On the notion of a crisis of social reproduction: a theoretical review,” The Commoner, 5.
Cleaver, Harry (1979). Reading Capital politically. Austin: University of Texas Press.
———————— (1986). “Karl Marx: Economist or Revolutonary?” in Suzanne W. Helburn and David F.Bramhall, eds. Marx, Schumpter & Keynes, Armonk: M.E. Sharpe.
———————— (1989). “Work, value and domination: on the continuing relevance of the Marxian labour theory of value in the crisis of the Keynesian planner state,” Austin, Texas.
Colleta, Nat J. dan Umar Kayam, eds. (1987). Kebudayaan dan pembangunan: sebuah pendekatan terhadap antropologi terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Collier, David, ed. (1979). The new authoritarianism in Latin America. Princeton: Princeton University Press.
Danandjaja, James (1989). “Antropologi,” in Manasse Malo, ed. Pengembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia sampai dekade ’80-an. Jakarta” Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial UI dan Rajawali Pers.
de Angelis, Massimo (1995). “Beyond the technological and the social paradigm: a political reading of abstract labour as substance of value”, Capital and Class, 57.
de Little, Daniel (1992). “Interest, class and identity: microfoundations for Asian studies,” paper presented to the Association for Asian Studies, April 3.
Deyo, Frederic (1989). Beneath the miracle: labour subordination in the new Asian industrialism. Berkeley: University of California Press.
Elson, Robert E. (1986). “Sugar factory workers and the emergence of ‘free labour’ in nineteenth century Java,” Modern Asian Studies, 20(1).
Federici, Silvia (1999). “Reproduction and feminist struggle in the new international division of labour,” in M. Dalla Costa and F. Dalla Costa, eds. Women, development and labor of reproduction: struggles and movements. Trenton: Africa World Press.
Fine, Ben (2001). “The continuing imperative of value theory,” Capital & Class, 75.
Glassburner, Bruce (1987). “Book review: Indonesia, the rise of capital,” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 23(3), December.
Hadiz, Vedi R. (1997). Workers and the state in Indonesia. London: Routledge
Heri Akhmadi (1981). Breaking the chains of oppression of the Indonesian people. Ithaca: Cornell Modern Indonesian Project, Translation Series.
Heryanto, Ariel (1990). “Kelas menengah Indonesia: tinjauan kepustakaan,” Prisma, 19(4).
Hilmar Farid (1994). “Mencipta Bahasa, Menemukan Bangsa: Politik, Bahasa dan Nasionalisme,” Kalam, 3
———————— (2000). “Clearing the ground for pembangunan: the mass extermination in Indonesia, 1965-66,” paper presented at the conference ‘The Politics of Identity in Contemporary Indonesia’, University of Tasmania, 8-9 December.
Hindley, Donald (1964). The communist party of Indonesia 1951-1963. Berkeley: University of California Press.
Holzner, Brigitte (1992). “Gender dan kerja rumahan,” Prisma, 21(3).
Huntington, Samuel (1968). Political order in changing societies. New Haven: Yale University Press.
Kleden, Ignas (1984). “Kritik teori sebagai masalah ilmu sosial,” dalam Krisis ilmu-ilmu sosial dalam pembangunan di dunia ketiga, Yogyakarta: Pusat Latihan, Penelitian dan Pengembangan Masyarakat.
Knight, G.R. (1989). “Sugar, peasants and proletarians: colonial Southeastern Asia 1830-1940,” Critique of Anthropology, 9(2).
———————— (1992). “The Java sugar industry as a capitalist plantation,” Journal of Peasant Studies, 19(3-4).
Koentjaraningrat (1974). Kebudayaan, mentalitet dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
————————, ed. (1975, 1979). The social sciences in Indonesia. 2 vols. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Kuntowidjojo (1985). “Muslim kelas menengah Indonesia dalam mencari identitas, 1910-1950,” Prisma, No. 11.
Leclerc, Jacques (1972). “An ideological problem of Indonesian trade unionism in the sixties: ‘karyawan’ versus ‘buruh’,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 6(1).
Levine, David (1969). “History and social structure in the study of contemporary Indonesia,” Indonesia, 9.
Lukman, M.H. (1960). Tentang front persatuan nasional. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
MacDougall, John James (1975). “Technocrats as modernizers: the economists of Indonesia’s new order,” PhD Dissertation, University of Michigan.
Maddison, Angus (1989). “Dutch income in and from Indonesia 1700-1938,” Modern Asian Studies, 23(4).
Mahasin, Aswab (1990). “The santri middle-class,” Prisma: Indonesian indicator, 49.
Mao Tse-tung (1954). “The Chinese revolution and the Chinese Communist Party,” Selected Works of Mao Tse-tung. London: Lawrence and Wishart.
Marx, Karl (1851). “The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte,” in Marx and Engels Collected Works, Vol. 11, New York: International Publishers, 1969.
———————— (1867). Das Kapital: Kritik der Politische Oekonomie. Erster Band. Berlin: Dietz Verlag, 1957.
———————— (1858). Grundrisse der Kritik der Politische Oekonomie. Berlin: Dietz Verlag, 1953.
Mattulada (1979). “Pengaruh tradisi dan modernisasi dalam pembangunan masyarakat desa di Indonesia”, Wawasan 1(2)
McVey, Ruth T. (1965). The rise of Indonesian communism. Ithaca: Cornell University Press.
———————— (1969). “Introduction,” in Nationalism, Islam and Marxism. Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project.
Mies, Maria (1986). Patriarchy and accumulation on a world scale. London: Zed Books.
Morishima, Michio (1973). Marx’s economics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mortimer, Rex (1975). Indonesian communism under Sukarno: ideology and politics, 1959-1965. Ithaca: Cornell University Press.
Muhaimin, Yahya (1984). “Politik, pengusaha nasional dan kelas menengah Indonesia,” Prisma, 3.
Moertopo, Ali (1972). Dasar-dasar pemahaman tentang akselerasi modernisasi pembangunan 25 tahun. Jakarta: Center for Strategic and International Studies.
———————— (1980). “Hubungan perburuhan Pancasila sebagai manifestasi falsafah Pancasila di bidang perburuhan,” in Suntjono, ed. Hubungan pemerintah, pengusaha dan buruh dalam era pembangunan. Jakarta: Yayasan Marga Jaya.
Njoto (1962). Marxisme: ilmu dan amalnja. Djakarta: Jajasan Pembaruan
Notosusanto, Nugroho (1974). “The historical development of the dual function of the Indonesian armed forces”, Indonesian Quarterly, 3(1).
Offe, Claus, ed. (1985). Disorganized capitalism. Cambridge: The MIT Press.
Partai Komunis Indonesia (1962). ABC revolusi Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1964). Bagaimana masjarakat berkembang. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Portes, Alejandro (1985). “Latin American class structures: the composition and change during the last decades,” Latin American Research Review, 20(3).
———————— (2003). “Latin American class structures: their composition and change during the neoliberal era,” Latin American Research Review, 38(1).
Robison, Richard (1978). “Toward a class analysis of the Indonesian military bureaucratic state,” Indonesia, 25.
———————— (1986). Indonesia: the rise of capital. Sydney: Allen and Unwin.
———————— (1990). Power and economy in Suharto’s Indonesia. Manila: Journal of Contemporary Asia Publisher
Rosen, George (1985). Western economists and Eastern societies: agents of social change in South Asia, 1950-1970. Baltimore: John Hopkins University Press
Saad-Filho, Alfredo (2002). “Production, exploitation and control: value relations in capitalist society,” Working Paper, Department of Development Studies, University of London.
Sadli, Mohamad (1993). “Recollections of my career,” Bulletin of Indonesian Economic Studies. 29(1), April.
Salim, Elim (1997). “Recollections of my career,” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 33(1), April.
Sanit, Arbi (1981). Sistem politik Indonesia: kestabilan, kekuatan politik dan pembangunan. Jakarta: Rajawali Press.
Sapiie, Soedjana (1974). “Transfer of technology, a proposed solution for Indonesia”, Indonesian Quarterly, 3(1)
Sasono, Adi dan Sritua Arief (1981). Indonesia: ketergantungan dan keterbelakangan. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan.
Schulte-Nordholt, Nico dan Leontine Visser, eds. (1997). Ilmu sosial di Asia Tenggara: dari partikularisme ke universalisme. Jakarta: LP3ES.
Shiraishi, Takashi (1990). An age in motion: popular radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press.
Siahaan, Hotman M. (1983). “Tekanan struktural dan mobilisasi petani di pedesaan”, Prisma, 12(11-12), hlm. 50-63
Steedman, Ian (1977). Marx after Sraffa. London: New Left Books.
Stoler, Ann Laura (1985). Capitalism and confrontation in Sumatra’s plantation belt, 1870-1979. New Haven: Yale University Press.
Sujatmoko (1980). “Dimensi-dimensi struktural kemiskinan”, Prisma, 9(2), hlm. 66-75
Sumawinata, Sarbini (1992). “Recollections of my career,” Bulletin of Indonesian Economic Studies, 28(2), August.
Sutrisno, Lukman (1980). “The sugar industry and rural development: the impact of cane cultivation for export on rural Java, 1830-1934”, PhD Thesis, Cornell University.
Tan, Mely G. (1973). “The role of sociologists in social development: the Indonesian case”, Masyarakat Indonesia, 1(1), h. 39-43.
Thompson, Edward P. (1968). The making of the English working class. London: Penguin Books.
Tjondronegoro, Sediono M.P. (1997). “Agenda ilmu sosial Indonesia: tinjauan pribadi,” dalam Nico Schulte Nordholt and Leontine Visser, eds. Ilmu sosial di Asia Tenggara: dari partikularisme ke universalisme. Jakarta: LP3ES.
van der Eng, Pierre (1998). “Economic benefits from colonial assets: the case of the Netherlands and Indonesia 1870-1958,” Research Memorandum (GD-39), June.  
van Langenberg, Michael (1986). “Analysing Indonesia’s New Order state: a keywords approach”, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 20(2), h. 1-47.
Wallerstein, Immanuel, et.al. (1996). Open the social sciences: report of the Gulbenkian Commission on the restructuring of the social sciences. Stanford: Stanford University Press.
Ward, Ken (1973). “Indonesia’s modernisation: ideology and practice,” in Rex Mortimer, ed. Showcase state: the illusion of Indonesia’s accelerated modernisation. Sydney: Angus and Robertson.
Wennerlind, Carl (2002). “The labour theory of value and the strategic role of alienation,” Capital and Class, 77
Westergaard, J. H. (1972). “Sociology: the myth of classlessness,” in Robin Blackburn, ed. Ideology in Social Science. London: Fontana
Wieringa, Saskia (2003). “The birth of the New Order state in Indonesia: sexual politics and nationalism,” Journal of Women’s History, 15(1).
Winters, Jeffrey (1996). Power in motion: capital mobility and the Indonesian state. Ithaca: Cornell University Press.
Wood, Ellen Meiksins (1989). “Rational choice Marxism: is the game worth the candle?” New Left Review, 177.
———————— (1998). The retreat from class: a new ‘true’ socialism. London: Verso.
Wright, Erik Olin (1997). Class counts: comparative studies in class analysis. Cambridge: Cambridge University Press.



* Terima kasih kepada John Roosa, Razif dan Vedi Hadiz untuk komentar dan kritik mereka terhadap draft awal dari tulisan ini.
[1] Kabar bohong tentang pengebirian para jenderal di Lubang Buaya dalam peristiwa 1 Oktober 1965 dan kampanye fitnah terhadap Gerwani yang dituding sebagai pelakunya menjadi titik pijak penting bagi Orde Baru untuk menegakkan kontrol terhadap seksualitas dan politik seksual di masa selanjutnya (Wieringa 2003). Dalam ilmu sosial pengaruhnya dapat dilihat dalam penolakan, peremehan dan bahkan pelecehan terhadap studi gender dan seksualitas yang masih dapat dirasakan sampai saat ini.
[2] Penggantian istilah ‘buruh’ menjadi ‘karyawan’ ini terkait dengan pergulatan kuasa antara gerakan buruh kiri yang bernaung di bawah SOBSI dengan militer yang membentuk SOKSI sebagai tandingannya (Leclerc 1972). Orde Baru sejak awal menaruh perhatian besar terhadap politik bahasa dan dalam perjalanannya mencetuskan beberapa keywords yang berperan penting untuk memperkuat legitimasinya (van Langenberg 1986).
[3] Posisi kalangan intelektual ini menjadi semakin penting dengan adanya dukungan khusus dari Amerika Serikat. Sejak 1950-an pemerintah AS memberikan bantuan beasiswa bagi sejumlah besar sarjana ekonomi dan ilmu sosial Indonesia untuk mengikuti pendidikan pasca-sarjana di universitas Amerika. Dokumen pemerintah AS secara eksplisit menyebut program ini sebagai bagian dari “controlled experiment of modernization”, untuk menciptakan ‘agen modernisasi’ yang dapat mengubah masyarakat Indonesia menjadi modern dan rasional (Foreign Relations 2001: 549-50). Dikatakan, “moving Indonesians to an outside vantage point is undoubtedly the best way to show them the deficiencies in their own social structure and stimulate a desire for this change.”
[4] Pikiran ini sejalan dengan organic state discourse yang dikembangkan militer Orde Baru dan menjadi titik pertemuan penting antara ilmu sosial dan kekuasaan. Prinsip floating mass yang mengalir dari organic state discourse mendapat ‘landasan ilmiah’ dalam social engineering yang lahir dari teori modernisasi. Tidak ada tokoh lain yang bisa mewakili persekutuan ilmu dan kekuasaan ini lebih baik dari Ali Moertopo, seorang perwira intelijen yang berperan penting dalam konsolidasi kekuasaan militer sejak Oktober 1965 dan sekaligus menduduki tempat terhormat sebagai pemikir politik di lingkungan intelektual Orde Baru. Tulisannya mengenai akselerasi modernisasi di Indonesia menjadi salah satu narasi induk dari organic state discourse dan pembangunan semasa Orde Baru (Moertopo 1974).
[5] Logika ad baculum ini dengan mudah dapat dijumpai dalam komentar para pejabat maupun tulisan ilmiah sampai saat ini. Perhatian terhadap ketimpangan dan diskriminasi gender misalnya ditolak atau bahkan dilecehkan karena pemerintah dan kalangan intelektual menganggap ketimpangan seperti itu “tidak dikenal dalam budaya Timur. Pembunuhan di Aceh atau Timor Leste oleh militer dianggap tidak pernah terjadi karena “berlawanan dengan prinsip yang dipegang oleh militer yang menjunjung hak asasi manusia.” 
[6] Kedekatan ilmu sosial dan policy making ini lahir dan sekaligus memperkuat persekutuan ilmu sosial dan kekuasaan yang dijelaskan di atas. Kendali persekutuan ini sepenuhnya berada di tangan birokrasi pemerintah yang menentukan mulai dari prioritas, jangka waktu dan biaya penelitian sampai pada tenaga peneliti yang dilibatkan. Lembaga penelitian yang berbasis di universitas sekalipun independen dari segi struktur, sangat bergantung pada proyek-proyek pemerintah dan hampir tidak punya ruang mengembangkan penelitian dasar yang independen (Abdullah 1983). Keterlibatan ilmuwan sosial dalam penelitian pesanan pemerintah adalah pencapaian yang dianggap jauh lebih penting (walau tidak prestisius) ketimbang misalnya menghasilkan karya akademik yang dikenal secara internasional.
[7] Pergeseran ini terjadi dalam ilmu sosial liberal secara keseluruhan ketika menyaksikan tumbuhnya rezim-rezim otoriter di Dunia Ketiga. Untuk memberi pembenaran dan sekaligus landasan ilmiah bagi kebijakan AS yang mendukung kediktatoran Goulart di Brasil, Mobutu di Zaire, Pinochet di Chile dan Soeharto di Indonesia, para sarjana-birokrat ini menulis tentang political order sebagai kunci keberhasilan modernisasi (Huntington 1968).
[8] Diskusi tentang kemiskinan dan kesenjangan juga terjadi dalam lingkungan establishment, tapi biasanya sebagai ‘masalah sosial’ yang (a) terjadi secara alamiah karena industrialisasi dan modernisasi, serta (b) belum adanya kebijakan pemerintah yang menangani masalah itu. Ada keyakinan kuat bahwa kebijakan penanganan yang tepat adalah obat bagi semua masalah sosial, dan penelitian sosial bertugas mencari hal-hal yang perlu diatur melalui kebijakan. Pengembangan teori dan pikiran kritis tidak pernah terjadi karena sikap a-politis dalam establishment yang ditanamkan sejak awal Orde Baru menjadi ‘keyakinan tersembunyi’ bahwa obyektivitas terletak pada sikap netral dengan tidak memilih atau sebaliknya menolak teori tertentu (Kleden 1984: 141).
[9] Ada anggapan bahwa kelas menengah – terutama kaum terpelajar seperti mahasiswa dan intelektual publik – adalah ‘elemen termaju’ dalam civil society, yang dapat mengatasi perbedaan kepentingan dalam perjuangan menghadapi otoriterianisme. Anggapan ini lebih jauh memperlihatkan bias gender yang kental, karena kebanyakan kaum terpelajar sejak zaman kolonial adalah laki-laki. Dengan demikian secara tidak langsung dikatakan bahwa laki-laki kelas menengah, karena pendidikan dan pengetahuannya, dapat mewakili kepentingan laki-laki dan perempuan dari kelas-kelas lain. Masalah ini menurut saya memperlihatkan bahwa dalam banyak hal ‘ilmu sosial kritis’ belum beranjak jauh dari paradigma dominan yang hendak dikritiknya. 
[10] Pada 1870 pendapatan per kapita orang bumiputra adalah 47,2 guilder sementara pendapat per kapita orang Eropa adalah 2,163 guilder atau 1:46. Pada 1913 ketika gagasan sosialis mulai memasuki diskursus gerakan nasionalis perbedaan per kapita ini adalah 1:65 (Maddison 1989: 665). Di kalangan buruh juga ada perbedaan upah yang mencolok antara orang Eropa dan bumiputra dan menghalangi munculnya gerakan yang dapat mempertemukan keduanya (Ingleson 1986).
[11] Doktrin ini dikenal sebagai Marxisme-Leninisme yang mulai dikembangkan pada awal 1920-an dan menjadi acuan teoretik utama bagi banyak partai komunis di dunia (Fundamentals of Marxism-Leninism 1952). Di masa Perang Dingin, doktrin ini mendapat suntikan scientism dalam dosis tinggi yang kemudian ‘mengangkat’ statusnya menjadi ilmu yang holistik dan sumber utama dari semua jenis pengetahuan.
[12] Tulisan ini awalnya adalah bahan pendidikan kader PKI. Arti pentingnya terlihat dari fakta bahwa hampir semua literatur partai, termasuk tulisan para pemimpin partai lainnya, mengacu kepada karya ini (Partai Komunis Indonesia 1962, 1964). Beberapa karya teoretik dari pimpinan PKI yang tidak banyak jumlahnya, lebih gamblang menunjukkan kedekatan pikiran mereka dengan ortodoksi (Aidit 1962, 1964; Njoto 1962).
[13] Argumen ini sejalan dengan pemikiran Mao Zedong mengenai situasi masyarakat Tiongkok (Mao 1954). Hampir seluruh pemahamannya mengenai masa pra-kapitalis dan pembagian masyarakat ke dalam kelas diambil dari karya ini. Beberapa bagian bahkan mengutip tulisan Mao ini kata demi kata. Dari analisis sejarah seperti ini Aidit menyimpulkan, mengikuti Mao, bahwa partai tidak dapat langsung memperjuangkan sosialisme, melainkan harus melalui tahap perjuangan nasional demokratik yang menyingkirkan imperialisme di satu sisi dan menggerus sisa-sisa feodal di sisi lain. Namun, berbeda dengan Mao Zedong mengandalkan perjuangan bersenjata dalam tahap nasional-demokratik, PKI meyakini bahwa perjuangan itu dapat ditempuh melalui jalan parlementer yang damai. Pendekatan ini yang menjadi ‘landasan ilmiah’ bagi politik front nasional yang dipegang PKI sampai dihancurkan Oktober 1965.
[14] Penelitian ini adalah satu-satunya upaya yang masif dari PKI untuk memahami dinamika masyarakat kelas berdasarkan pengamatan empirik. Bagi pemimpin PKI, terutama Aidit, penelitian ini adalah langkah penting untuk memperkuat pemahaman kader partai mengenai keadaan di desa sekaligus menantang menantang metode dan hasil riset “studi-studi borjuis”  (Mortimer 1975: 304).
[15] Dalam tradisi Marxis, kecenderungan membuat skema dan peta kelas yang lebih kompleks bertolak dari ketidakpuasan pada kerangka bi-polar classes atau tiga kelas utama yang disebutkan oleh Marx. Kerangka itu menurut mereka tidak dapat diterapkan untuk melihat pemisahan sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks. Dari sini kemudian berkembang arus pemikiran yang berusaha melampaui Marxisme klasik dengan analisis yang lebih ‘ilmiah’, kadang dengan perhitungan matematis mengenai eksploitasi dan lokasi kelas. Ellen Meiksins mengatakan hasrat scientism yang hendak memberi ‘landasan lebih ilmiah’ bagi Marxisme dari teori kelas itu lahir sebagai reaksi terhadap ekonomi neoklasik yang menyerang analisis kelas karena ‘tidak ilmiah’. Para penganjur scientism yang cukup dikenal di Indonesia seperti Jon Elster dan Erik Olin Wright misalnya, berusaha ‘meluruskan’ pikiran Marx dan teori Marxis – yang dipelintir sedemikian rupa dan kemudian diluluhlantakkan dalam Perang Dingin seperti yang dilakukan Orde Baru – agar bisa sejajar dengan teori sosial ‘terhormat’ lainnya (Wood 1989: 75). Namun, alih-alih menghasilkan kerangka pemikiran baru yang lebih tajam, upaya itu hanya mendekatkan Marxisme kepada paham liberal yang menjadi bebuyutnya dalam sejarah pemikiran modern. 
[16] Film To Live karya Zhang Zimou (1994) secara komikal menggambarkan kekacauan yang timbul akibat kategorisasi kelas-kelas semasa Revolusi Kebudayaan. Dalam sebuah adegan, pasangan suami istri miskin yang menjadi peran utama dalam film itu membahas prosekusi terhadap tetangga mereka, seorang pemimpin lokal partai komunis, yang tanpa alasan jelas dituduh sebagai ‘kapitalis’ karena ketahuan menimbun sejumlah barang berharga di rumahnya. Di tengah kekhawatiran didatangi petugas partai, mereka berdiskusi tentang ‘kategori kelas’ yang tepat untuk mereka sendiri, dan akhirnya penuh keyakinan (karena bayangan prosekusi yang mengerikan) memutuskan bahwa mereka adalah bagian dari proletariat. 
[17] Kecenderungan ini terlihat misalnya dalam tulisan Yoshihara Kunio mengenai ‘kapitalisme semu’ yang cukup populer di lingkungan ilmu sosial kritis di Indonesia.
[18] Labour theory of value ini termasuk butir pemikiran Marx yang paling banyak mengundang perdebatan. Salah satu titik kontroversi terpenting adalah apa yang disebut ‘problem of transformation’, di mana Marx dianggap gagal – dan juga tidak konsisten – dalam menjelaskan transformasi nilai lebih yang dihasilkan pekerja menjadi harga dan profit (Morishima 1973; Steedman 1977). Kritik lain yang lebih canggih mengatakan kapitalisme kontemporer melahirkan jenis-jenis pekerjaan ‘baru’ dan heterogenitas kerja yang membuat pemikiran Marx tentang sentralitas kerja yang menghasilkan surplus dan dengan sendirinya labour theory of value menjadi usang (Offe 1985). Bagaimanapun, beragam kritik yang umumnya sangat teknis dan mengandalkan perhitungan matematis ini sesungguhnya lebih banyak mendorong theoretical refinement ketimbang menggugurkan teori ini (Cleaver 1989; de Angelis 1995; Fine 2001; Wennerlind 2001; Saad-Filho 2002; Caffentzis 2002).
[19] Kritik Glassburner dan Basri bertolak dari paham neoklasik dalam ekonomi, yang tidak banyak disinggung dalam karya Robison. Menariknya sampai saat ini saya belum menjumpai jawaban dari Robison sendiri terhadap terhadap bermacam kritik itu, yang sebenarnya dapat dipatahkan dengan mudah bahkan dari perspektifnya sendiri mengenai kelas dan kapitalisme. 
[20] Jumlah orang yang dibunuh dalam rangkaian kekerasan ini berkisar antara setengah sampai satu juta orang, sementara jumlah orang yang ditahan atau dituduh komunis (dan karena itu menjadi pariah secara sosial maupun politik) mencapai jumlah kurang lebih sama (Cribb 1990; Budiardjo 1998). Jumlah orang yang terpengaruh oleh peristiwa kekerasan ini secara langsung maupun tidak, termasuk keluarga para korban atau orang yang dituduh PKI, mencapai 6 sampai 7 juta jiwa.
[21] Dalam Das Kapital (1867), Marx berulangkali menunjukkan pentingnya unpaid labour dan bermacam bentuk kerja paksa bagi proses akumulasi modal. Pandangan bahwa sistem kapitalis sepenuhnya mengandalkan ‘free wage labour’ sesungguhnya lahir dari tafsir Stalinis mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat, yang membayangkan kapitalisme sebagai sistem yang sepenuhnya berbeda dari sistem-sistem sebelumnya. Industri minyak di Indonesia, yang menjadi salah satu tiang penyangga terpenting bagi akumulasi kapital di masa Orde Baru, selalu mengandalkan kekuatan represif negara untuk memelihara ketenangan industrial.
[22] Teoretisi feminis sejak lama mengangkat masalah unpaid labour dalam sistem produksi kapitalis (Mies 1986; Federici 1999). Di Indonesia studi seperti ini mulai dikembangkan oleh beberapa peneliti, walau belum sampai pada penjelasan rinci mengenai kontribusi unpaid labour ini dalam proses akumulasi kapital. Salah satu masalah mendasar adalah catatan statistik – yang sering menjadi acuan utama dalam studi tentang kerja – tidak pernah menganggap kerja tanpa upah, yang terutama dilakukan oleh perempuan dan anak-anak, sebagai kerja (Holzner 1992; Hull 1994).
[23] Secara politik diskusi semacam itu lebih banyak membantu policy-makers yang mendukung kapital ketimbang kekuatan sosial yang mencari alternatif terhadap sistem kapitalis. Hal ini mungkin menjelaskan mengapa tulisan tentang ekonomi politik kontemporer di Indonesia pada umumnya lebih menarik perhatian para birokrat, pengusaha dan intelektual kelas menengah daripada aktivis gerakan buruh.
[24] Pemisahan ilmu sosial ke dalam berbagai disiplin itu sendiri diwarisi dari ilmu sosial liberal yang tumbuh pesat di Amerika Serikat dan Eropa sejak awal abad ke-20 (Wallerstein 1996).
[25] Studi tentang kapital dan negara yang menekankan pentingnya konsep ‘otonomi relatif’ dari negara biasanya menjadikan policy making di tingkat nasional sebagai bahan studinya. Di tingkat itu, argumen bahwa birokrasi negara bersifat otonom dari pengaruh faksi-faksi kelas mungkin mengandung kebenaran (sekalipun patut dipertanyakan juga jika melihat kelas kapitalis sebagai keseluruhan), tapi tentu keliru jika dianggap berlaku umum. Di Papua dan Kalimantan misalnya, perusahaan tambang dan perkebunan raksasa tidak hanya mempengaruhi kebijakan pemerintah tapi juga menguasai dan membiayai alat-alat represif negara seperti polisi dan tentara, yang setiap saat dapat digalang untuk menghadapi perlawanan terhadap mereka.
[26] Dalam analisisnya mengenai petani Prancis pada awal abad ke-19 Marx menekankan pentingnya dynamic collective self-activity dan ikatan komunitas yang kuat dalam proses pembentukan kelas (Marx 1851: 187). Teori Marxis kontemporer mengembangkan gagasan ini lebih lanjut ketika berbicara tentang ruling class yang tidak selalu disatukan oleh kesamaan kepentingan sosial-ekonomi melainkan orientasi politik untuk menjaga ketimpangan yang diciptakan sistem kapitalis. Militer Indonesia misalnya, sekalipun memiliki hirarki kepangkatan yang mencerminkan perbedaan ‘kelas’ (dari segi pendapatan dan pengaruh) adalah bagian dari ruling class dalam konteks politik domestik.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar