Oleh Rio Apinino, Sekjend SEMAR UI
Rakyat nonton jadi suporter, kasih semangat jagoannya
Walau tahu jagoannya ngibul, walau tahu dapur gak ngebul
Iwan Fals – Asik gak Asik
Pemilihan
Umum 2014 segera tiba. Pada tanggal 9 April dan kemudian tanggal 9 Juli mendatang
rakyat Indonesia akan berbodong-bondong menuju TPS untuk memilih anggota
legislatif dan kemudian presiden. Terlepas dari motif masing-masing individu
untuk memilih, apakah karena memang kesadaran politik yang tinggi dan
beranggapan bahwa pemilu adalah ajang yang penting dan menentukan arah
Indonesia 5 tahun setelahnya, ataukah karena keberhasilan partai politik menggaet
massa melalui janji politik yang dilakukan ketika kampanye, toh kenyataannya
yang benar-benar menang dalam pemilu adalah golongan putih (golput), setidaknya
dalam beberapa kali pemilu terakhir pasca-orde baru. Komisi Pemilihan Umum
mencatat bahwa golput, semenjak pemilu 1999, memang semakin menunjukkan
kenaikan yang signifikan. Pemilu tahun 1999 diwarnai oleh 8 persen golput, 5
tahun setelahnya, naik drastis menjadi 23 persen, pada pemilu terakhir,
tercatat 39 persen rakyat yang memiliki hak pilih memilih golput. Signifikannya
massa golput inilah yang mendorong berbagai organisasi, baik institusi negara
seperti KPU atau berbagai elemen di masyarakat, untuk melakukan berbagai
kampanye agar masyarakat tidak golput. Selain itu, advokasi untuk pemilih agar
memiliki akses untuk memilih juga menjadi fokus utama dari banyak organisasi,
hal ini mengingat banyaknya kaum urban yang domisili dan tempat tinggal
berdasarkan kartu penduduknya berbeda. Kedua hal inilah yang diadvokasi, khusnya
oleh lembaga formal kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa UI. Tulisan
ini sendiri dimaksudkan sebagai tinjauan kritis atas isu pemilu tersebut.
Perihal Golongan Putih dan Potensinya
Pertanyaan
pertama yang seharusnya sudah selesai dijawab ketika berbagai golongan tersebut
mengkampanyekan anti-golput adalah: mengapa masyarakat memilih golput? Dalam
artikelnya, Max Lane[1]
menjawab bahwa golput yang semakin signifikan dikarenakan praktek politik yang
terjadi semakin elitis dan dikuasai oleh elit-elit lawas yang telah
berkontestasi semenjak era Suharto. Sebutlah berbagai elit partai besar di
Indonesia, maka kita akan menemukan bahwa wajah-wajah itu saja yang
berkontestasi. Apalagi, jika kita melihat partai-partai seperti Golkar dengan
tokohnya Aburizal Bakrie, Hanura dengan Wiranto, Gerindra dengan Prabowo,
Nasdem dengan tokohnya Surya Paloh, maka kita akan menemukan bahwa mereka lahir
dari rahim yang sama, Golkar. Nah,
apakah analisa ini telah dilakukan oleh organisasi yang mengkampanyekan
anti-golput tersebut?
Kontestasi
politik yang elitis sehingga mengakibatkan demokrasi –sebagai abstraksi yang
lebih besar dari pemilu, semakin jauh dari realitas hidup sehari-hari tentu
bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ada prakondisi tertentu yang
mengakibatkan hal tersebut. Dalam konteks Indonesia, kesetiaan rezim terhadap
neoliberalisme mempengaruhi situasi ini. Mengikuti doktrin neoliberalisme, peran
negara dilucuti dan urusan publik diserahkan kepada mekanisme pasar dan menjadi
arena akumulasi kapital bagi para pemilik modal. Konsekuensi logisnya, dengan
bahasa yang lebih sarkastik, demokrasi dan pemilu tidak ada hubungannya dengan
isi perut dan mengebulnya dapur. Pemilu berhenti sebatas pada partisipasi suara
publik di bilik suara dan hanya menjadi legitimasi bagi pemenang, dengan kata
lain, sebatas demokrasi prosedural. Kemudian, setelah segala gegap gempita pemilu
selesai, rakyat pekerja kembali harus berjibaku membanting tulang di pabrik,
sawah, jalanan, hanya agar perut tetap terisi nasi. Disatu sisi, para politis
yang berhasil dalam pemilu, mulai menjalankan agenda politik mereka
sendiri-sendiri, yang tentu terlepas dari hajat hidup orang banyak.
Selain itu,
fenomena golput pun mesti dilihat dari aspek-aspek lainnya seperti peran partai
politik dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam konteks pelaksanaan demokrasi,
peran partai politik adalah penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan publik.
Partai politik harus ada di tengah-tengah publik dan bersama menyelesaikan
permasalahan publik. Tetapi, sebagaimana yang jamak diketahui, partai politik
hadir hanya saat menjelang masa pemilu dengan spanduk dan balihonya yang
besar-besar. Hal ini juga bukan fenomena yang datang ujug-ujug dari langit tetapi merupakan fenomena kesejarahan. Partai
politik yang ada saat ini tidak lain adalah partai politik borjuis, partai
politik yang bukan hadir untuk mewakili publik tetapi mewakili segelintir
pemilik modal (dan bahkan diciptakan oleh pemilik modal itu sendiri!). Dengan
keperluan untuk mengakumulasi modal, dan dengan demikian kebutuhan untuk
mempengaruhi segela kebijakan agar ramah terhadap tujuan tersebut, partai
politik adalah pintu masuk yang amat logis.
Dengan
kenyataan tersebut, bahwa demokrasi dan segala perangkat yang ada didalamnya
telah dibajak oleh segelintir elit yang berselingkuh dengan para pemilik modal ditambah
berbagai fenomena lain seperti korupsi dan berbagai skandal lainnya, maka
apatisme politik adalah output yang
wajar dalam sistem demokrasi prosedural seperti ini.
Di dalam
konteks yang telah dijelaskan tersebut, bagi saya, golput adalah bentuk
perlawanan. Meskipun demikian, tentu sebanyak apapun masyarakat yang memilih menjadi
golput tidak akan menjawab permasalahan dasarnya dan kondisi masyarakat tidak
akan berubah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini diakibatkan
karena demokrasi yang berkelindan dengan para pemilik modal yang membuat
masyarakat menjadi sebatas pada penonton dan konsumen, bukan subjek yang aktif
yang mengisi kehidupan politik mereka sehari-hari. Dari sini, maka jawaban dari
golput bukanlah terletak pada kampanye partisipasi di dalam pemilu melalui
tidak golput, tetapi lebih kepada bagaimana menjadikan golongan putih ini
sebagai subjek yang aktif yang mendobrak demokrasi yang dibajak para elit
politik demi kepentingan mereka masing-masing. Ruang-ruang publik yang selama
ini telah diprivatisasi untuk kepentingan akumulasi modal harus direbut kembali,
dan itu mensyaratkan kesadaran yang aktif dari masyarakat yang mana golongan
putih adalah elemen yang potensial untuk diorganisir.
Pada
akhirnya, karena bagaimanapun ketika demokrasi masih berkelindan dengan
akumulasi modal maka demokrasi tersebut masih memiliki keterbatasan, maka
tujuan akhir dari politisasi golongan putih bukanlah sekedar pendalaman
partisipasi politik saja, atau yang dimaksud dengan demokrasi radikal dalam
definisi Laclau dan Mouffe, melainkan melawan akumulasi modal sama sekali.
Dalam
beberapa tahun terakhir, kita melihat banyak contoh yang membuktikan bagaimana
peran signifikan dari masyarakat yang melawan demokrasi yang berkelindan dengan
akumulasi modal. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun
2008 yang kemudian terus merembet ke negara-negara lain adalah contohnya. Di
banyak negara seperti Yunani, Spanyol, Italia, krisis memaksa pemerintah
mengetatkan anggaran dengan cara memotong subsidi bagi kepentingan publik.
Kebijakan ini mendorong masyarakat Eropa bergeliat melawan demokrasi a’la kapitalis
dan memperjuangkan perubahan struktural ekonomi politik yang selama ini didikte
oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Gerakan seperti
ini pula yang sedang terjadi di Irlandia, Ukraina, Bulgaria,
Bosnia–Herzegovina, dan negara di Amerika latin seperti Brazil dan Argentina.[2]
Di negara lain seperti Venezuela, bahkan akumulasi modal telah berhasil
ditaklukkan dan orientasi ekonomi-politik berubah haluan sama sekali: dari
kapitalisme menjadi kepentingan rakyat banyak, yang jamak dikenal sebagai
sosialisme. Demokrasi dalam negara yang disebutkan terakhir, bahkan dapat
dikatakan murni dari-oleh-dan untuk rakyat karena berbagai persoalan dibahas
dan diputuskan bersama dalam komite bersama bernama Dewan Rakyat.
Isu Pemilu Sebagai Ketiadaan Visi Gerakan
Mahasiswa
Beberapa
hari yang lalu saya membaca sebuah tulisan di Facebook yang diposting oleh Dewan Mahasiswa Fisipol UGM dengan
judul “Gerakan Menolak Bodoh.”[3]
Secara garis besar, tulisan ini berisi tentang argumen bahwa kampanye-kampanye anti golput yang
sedang ngetren saat ini adalah tidak substansial. Argumennya, menjadi tidak
golput tidak serta merta mengubah kondisi masyarakat. “Pemilu bukan jin botol
yang yang bisa mengabulkan semua keinginan kita dalam sekali elus”, begitu
katanya. Dan gerakan-gerakan mahasiswa yang menginisiasi anti-golput, karena
menganggap anti-golput sebagai “jin botol” yang dapat mengubah kondisi
masyarakat dalam beberapa kali coblosan, dapat dikatakan sebagai “mahasiswa
botolan”. Saya mesem-mesem sendiri,
tetapi sepenuhnya bersepakat dengan tulisan tersebut.
Jika kita
melihat pola gerakan mahasiswa, terutama yang berkembang sejak jatuhnya rezim
otoriter Suharto, maka dapat dikatakan bahwa gerakan mahasiswa saat ini semakin
kehilangan visi geraknya. Mahasiswa yang mengklaim sebagai “penyambung lidah
rakyat” pada kenyataannya semakin jauh dari rakyat yang mereka perjuangkan. Hal
ini, bagi saya, adalah ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk membaca peran
mereka dalam konteks neoliberal yang mana tidak lagi menjadikan mahasiswa
sebagai entitas tunggal sebagai oposisi pemerintah. Di masa Orde Baru, peran
mahasiswa yang begitu signifikan sebenarnya bukan semata hasil dari konsistensi
perjuangan mereka, tetapi juga ditopang oleh struktur kekuasaan yang ada.
Gerakan mahasiswa di masa Orde baru ditopang oleh kenyataan bahwa Orde Baru
memberangus seluruh kekuatan rakyat yang terorganisir, terutama yang terbentuk
di era Sukarno, sementara di satu sisi mereka menyisakan panggung dan
menjadikan mahasiswa sebagai semi-oposisi.[4]
Ketidakmampuan membaca posisi dalam konteks neoliberalisme inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa semakin tidak signifikan dalam konstelasi gerakan
sosial yang ada. Hal ini pula yang kemudian menjadikan isu-isu yang dibawa
gerakan mahasiswa menjadi semakin kabur, tidak konsisten, dan semakin jauh dari
keseharian rakyat.
Ketidakjelasan
arah gerak dan semakin jauhnya gerakan mahasiswa dari problem keseharian rakyat
inilah yang jelas tercermin dalam pemilihan isu “mengawal pemilu 2014” ini.
Saya akan mengambil contoh yang paling dekat, yaitu BEM UI 2014. Semenjak masa
kampanye, ketua dan wakil ketua BEM UI yang saat itu masih berstatus sebagai
kandidat terpilih, memang membawa pemilihan umum sebagai isu utama. Saat itu,
dalam pengamatan saya isu pemilu belum jelas akan dibawa kemana. Tetapi, saat
ketua dan wakil ketua BEM UI yang saat ini terpilih dan program kerja yang
direncanakan mulai dijalankan, semakin terlihat jelas bahwa isu pemilu akan
diarahkan kepada dua hal: pertama,
kampanye anti golput; kedua, advokasi
agar para mahasiswa yang berasal dari luar kota dapat tetap memilih di
lingkungan UI tanpa harus pulang ke kampung halamannya. Kedua hal ini yang
agaknya dimaksudkan dengan “pengawalan terhadap pemilu.”
Pertama,
perihal kampanye anti golput, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya,
kampanye anti-golput bukanlah jawaban atas segala permasalahan rakyat. Pemilu
bukanlah jin botol yang bisa mengabulkan seluruh permintaan dalam sekali usap.
Jika mengikuti definisi Dewan Mahasiwa Fisipol UGM, maka BEM UI dapat
digolongkan sebagai mahasiswa botol. Sampai saat tulisan ini dibuat, BEM UI
baru sekali melakukan kampanye perihal anti-golput ini (setidaknya yang saya
ketahui) melalui kampanye fisik dan (seperti biasa) gerakan hastag di Twitter. Sayapun sebenarnya
mempertanyakan apa imajinasi dari BEM UI mengambil isu anti-golput sebagai isu
utama, mengingat bahwa kampanye-kampanye seperti ini adalah kampanye yang pasti
akan dilakukan oleh KPU dan partai politik yang berkontestasi di arena pemilu. Apalagi,
berbagai organisasi lain di luar BEM UI juga banyak melakukan kampanye serupa. Apakah
BEM UI secara sadar dan terencana menjadikan dirinya sebatas pada membantu
peran yang seharusnya dijalankan oleh KPU dan partai politik? Maka, kembali
pertanyaan ini keluar, apa signifikansinya isu pengawalan pemilu tersebut?
Jika kembali
mempertimbangkan analisis bahwa gerakan mahasiswa pasca Orde Baru tidak
memiliki signifikansi dalam era neoliberal karena ketidakmampuan membaca
posisi, maka dapat dikatakan bahwa membawa isu pengawalan pemilu sebagai isu yang
diadvokasi menjadi gerakan yang genit-genitan
saja. Logikanya begini, gerakan mahasiswa semakin tidak dipertimbangkan di
era neoliberal, tetapi disatu sisi gerakan mahasiswa masih ingin diakui sebagai
salah satu entitas penjaga demokrasi dan anjing penjaga pemerintah yang setia
karena beban sejarahnya di masa lalu tetapi disaat yang bersamaan mereka tidak
mampu membaca posisinya sendiri. Dengan adanya pemilu sebagai momen yang besar,
maka pengawalan pemilu yang salah satu titik tekannya adalah kampanye
anti-golput lah jawaban atas eksistensi gerakan mahasiswa dalam retorikanya
sebagai agen perubahan.
Kemudian,
perihal advokasi pemilih mahasiswa agar bisa memilih tanpa pulang ke kampung
halamannya. Ada hal yang sesungguhnya menarik disini. Dalam beberapa
perbincangan dengan kawan-kawan yang lebih mengetahui diskursus yang ada di
internal BEM se-UI, didapati bahwa untuk mengadvokasi kasus ini, ada wacana
untuk mengarahkan advokasi pada pembukaan Tempat Pemilihan Suara (TPS) di dalam
lingkungan kampus. Adanya TPS di kampus, jika tidak memperhatikan asumsi dan
implikasi yang ada di belakangnya, tentu tidak ada masalah. Tetapi
permasalahannya, asumsi dan implikasi tidak bisa dilepaskan dari pembacaan atas
suatu suatu kasus. Dalam kasus wacana membuka TPS di dalam kampus, asumsi-nya
adalah bahwa kampus juga merupakan basis massa dari partai tertentu. Dengan
asumsi ini, maka implikasi pembukaan TPS di kampus adalah partai yang menang
dalam perolehan suara di TPS kampus tersebut akan memiliki legitimasi yang
sangat kuat bahwa mereka menang di institusi pendidikan yang merupakan tempat
para intelektual memproduksi pengetahuan untuk kemajuan umat manusia. Maukah kita
semua jika kampus UI diklaim seperti itu? saya jelas tidak. Kemudian, apakah
organisasi mahasiswa formal tersebut juga tahu bahwa menjelang pemilu 1999
pernah ada wacana yang serupa, tetapi kemudian gagal karena alasan yang sama
seperti apa yang dikemukakan sebelumnya?
Selain dua hal pokok di atas, salah satu kritik yang juga penting dalam isu “mengawal pemilu” tersebut adalah, apa yang akan dilakukan ketika, dalam masa sebelum masa pemilihan ataupun saat masa pemilihan, terjadi pelanggaran selain dari pada melaporkan pelanggaran tersebut ke KPU? (mohon maaf, tetapi memang hanya ini yang bisa dibayangkan seandainya pelanggaran pemilu terjadi). Kalaupun demikian, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa signifikannya hal ini? Dalam cakupan geografi yang sangat luas, tentu hal ini sangat tidak dimungkinkan selain adanya jaringan organisasi diseluruh Indonesia yang terhubung satu-sama-lain. Meskipun demikian, bukankah hal tersebut (kembali lagi) sebatas pada gerakan yang hanya menjadi pembantu KPU, bedanya dengan tanpa upah. Pada akhirnya, hal ini justru kontraproduktif karena membuka peluang yang besar untuk mentolerir ketidaksiapan KPU dalam pelaksanaan pemilu.
Dari sini,
maka jelas bahwa pengawalan pemilu yang diadvokasi oleh organisasi mahasiswa
tersebut pada dasarnya merupakan sebuah isu yang tidak perlu. Masih banyak
hal-hal lain yang lebih signifikan untuk diperjuangkan yang tentu lebih
menyangkut hajat hidup orang banyak. Tentu, hal ini tidak boleh dimaknai dengan
keyakinan usang bahwa mahasiswa adalah agen perubahan yang mengakibatkan klaim
memperjuangkan rakyat terus tereproduksi sedangkan kenyataannya mengatakan
bahwa gerakan mahasiswa semakin jauh dari rakyat yang mereka perjuangkan. Gerakan
mahasiswa saat ini harus dimaknai sebagai salah satu bagian dari gerakan rakyat
lain. Dengan gemikian, mahasiswa akan lebih objektif melihat posisi mereka
dalam perjuangan rakyat dan secara dialektis menemukan peran mereka
sesungguhnya.
Penutup
Sampai saat
ini, baik gerakan mahasiswa maupun golongan putih masih sangat miskin imajinasi
gerakannya. Bagi golongan putih, perlawanan terhadap demokrasi yang dikuasai
oligark berhenti sebatas pada penolakan mereka terhadap pemilu. Sedangkan
gerakan mahasiswa, tanpa melihatnya secara historis dan dalam konteks ekonomi-politik
tertentu, justru terus menerus mengkampanyekan anti-golput dan akhirnya jatuh
pada gerakan genit-genitan a’la jin botol. Padahal, mahasiswa, juga rakyat yang
memilih menjadi golput, pada dasarnya memiliki potensi yang kuat untuk secara
kolektif merebut ruang demokrasi yang saat ini tengah dibajak segelintir elit
politik dan para pemilik modal untuk mempertahankan status quo dan ruang dalam rangka ekspansi modal. Syaratnya, mereka
harus memiliki analisis yang jelas mengenai posisinya dengan ditopang oleh
teori yang memadai dan kemudian diaplikasikan dalam ranah praktik perjuangan
sehari-hari.
[1] Max Lane.
(18 Juli 2013), Who Will Be Indonesian President in 2014? ISEAS Perspective. Singapore.
[2] A E
Priyono. Golongan Putih: Dari Alienasi ke
Oposisi. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/2014/02/ golongan-putih-dari-alienasi-ke-oposisi/
[3] Dewan
Mahasiswa Fisipol UGM. [Launching] PEMILU
2014: Gerakan Menolak Bodoh. [internet] diakses dari fb.me/10x631vci
[4] Baca
Suryadi Radjab, Panggung Mitologi dalam
Hegemoni Negara – Gerakan Mahasiswa di bawah Orde Baru. Majalah Prisma,
Nomor 10, Tahun 1991.
sangat Mencerahkan :D
BalasHapusterimakasih kak pencerahannya :)
BalasHapus