Selasa, 11 Maret 2014

Tentang Advokasi “Mengawal Pemilu”

Oleh Rio Apinino, Sekjend SEMAR UI


Rakyat nonton jadi suporter, kasih semangat jagoannya
Walau tahu jagoannya ngibul, walau tahu dapur gak ngebul
Iwan Fals – Asik gak Asik

Pemilihan Umum 2014 segera tiba. Pada tanggal 9 April dan kemudian tanggal 9 Juli mendatang rakyat Indonesia akan berbodong-bondong menuju TPS untuk memilih anggota legislatif dan kemudian presiden. Terlepas dari motif masing-masing individu untuk memilih, apakah karena memang kesadaran politik yang tinggi dan beranggapan bahwa pemilu adalah ajang yang penting dan menentukan arah Indonesia 5 tahun setelahnya, ataukah karena keberhasilan partai politik menggaet massa melalui janji politik yang dilakukan ketika kampanye, toh kenyataannya yang benar-benar menang dalam pemilu adalah golongan putih (golput), setidaknya dalam beberapa kali pemilu terakhir pasca-orde baru. Komisi Pemilihan Umum mencatat bahwa golput, semenjak pemilu 1999, memang semakin menunjukkan kenaikan yang signifikan. Pemilu tahun 1999 diwarnai oleh 8 persen golput, 5 tahun setelahnya, naik drastis menjadi 23 persen, pada pemilu terakhir, tercatat 39 persen rakyat yang memiliki hak pilih memilih golput. Signifikannya massa golput inilah yang mendorong berbagai organisasi, baik institusi negara seperti KPU atau berbagai elemen di masyarakat, untuk melakukan berbagai kampanye agar masyarakat tidak golput. Selain itu, advokasi untuk pemilih agar memiliki akses untuk memilih juga menjadi fokus utama dari banyak organisasi, hal ini mengingat banyaknya kaum urban yang domisili dan tempat tinggal berdasarkan kartu penduduknya berbeda. Kedua hal inilah yang diadvokasi, khusnya oleh lembaga formal kemahasiswaan seperti Badan Eksekutif Mahasiswa UI. Tulisan ini sendiri dimaksudkan sebagai tinjauan kritis atas isu pemilu tersebut.


Perihal Golongan Putih dan Potensinya

Pertanyaan pertama yang seharusnya sudah selesai dijawab ketika berbagai golongan tersebut mengkampanyekan anti-golput adalah: mengapa masyarakat memilih golput? Dalam artikelnya, Max Lane[1] menjawab bahwa golput yang semakin signifikan dikarenakan praktek politik yang terjadi semakin elitis dan dikuasai oleh elit-elit lawas yang telah berkontestasi semenjak era Suharto. Sebutlah berbagai elit partai besar di Indonesia, maka kita akan menemukan bahwa wajah-wajah itu saja yang berkontestasi. Apalagi, jika kita melihat partai-partai seperti Golkar dengan tokohnya Aburizal Bakrie, Hanura dengan Wiranto, Gerindra dengan Prabowo, Nasdem dengan tokohnya Surya Paloh, maka kita akan menemukan bahwa mereka lahir dari rahim yang sama, Golkar. Nah, apakah analisa ini telah dilakukan oleh organisasi yang mengkampanyekan anti-golput tersebut?

Kontestasi politik yang elitis sehingga mengakibatkan demokrasi –sebagai abstraksi yang lebih besar dari pemilu, semakin jauh dari realitas hidup sehari-hari tentu bukanlah sesuatu yang datang begitu saja. Ada prakondisi tertentu yang mengakibatkan hal tersebut. Dalam konteks Indonesia, kesetiaan rezim terhadap neoliberalisme mempengaruhi situasi ini. Mengikuti doktrin neoliberalisme, peran negara dilucuti dan urusan publik diserahkan kepada mekanisme pasar dan menjadi arena akumulasi kapital bagi para pemilik modal. Konsekuensi logisnya, dengan bahasa yang lebih sarkastik, demokrasi dan pemilu tidak ada hubungannya dengan isi perut dan mengebulnya dapur. Pemilu berhenti sebatas pada partisipasi suara publik di bilik suara dan hanya menjadi legitimasi bagi pemenang, dengan kata lain, sebatas demokrasi prosedural. Kemudian, setelah segala gegap gempita pemilu selesai, rakyat pekerja kembali harus berjibaku membanting tulang di pabrik, sawah, jalanan, hanya agar perut tetap terisi nasi. Disatu sisi, para politis yang berhasil dalam pemilu, mulai menjalankan agenda politik mereka sendiri-sendiri, yang tentu terlepas dari hajat hidup orang banyak.

Selain itu, fenomena golput pun mesti dilihat dari aspek-aspek lainnya seperti peran partai politik dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam konteks pelaksanaan demokrasi, peran partai politik adalah penyalur artikulasi dan agregasi kepentingan publik. Partai politik harus ada di tengah-tengah publik dan bersama menyelesaikan permasalahan publik. Tetapi, sebagaimana yang jamak diketahui, partai politik hadir hanya saat menjelang masa pemilu dengan spanduk dan balihonya yang besar-besar. Hal ini juga bukan fenomena yang datang ujug-ujug dari langit tetapi merupakan fenomena kesejarahan. Partai politik yang ada saat ini tidak lain adalah partai politik borjuis, partai politik yang bukan hadir untuk mewakili publik tetapi mewakili segelintir pemilik modal (dan bahkan diciptakan oleh pemilik modal itu sendiri!). Dengan keperluan untuk mengakumulasi modal, dan dengan demikian kebutuhan untuk mempengaruhi segela kebijakan agar ramah terhadap tujuan tersebut, partai politik adalah pintu masuk yang amat logis.

Dengan kenyataan tersebut, bahwa demokrasi dan segala perangkat yang ada didalamnya telah dibajak oleh segelintir elit yang berselingkuh dengan para pemilik modal ditambah berbagai fenomena lain seperti korupsi dan berbagai skandal lainnya, maka apatisme politik adalah output yang wajar dalam sistem demokrasi prosedural seperti ini.

Di dalam konteks yang telah dijelaskan tersebut, bagi saya, golput adalah bentuk perlawanan. Meskipun demikian, tentu sebanyak apapun masyarakat yang memilih menjadi golput tidak akan menjawab permasalahan dasarnya dan kondisi masyarakat tidak akan berubah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal ini diakibatkan karena demokrasi yang berkelindan dengan para pemilik modal yang membuat masyarakat menjadi sebatas pada penonton dan konsumen, bukan subjek yang aktif yang mengisi kehidupan politik mereka sehari-hari. Dari sini, maka jawaban dari golput bukanlah terletak pada kampanye partisipasi di dalam pemilu melalui tidak golput, tetapi lebih kepada bagaimana menjadikan golongan putih ini sebagai subjek yang aktif yang mendobrak demokrasi yang dibajak para elit politik demi kepentingan mereka masing-masing. Ruang-ruang publik yang selama ini telah diprivatisasi untuk kepentingan akumulasi modal harus direbut kembali, dan itu mensyaratkan kesadaran yang aktif dari masyarakat yang mana golongan putih adalah elemen yang potensial untuk diorganisir.

Pada akhirnya, karena bagaimanapun ketika demokrasi masih berkelindan dengan akumulasi modal maka demokrasi tersebut masih memiliki keterbatasan, maka tujuan akhir dari politisasi golongan putih bukanlah sekedar pendalaman partisipasi politik saja, atau yang dimaksud dengan demokrasi radikal dalam definisi Laclau dan Mouffe, melainkan melawan akumulasi modal sama sekali.

Dalam beberapa tahun terakhir, kita melihat banyak contoh yang membuktikan bagaimana peran signifikan dari masyarakat yang melawan demokrasi yang berkelindan dengan akumulasi modal. Krisis finansial yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yang kemudian terus merembet ke negara-negara lain adalah contohnya. Di banyak negara seperti Yunani, Spanyol, Italia, krisis memaksa pemerintah mengetatkan anggaran dengan cara memotong subsidi bagi kepentingan publik. Kebijakan ini mendorong masyarakat Eropa bergeliat melawan demokrasi a’la kapitalis dan memperjuangkan perubahan struktural ekonomi politik yang selama ini didikte oleh lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Gerakan seperti ini pula yang sedang terjadi di Irlandia, Ukraina, Bulgaria, Bosnia–Herzegovina, dan negara di Amerika latin seperti Brazil dan Argentina.[2] Di negara lain seperti Venezuela, bahkan akumulasi modal telah berhasil ditaklukkan dan orientasi ekonomi-politik berubah haluan sama sekali: dari kapitalisme menjadi kepentingan rakyat banyak, yang jamak dikenal sebagai sosialisme. Demokrasi dalam negara yang disebutkan terakhir, bahkan dapat dikatakan murni dari-oleh-dan untuk rakyat karena berbagai persoalan dibahas dan diputuskan bersama dalam komite bersama bernama Dewan Rakyat.

Isu Pemilu Sebagai Ketiadaan Visi Gerakan Mahasiswa

Beberapa hari yang lalu saya membaca sebuah tulisan di Facebook yang diposting oleh Dewan Mahasiswa Fisipol UGM dengan judul “Gerakan Menolak Bodoh.”[3] Secara garis besar,  tulisan ini berisi tentang argumen bahwa kampanye-kampanye anti golput yang sedang ngetren saat ini adalah tidak substansial. Argumennya, menjadi tidak golput tidak serta merta mengubah kondisi masyarakat. “Pemilu bukan jin botol yang yang bisa mengabulkan semua keinginan kita dalam sekali elus”, begitu katanya. Dan gerakan-gerakan mahasiswa yang menginisiasi anti-golput, karena menganggap anti-golput sebagai “jin botol” yang dapat mengubah kondisi masyarakat dalam beberapa kali coblosan, dapat dikatakan sebagai “mahasiswa botolan”. Saya mesem-mesem sendiri, tetapi sepenuhnya bersepakat dengan tulisan tersebut.

Jika kita melihat pola gerakan mahasiswa, terutama yang berkembang sejak jatuhnya rezim otoriter Suharto, maka dapat dikatakan bahwa gerakan mahasiswa saat ini semakin kehilangan visi geraknya. Mahasiswa yang mengklaim sebagai “penyambung lidah rakyat” pada kenyataannya semakin jauh dari rakyat yang mereka perjuangkan. Hal ini, bagi saya, adalah ketidakmampuan gerakan mahasiswa untuk membaca peran mereka dalam konteks neoliberal yang mana tidak lagi menjadikan mahasiswa sebagai entitas tunggal sebagai oposisi pemerintah. Di masa Orde Baru, peran mahasiswa yang begitu signifikan sebenarnya bukan semata hasil dari konsistensi perjuangan mereka, tetapi juga ditopang oleh struktur kekuasaan yang ada. Gerakan mahasiswa di masa Orde baru ditopang oleh kenyataan bahwa Orde Baru memberangus seluruh kekuatan rakyat yang terorganisir, terutama yang terbentuk di era Sukarno, sementara di satu sisi mereka menyisakan panggung dan menjadikan mahasiswa sebagai semi-oposisi.[4] Ketidakmampuan membaca posisi dalam konteks neoliberalisme inilah yang menjadikan gerakan mahasiswa semakin tidak signifikan dalam konstelasi gerakan sosial yang ada. Hal ini pula yang kemudian menjadikan isu-isu yang dibawa gerakan mahasiswa menjadi semakin kabur, tidak konsisten, dan semakin jauh dari keseharian rakyat.

Ketidakjelasan arah gerak dan semakin jauhnya gerakan mahasiswa dari problem keseharian rakyat inilah yang jelas tercermin dalam pemilihan isu “mengawal pemilu 2014” ini. Saya akan mengambil contoh yang paling dekat, yaitu BEM UI 2014. Semenjak masa kampanye, ketua dan wakil ketua BEM UI yang saat itu masih berstatus sebagai kandidat terpilih, memang membawa pemilihan umum sebagai isu utama. Saat itu, dalam pengamatan saya isu pemilu belum jelas akan dibawa kemana. Tetapi, saat ketua dan wakil ketua BEM UI yang saat ini terpilih dan program kerja yang direncanakan mulai dijalankan, semakin terlihat jelas bahwa isu pemilu akan diarahkan kepada dua hal: pertama, kampanye anti golput; kedua, advokasi agar para mahasiswa yang berasal dari luar kota dapat tetap memilih di lingkungan UI tanpa harus pulang ke kampung halamannya. Kedua hal ini yang agaknya dimaksudkan dengan “pengawalan terhadap pemilu.”

Pertama, perihal kampanye anti golput, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kampanye anti-golput bukanlah jawaban atas segala permasalahan rakyat. Pemilu bukanlah jin botol yang bisa mengabulkan seluruh permintaan dalam sekali usap. Jika mengikuti definisi Dewan Mahasiwa Fisipol UGM, maka BEM UI dapat digolongkan sebagai mahasiswa botol. Sampai saat tulisan ini dibuat, BEM UI baru sekali melakukan kampanye perihal anti-golput ini (setidaknya yang saya ketahui) melalui kampanye fisik dan (seperti biasa) gerakan hastag di Twitter. Sayapun sebenarnya mempertanyakan apa imajinasi dari BEM UI mengambil isu anti-golput sebagai isu utama, mengingat bahwa kampanye-kampanye seperti ini adalah kampanye yang pasti akan dilakukan oleh KPU dan partai politik yang berkontestasi di arena pemilu. Apalagi, berbagai organisasi lain di luar BEM UI juga banyak melakukan kampanye serupa. Apakah BEM UI secara sadar dan terencana menjadikan dirinya sebatas pada membantu peran yang seharusnya dijalankan oleh KPU dan partai politik? Maka, kembali pertanyaan ini keluar, apa signifikansinya isu pengawalan pemilu tersebut?

Jika kembali mempertimbangkan analisis bahwa gerakan mahasiswa pasca Orde Baru tidak memiliki signifikansi dalam era neoliberal karena ketidakmampuan membaca posisi, maka dapat dikatakan bahwa membawa isu pengawalan pemilu sebagai isu yang diadvokasi menjadi gerakan yang genit-genitan saja. Logikanya begini, gerakan mahasiswa semakin tidak dipertimbangkan di era neoliberal, tetapi disatu sisi gerakan mahasiswa masih ingin diakui sebagai salah satu entitas penjaga demokrasi dan anjing penjaga pemerintah yang setia karena beban sejarahnya di masa lalu tetapi disaat yang bersamaan mereka tidak mampu membaca posisinya sendiri. Dengan adanya pemilu sebagai momen yang besar, maka pengawalan pemilu yang salah satu titik tekannya adalah kampanye anti-golput lah jawaban atas eksistensi gerakan mahasiswa dalam retorikanya sebagai agen perubahan.

Kemudian, perihal advokasi pemilih mahasiswa agar bisa memilih tanpa pulang ke kampung halamannya. Ada hal yang sesungguhnya menarik disini. Dalam beberapa perbincangan dengan kawan-kawan yang lebih mengetahui diskursus yang ada di internal BEM se-UI, didapati bahwa untuk mengadvokasi kasus ini, ada wacana untuk mengarahkan advokasi pada pembukaan Tempat Pemilihan Suara (TPS) di dalam lingkungan kampus. Adanya TPS di kampus, jika tidak memperhatikan asumsi dan implikasi yang ada di belakangnya, tentu tidak ada masalah. Tetapi permasalahannya, asumsi dan implikasi tidak bisa dilepaskan dari pembacaan atas suatu suatu kasus. Dalam kasus wacana membuka TPS di dalam kampus, asumsi-nya adalah bahwa kampus juga merupakan basis massa dari partai tertentu. Dengan asumsi ini, maka implikasi pembukaan TPS di kampus adalah partai yang menang dalam perolehan suara di TPS kampus tersebut akan memiliki legitimasi yang sangat kuat bahwa mereka menang di institusi pendidikan yang merupakan tempat para intelektual memproduksi pengetahuan untuk kemajuan umat manusia. Maukah kita semua jika kampus UI diklaim seperti itu? saya jelas tidak. Kemudian, apakah organisasi mahasiswa formal tersebut juga tahu bahwa menjelang pemilu 1999 pernah ada wacana yang serupa, tetapi kemudian gagal karena alasan yang sama seperti apa yang dikemukakan sebelumnya?

Selain dua hal pokok di atas, salah satu kritik yang juga penting dalam isu “mengawal pemilu” tersebut adalah, apa yang akan dilakukan ketika, dalam masa sebelum masa pemilihan ataupun saat masa pemilihan, terjadi pelanggaran selain dari pada melaporkan pelanggaran tersebut ke KPU? (mohon maaf, tetapi memang hanya ini yang bisa dibayangkan seandainya pelanggaran pemilu terjadi). Kalaupun demikian, pertanyaan selanjutnya adalah seberapa signifikannya hal ini? Dalam cakupan geografi yang sangat luas, tentu hal ini sangat tidak dimungkinkan selain adanya jaringan organisasi diseluruh Indonesia yang terhubung satu-sama-lain. Meskipun demikian, bukankah hal tersebut (kembali lagi) sebatas pada gerakan yang hanya menjadi pembantu KPU, bedanya dengan tanpa upah. Pada akhirnya, hal ini justru kontraproduktif karena membuka peluang yang besar untuk mentolerir ketidaksiapan KPU dalam pelaksanaan pemilu.

Dari sini, maka jelas bahwa pengawalan pemilu yang diadvokasi oleh organisasi mahasiswa tersebut pada dasarnya merupakan sebuah isu yang tidak perlu. Masih banyak hal-hal lain yang lebih signifikan untuk diperjuangkan yang tentu lebih menyangkut hajat hidup orang banyak. Tentu, hal ini tidak boleh dimaknai dengan keyakinan usang bahwa mahasiswa adalah agen perubahan yang mengakibatkan klaim memperjuangkan rakyat terus tereproduksi sedangkan kenyataannya mengatakan bahwa gerakan mahasiswa semakin jauh dari rakyat yang mereka perjuangkan. Gerakan mahasiswa saat ini harus dimaknai sebagai salah satu bagian dari gerakan rakyat lain. Dengan gemikian, mahasiswa akan lebih objektif melihat posisi mereka dalam perjuangan rakyat dan secara dialektis menemukan peran mereka sesungguhnya.

Penutup

Sampai saat ini, baik gerakan mahasiswa maupun golongan putih masih sangat miskin imajinasi gerakannya. Bagi golongan putih, perlawanan terhadap demokrasi yang dikuasai oligark berhenti sebatas pada penolakan mereka terhadap pemilu. Sedangkan gerakan mahasiswa, tanpa melihatnya secara historis dan dalam konteks ekonomi-politik tertentu, justru terus menerus mengkampanyekan anti-golput dan akhirnya jatuh pada gerakan genit-genitan a’la jin botol. Padahal, mahasiswa, juga rakyat yang memilih menjadi golput, pada dasarnya memiliki potensi yang kuat untuk secara kolektif merebut ruang demokrasi yang saat ini tengah dibajak segelintir elit politik dan para pemilik modal untuk mempertahankan status quo dan ruang dalam rangka ekspansi modal. Syaratnya, mereka harus memiliki analisis yang jelas mengenai posisinya dengan ditopang oleh teori yang memadai dan kemudian diaplikasikan dalam ranah praktik perjuangan sehari-hari.





[1] Max Lane. (18 Juli 2013), Who Will Be Indonesian President in 2014? ISEAS Perspective. Singapore.
[2] A E Priyono. Golongan Putih: Dari Alienasi ke Oposisi. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/2014/02/ golongan-putih-dari-alienasi-ke-oposisi/  
[3] Dewan Mahasiswa Fisipol UGM. [Launching] PEMILU 2014: Gerakan Menolak Bodoh. [internet] diakses dari fb.me/10x631vci
[4] Baca Suryadi Radjab, Panggung Mitologi dalam Hegemoni Negara – Gerakan Mahasiswa di bawah Orde Baru. Majalah Prisma, Nomor 10, Tahun 1991. 

2 komentar: