Kamis, 18 September 2014

Demokratisasi Kampus: Tawaran Strategis untuk Gerakan Pengawalan Isu Kampus

Oleh Rio Apinino dan Dicky D. Ananta

Pemilihan Rektor Universitas Indonesia sebentar lagi akan dilaksanakan. Berdasarkan Statuta UI (PP No. 68 Tahun 2013) dimana pemilihan Rektor harus dilaksanakan maksimal satu tahun semenjak statuta disahkan, maka selambat-lambatnya pemilihan Rektor harus dilaksanakan pada bulan Oktober ini. Berdasarkan informasi dalam laman HaloPilrek,[1] mekanisme pemilihan rektor adalah pertama-tama pembentukan Pantita Penjaringan dan Penyaringan Calon Rektor (P3CR) oleh Majelis Wali Amanat (MWA) yang memiliki peran aktif untuk menjaring bakal calon rektor. P3CR kemudian melakukan serangkaian seleksi untuk menyaring nama bakal calon Rektor yang telah mendaftar menjadi hanya tujuh orang. Setelah tersaring sebanyak tujuh orang, maka tugas P3CR diambilalih sepenuhnya oleh MWA yang akan menyaring kembali kandidat menjadi hanya tiga orang, dan selanjutnya menetapkan Rektor terpilih. Serangkaian acara tersebut ditargetkan akan selesai pada akhir November 2014.


Dalam momen Pilrek ini, mahasiswa–sebagai mayoritas dalam lingkup sivitas akademik UI–ikut turut campur. Misalnya, terdapat satu perwakilan dari unsur mahasiswa dalam P3CR; MWA unsur mahasiswa; dan tidak ketinggalan lembaga eksekutif mahasiswa, baik tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Seluruh lembaga mahasiswa tersebut ikut turut serta dalam proses pemilihan rektor dengan berusaha untuk mengajak sebanyak-banyaknya mahasiswa untuk, dalam bahasa organisasi-organisasi tersebut, “mengawal” proses Pilrek ini. Tulisan ini pun ingin turut serta memberikan sumbangsih, khususnya bagi mahasiswa, dalam proses Pilrek yang sedang berlangsung, terutama usulan strategis yang dapat dilakukan ke depan.

Privatisasi Pendidikan sebagai Latar

Tanpa pengetahuan yang memadai, tidak akan ada gerakan yang memadai. Begitu pula dalam konteks Pilrek. Untuk adanya gerakan yang memadai, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui secara memadai. Dengan demikian, sebelum membahas secara panjang lebar apa yang harus mahasiswa lakukan dalam Pilrek, maka yang pertama harus dibahas dan dipahami adalah latar secara struktural yang mengondisikan sistem pendidikan, khususnya di UI hingga menjadi seperti sekarang. Dengan begitu, gerakan yang akan dibangun berdasarkan pada fakta dan kondisi yang obyektif. Maka, kita harus kembali ke tahun 2000.

Pada tahun 2000, persis dua tahun setelah reformasi bergulir, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengubah status beberapa Universitas Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Khusus untuk UI, PP yang diterbitkan adalah PP 152 tahun 2000. Setelah PP tersebut diberlakukan, universitas-universitas negeri tersebut memiliki kewenangan untuk mengelola secara mandiri institusinya, termasuk dalam hal ini adalah pengelolaan di luar hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan akademik. Sehingga kemudian disebut sebagai otonomi non-akademik, misalnya seperti otonomi keuangan dan otonomi pengelolaan pekerja. Efek dari itu, jika sebelum reformasi mayoritas pendanaan universitas berasal dari negara, maka setelah berubahnya universitas tersebut menjadi BHMN, sumber pendapatan utama universitas berasal dari mahasiswa. Implikasi dari hal tersebut tidak lain adalah semakin melonjaknya biaya kuliah, bersamaan dengan semakin menurunnya proporsi anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah.

Studi yang dilakukan Intifadha mengkonfirmasi hal tersebut. Selama kurun waktu 2002-2006, persentase jumlah pendapatan yang diperoleh dari dana masyarakat (uang kuliah, ventura, hibah) mengalami kenaikan cukup besar, yaitu 2,5 kali lipat. Sedangkan persentase jumlah pendapatan yang berasal dari pemerintah (APBN) hanya mengalami kenaikan sebesar 1,1 kali lipat. Hal yang sama terjadi selama tahun 2008-2012, yaitu semenjak diberlakukannya sistem subsidi silang dalam hal uang kuliah (BOP-B). Persentase pendapatan UI dari masyarakat (baca: mahasiswa) mengalami kenaikan sebesar 2,2 kali lipat, sedangkan pendapatan dari pemerintah hanya mengalami kenaikan sebesar 1,5 kali lipat. Persentase pendapatan tahun 2008-2012 menunjukkan bahwa porsi pemerintah melalui APBN sangat rendah dari total pendapatan UI, yaitu hanya rata-rata 23,17 persen yang setara dengan setengah dari pendapatan rata-rata yang berasal dari dana masyarakat (yang, tentu saja, sebagian besar berasal dari mahasiswa).[2]

Tentu saja, angka-angka di atas tidak memadai untuk dinilai hanya sebagai penunjukan fakta di atas kertas saja. Melainkan, secara tidak langsung ia menunjukan sebuah relasi dan berjalannya sebuah logika tertentu. Angka-angka tersebut tidak lain menunjukkan bahwa pendidikan tidak lagi dianggap sebagai hak warga negara, sekaligus menunjukkan secara gamblang bahwa logika yang bekerja dibalik sistem pendidikan kita saat ini adalah logika pasar: siapa yang mampu bayar, dialah yang menikmati! Ini berasal dari sebuah keyakinan fundamental pada pasar bahwa ia merupakan cara paling efektif untuk mendistribusikan kesejahteraan. Untuk itu, pendidikan sebagaimana halnya juga kesehatan, dianggap sebagai barang jasa yang bisa dipertukarkan dalam logika pasar. Ia bukanlah barang publik yang diatur dan distribusikan secara terorganisir oleh negara. Bila logika ini dipakai, maka pendidikan menjadi hak setiap orang. Namun, sekali lagi, akan menjadi problematis dan mengancam usaha bagi perkembangan dari logika pasar tersebut. Oleh karenanya, bila ia berada dalam struktur logika pasar, maka jasa tersebut hanya bisa diakses bila terdapat timbal balik yang setara diantara keduanya. Pertukaran itu akan dinilai melalui sebuah pembayaran individual. Sehingga, menjadi prasyarat utama dalam logika pasar, bahwa siapa yang akan mengakses jasa tersebut, maka ia harus membayar. Untuk itu, pengelolaan universitas akan didorong menjadi sebuah usaha penyediaan jasa pendidikan yang menyaratkan adanya pembayaran sebagai ganti dari pendidikan yang didapatkan peserta didik.

Adanya logika pasar tersebut, tidak akan menjadi hal yang efektif bila tidak diikuti oleh sejumlah asumsi tertentu mengenai pelaku yang menjalankannya, yaitu manusia. Menjadi prasyarat utama bagi berjalannya fundamentalisme pasar, bila diikuti oleh adanya asumsi bahwa cara terbaik untuk mengejar kesejahteraan terletak pada individu. Dengan kata lain, segala upaya untuk menggapai kesejahteraan adalah tanggung jawab individu, dan menjadi haram bila terdapat institusi di luar individu menyediakan kerangka itu. Karena itu, ia membutuhkan sebuah arena yang bebas dan tanpa intervensi dari apapun institusi, yang itu hanya terdapat pada andaian adanya pasar bebas. Pengandaian filosofis akan individu ini didasarkan pada pemikiran Ludwig Von Misses mengenai manusia. Ia menyatakan bahwa pada dasarnya dunia ini adalah “kecenderungan utamanya hanyalah memaksimalkan terpenuhinya kepentingan dirinya, bertanggung jawab hanya pada dirinya, dan bergantung pada dirinya sendiri.[3] Dasar dari semua itu adalah kalkulasi individual untuk mendapatkan sesuatu. Rasio kalkulasi itu, spesifiknya terletak pada kalkulasi ekonomi. Oleh karenanya, Von Misses menempatkan paham ekonomi sebagai jantung dari relasi sosial dan politik, sekaligus menyeret keduanya dalam logika ekonomi tersebut (homo economicus). Untuk itu, kesejahteraan adalah urusan pribadi, dan bukan tanggung jawab sosial, kolektif, ataupun negara. Berhubungan dengan pendidikan, maka implikasinya ia akan dilihat sebagai tanggung jawab individu, dan bukanlah dianggap sebagai tanggung jawab negara untuk menyediakannya dengan akses yang terbuka luas dan setara bagi semuanya. 

Jadi, berbeda dengan Januardy[4] yang mengatakan bahwa kuliah mahal adalah masalah apapun latar belakang ideologi yang diimani, justru sebaliknya, kuliah mahal adalah konsekuensi logis atas kemenangan ideologi tertentu. Praktek pendidikan tinggi yang terjadi saat ini, khususnya yang terjadi di UI, pada dasarnya mengikuti sebuah logika dari ideologi tertentu. Ideologi tersebut mengaitkan secara erat antara keyakinan pada fundamentalisme pasar dan peran yang sentral dari individu. Itulah yang kemudian disebut oleh para akademisi sebagai Neoliberalisme! Sehingga, bisa dikatakan bahwa sistem pendidikan kita berada dalam naungan neoliberalisme.

Dalam perspektif kapitalisme-neoliberal, pendidikan (dan barang-barang publik lainnya) harus di lemparkan pada mekanisme pasar, sebab argumen mereka, jika dibebankan sepenuhnya pada negara, maka konsekuensinya adalah akan membebani anggaran negara atau negara tidak mampu untuk meng-cover semuanya (familiar dengan kalimat ini?). Hal tersebut menjadi praktek politik dari neoliberalisme bila dikaitkan dengan paham moneterisme Milton Friedman, terutama dalam bab pengetatan biaya sosial. Selagi memperketat pengeluaran pemerintah yang tidak efektif (seperti pendidikan, kesehatan, BBM, dan layanan sosial lainnya), maka urusan tersebut harus diserahkan menjadi tanggung jawab individu. Implikasinya, berbagai public goods harus digeser menjadi private consumption goods. Jadinya, serahkan saja itu urusan pada individu dengan mengurangi biaya-biaya sosial pada pendidikan, kesehatan, pensiun, dan lainnya. Dengan demikian, praktek privatisasi barang-barang publik adalah kunci. Dengan privatisasi, urusan yang duluya disediakan oleh negara sebagai barang publik, harus diakses secara individual. Contohnya: pendidikan.

Neoliberalisme tidak pernah menganggap pendidikan adalah hak, sebab dalam kerangka neoliberalisme, pendidikan justru adalah jasa yang memerlukan pengorbanan tertentu untuk mendapatkannya. Hal ini dikonfirmasi dengan kenyataan bahwa diubahnya status universitas negeri menjadi BHMN adalah karena diterapkannya paket penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program) yang diberikan oleh IMF sebagai corong penyebar neoliberalisme yang selalu bercirikan privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Structural Adjustment Program (SAP) menjadi elemen kunci sekaligus pintu masuk dari praktek neoliberalisme di Indonesia. Perubahan status Universitas publik menjadi BHMN juga dalam kerangka SAP tersebut.

Perkembangan neoliberalisme ini tidak dalam kerangka ekonomi politik yang kosong. Ia pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kontemporer dari praktek ekonomi politik yang berkembang sejak abad XVI, yaitu kapitalisme. Sehingga, praktek neoliberalisme ini tidak akan keluar dari logika dasar dari kapitalisme (oleh karena itu disebut Kapitalisme-Neoliberal). Lantas bagaimana kaitan keduanya dengan pendidikan? Salah satu modus ekspansi kapitalisme adalah melakukan apa yang disebut intensifikasi kapital. Proses intesifikasi ini dilakukan ke dalam sistem kapitalisme, dimana sektor-sektor yang sebelumnya dianggap sebagai barang publik kemudian dikomodifikasi dengan tujuan utama menumpuk profit tanpa batas. Misalnya, air dan udara yang sebelumnya gratis (karena dianggap bukan barang langka) kini telah diperjualbelikan, telah menjadi komoditi yang sangat menguntungkan. Hal yang sama juga menimpa dunia pendidikan, dimana sektor ini kini telah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan.

Rupa-rupa model dan strategi bisnis dilakukan untuk mengkomodifikasinya, misalnya melalui pemberlakuan hak kekayaan intelektual, pelepasan tanggung jawab negara terhadap hak seluruh warga negara untuk menikmati pendidikan, mendesain kurikulum pendidikan agar sesuai dengan kepentingan bisnis, memperpendek waktu kuliah yang dilambari dengan biaya pendidikan yang tinggi sehingga memaksa peserta didik terasing dari dunia di luar dinding sekolah dan universitasnya. Komersialisasi pendidikan ini jelas merupakan masalah besar kita bersama. Pendidikan harus dikembalikan ke tujuannya semula: pembebasan manusia dari kungkungan lingkungannya yang menindas.

Usulan Strategis

Kita kembali pada Pilrek, terutama apa yang dapat dilakukan mahasiswa dalam kerangka logika ekonomi-politik yang berjalan di balik sistem pendidikan di UI saat ini. Jika kita berkaca pada berbagai sejarah gerakan mahasiswa, terutama di Eropa, maka munculnya gerakan mahasiswa pada umumnya disebabkan oleh permasalahan di sekitar mahasiswa itu sendiri,[5] seperti misalnya tidak berhaknya mahasiswa menentukan kehidupan mereka sendiri selama di kampus. Selain itu, munculnya gerakan mahasiswa di Eropa juga dikarenakan tidak memadainya pendidikan dalam memberikan analisa ilmiah untuk melihat realitas dunia, sebab semua telah diatur hanya untuk memenuhi kebutuhan industri kapitalis (pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh Mendikbud dalam sidang judicial review UU Pendidikan Tinggi setahun yang lalu). Dengan berawal dari realitas konkret yang dialami sehari-hari, gerakan mahasiswa di Eropa kemudian mengabstraksikannya ke dalam kontradiksi yang lebih mendasar lagi, kontradiksi yang mengondisikan kontradiksi-kontradiksi lainnya.

Ini kata kuncinya: dimulai dari realitas konkret, realitas yang paling terlihat, untuk kemudian diabstraksikan kembali untuk mengetahui apa yang ada di balik realitas tersebut. Maka kami usulkan mulai dari sini: biaya kuliah. Memang, bisa saja dimulai dari problem-problem apapun, seperti misalnya gerakan yang dilakukan oleh MWA UI UM di media sosial dengan tagar #KelesUI (tagarnya gak keles juga, keleus) yang berisi kicauan masalah mahasiswa dari A sampai Z. Tetapi toh hal tersebut tetap kembali lagi ke problem biaya kuliah: masak sih udah kuliah mahal tapi A, B, C, D tetap rusak, jelek, dll. Seperti halnya Karl Marx, seorang Filsuf dari Jerman, yang membahas kompleksitas kapitalisme dari hal yang paling konkret, komoditi; kita dapat mulai dari biaya kuliah.

Tahap pertama kita harus jelas: meskipun kita memulai dari biaya kuliah, tetapi kita juga harus membuatnya secara spesifik yaitu biaya kuliah dari sudut yang mana. Sebab, dalam pandangan kami, banyak organisasi mahasiswa yang berpropaganda tentang biaya kuliah selalu dimulai dari penilaian subjektif individual: biaya kuliah mahal. Memulai argumentasi dari proposisi “biaya kuliah yang mahal” tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat. Sebabnya adalah, memulai propaganda dari proposisi tersebut bisa saja akan terjatuh pada subjektifitas, yang tentu berbeda-beda penilaiannya. Yang kita butuhkan adalah sesuatu yang objektif, terlepas dari penilaian-penilaian individual. Apalagi, ditambah dengan kondisi saat ini dimana yang mampu berkuliah di UI adalah kalangan yang berekonomi menengah-atas, maka pertanyaan “apakah kuliah mahal atau tidak?” justru akan menjadi bumerang bagi gerakan ke depan karena akan mendapatkan jawaban bahwa “kuliah di UI tidak mahal, kok” (hal ini pernah terjadi pada suatu riset yang dilakukan salah satu departeman organisasi mahasiswa pada tahun 2012).

Jika bukan dari preposisi di muka, maka darimana kita bisa mulai untuk mempropagandakan tentang biaya kuliah? Menurut kami, hal spesifik yang dapat dipropagandakan tentang biaya kuliah adalah apa saja komponen pembentuk biaya kuliah. Dengan memulai dari komponen pembentuk biaya kuliah atau Student Unit Cost (SUC), maka kita menemukan indikator objektif untuk menjadi titik pijak gerakan kita. Hal ini tentu saja menyaratkan adalah transparansi keuangan dari pihak kampus. Dengan mengetahui secara pasti berapa biaya sebenarnya yang dikeluarkan seorang mahasiswa untuk dapat berkuliah di UI, maka kita memiliki satu materi penting yang dapat dipropagandakan kepada mahasiswa lainnya, yang terlepas dari apakah mereka merasa mahal atau tidak berkuliah disini.

Katakanlah kita telah mengetahui apa saja komponen pembentuk biaya kuliah, dan dengan demikian juga tahu secara pasti berapa biaya yang seharusnya dibayarkan selama satu semester untuk dapat berkuliah di UI, maka pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab adalah siapa pihak yang seharusnya menanggung biaya tersebut. Dalam studi komparatif yang dilakukan di muka, tampak jelas bahwa biaya pendidikan mayoritas dibebankan kepada mahasiswa. Dalam kerangka neoliberalisme, hal ini tidak jadi soal karena sekali lagi, pendidikan adalah jasa dan harus mengikuti mekanisme pasar. Selain itu, tanggung jawab untuk menjangkau pendidikan merupakan urusan individu.

Tetapi, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PII-VII/2009 tentang Judicial Review Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (BHP), mekanisme pasar yang salah satunya tercermin melalui biaya pendidikan yang mayoritas dibebankan kepada peserta didik/mahasiswa adalah tidak tepat, ”… dalam keadaan tidak adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran yang paling rentan adalah peserta didik.” Dari putusan MK tersebut, secara eksplisit dapat dikatakan bahwa pihak yang seharusnya menanggung biaya pendidikan secara utama bukanlah mahasiswa. Melainkan menjadi tanggung jawab negara sebagaimana tercermin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya pada Pasal 13 ayat (2) huruf c mengatakan sebagai berikut, “Pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.” Artinya negara-negara menyepakati bahwa pendidikan tinggi ke depannya harus diadakan secara cuma-cuma secara bertahap.

Perlawanan terhadap biaya pendidikan yang mayoritas dibebankan pada mahasiswa, dengan demikian, adalah perlawanan terhadap neoliberalisme di bidang pendidikan. Pada titik inilah apa yang kami maksud dengan “mengabstraksikan problem konkret”. Ketika kita mengetahui apa logika yang ada di balik sistem pendidikan kita, maka arah dan tujuan menjadi jelas: melawan logika yang bekerja di balik sistem pendidikan tersebut. Sebab, selama logika umum yang digunakan adalah logika kapitalisme-neoliberal, maka selama itu pulalah sistem pendidikan kita mengikuti logika tersebut.

Masalahnya kemudian adalah, kita tidak membuat sejarah sekehendak hati kita. Tujuan yang besar tersebut nyatanya harus juga melihat kenyataan ini: Judicial Review UU Pendidikan Tinggi, sebagai cara yang paling memungkinkan untuk melawan sama sekali privatisasi pendidikan, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi beberapa bulan yang lalu. Dengan ditolaknya JR tersebut, maka UU Pendidikan Tinggi sebagai landasan legal privatisasi pendidikan (untuk sementara, jika kemudian DPR yang baru mengganti UU tersebut) akan secara mulus dijalankan. Dengan adanya problem ini, kita dituntut untuk memiliki imajinasi yang kuat akan perjuangan kita sendiri. Maksudnya adalah, strategi perlawanan yang dimungkinkan dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan seperti saat ini ditentukan oleh bagaimana kejelian kita dalam menyusun strategi ke depan.

Jika privatisasi pendidikan telah menjadi legal secara nasional melalui UU Pendidikan Tinggi, maka strategi yang dapat kita lakukan dalam kondisi saat ini adalah bagaimana privatisasi tersebut dilawan dalam lokus kampus masing-masing. Dalam konteks UI, hal yang dapat kita dorong untuk meminimalisir dampak yang timbul dari privatisasi pendidikan adalah mendorong agar terciptanya partisipasi yang luas, terutama dari kalangan mahasiswa, dalam segala kebijakan kampus. Salah satu yang paling memungkinkan adalah keterlibatan mahasiswa dalam menentukan biaya kuliahnya sendiri.

Dalam konteks yang lebih luas, tuntutan untuk melibatkan mahasiswa secara langsung dalam penentuan biaya kuliah adalah tuntutan untuk mendemokratisasikan kampus –dari kita, oleh kita dan untuk kita. Demokratisasi kampus, secara sederhana dapat diartikan sebagai keterlibatan semua elemen sivitas akademik dalam tiap-tiap ranah kehidupan kampus, bukan keterlibatan para elit kampus, baik elit dari pihak mahasiswa maupun jajaran rektorat. Jadi, bukan seperti saat ini dimana, misalnya keterlibatan mahasiswa dalam penentuan kebijakan kampus hanyalah diwakili oleh segelintir elit mahasiswa (baca: pemegang jabatan lembaga kemahasiswaan). Walaupun adanya partisipasi, hal tersebut masih dalam lingkup yang sangat sempit dan terbatas. Selain itu, partisipasi yang ada juga masih bersifat top-down. Mirip seperti forum komunikasi antara pemerintah dan warga di berbagai daerah: alih-alih memberikan partisipasi seluasnya bagi masyarakat dalam menentukan kehidupan kotanya sendiri, yang terjadi justru sebatas pada pengumuman ataupun sosialisasi kebijakan yang akan dijalankan.

Tuntutan strategis untuk melibatkan mahasiswa dalam penentuan kebijakan kampus, dan keterlibatan dalam penentuan biaya kuliah sebagai titik pijaknya, adalah strategi yang paling dimungkinkan untuk melawan ganasnya privatisasi pendidikan dalam lokus kampus. Minimal berusaha mengerem laju naiknya biaya kuliah dengan mengontrol student unit cost (SUC). Selama ini, biaya kuliah yang semakin tinggi diantaranya disebabkan karena kita sama sekali tidak memiliki akses terhadapnya. Kita hanya disodorkan angka sekian, sekian, dan sekian, dan harus membayarnya. Paling jauh, kita hanya terlibat dalam urusan-urusan administratif, seperti misalnya membantu mahasiswa baru untuk mengurusi berkas-berkas BOP-B. Itupun, selalu saja terjadi kebocoran tiap tahunnya. Pertanyaannya: sampai kapan akan terus begitu? Sampai kapan kita harus terus menerus mengurusi realitas paling terluar dalam sistem pembiayaan pendidikan kita yang sebenarnya dikondisikan oleh realitas yang lain, yang mana kita tidak pernah berimajinasi untuk masuk ke dalam sistem tersebut untuk menggugatnya? Kita harus terlibat dalam penentuan komponen apa saja yang menjadi dasar dari biaya kuliah, artinya kita harus mulai terlibat dalam penentuan student unit cost.

Jika Harvey (2008) dalam studi perkotaannya menawarkan konsep Hak Atas Kota untuk melawan sistem kapitalisme di perkotaan, yaitu hak dimana bukan hanya terdapat individu yang bebas untuk mengakses sumber daya perkotaan, tetapi juga hak untuk mengubah diri melalui mengubah kota itu sendiri, maka kita dapat memparafrasekannya sebagai perjuangan mahasiswa untuk merebut Hak Atas Universitas. Sebab mahasiswa lah yang membentuk universitas sehari-hari, maka kontrol terhadap universitas juga harus melibatkan tangan mereka.

Dalam lintasan sejarah, kontrol mahasiswa dalam kehidupan kampus secara nyata pernah terjadi. Pada tahun 1918, mahasiswa di Argentina melalui Manifesto Cordoba menuntut adanya keterlibatan mahasiswa dalam mengelola administrasi universitas, yang dilatarbelakangi oleh ketiadaan ruang untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orang takut melakukan perubahan.[6] Hal yang sama juga terjadi di Turin, Italia pada tahun 1967, Spanyol 1965, dan yang paling terkenal adalah gerakan mahasiswa di Perancis tahun 1968.[7] Tidak berhenti sampai disitu, mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian mengetahui bahwa realitas yang ada di kampus mereka dikondisikan oleh realitas yang berada di luar pagar kampus-kampusnya. Pada titik ini kemudian kita melihat fenomena bersatunya gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat lain untuk melawan rezim yang mengendalikan segala lini kehidupan mereka. Dengan adanya pengalaman kontrol mahasiswa dalam lintas sejarah tersebut, maka bukan berarti hal tersebut tidak mungkin terjadi lagi. Tentu, dengan prasyarat bahwa gerakan mahasiswa, khususnya di UI, secara mumpuni mampu berangkat dari realitas konkret untuk kemudian mengetahui realitas apa yang ada di baliknya.

Penutup

Tulisan singkat ini telah mengerucut pada satu tawaran tentang mau dibawa kemana gerakan mahasiswa di UI: perjuangan keterlibatan mahasiswa dalam setiap aspek kehidupan kampus, yang dapat dimulai dengan perjuangan untuk menentukan biaya kuliah sendiri. Tentu, yang dimaksud dengan ini adalah terlibat dalam penentuan setiap komponen yang membentuk Student Unit Cost (SUC). Dengan itu, mahasiswa terlibat dan tahu apa saja yang dia butuhkan dalam perkuliahan selama satu semester. Momen Pilrek kali ini, tentu saja dapat dan harus menjadi pintu masuk untuk mempropagandakan hal yang sifatnya lebih substantif. Sebab bagaimanapun, siapapun Rektor yang terpilih, akan tetap menjalankan skema neoliberalisme dalam pendidikan sebagaimana yang selama ini telah berjalan. Tawaran kami, segala visi tentang terminomogi “pengawalan mahasiswa” yang berseliweran di akun-akun sosial media lembaga eksekutif mahasiswa, dapat diarahkan kepada semangat partisipatif tersebut. Karena partisipasi yang luas dapat, setidaknya meminimalisir, kebrutalan privatisasi pendidikan.

Tentu saja, sangat kami sadari bahwa usulan ini tidak akan dapat diterima oleh elit kampus lainnya (calon-calon Rektor, misalnya). Sebab, dengan privatisasi pendidikan yang ada saat ini dimana adanya keleluasaan dalam mengelola keuangan, keterlibatan mahasiswa justru akan menjadi hambatan, misalnya dalam hal pembangunan proyek-proyek mercusuar demi ambisi menjadi World Class University. Tetapi, toh ini tetaplah utopia yang memungkinkan untuk terus kita perjuangkan dalam tahun-tahun ke depan, sebelum sistem kapitalisme-neoliberal yang berada di belakangnya digulingkan sama sekali. ***

Rio Apinino adalah alumnus Universitas Indonesia dan anggota redaktur Left Book Review IndoPROGRESS

Dicky D. Ananta adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Indonesia dan Sekjen SEMAR UI.





[1]Hafizh Nuur, Mekanisme Pemilihan Rektor UI 2014, diakses dari http://halopilrek.org/mekanisme-pemilihan-rektor-ui-2014/
[2] Ridha Intifadha, Analisis Sumber Pendapatan UI dalam Masa Otonomi, http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/09/analisis-sumber-pendapatan-ui-dalam.html
[3] Ludwig Von Mises, Menemukan Kembali Liberalisme terj. Jakarta: Freedom Institute bekerjasama dengan Friederich Nauman Stiftung. hlm. x.
[4] Alldo Felix Januardy, Salah kaprah Pengelolaan Pendidikan Tinggi,http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/09/salah-kaprah-pengelolaan-pendidikan.html
[5] Ernest Mandel, Gerakan Mahasiswa Revolusioner, http://www.marxist.org/indonesia/archive/mandel/001.htm
[6] Dicky Dwi Ananta, Gerakan Mahasiwa: Berangkat dari Mana dan Menuju Kemana?, http://indoprogress.com/2013/04/gerakan-mahasiwa-berangkat-dari-mana-dan-menuju-ke-mana/
[7]Ibid.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar