Oleh
Rio Apinino dan Dicky D. Ananta
Pemilihan Rektor Universitas Indonesia sebentar lagi akan
dilaksanakan. Berdasarkan Statuta UI (PP No. 68 Tahun 2013) dimana pemilihan
Rektor harus dilaksanakan maksimal satu tahun semenjak statuta disahkan, maka
selambat-lambatnya pemilihan Rektor harus dilaksanakan pada bulan Oktober ini. Berdasarkan
informasi dalam laman HaloPilrek,[1]
mekanisme pemilihan rektor adalah pertama-tama pembentukan Pantita Penjaringan
dan Penyaringan Calon Rektor (P3CR) oleh Majelis Wali Amanat (MWA) yang
memiliki peran aktif untuk menjaring bakal calon rektor. P3CR kemudian
melakukan serangkaian seleksi untuk menyaring nama bakal calon Rektor yang
telah mendaftar menjadi hanya tujuh orang. Setelah tersaring sebanyak tujuh
orang, maka tugas P3CR diambilalih sepenuhnya oleh MWA yang akan menyaring
kembali kandidat menjadi hanya tiga orang, dan selanjutnya menetapkan Rektor
terpilih. Serangkaian acara tersebut ditargetkan
akan selesai pada akhir November 2014.
Dalam momen Pilrek ini, mahasiswa–sebagai mayoritas dalam
lingkup sivitas akademik UI–ikut turut campur. Misalnya, terdapat satu
perwakilan dari unsur mahasiswa dalam P3CR; MWA unsur mahasiswa; dan tidak
ketinggalan lembaga eksekutif mahasiswa, baik tingkat universitas maupun
tingkat fakultas. Seluruh lembaga mahasiswa tersebut ikut turut serta dalam proses
pemilihan rektor dengan berusaha untuk mengajak sebanyak-banyaknya mahasiswa
untuk, dalam bahasa organisasi-organisasi tersebut, “mengawal” proses Pilrek
ini. Tulisan ini pun ingin turut serta memberikan sumbangsih, khususnya bagi
mahasiswa, dalam proses Pilrek yang sedang berlangsung, terutama usulan strategis
yang dapat dilakukan ke depan.
Privatisasi
Pendidikan sebagai Latar
Tanpa pengetahuan yang memadai, tidak akan ada gerakan yang
memadai. Begitu pula dalam konteks Pilrek. Untuk adanya gerakan yang memadai,
maka hal pertama yang harus dilakukan adalah mengetahui secara memadai. Dengan
demikian, sebelum membahas secara panjang lebar apa yang harus mahasiswa
lakukan dalam Pilrek, maka yang pertama harus dibahas dan dipahami adalah latar
secara struktural yang mengondisikan sistem pendidikan, khususnya di UI hingga
menjadi seperti sekarang. Dengan begitu, gerakan yang akan dibangun berdasarkan
pada fakta dan kondisi yang obyektif. Maka, kita harus kembali ke tahun 2000.
Pada tahun 2000, persis dua tahun setelah reformasi
bergulir, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) yang mengubah status
beberapa Universitas Negeri menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Khusus
untuk UI, PP yang diterbitkan adalah PP 152 tahun 2000. Setelah PP tersebut
diberlakukan, universitas-universitas negeri tersebut memiliki kewenangan untuk
mengelola secara mandiri institusinya, termasuk dalam hal ini adalah pengelolaan
di luar hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan akademik. Sehingga kemudian
disebut sebagai otonomi non-akademik, misalnya seperti otonomi keuangan dan
otonomi pengelolaan pekerja. Efek dari itu, jika sebelum reformasi mayoritas
pendanaan universitas berasal dari negara, maka setelah berubahnya universitas
tersebut menjadi BHMN, sumber pendapatan utama universitas berasal dari
mahasiswa. Implikasi dari hal tersebut tidak lain adalah semakin melonjaknya
biaya kuliah, bersamaan dengan semakin menurunnya proporsi anggaran yang
dialokasikan oleh pemerintah.
Studi yang dilakukan Intifadha mengkonfirmasi hal tersebut.
Selama kurun waktu 2002-2006, persentase jumlah pendapatan yang diperoleh dari
dana masyarakat (uang kuliah, ventura, hibah) mengalami kenaikan cukup besar,
yaitu 2,5 kali lipat. Sedangkan persentase jumlah pendapatan yang berasal dari
pemerintah (APBN) hanya mengalami kenaikan sebesar 1,1 kali lipat. Hal yang
sama terjadi selama tahun 2008-2012, yaitu semenjak diberlakukannya sistem
subsidi silang dalam hal uang kuliah (BOP-B). Persentase pendapatan UI dari
masyarakat (baca: mahasiswa) mengalami kenaikan sebesar 2,2 kali lipat,
sedangkan pendapatan dari pemerintah hanya mengalami kenaikan sebesar 1,5 kali
lipat. Persentase pendapatan tahun 2008-2012 menunjukkan bahwa porsi pemerintah
melalui APBN sangat rendah dari total pendapatan UI, yaitu hanya rata-rata
23,17 persen yang setara dengan setengah dari pendapatan rata-rata yang berasal
dari dana masyarakat (yang, tentu saja, sebagian besar berasal dari mahasiswa).[2]
Tentu saja, angka-angka di atas tidak memadai untuk dinilai hanya
sebagai penunjukan fakta di atas kertas saja. Melainkan, secara tidak langsung
ia menunjukan sebuah relasi dan berjalannya sebuah logika tertentu. Angka-angka
tersebut tidak lain menunjukkan bahwa pendidikan tidak lagi dianggap sebagai
hak warga negara, sekaligus menunjukkan secara gamblang bahwa logika yang
bekerja dibalik sistem pendidikan kita saat ini adalah logika pasar: siapa yang
mampu bayar, dialah yang menikmati! Ini berasal dari sebuah keyakinan
fundamental pada pasar bahwa ia merupakan cara paling efektif untuk
mendistribusikan kesejahteraan. Untuk itu, pendidikan sebagaimana halnya juga
kesehatan, dianggap sebagai barang jasa yang bisa dipertukarkan dalam logika
pasar. Ia bukanlah barang publik yang diatur dan distribusikan secara
terorganisir oleh negara. Bila logika ini dipakai, maka pendidikan menjadi hak
setiap orang. Namun, sekali lagi, akan menjadi problematis dan mengancam usaha
bagi perkembangan dari logika pasar tersebut. Oleh karenanya, bila ia berada
dalam struktur logika pasar, maka jasa tersebut hanya bisa diakses bila
terdapat timbal balik yang setara diantara keduanya. Pertukaran itu akan
dinilai melalui sebuah pembayaran individual. Sehingga, menjadi prasyarat utama
dalam logika pasar, bahwa siapa yang akan mengakses jasa tersebut, maka ia
harus membayar. Untuk itu, pengelolaan universitas akan didorong menjadi sebuah
usaha penyediaan jasa pendidikan yang menyaratkan adanya pembayaran sebagai ganti
dari pendidikan yang didapatkan peserta didik.
Adanya logika pasar tersebut, tidak akan menjadi hal yang
efektif bila tidak diikuti oleh sejumlah asumsi tertentu mengenai pelaku yang
menjalankannya, yaitu manusia. Menjadi prasyarat utama bagi berjalannya
fundamentalisme pasar, bila diikuti oleh adanya asumsi bahwa cara terbaik untuk mengejar kesejahteraan
terletak pada individu. Dengan kata lain, segala upaya untuk menggapai kesejahteraan adalah tanggung jawab
individu, dan menjadi haram bila terdapat institusi di luar individu
menyediakan kerangka itu. Karena itu, ia membutuhkan sebuah arena yang bebas
dan tanpa intervensi dari apapun institusi, yang itu hanya terdapat pada
andaian adanya pasar bebas. Pengandaian filosofis akan individu ini didasarkan
pada pemikiran Ludwig Von Misses mengenai manusia. Ia menyatakan bahwa pada
dasarnya dunia ini adalah “kecenderungan
utamanya hanyalah memaksimalkan terpenuhinya kepentingan dirinya, bertanggung
jawab hanya pada dirinya, dan bergantung pada dirinya sendiri.”[3]
Dasar dari semua itu adalah kalkulasi individual untuk mendapatkan sesuatu. Rasio
kalkulasi itu, spesifiknya terletak pada kalkulasi ekonomi. Oleh karenanya, Von
Misses menempatkan paham ekonomi sebagai jantung dari relasi sosial dan
politik, sekaligus menyeret keduanya dalam logika ekonomi tersebut (homo economicus). Untuk itu,
kesejahteraan adalah urusan pribadi, dan bukan tanggung jawab sosial, kolektif,
ataupun negara. Berhubungan dengan pendidikan, maka implikasinya ia akan
dilihat sebagai tanggung jawab individu, dan bukanlah dianggap sebagai tanggung
jawab negara untuk menyediakannya dengan akses yang terbuka luas dan setara
bagi semuanya.
Jadi, berbeda dengan Januardy[4]
yang mengatakan bahwa kuliah mahal adalah masalah apapun latar belakang
ideologi yang diimani, justru sebaliknya, kuliah mahal adalah konsekuensi logis
atas kemenangan ideologi tertentu. Praktek pendidikan tinggi yang terjadi saat
ini, khususnya yang terjadi di UI, pada dasarnya mengikuti sebuah logika dari
ideologi tertentu. Ideologi tersebut mengaitkan secara erat antara keyakinan
pada fundamentalisme pasar dan peran yang sentral dari individu. Itulah yang
kemudian disebut oleh para akademisi sebagai Neoliberalisme! Sehingga, bisa
dikatakan bahwa sistem pendidikan kita berada dalam naungan neoliberalisme.
Dalam perspektif kapitalisme-neoliberal, pendidikan (dan
barang-barang publik lainnya) harus di lemparkan pada mekanisme pasar, sebab
argumen mereka, jika dibebankan sepenuhnya pada negara, maka konsekuensinya
adalah akan membebani anggaran negara atau negara tidak mampu untuk meng-cover semuanya (familiar dengan kalimat
ini?). Hal tersebut menjadi praktek politik dari neoliberalisme bila dikaitkan
dengan paham moneterisme Milton Friedman, terutama dalam bab pengetatan biaya sosial.
Selagi memperketat pengeluaran pemerintah yang tidak efektif (seperti
pendidikan, kesehatan, BBM, dan layanan sosial lainnya), maka urusan tersebut
harus diserahkan menjadi tanggung jawab individu. Implikasinya, berbagai public goods harus digeser menjadi private consumption goods. Jadinya, serahkan saja itu urusan pada individu dengan
mengurangi biaya-biaya sosial pada pendidikan, kesehatan, pensiun, dan lainnya.
Dengan demikian, praktek privatisasi barang-barang publik adalah kunci. Dengan
privatisasi, urusan yang duluya disediakan oleh negara sebagai barang publik,
harus diakses secara individual. Contohnya: pendidikan.
Neoliberalisme tidak pernah menganggap pendidikan adalah
hak, sebab dalam kerangka neoliberalisme, pendidikan justru adalah jasa yang
memerlukan pengorbanan tertentu untuk mendapatkannya. Hal ini dikonfirmasi
dengan kenyataan bahwa diubahnya status universitas negeri menjadi BHMN adalah
karena diterapkannya paket penyesuaian struktural (Structural Adjustment Program) yang diberikan oleh IMF sebagai
corong penyebar neoliberalisme yang selalu bercirikan privatisasi, deregulasi,
dan liberalisasi. Structural Adjustment Program
(SAP) menjadi elemen kunci sekaligus pintu masuk dari praktek
neoliberalisme di Indonesia. Perubahan status Universitas publik menjadi BHMN juga
dalam kerangka SAP tersebut.
Perkembangan
neoliberalisme ini tidak dalam kerangka ekonomi politik yang kosong. Ia pada
dasarnya merupakan sebuah bentuk kontemporer dari praktek ekonomi politik yang
berkembang sejak abad XVI, yaitu kapitalisme. Sehingga, praktek neoliberalisme
ini tidak akan keluar dari logika dasar dari kapitalisme (oleh karena itu
disebut Kapitalisme-Neoliberal). Lantas bagaimana kaitan keduanya dengan
pendidikan? Salah satu modus ekspansi kapitalisme adalah melakukan apa yang disebut
intensifikasi kapital. Proses intesifikasi ini dilakukan ke dalam sistem
kapitalisme, dimana sektor-sektor yang sebelumnya dianggap sebagai barang
publik kemudian dikomodifikasi dengan tujuan utama menumpuk profit tanpa batas.
Misalnya, air dan udara yang sebelumnya gratis (karena dianggap bukan barang
langka) kini telah diperjualbelikan, telah menjadi komoditi yang sangat
menguntungkan. Hal yang sama juga menimpa dunia pendidikan, dimana sektor ini
kini telah menjadi ajang bisnis yang menggiurkan.
Rupa-rupa
model dan strategi bisnis dilakukan untuk mengkomodifikasinya, misalnya melalui
pemberlakuan hak kekayaan intelektual, pelepasan tanggung jawab negara terhadap
hak seluruh warga negara untuk menikmati pendidikan, mendesain kurikulum
pendidikan agar sesuai dengan kepentingan bisnis, memperpendek waktu kuliah
yang dilambari dengan biaya pendidikan yang tinggi sehingga memaksa peserta
didik terasing dari dunia di luar dinding sekolah dan universitasnya.
Komersialisasi pendidikan ini jelas merupakan masalah besar kita bersama.
Pendidikan harus dikembalikan ke tujuannya semula: pembebasan manusia dari
kungkungan lingkungannya yang menindas.
Usulan
Strategis
Kita kembali pada Pilrek, terutama apa yang dapat dilakukan
mahasiswa dalam kerangka logika ekonomi-politik yang berjalan di balik sistem
pendidikan di UI saat ini. Jika kita berkaca pada berbagai sejarah gerakan
mahasiswa, terutama di Eropa, maka munculnya gerakan mahasiswa pada umumnya
disebabkan oleh permasalahan di sekitar mahasiswa itu sendiri,[5]
seperti misalnya tidak berhaknya mahasiswa menentukan kehidupan mereka sendiri
selama di kampus. Selain itu, munculnya gerakan mahasiswa di Eropa juga
dikarenakan tidak memadainya pendidikan dalam memberikan analisa ilmiah untuk
melihat realitas dunia, sebab semua telah diatur hanya untuk memenuhi kebutuhan
industri kapitalis (pernyataan yang sama juga dilontarkan oleh Mendikbud dalam
sidang judicial review UU Pendidikan
Tinggi setahun yang lalu). Dengan berawal dari realitas konkret yang dialami
sehari-hari, gerakan mahasiswa di Eropa kemudian mengabstraksikannya ke dalam kontradiksi
yang lebih mendasar lagi, kontradiksi yang mengondisikan kontradiksi-kontradiksi
lainnya.
Ini kata kuncinya: dimulai dari realitas konkret, realitas
yang paling terlihat, untuk kemudian diabstraksikan kembali untuk mengetahui
apa yang ada di balik realitas tersebut. Maka kami usulkan mulai dari sini: biaya kuliah. Memang, bisa saja dimulai
dari problem-problem apapun, seperti misalnya gerakan yang dilakukan oleh MWA
UI UM di media sosial dengan tagar #KelesUI (tagarnya gak keles juga, keleus)
yang berisi kicauan masalah mahasiswa dari A sampai Z. Tetapi toh hal tersebut tetap kembali lagi ke
problem biaya kuliah: masak sih udah
kuliah mahal tapi A, B, C, D tetap rusak, jelek, dll. Seperti halnya Karl Marx,
seorang Filsuf dari Jerman, yang membahas kompleksitas kapitalisme dari hal
yang paling konkret, komoditi; kita dapat mulai dari biaya kuliah.
Tahap pertama kita harus jelas: meskipun kita memulai dari
biaya kuliah, tetapi kita juga harus membuatnya secara spesifik yaitu biaya
kuliah dari sudut yang mana. Sebab, dalam pandangan kami, banyak organisasi
mahasiswa yang berpropaganda tentang biaya kuliah selalu dimulai dari penilaian
subjektif individual: biaya kuliah mahal. Memulai argumentasi dari proposisi “biaya
kuliah yang mahal” tidak sepenuhnya salah, tetapi tidak tepat. Sebabnya adalah,
memulai propaganda dari proposisi tersebut bisa
saja akan terjatuh pada subjektifitas, yang tentu berbeda-beda
penilaiannya. Yang kita butuhkan adalah sesuatu yang objektif, terlepas dari
penilaian-penilaian individual. Apalagi, ditambah dengan kondisi saat ini
dimana yang mampu berkuliah di UI adalah kalangan yang berekonomi menengah-atas,
maka pertanyaan “apakah kuliah mahal atau tidak?” justru akan menjadi bumerang
bagi gerakan ke depan karena akan mendapatkan jawaban bahwa “kuliah di UI tidak mahal, kok” (hal ini
pernah terjadi pada suatu riset yang dilakukan salah satu departeman organisasi
mahasiswa pada tahun 2012).
Jika bukan dari preposisi di muka, maka darimana kita bisa mulai
untuk mempropagandakan tentang biaya kuliah? Menurut kami, hal spesifik yang
dapat dipropagandakan tentang biaya kuliah adalah apa saja komponen pembentuk biaya kuliah. Dengan memulai dari komponen
pembentuk biaya kuliah atau Student Unit
Cost (SUC), maka kita menemukan indikator objektif untuk menjadi titik
pijak gerakan kita. Hal ini tentu saja menyaratkan adalah transparansi keuangan
dari pihak kampus. Dengan mengetahui secara pasti berapa biaya sebenarnya yang
dikeluarkan seorang mahasiswa untuk dapat berkuliah di UI, maka kita memiliki
satu materi penting yang dapat dipropagandakan kepada mahasiswa lainnya, yang
terlepas dari apakah mereka merasa
mahal atau tidak berkuliah disini.
Katakanlah kita telah mengetahui apa saja komponen pembentuk
biaya kuliah, dan dengan demikian juga tahu secara pasti berapa biaya yang
seharusnya dibayarkan selama satu semester untuk dapat berkuliah di UI, maka pertanyaan
selanjutnya yang harus dijawab adalah siapa
pihak yang seharusnya menanggung biaya tersebut. Dalam studi komparatif
yang dilakukan di muka, tampak jelas bahwa biaya pendidikan mayoritas dibebankan
kepada mahasiswa. Dalam kerangka neoliberalisme, hal ini tidak jadi soal karena
sekali lagi, pendidikan adalah jasa dan harus mengikuti mekanisme pasar. Selain
itu, tanggung jawab untuk menjangkau pendidikan merupakan urusan individu.
Tetapi, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
11-14-21-126 dan 136/PII-VII/2009 tentang Judicial Review Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan (BHP), mekanisme pasar yang salah satunya tercermin melalui biaya
pendidikan yang mayoritas dibebankan kepada peserta didik/mahasiswa adalah
tidak tepat, ”… dalam keadaan tidak
adanya kepastian sumber dana yang bisa didapat oleh sebuah BHP maka sasaran
yang paling rentan adalah peserta didik.” Dari putusan MK tersebut, secara
eksplisit dapat dikatakan bahwa pihak yang seharusnya menanggung biaya
pendidikan secara utama bukanlah mahasiswa.
Melainkan menjadi tanggung jawab negara sebagaimana tercermin dalam Kovenan Internasional Hak-Hak
Ekonomi Sosial dan Budaya pada Pasal 13 ayat (2) huruf c mengatakan sebagai
berikut, “Pendidikan tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka
bagi semua orang atas dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat,
khususnya melalui pengadaan pendidikan cuma-cuma secara bertahap.” Artinya
negara-negara menyepakati bahwa pendidikan tinggi ke depannya harus diadakan
secara cuma-cuma secara bertahap.
Perlawanan terhadap biaya pendidikan yang mayoritas
dibebankan pada mahasiswa, dengan demikian, adalah perlawanan terhadap
neoliberalisme di bidang pendidikan. Pada titik inilah apa yang kami maksud
dengan “mengabstraksikan problem konkret”. Ketika kita mengetahui apa logika
yang ada di balik sistem pendidikan kita, maka arah dan tujuan menjadi jelas:
melawan logika yang bekerja di balik sistem pendidikan tersebut. Sebab, selama
logika umum yang digunakan adalah logika kapitalisme-neoliberal, maka selama
itu pulalah sistem pendidikan kita mengikuti logika tersebut.
Masalahnya kemudian adalah, kita tidak membuat sejarah
sekehendak hati kita. Tujuan yang besar tersebut nyatanya harus juga melihat
kenyataan ini: Judicial Review UU Pendidikan
Tinggi, sebagai cara yang paling memungkinkan untuk melawan sama sekali privatisasi
pendidikan, ditolak oleh Mahkamah Konstitusi beberapa bulan yang lalu. Dengan
ditolaknya JR tersebut, maka UU Pendidikan Tinggi sebagai landasan legal
privatisasi pendidikan (untuk sementara, jika kemudian DPR yang baru mengganti
UU tersebut) akan secara mulus dijalankan. Dengan adanya problem ini, kita dituntut untuk memiliki imajinasi yang
kuat akan perjuangan kita sendiri. Maksudnya adalah, strategi perlawanan
yang dimungkinkan dalam keadaan yang serba tidak menguntungkan seperti saat ini
ditentukan oleh bagaimana kejelian kita dalam menyusun strategi ke depan.
Jika privatisasi pendidikan telah menjadi legal secara
nasional melalui UU Pendidikan Tinggi, maka strategi yang dapat kita lakukan
dalam kondisi saat ini adalah bagaimana privatisasi tersebut dilawan dalam
lokus kampus masing-masing. Dalam konteks UI, hal yang dapat kita dorong untuk
meminimalisir dampak yang timbul dari privatisasi pendidikan adalah mendorong
agar terciptanya partisipasi yang luas, terutama dari kalangan mahasiswa, dalam
segala kebijakan kampus. Salah satu yang paling memungkinkan adalah keterlibatan mahasiswa dalam menentukan
biaya kuliahnya sendiri.
Dalam konteks yang lebih luas, tuntutan untuk melibatkan
mahasiswa secara langsung dalam penentuan biaya kuliah adalah tuntutan untuk mendemokratisasikan
kampus –dari kita, oleh kita dan untuk kita. Demokratisasi kampus, secara
sederhana dapat diartikan sebagai keterlibatan semua elemen sivitas akademik
dalam tiap-tiap ranah kehidupan kampus, bukan keterlibatan para elit kampus,
baik elit dari pihak mahasiswa maupun jajaran rektorat. Jadi, bukan seperti
saat ini dimana, misalnya keterlibatan mahasiswa dalam penentuan kebijakan
kampus hanyalah diwakili oleh segelintir elit mahasiswa (baca: pemegang jabatan
lembaga kemahasiswaan). Walaupun adanya partisipasi, hal tersebut masih dalam
lingkup yang sangat sempit dan terbatas. Selain itu, partisipasi yang ada juga
masih bersifat top-down. Mirip seperti
forum komunikasi antara pemerintah dan warga di berbagai daerah: alih-alih memberikan
partisipasi seluasnya bagi masyarakat dalam menentukan kehidupan kotanya
sendiri, yang terjadi justru sebatas pada pengumuman ataupun sosialisasi kebijakan
yang akan dijalankan.
Tuntutan strategis untuk melibatkan mahasiswa dalam
penentuan kebijakan kampus, dan keterlibatan dalam penentuan biaya kuliah
sebagai titik pijaknya, adalah strategi yang paling dimungkinkan untuk melawan
ganasnya privatisasi pendidikan dalam lokus kampus. Minimal berusaha mengerem
laju naiknya biaya kuliah dengan mengontrol student
unit cost (SUC). Selama ini,
biaya kuliah yang semakin tinggi diantaranya disebabkan karena kita sama sekali
tidak memiliki akses terhadapnya. Kita hanya disodorkan angka sekian, sekian,
dan sekian, dan harus membayarnya. Paling jauh, kita hanya terlibat dalam
urusan-urusan administratif, seperti misalnya membantu mahasiswa baru untuk
mengurusi berkas-berkas BOP-B. Itupun, selalu saja terjadi kebocoran tiap
tahunnya. Pertanyaannya: sampai kapan akan terus begitu? Sampai kapan kita
harus terus menerus mengurusi realitas paling terluar dalam sistem pembiayaan
pendidikan kita yang sebenarnya dikondisikan oleh realitas yang lain, yang mana
kita tidak pernah berimajinasi untuk masuk ke dalam sistem tersebut untuk
menggugatnya? Kita harus terlibat dalam penentuan komponen apa saja yang menjadi
dasar dari biaya kuliah, artinya kita harus mulai terlibat dalam penentuan student unit cost.
Jika Harvey (2008) dalam studi perkotaannya menawarkan
konsep Hak Atas Kota untuk melawan sistem kapitalisme di perkotaan, yaitu hak
dimana bukan hanya terdapat individu yang bebas untuk mengakses sumber daya
perkotaan, tetapi juga hak untuk mengubah diri melalui mengubah kota itu
sendiri, maka kita dapat memparafrasekannya sebagai perjuangan mahasiswa untuk
merebut Hak Atas Universitas. Sebab mahasiswa lah yang membentuk universitas
sehari-hari, maka kontrol terhadap universitas juga harus melibatkan tangan
mereka.
Dalam lintasan sejarah, kontrol mahasiswa dalam kehidupan
kampus secara nyata pernah terjadi. Pada tahun 1918, mahasiswa di Argentina
melalui Manifesto Cordoba menuntut adanya keterlibatan mahasiswa dalam
mengelola administrasi universitas, yang dilatarbelakangi oleh ketiadaan ruang
untuk pembaharuan kurikulum dan adanya ajaran yang membuat setiap orang takut
melakukan perubahan.[6]
Hal yang sama juga terjadi di Turin, Italia pada tahun 1967, Spanyol 1965, dan
yang paling terkenal adalah gerakan mahasiswa di Perancis tahun 1968.[7]
Tidak berhenti sampai disitu, mahasiswa-mahasiswa tersebut kemudian mengetahui
bahwa realitas yang ada di kampus mereka dikondisikan oleh realitas yang berada
di luar pagar kampus-kampusnya. Pada titik ini kemudian kita melihat fenomena
bersatunya gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat lain untuk melawan rezim
yang mengendalikan segala lini kehidupan mereka. Dengan adanya pengalaman
kontrol mahasiswa dalam lintas sejarah tersebut, maka bukan berarti hal
tersebut tidak mungkin terjadi lagi. Tentu, dengan prasyarat bahwa gerakan
mahasiswa, khususnya di UI, secara mumpuni mampu berangkat dari realitas
konkret untuk kemudian mengetahui realitas apa yang ada di baliknya.
Penutup
Tulisan singkat ini telah mengerucut pada satu tawaran tentang
mau dibawa kemana gerakan mahasiswa di UI: perjuangan keterlibatan mahasiswa dalam
setiap aspek kehidupan kampus, yang dapat dimulai dengan perjuangan untuk
menentukan biaya kuliah sendiri. Tentu, yang dimaksud dengan ini adalah
terlibat dalam penentuan setiap komponen yang membentuk Student Unit Cost (SUC). Dengan
itu, mahasiswa terlibat dan tahu apa saja yang dia butuhkan dalam perkuliahan
selama satu semester. Momen Pilrek kali ini, tentu saja dapat dan harus menjadi
pintu masuk untuk mempropagandakan hal yang sifatnya lebih substantif. Sebab
bagaimanapun, siapapun Rektor yang terpilih, akan tetap menjalankan skema neoliberalisme
dalam pendidikan sebagaimana yang selama ini telah berjalan. Tawaran kami,
segala visi tentang terminomogi “pengawalan mahasiswa” yang berseliweran di
akun-akun sosial media lembaga eksekutif mahasiswa, dapat diarahkan kepada
semangat partisipatif tersebut. Karena partisipasi yang luas dapat, setidaknya
meminimalisir, kebrutalan privatisasi pendidikan.
Tentu saja, sangat kami sadari bahwa usulan ini tidak akan dapat
diterima oleh elit kampus lainnya (calon-calon Rektor, misalnya). Sebab, dengan
privatisasi pendidikan yang ada saat ini dimana adanya keleluasaan dalam mengelola
keuangan, keterlibatan mahasiswa justru akan menjadi hambatan, misalnya dalam
hal pembangunan proyek-proyek mercusuar demi ambisi menjadi World Class University. Tetapi, toh ini tetaplah utopia yang
memungkinkan untuk terus kita perjuangkan dalam tahun-tahun ke depan, sebelum sistem
kapitalisme-neoliberal yang berada di belakangnya digulingkan sama sekali. ***
Rio
Apinino adalah alumnus Universitas Indonesia dan anggota redaktur Left Book
Review IndoPROGRESS
[1]Hafizh
Nuur, Mekanisme Pemilihan Rektor UI 2014,
diakses dari http://halopilrek.org/mekanisme-pemilihan-rektor-ui-2014/
[2] Ridha
Intifadha, Analisis Sumber Pendapatan UI
dalam Masa Otonomi, http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/09/analisis-sumber-pendapatan-ui-dalam.html
[3] Ludwig Von
Mises, Menemukan Kembali Liberalisme terj.
Jakarta: Freedom Institute bekerjasama dengan Friederich Nauman Stiftung. hlm.
x.
[4] Alldo
Felix Januardy, Salah kaprah Pengelolaan
Pendidikan Tinggi,http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/09/salah-kaprah-pengelolaan-pendidikan.html
[5] Ernest
Mandel, Gerakan Mahasiswa Revolusioner,
http://www.marxist.org/indonesia/archive/mandel/001.htm
[6] Dicky Dwi
Ananta, Gerakan Mahasiwa: Berangkat dari
Mana dan Menuju Kemana?, http://indoprogress.com/2013/04/gerakan-mahasiwa-berangkat-dari-mana-dan-menuju-ke-mana/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar