Sabtu, 20 September 2014

Tidak Hanya Kaum Kiri yang Merasa Rugi

Daya Cipta S, Kepala Divisi Kajian Kebijakan BK MWA UI UM

Tulisan ini adalah tanggapan cepat dan singkat untuk tulisan Rio Apinino dan Dicky Dwi Ananta disini. Keduanya adalah kawan dari sebuah perkumpulan yang menamakan dirinya sebagai Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR) UI. Apresiasi saya berikan untuk kesediaan SEMAR UI untuk melibatkan diri pada diskursus perkara kampus yang sedang “digulirkan” menjelang Pemilihan Rektor .


Ada beberapa hal yang menggelitik untuk dikritik dari tulisan Apinino dan Ananta. Pertama, mereka melihat bahwa persoalan pendidikan tinggi tidak terlepas dari logika neoliberalisme. Mereka memberi bukti dengan menarik rangkaian kebijakan pendidikan tinggi, konteks nasional hingga global. Sebagaimana kritik-kritik terhadap neoliberalisme, Apinino dan Ananta melihat bahwasanya pendidikan tinggi berjalan dengan kemauan dan kebutuhan pasar.

Apinino dan Ananta kembali “menyalahkan” bahwa pangkal persoalan adalah paradigma pendidikan tinggi yang menyerah pada logika pasar dan berkurangnya kontribusi pemerintah di sana. Pertanyaannya, apakah benar biang keladinya adalah neoliberalisme? Sejauh apa kita dapat menjungkirkan logika pasar (istilah mereka)? Perdebatan yang berbau ideologis saya kira sudah sepantasnya usai, karena toh logika neoliberalisme sedang dan terus berjalan.

Kedua, mengenai biaya kuliah mahal. Menarik yang ditawarkan oleh SEMAR UI untuk melihat secara objektif biaya yang harus tanggung oleh mahasiswa kemudian mempertanyakan siapa yang seharusnya menanggung biaya tersebut. Jika memang apa yang ada dalam Student Unit Cost (SUC) memuat angka yang selayaknya tinggi, kita dapat mempertanyakan apakah semua biaya tersebut dibebankan kepada mahasiswa?

Seharusnya jika kita sepakat pendidikan adalah hak, dan negara (atau UI) sudah semestinya menyediakannya tanpa terkecuali. Sudah semestinya UI dalam konteks ini beritikad untuk menyediakan pendidikan murah. Pendidikan bukanlah jasa yang dijual belikan, mahasiswa bukanlah konsumen, dan kampus bukanlah perusahaan.

Pertanyaannya, jika kita sebatas mempropagandakan “tolak biaya kuliah naik,” “biaya kuliah harus murah” sampai kapan dapat dipertahankan angka murah “x” yang kita perjuangkan? Sampai mana kita akan bertahan ketika diserang oleh argumen “penyesuaian harga” oleh pihak pemangku kebijakan? Ada rasa kekhawatiran saya bahwa calon pemimpin kampus kita hanyalah sekadar “menjaga” biaya kuliah tidak naik di beberapa tahun pertama saja.

Poin terakhir, soal keterlibatan mahasiswa. Turut berbahagia dengan optimisme SEMAR UI melihat gerakan isu kampus yang mulai bermunculan (dengan berbagai frasa seperti: Halo Pilrek, Apa Kabar UI, Keles UI, Misteri UI dsb). SEMAR UI menawarkan gagasan mahasiswa mesti dilibatkan dalam penentuan kebijakan, dalam hal ini menentukan biaya pendidikan. Pertanyaan terakhir saya berbau kekhawatiran. Bagaimana mahasiswa sadar untuk terlibat dalam menentukan dan menekan kebijakan, sementara mahasiswa belum sadar akan hak  yang selayaknya mereka dapatkan selama di kampus ini? Ya, kedepan tidak hanya kaum kiri yang “merasa” rugi jika pendidikan tinggi adalah suatu hal yang mesti diperdagangkan.

Semoga pendidikan tinggi yang terjangkau bukanlah mimpi di siang bolong.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar