Daya Cipta S, Kepala Divisi Kajian Kebijakan BK MWA UI UM
Tulisan ini adalah tanggapan cepat dan singkat untuk tulisan
Rio Apinino dan Dicky Dwi Ananta disini. Keduanya adalah kawan dari sebuah perkumpulan yang menamakan dirinya sebagai
Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR) UI. Apresiasi saya berikan untuk kesediaan
SEMAR UI untuk melibatkan diri pada diskursus perkara kampus yang sedang
“digulirkan” menjelang Pemilihan Rektor .
Ada beberapa hal yang menggelitik untuk dikritik dari
tulisan Apinino dan Ananta. Pertama, mereka melihat bahwa persoalan pendidikan
tinggi tidak terlepas dari logika neoliberalisme. Mereka memberi bukti dengan
menarik rangkaian kebijakan pendidikan tinggi, konteks nasional hingga global.
Sebagaimana kritik-kritik terhadap neoliberalisme, Apinino dan Ananta melihat
bahwasanya pendidikan tinggi berjalan dengan kemauan dan kebutuhan pasar.
Apinino dan Ananta kembali “menyalahkan” bahwa pangkal
persoalan adalah paradigma pendidikan tinggi yang menyerah pada logika pasar
dan berkurangnya kontribusi pemerintah di sana. Pertanyaannya, apakah benar
biang keladinya adalah neoliberalisme? Sejauh apa kita dapat menjungkirkan
logika pasar (istilah mereka)? Perdebatan yang berbau ideologis saya kira sudah
sepantasnya usai, karena toh logika neoliberalisme sedang dan terus berjalan.
Kedua, mengenai biaya kuliah mahal. Menarik yang ditawarkan
oleh SEMAR UI untuk melihat secara objektif biaya yang harus tanggung oleh
mahasiswa kemudian mempertanyakan siapa yang seharusnya menanggung biaya
tersebut. Jika memang apa yang ada dalam Student
Unit Cost (SUC) memuat angka yang selayaknya tinggi, kita dapat
mempertanyakan apakah semua biaya tersebut dibebankan kepada mahasiswa?
Seharusnya jika kita sepakat pendidikan adalah hak, dan
negara (atau UI) sudah semestinya menyediakannya tanpa terkecuali. Sudah
semestinya UI dalam konteks ini beritikad untuk menyediakan pendidikan murah.
Pendidikan bukanlah jasa yang dijual belikan, mahasiswa bukanlah konsumen, dan
kampus bukanlah perusahaan.
Pertanyaannya, jika kita sebatas mempropagandakan “tolak
biaya kuliah naik,” “biaya kuliah harus murah” sampai kapan dapat dipertahankan
angka murah “x” yang kita perjuangkan? Sampai mana kita akan bertahan ketika
diserang oleh argumen “penyesuaian harga” oleh pihak pemangku kebijakan? Ada
rasa kekhawatiran saya bahwa calon pemimpin kampus kita hanyalah sekadar
“menjaga” biaya kuliah tidak naik di beberapa tahun pertama saja.
Poin terakhir, soal keterlibatan mahasiswa. Turut berbahagia
dengan optimisme SEMAR UI melihat gerakan isu kampus yang mulai bermunculan
(dengan berbagai frasa seperti: Halo Pilrek, Apa Kabar UI, Keles UI, Misteri UI
dsb). SEMAR UI menawarkan gagasan mahasiswa mesti dilibatkan dalam penentuan
kebijakan, dalam hal ini menentukan biaya pendidikan. Pertanyaan terakhir saya
berbau kekhawatiran. Bagaimana mahasiswa sadar untuk terlibat dalam menentukan
dan menekan kebijakan, sementara mahasiswa belum sadar akan hak yang selayaknya mereka dapatkan selama di
kampus ini? Ya, kedepan tidak hanya kaum kiri yang “merasa” rugi jika
pendidikan tinggi adalah suatu hal yang mesti diperdagangkan.
Semoga pendidikan tinggi yang terjangkau bukanlah mimpi di
siang bolong.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar