Jumat, 13 Februari 2015

“Belajar pada Che!”

Oleh Gesang Kinasih

“Di atas segalanya, kembangkan selalu perasaan yang dalam pada siapapun yang mengalami ketidakadilan, dimanapun di dunia ini. Inilah kualitas yang paling indah dari seorang revolusioner.”
(Surat Che kepada Anaknya-Anaknya, 1965)

Tulisan ini lahir setelah menonton sebuah film. Saya akan memberikan sedikit refleksi mengenai perjalanan hidup salah seorang revolusioner sejati dari Amerika Latin, yaitu Ernesto Guevara Lynch de La Serna atau yang lebih akrab dikenal sebagai Che Guevara. Pada tulisan ini, saya berusaha membacanya dengan se-biasa mungkin. Karena mungkin banyak distorsi yang muncul dari kehidupannya. Pada tulisan ini, saya juga hanya menampilkannya dalam bentuk opini saja, bukan sebuah tulisan ilmiah.

Kita bisa lihat hampir setiap pemuda yang sedang berkenalan dengan ide-ide Kiri akan mengenalnya. Ia menjadi salah satu idola Kiri di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bila diperhatikan, ia menjadi salah satu ikon baju Kiri paling laris di jagad raya, juga dengan segala atribut mengenainya. Bahkan, ia justru lebih banyak dikenal karena posternya daripada sosok kepribadian dan pemikirannya. Namun dalam tulisan ini, saya tidak berusaha mengikuti dan melanjutkan trend yang sudah ada tersebut. Tidak juga untuk menjadikannya sebagai Messiah sejati bagi perjuangan rakyat tertindas. Saya hanya akan menempatkannya sebagai sosok Che selayaknya manusia biasa yang memiliki cita-cita.

Che Guevara adalah salah satu pejuang Marxis dari Amerika Latin yang lahir di Rosario, Argentina pada 14 Juni 1928. Ia berumur cukup pendek, 39 tahun, setelah tentara Bolivia menangkapnya pada tanggal 8 Oktober 1967 dan menembaknya sehari kemudian. Pada awalnya, Che tidak langsung menjadi seorang pejuang sebagaimana yang kita kenal sekarang. Ia awalnya hanya seorang pemuda biasa yang hobi membaca di ruang makan. Ia mulai bersimpati dengan orang-orang yang tertindas di masanya, setelah mengalami apa yang disebut dengan “pengalaman material” hingga kemudian menjadikannya seorang gerilyawan. Akumulasi “pengalaman material” itu didapatkannya melalui observasi realitas sosial secara langsung. Juga, menyelaminya melalui berbagai kegiatan bersama masyarakat Amerika Latin. Dengan begitu, sebenarnya Che memulai jalan perjuangan lewat sesuatu yang sederhana, yaitu empati kepada sesama. Ini membuat saya menjadi teringat dengan perkataan salah satu dosen, bahwa untuk menjadi seorang Kiri itu mudah, hanya modal empati dan rasa kemanusiaan. Tentu, itu untuk awalnya.

Namun demikian, melihat pengalaman Che, kita tak akan bisa menjadi seorang yang revolusioner dan mengubah kondisi dunia hanya dengan empati saja. Itu modal yang penting, tapi bukan segalanya. Karena bila demikian, kita hanya menjadi penonton dalam kehidupan ini, bertindak altruis, dan terjebak dalam makian yang bersifat moralis. Kerja keras untuk selalu menjadi yang terbaik adalah kuncinya. Pengembangan diri secara terus menerus untuk menjadi kualitas pribadi yang lebih baik harus terus digiatkan. Sebagaimana suratnya kepada salah satu anaknya, Hildita, ia berpesan tentang usaha tersebut. ...Kau harus berjuang diantara yang terbaik di sekolah. Terbaik dalam setiap pengertian, dan kau sudah mengetahui apa artinya ini: belajar dan sikap revolusioner. Dengan kata lain: tindak-tanduk yang baik, kesungguhan, cinta pada revolusi, persaudaraan, dsb” (Surat Kepada Hildita, 1966).  


Perjuangan untuk meningkatkan diri itu tidak mudah, memang. Peningkatan kualitas selalu disyaratkan oleh peningkatan kuantitas, mungkin membaca, mungkin belajar memahami realitas sosial, mungkin kapasitas berorganisasi dan sebagainya. Karl Marx, salah satu orang biasa dari Jerman, menyinggung hal ini bahwa perjuangan untuk membersamai mereka yang tertindas, kemudian ikut terlibat dalam perjuangan pembebasannya, bukanlah jalan yang mudah. Selain secara pengalaman fisik itu melelahkan, ia juga membutuhkan perjuangan yang keras di lapangan intelektual. Pengetahuan! Karena tanpa ada pengetahuan yang memadai, tidak akan ada perjuangan yang memadai pula. Untuk itu, There is no royal road to science, and only those who do not dread the fatiguing climb of its steep paths have a chance of gaining its luminous summits”, begitu katanya dalam kata pengantar di Kapital I edisi Perancis. Tetapi, tak ada usaha yang tak membuahkan hasil. Dengan usaha terus menerus itu, dari itu kita bisa mendapatkan pembacaan yang tepat secara ilmiah bagaimana perjuangan itu harus dilakukan.

Berikutnya, bila kita belajar dari pengalaman hidup Che, maka aspek penting dalam kehidupan ini adalah praktek. Che menyadari bahwa perjuangan yang hanya dilamunkan saja, atau hanya didebatkan saja, tidak mengubah keadaan. Ia perlu dipraktekan dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini, ia berusaha melakukan apa yang sering disebut sebagai “praksis”. Itu mengacu pada sebuah usaha untuk menggabungkan teori dan praktek di medan perjuangan. Menurut saya, Che cukup bagus untuk menggambarkan hal demikian. Ia bisa menjadi teladan bagi semua yang sedang belajar dan bercita-cita bisa seperti itu.

Di bidang filsafat pun, hal demikian telah menjadi perdebatan. Tepatnya menjadi salah satu kritik Marx terhadap filsuf di jamannya. Dan mungkin, juga untuk pemikir sekarang, Katanya, “Filsuf mungkin dapat mengintepretasikan dunia dengan berbagai jalan, namun yang menjadi lebih penting dari itu, adalah mengubahnya!” (Theses on Feuerbach XI, 1845). Itulah aspek penting dari praksis. Dan, mungkin itu yang bisa kita pelajari dari sosok Che.

Tetapi ingat, supaya tidak menjadi super hero di siang bolong, kemampuan untuk berpraksis ini harus dilakukan secara kolektif dan teorganisir agar memiliki daya dobrak yang lebih baik. Seperti kalimat yang sering diungkapkan orang-orang Tarbiyah, “kebaikan yang tidak teorganisir, akan kalah oleh kejahatan yang terorganisir”, adalah benar. Jadi bila ingin berpraksis, maka perlu berorganisasi, Kiri tentunya. 

Tak ketinggalan, menjadi sangat menarik dari Che adalah saat ia juga memperhatikan anak-anaknya dengan cinta yang signifikan. Ia menjadi seorang ayah seperti umumnya, dengan cinta, kasih sayang dan perhatian layaknya manusia lumrahnya. Itu bisa dilihat dari surat-suratnya kepada anak-anaknya. Karena bagaimanapun, seorang pejuang apalagi seorang Marxis ia tetaplah seorang manusia. Ia juga bisa mencintai dan dicintai. Artinya, ini menjadi pelajaran penting bagi kita, bahwa yang belajar tentang politik Kiri bagaimanapun tetap manusia. Nggak usahlah sok-sok menjadi jomblo abadi, dengan dalih membela mereka yang tertindas. Apalagi memegang prinsip, “tak beranjak berpacaran sebelum revolusi datang”. Itu sangat naif, Bro. Berpacaranlah bila sudah ada materialnya (baca: calon yang mau), dan tahanlah bila belum ada yang mau. So, tetap Kiri tapi jangan lupa piknik.

Begitulah refleksi saya yang berusaha menempatkannya sebagai sosok yang bisa dipelajari, tak lebih dari itu. Ia bukan Nabi, Wali ataupun sosok Ratu Adil. Semoga, pelajaran-pelajaran itu memacu untuk kehidupan yang lebih baik, minimal secara pribadi. Syukur-syukur bila dipraktekkan untuk sebuah cita dalam perjuangan mengubah masyarakat yang lebih adil dan setara. 

Terakhir, Salam Olahraga!, karena begitu banyak orang Kiri (tapi gak hanya yang Kiri aja sih!) yang rajin merokok, ngopi dan diskusi, namun kurang Olahraga. Jantungmu lho, Mas/Mbak. Perjuangan ini masih panjang! Sekian. :D
             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar