Jumat, 31 Juli 2015

Gerakan Pekerja Tanpa Tanah (Landless Workers Movement) di Brazil

Oleh Rizal Assalam
Mahasiswa Ilmu Politik dan anggota SEMAR UI

Perubahan politik di Brazil melalui ‘Abertura’ yang dimulai pada periode pemerintahan Ernesto Geisel (1974-1979) dan dilanjutkan oleh Figuierido (1979-1985)  memberikan ruang bagi pergerakan kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalisasi dan direpresi oleh rezim. Melalui Abertura’ gerakan Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) atau Landless Workers Movement muncul pertama kali pada tahun 1984. Gerakan ini pertama kali dimulai melalui okupasi properti dari Macali dan Brilhante di Kabupaten Ronda Alta, Negara Bagian Rio Grande do Sul pada tahun 1979.  Okupasi ini kemudian tersebar sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas. Kemudian, pada tahun 1984 tiap pihak yang terlibat dalam land occupations melakukan pertemuan dan mendeklarasikan apa yang disebut sebagai Movement of Landless Workers.

Menurut Wright dan Wolford (2003) dan dokumen resmi dari MST, gerakan tersebut merupakan gerakan paling efektif dan terbesar.  Tujuan gerakan ini dalam tataran idealisme adalah untuk membentuk resistensi terhadap kapitalisme dan mentransformasikan economic struggle menjadi perjuangan politik dan ideologis. Sementara itu, dalam tataran praksis tujuan MST adalah untuk mewujudkan reformasi agraria berkeadilan dan membangun masyarakat yang adil dan berbasis pada persaudaraan.

Pada awal kemunculannya, yang diperjuangkan oleh gerakan ini adalah mengenai redistribusi kepemilikan tanah.  Kepemilikan tanah terkonsentrasi pada segelintir pihak: di tahun 1985, 80 persen kepemilikan tanah berada di tangan 10 persen tuan tanah.  Hal ini merupakan implikasi dari restrukturisasi agrikultur pada tahun 1970 yang menghasilkan landless class. Restrukturisasi agrikultur melalui industrialisasi secara bertahap yang dimulai pada tahun 1960 merusak model pengelolaan tanah secara kekeluargaan (famility-managed farming).

Pada perkembangannya, krisis yang dihadapi oleh Brazil mengimplikasikan integrasi ekonomi nasional Brazil ke dalam struktur perekonomian internasional (atau dalam kata lain, globalisasi) terutama pada tahun 1980an akhir dan awal 1990an. Integrasi yang mendorong perekonomian kapitalisme ini merupakan prasyarat bagi IMF untuk memberikan bantuan finansial kepada pemerintahan Brazil, seperti hak privatisasi, deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan, pemotongan anggaran sosial, dan dorongan investasi asing. Restrukturisasi perekonomian ini kemudian lebih bias kepada investor asing dan menciptakan gap antara the rich dan the poor. Sistem perekonomian yang lebih bersifat kekeluargaan menjadi tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal internasional yang kemudian justru melahirkan pengangguran. Permasalahan-permasalahan ini yang kemudian menjadi latar belakang Landless Workers Movement.

Sistem yang dibangun oleh gerakan ini lebih berdasarkan sifat kerja sama (kooperatif) melalui Sistema Cooperativista dos Assentados (SCA). Tanah-tanah yang diokupasi dikelola ke dalam produksi kooperatif untuk kepentingan sosial yang lebih luas.  Berkaitan dengan hal tersebut, SCA ini dimanifestasikan melalui pengorganisasian tanah-tanah yang dikelola berdasarkan unit-unit produksi. Perwakilan tiap unit-unit produksi ini membentuk suatu majelis dalam pengambilan keputusan secara demokratis dengan prinsip manajemen kolektif.

Dalam kerangka kooperatif, tiap unit-unit produksi (baik kepemilikan secara kekeluargaan atau kolektif) memberikan sumbangan tiga persen dari hasil produksinya sebagai sumber pemasukan gerakan. Selain itu, besaran atau nominal sumbangan yang diberikan dapat dimusyawarahkan. Sumber pemasukan lainnya adalah melalui donasi, baik melalui bantuan dari UNESCO maupun dari jaringan ”Friends of th MST”. Pemasukan yang didapatkan oleh gerakan tersebut digunakan tidak hanya untuk membiayai setiap protes atau demonstrasi, melainkan juga untuk bantuan-bantuan sosial, seperti anggaran kesehatan dan pendidikan bagi tiap anggotanya. Sistem yang dibangun oleh gerakan ini merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat sosialis, yaitu di mana “... the means of production are shared”

Hal yang menarik berkaitan dengan permasalahan yang menjadi latar belakang gerakan dengan sistem gerakan tersebut adalah mengenai status kepemilikan tanah. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pergeseran orientasi perjuangan gerakan yang semula untuk memperjuangkan redistribusi kepemilikan tanah menjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Okupasi kepemilikan tanah yang dilakukan oleh gerakan ini berdasarkan penilaian bahwa tanah tersebut dianggap produktif, sehingga dikelola oleh komunitas. Okupasi ini mendapatkan justifikasi dari konstitusi Brazil yang membenarkan pengelolaan tanah yang tidak produktif untuk kepentingan umum. Selain itu, Mahkamah Agung (Supreme Court) menilai bahwa okupasi tanah-tanah tidak produktif bukan merupakan suatu tindakan kriminal dan negara berkewajiban untuk mengambilalih tanah yang dibiarkan tidak produktif oleh pemilik tanah. Klaim okupasi oleh gerakan ini pada perkembangannya mengalami hambatan melalui integrasi perekonomian Brazil ke dalam perekonomian internasional melalui neoliberalisme. Orientasi kebijakan pemerintah yang lebih memberikan keuntungan kepada pemodal asing seperti melalui hak privatisasi, menjadi hambatan bagi komunitas untuk mengelola tanah dan melakukan reformasi agraria berbasiskan kepemilikan komunal.

Secara keseluruhan, gerakan ini—sebagaimana disebutkan sebelumnya—dapat dikatakan sebagai gerakan yang paling efektif dan terbesar di Brazil. Hal ini berdasarkan indikator peningkatan intensitas dan keterlibatan dalam gerakan. Selain itu, gerakan ini mendapatkan simpati yang luas, baik dari kalangan domestik maupun pengakuan secara internasional. Dengan menyesuaikan dengan konteks permasalahan, gerakan komunitas tidak hanya sebatas melakukan okupasi dan pengelolaan tanah dalam kerangka kooperasi, melainkan juga menarik perhatian media dan simpati dari kalangan yang lebih luas seperti melakukan parade, marching dan membangun jaringan untuk membangun solidaritas dan simpati. Hal ini seperti pada kedatangan komunitas di Brasilia pada tahun 1997 melalui gerakan National March for Land Reform selama sekitar 2 bulan sebagai invasi simbolik. Tujuan gerakan ini adalah untuk “to open channels of communication with society” dan menunjukkan bahwa pemerintah lebih menaruh perhatian pada “only to interest of the elites and the big international economic groups”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar