Oleh Ausof Ali Athiyyah
Judul Buku :
Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak
Muda Awal 1970-an
Penulis :
Aria Wiratma Yudhistira
Penerbit : Marjin Kiri,
Kota terbit : Tangerang
Tahun terbit : 2010
Tebal :
xxi + 161 Halaman
Sejarah adalah salah satu alat
legitimasi kekuasaan. Perspektif penulisan sejarah yang dipilih akan menjadi
akar identitas suatu kelompok masyarakat. Orde Baru mampu melanggengkan
kekuasaannya selama 32 tahun di atas sebuah narasi sejarah yang mereka ciptakan
sendiri dan mereka tanamkan sebagai sebuah kebenaran pada masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, diperlukan sejarah alternatif yang menjadi pembanding bagi
narasi sejarah Orde Baru. Pembanding ini diperlukan untuk melihat sisi lain
dari narasi yang mereka bangun. Penulisan sejarah ‘tandingan’ ini adalah salah
satu bentuk perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan dan pengungkapan realita
yang terjadi. Pada kesempatan ini saya akan mengulas sebuah buku berjudul Dilarang
Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda Awal 1970-an,sebuah
buku yang mencoba menghadirkan sisi lain dari politik Orde Baru yang selama ini
tercitrakan sebagai masa yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Buku ini sejatinya adalah sebuah skripsi yang diselesaikan oleh Aria
Wiratma Yudhistira saat menyelesaikan studinya di Jurusan Sejarah Universitas
Indonesia. Skripsi ini termasuk salah satu karya yang fenomenal di kalangan
mahasiswa Sejarah UI, bahkan sampai sekarang, karena keunikan temanya yang
membahas perihal rambut dan pengaruhnya terhadap kondisi sosial-politik saat
itu. Siapa sangka permasalahan rambut mampu menjadi pemicu keretakan hubungan
sipil dengan militer. Lalu, dari permasalahan ini pula mahasiswa yang sedari
awal ikut andil dalam terbentuknya Orde Baru mulai merongrong kekuasaan Orde
Baru itu sendiri. Buku Dilarang Gondrong! ini adalah bukti
nyata bagaimana tindak tanduk Orde Baru dalam melakukan represi terhadap setiap
aspek kehidupan masyarakat demi sebuah kondisi ideal bernama stabilitas
politik.
Orde Baru dan konstruksi ‘Anak-Anak Pembangunan’
Pada bab awal bukunya, Yudhistira terlebih dahulu menjelaskan bagaimana
Orde Baru memandang hubungannya dengan anak muda Indonesia karena dari sini
kita akan mampu melihat bagaimana Orde Baru mempratikkan kekuasaannya terhadap
mereka. Terlebih, pandangan penguasa Orde Baru ini berguna untuk menganalisis
logika mereka dalam menangani isu rambut gondrong ini.
Saya Siraishi dalam studinya tentang jalinan kekuasaan di Indonesia pada
masa Orde Baru mengatakan bahwa Indonesia dibangun selayaknya sebuah keluarga
besar. Dalam sebuah keluarga terdapat ‘Bapak’, ‘Ibu’ dan ‘Anak’, dan Soeharto
menempatkan dirinya sebagai ‘Bapak Tertinggi’ atau Supreme Father di
Indonesia.[1] Sebagaimana yang dikonsepkan dalam
sebuah keluarga pada umumnya, ‘Bapak’ berperan sebagai pembina rumah tangga
yang harus menjaga keluarganya dari ancaman luar, membangun keluarganya secara
harmonis, dan membina anaknya agar sesuai dengan nilai dan norma yang
dianutnya. Lalu, anak sebagai pewaris nilai dan penerus keluarga harus lah
mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang tuanya. Seorang anak juga harus
patuh, taat, dan hormat kepada orang tuanya. Jadi, anak-anak muda Indonesia
yang berposisi sebagai ‘Anak’ mestilah menuruti kebijakan sang ‘Bapak’, tidak
boleh banyak protes, harus taat, hormat dan menunaikan segala kewajibannya
sebagai ‘Anak’.
Lewat paradigma inilah anak-anak muda masa Orde Baru yang disebut sebagai
anak-anak pembangunan, tumbuh dan berkembang. Mereka ditanamkan berbagai macam
nilai mengenai sikap hormat, kepatuhan, dan menerapkannya kepada orang yang
lebih tua sebagaimana yang diajarkan dalam budaya Jawa. Contoh penerapan sikap
hormat pada orang tua: seorang remaja harus mampu memposisikan dirinya dengan
tepat saat berhadapan dengan orang yang lebih tua, mampu memilih kosakata yang
tepat saat berbicara, dan mengamalkan tata karma yang telah dikonsepkan sesuai
dengan budaya adiluhur.[2]
Istilah remaja adalah istilah yang gencar digunakan kekuasaan Orde Baru
dalam menyebut anak muda. Istilah ini digunakan untuk mengganti sebutan
‘Pemuda’ yang biasa digunakan pada masa-masa sebelumnya. Secara umum, ‘Remaja’
dan ‘Pemuda’ memiliki kesamaan definisi. Istilah-istilah ini mendefinisikan
seseorang atau kelompok masyarakat yang berada pada masa peralihan dari
anak-anak menuju dewasa. Namun, secara konotasi, terdapat perbedaan diantara
kedua istilah ini. Istilah ‘Pemuda’, terutama dalam berbagai referensi Sejarah
Indonesia Modern, dikonotasikan dengan aktivitas politik sehingga Orde Baru
yang sangat menjaga stabilitas nasional untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonominya sangat sensitif dengan istilah ini. Oleh sebab itu, Orde Baru
melakukan redefinisi terhadap anak muda sebagai upaya depolitisasi anak muda.
Yudhistira menjelaskan hal ini seperti berikut:
“…Kegiatan politik yang melibatkan orang muda terbatas hanya pada
kalangan pelajar yang disebut mahasiswa. Anak muda (laki-laki maupun perempuan)
didefinisikan kembali dari istilah pemuda, yang memiliki konotasi politik dan
bersifat revolusioner sebagaimana pada periode-periode sebelumnya, menjadi
remaja atau yang pada periode 1990-an disebut ABG (Anak Baru Gede). Remaja
digambarkan sebagai kumpulan orang belum matang, cenderung bergerombol,
kadangkala menggunakan seragam sekolah, tidak disiplin gampang naik darah,
liar, dan yang terutama menjadi bagian yang tidak penting (Shiraishi, 2001:
237)”[3]
Dari penjelasan di atas, kita bisa melihat bagaimana Orde Baru berusaha
menghilangkan potensi anak muda untuk berpolitik dan ikut campur masalah
‘pembangunan’ dengan mereduksi arti keberadaan mereka. Upaya depolitisasi ini,
kembali lagi, bertujuan untuk menjaga stabilitas nasional dan melanggengkan
kekuasaan. Upaya ini hanyalah satu dari sekian cara Orde Baru melakukan
depolitisasi terhadap rakyatnya. Depolitisasi adalah cara yang jamak digunakan
Soeharto selama masa Orde Baru. Contoh lain upaya depolitisasi adalah
Normalisasi kehidupan kampus (NKK/BKK).
Pertumbuhan Ekonomi Harga Mati!
Soeharto mewarisi permasalahan ekonomi yang sangat berat saat mengambil
alih kursi Presiden dari Soekarno. Tingkat inflasi telah mencapai 650% pada
tahun 1966, pendapatan masyarakat rata-rata per kepala (pendapatan per kapita)
hanya US$ 70 per tahun dan utang luar negeri yang harus dibayar berjumlah US$
2,2 miliar.[4] Untuk memulihkan kondisi ini, ia
membentuk sebuat tim perumus kebijakan ekonomi yang dikemudian hari dikenal
dengan ‘Mafia Berkeley’[5] yang beranggotakan Widjojo
Nitisastro, Ali Wardhana, Emil Salim, Soebroto, dan Mohammad Sadli. Kontak
Soeharto dengan para ekonom Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia itu sudah
dimulai sejak ia mengikuti kursus ilmu ekonomi dan pengetahuan sosial lainnya
di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad).[6] Tim teknokrat inilah yang kemudian
menjadi think tank kebijakan ekonomi Orde Baru. Bila pada Orde
Lama Soekarno memiliki jargon ‘Politik sebagai panglima’ maka pada masa Orde
Baru jargon itu berubah menjadi ‘Ekonomi sebagai panglima’.[7]
Berdasarkan TAP XXIII/MPRS/66, program jangka pendek yang harus dilakukan
oleh pemerintah adalah pengendalian inflasi, pencukupan kebutuhan pangan,
rehabilitasi prasarana perekonomian, dan peningkatan kegiatan ekspor.[8] Untuk menjalankan program-program
ini dibutuhkan cadangan kas yang besar. Oleh karena itu, pemerintah kemudian
membuat sebuah undang-undang yang menjadi regulasi pendukung untuk mencari
sumber dana seluas-luasnya, yaitu Undang-undang Penanaman Modal Asing.
Undang-undang Penanaman Modal Asing Nomor 1 Tahun 1967 berisikan persyaratan-persyaratan
liberal bagi keterlibatan perusahaan asing dan dana luar negeri untuk
mempercepat pembangunan ekonomi di Indonesia.[9]
Namun, kebijakan investasi terbuka ini tidak akan berjalan tanpa adanya
hubungan yang baik dengan dunia internasional. Maka dari itu, Indonesia dibawah
rezim Orde Baru kemudian mulai memperbaiki hubungan mereka dengan Malaysia
–yang sebelumnya meregang akibat konfrontasi ‘Ganyang Malaysia’– lalu Indonesia
juga ikut serta dalam keangotaan International Monetery Fund (IMF)
dan Bank Dunia sebagai usaha untuk memperbaiki impresi di mata dunia. Bila pada
masa Soekarno dikenal ‘ekonomi terpimpin’ maka pada masa Soeharto disebut sebagai
‘Kapitalisme Terpimpin’.[10]
Untuk memaksimalkan pembangunan ekonomi maka kondisi politik harus bisa
dikuasai. Orde Baru menilai sebab dari kekacauan politik yang terjadi selama
kepemimpinan Soekarno adalah terlalu kuatnya pengaruh partai dalam kehidupan
masyarakat. Supremasi partai nyatanya, menurut mereka, membawa perpecahan dan
instabilitas. Kaum Islam dinilai membawa gerakan Darul Islam, kaum Nasionalis
Moderat seperti PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Masyumi memicu
pemberontakan PRRI-Permesta, Komunisme sama sekali membawa kekacauan dan
Nasionalis PNI dianggap tak mampu membawa kesejahteraan pada rakyatnya.
Demokrasi Liberal dan Terpimpin mereka nilai sebagai demokrasi yang tidak
sesuai dengan UUD 1945 dan Pancasila karena perjuangan mereka didasarkan atas
kepentingan golongan bukan atas dasar kepentingan rakyat Indonesia.[11] Atas dasar itu Orde Baru kemudian
menjadikan Angkatan Darat sebagai kekuatan utama dalam membangun Demokrasi yang
mereka namakan ‘Demokrasi Pancasila’.
Untuk mempertahankan Demokrasi ini maka Orde Baru perlu membendung
ideologi-ideologi yang mendominasi sebelumnya. Komunisme telah lebih dulu
mereka berangus lewat serangkaian pembantaian. Ideologi lainnya seperti Islam,
Sosialisme, dan Nasionalisme Moderat dibendung dengan cara mematikan
partai-partai politik yang menjadi wadahnya. Salah satu langkah Orde Baru dalam
mematikan partai adalah mengebiri peran tokoh-tokoh yang berpotensi mengganggu
kekuasaan Orde Baru dan supremasi militer lewat Operasi khusus yang dipimpin
Ali Moertopo.[12]
Usaha untuk meningkatkan pendapatan nasional dan meningkatkan produksi
menjadi prioritas utama pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah.
Pertumbuhan ekonomi kemudian melahirkan orang-orang kaya baru yang menjadi
penikmat pertumbuhan ekonomi Orde Baru. Orang-orang kaya baru ini adalah
aparatur birokrasi pemerintahan, perwira militer, professional yang bersentuhan
dengan perusahaan nasional besar dan asing.[13] Golongan kaya baru ini kebanyakan
tinggal di kota-kota besar, menjadi agen westernisasi karena merekalah yang
memiliki akses luas pada informasi yang tersebar di majalah-majalah, televisi
dan radio. Pada era akhir 60-an hingga 70-an ini salah satu budaya barat yang
popular adalah budaya Hippies.
Budaya Hippies Amerika Serikat dan Indonesia
Budaya Hippies adalah salah satu gerakan counter-culture yang
berkembang di Amerika Serikat pada era 1960-an. Gerakan ini lahir sebagai
antitesis dari generasi sebelumnya yang dinilai telah jauh dari alam tempat
mereka berasal. Menurut mereka manusia modern telah dibutakan oleh ambisi
menaklukkan, perang, dan menang.[14] Oleh karena itu kemudianHippies dikenal
sebagai gerakan ‘Kiri Baru’. Budaya Hippies yang menjunjung
kebebasan individu ini identik dengan rambut panjang, perilaku seks bebas,
penggunaan narkotika, dan busana yang lebar dengan warna mencolok. Secara
ideologi, pelaku budaya Hippies ini terbagi dalam tiga
kategori. 1) Head, yang merupakan pengejawantahan dari
ideologi ini. 2)Weekenders, yaitu kelompok yang pada awalnya menjadi
pelaku namun di lain waktu tidak. 3)Plastic Hippies, yaitu orang-orang
yang hanya ikut-ikutan memanjangangkan rambut, melakukan seks bebas, dan
melakukan budaya Hippies lainnya namun tidak memahami
substansinya (Hlm.44). Budaya ini melanda seluruh dunia berkat produk budaya Amerika Serikat yang menjangkau negara-negara lain, tak terkecuali Indonesia.
Meskipun budaya barat telah masuk sejak era Soekarno, namun westernisasi
budaya paling cepat berkembang pada masa Orde Baru. Merebaknya budaya Hippies di
Indonesia juga disebabkan oleh praktik depolitisasi anak muda oleh Orde Baru.
Anak-anak muda yang kehilangan orientasi ini pun menjadi sangat mudah
terpengaruh karena kehilangan identitas. Mereka gandrung dengan apa yang sedang
popular pada zamannya. Saat Hippies berkembang saat itu pula
ia ditiru oleh anak muda masa itu. Namun, terdapat perbedaan antara Hippies di
Amerika Serikat dengan yang di Indonesia. Bila dikategorikan, mayoritas pelaku
budayaHippies di Indonesia adalah kategori Plastic Hippies.
Mereka meniru Hippies di Amerika hanya sebatas kulitnya saja.
Banyak anak muda yang kemudian berambut gondrong, menggunakan busana longgar
dan mencolok, bahkan sebagian dari mereka memakai narkotika dan melakukan seks
bebas tanpa memahami apa yang menjadi nilai dasar dari perilaku ini.
Sebagaimana menurut Yudhistira,
“Anak-anak muda Indonesia pada waktu itu hanya meniru penampilan luar dari
gaya hidup yang berlangsung di Barat. Sedangkan nilai-nilai ideologis yang
melekat pada gaya symbol hidup tersebut tidak ikut ditirumeskipun rambut
gondrong sebagai simbol kebebasan, namun mereka berambut gondrong bukan
semata-mata ingin menunjukkan kebebasannya, melainkan karena itu merupakan mode
yang sedang ngetrend saat itu.”[15]
Meskipun budaya ini dipraktikkan sebagai budaya popular semata namun Orde
Baru melihat perilaku anak muda Hippies ini sebagai ancaman
yang perlu ditertibkan. Perilaku HippiesIndonesia ini pun langsung
mendapat tanggapan dari pemerintah. Hippies yang
diidentifikasi sebagai gerakan ‘Kiri Baru’ dianggap menjadi potensi berbahaya,
meskipun anak-anak muda pelaku Hippies ini adalah bentukan
dari kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Rata-rata anak muda yang menerapkan
budaya Hippies adalah anak muda dari keluarga menengah ke atas
yang dihuni oleh pejabat pemerintahan, aparatur negara, bahkan petinggi
militer. Mereka lah yang memiliki akses informasi dan modal lebih besar
dibandingkan anak muda lainnya. Pada akhirnya, untuk menjegal agar budaya ini
tidak berkembang di Indonesia maka diberlakukan lah kebijakan yang
memperlihatkan praktik kekuasaan yang sangat mendominasi, bahkan hingga urusan
rambut.
Anak Muda vs Orang Tua
Selain mendefinisi ulang anak muda, usaha lain Orde Baru untuk
mendepolitisasi anak muda adalah dengan mewacanakan mereka sebagai ‘harapan
masa depan bangsa’. Anak muda diposisikan sebagai calon pewaris bangsa sehingga
mereka harus mewarisi idealisme dan melanjutkan cita-cita pembangunan Orde
Baru. Oleh sebab itu, tanggung jawab orang tua adalah membina, mengontrol, dan
menjaga anak mereka agar mereka tumbuh sesuai dengan gagasan-gagasan orang tua.
Anak muda harus terlepas dari sikap huru-hara, sikap memberontak, dan sikap
kritis terhadap pemerintahan.[16]
Pewacanaan ini berakibat pada opini orang tua terhadap pemuda. Orang-orang
tua pada masa Orde Baru, yang mengalami masa Orde Lama yang heroik dan penuh
perjuangan fisik, memiliki kecemasan pada anak-anak muda pada masa itu yang
dinilai tidak memiliki jiwa patriotisme, hanya bersenang-senang, dan tidak
memuaskan. Pada masa Orde Lama orang-orang tua ini hidup di masa penuh
pergolakan. Mereka mengalami masa muda yang penuh dengan intrik dan perjuangan.
Tentunya pengalaman historis ini jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang
‘aman’, stabil, dan tidak ada musuh seperti kolonialisme-imperialisme, atau
pemberontakan separatisme seperti yang terjadi pada masa Orde Lama. Hal ini
berakibat pada opini mereka terhadap anak muda masa Orde baru. Menurut mereka,
anak muda masa Orde Baru telah dirasuki oleh budaya barat sehingga mengalami
dekadensi moral.[17]
Atas dasar opini ini, orang-orang tua merasa anak muda perlu diselamatkan,
terutama dari budaya-budaya barat yang bertentangan dengan budaya bangsa.[18] Dalam hal ini Yudhistira
mencontohkan banyak opini di koran-koran, seminar-seminar, juga simposium dalam
merespon permasalahan anak muda masa itu. Contohnya pada halaman 87 Yudhistira
mengutip sebuah artikel dari Antara tanggal 24 Desember 1971
yang meliput sebuah simposium yang diadakan Taman Siswa di Yogyakarta. Dalam
simposium tersebut muncul kesimpulan untuk menertibkan tingkah laku anak dengan
cara:
- Ucapan-ucapan, cara berpakaian
dan tindak tanduk yang perlu ditertibkan begitu rupa, sehingga iklim
kesusilaan sebagai ciri khas bangsa yang menjungjung tinggi nilai
kebudayaan yang berasaskan Ketuhanan yang Maha Esa tidak ternodai oleh
perbuatan yang tercela.
- Pemberian pengertian tentang
buruknya pengaruh segala macam perjudian, penggunaan alkohol dan narkotika
yang pada saat sekarang sedang derasnya melanda peri kehidupan generasi
muda.
- Menghindarkan anak-anak dari
pengaruh jelek yang diperankan oleh bacaan-bacaan, film-film dan tontonan
lainnya, dimana segi-segi moral dan mental Pancasila dikalahkan oleh
keinginan mendapatkan uang dan materi lainnya.
- Mengenai pendidikan mental,
moral dan budi pekerti supaya ditangani begitu rupa, sehingga kebutuhan
dan kemampuan jiwa para anak didik merasakan manfaatnya berupa peningkatan
kemampuan berpikir.
Wacana ini direspon oleh anak muda yang merasa orang tua lebih kacau dari
mereka. Orang-orang tua menuntut anaknya untuk hidup sesuai norma, menjauhi
seks bebas, berperilaku jujur padahal mereka sendiri tidak berlaku sesuai
dengan apa yang mereka tuntut. Ketika ditanya apakah generasi mudanya
lebih brengsek daripada generasi orang tuanya mereka menjawab,
“Orangtua lah yang membuat mereka jadi brengsek. Anak-anak muda yang brengsek,
kebanyakan hanya meniru orang tuanya yang lebih brengsek lagi.. Siapakah
penonton striptease di nite club kalau bukan
orang-orang tua berduit? Siapa yang membawa gadis-gadis muda ke Puncak, kalau
tidak orang-orang tua yang beruang? Pada akhirnya anak-anak muda lah yang kena
getahnya dengan di-cap sebagai yang paling brengsek”[19]
Begitu pula saat orang tua mempermasalahkan rambut gondrong yang dianggap
tidak mencerminkan kepribadian bangsa dan mengganggu ketertiban masyarakat.
Anak muda membalas dengan mempermasalahkan perilaku korupsi, judi, dan
prostitusi yang dilegalkan padahal jauh lebih mengganggu daripada rambut
gondrong.
Wacana Rambut Panjang dan Instabilitas Nasional
Rambut panjang yang menjadi gaya khas anak muda Hippies mulai
menjadi wacana serius di Indonesia pada awal 70-an. Dalam media-media cetak
tahun 70-an kita akan melihat berita-berita kriminal yang diidentikkan dengan
rambut gondrong. Pada halaman 103-104 Yudhistira membeberkan contoh pemberitaan
mengenai kriminal yang mengidentifikasi pelaku kejahatan berambut
gondrong. Framing media cetak saat itu memang menjelekkan
citra orang-orang yang berambut gondrong sehingga ‘rambut gondrong’ dianggap
sebagai hal yang buruk. Permasalahan rambut gondrong ini kemudian menjadi
ketakutan orang tua akan masa depan anak mereka yang dinilai terpengaruh oleh
kehidupan barat yang bebas.
Atas dasar itu lah kemudian pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan
dilarang gondrong. Setiap pelajar sekolah wajib memangkas rambutnya gaya ABRI,
orang yang gondrong tidak akan dilayani di dinas pemerintahan, bahkan
artis-artis yang berambut gondrong dilarang untuk tampil di TVRI! Gencarnya
pemerintah dalam menindak rambut gondrong kemudian menjadi polemik tersendiri
bagi pemerintah. Banyak pro-kontra mengiringi kebijakan ini. Pendapat kontra
berdalih mengenai ‘apa definisi gondrong?’, ‘sepanjang apa sebuah rambut
dikatakan gondrong?’ Berbagai perdebatan meramaikan media harian seperti Kompas,
Sinar Harapan, Pos Kota, bahkan melibatkan akademisi, budayawan hingga
Gurbernur.
Aksi anti rambut gondrong yang dilakukan pemerintah secara ekstrem adalah
razia rambut gondrong. Razia ini tidak hanya melibatkan badan khusus yang
menangani rambut gondrong namun juga polisi dan tentara. Razia dilakukan secara
besar-besaran dan masif di pinggir jalan seperti razia surat kelengkapan
berkendara. Di kota-kota besar, orang yang kedapatan berambut gondrong akan
dicukur di tempat oleh aparat. Razia rambut gondrong semakin gencar dilakukan
karena pemerintah menargetkan akan bersih dari rambut gondrong pada tahun 1973.[20]
Puncak ketegangan terjadi pada September 1970 di Bandung di gelar operasi
razia yang dilakukan oleh taruna AKABRI (Akademi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia). Dalam razia itu banyak mahasiswa ITB yang terkena razia sehingga
banyak muncul protes di Kota Bandung. Untuk mendamaikan aksi protes dilakukan
lah pertandingan persahabatan sepak bola antara mahasiswa dengan taruna.
Sayangnya, pertandingan ini berakhir ricuh dan menimbulkan bentrok
berkepanjangan. Ketegangan ini berujung pada kematian salah satu mahasiswa ITB
yaitu Rene Louis Coenraad yang kematiannya diperingati sebagai Peristiwa 6
Oktober 1970.
Atas peristiwa ini kemudian pemerintah dan militer mendapat kecaman keras
dari mahasiswa di berbagai universitas. Tidak hanya mempermasalahkan soal
rambut lagi, mahasiswa mulai menyerang isu-isu lain, seperti kesewenangan ABRI,
perenggutan kebebasan sipil, eksploitasi negara oleh asing, sampai megaproyek
miniatur Indonesia, Taman Mini Indonesia Indah. Isu rambut gondrong yang
berujung pada tewasnya salah satu mahasiswa Indonesia menjadi titik balik
perseteruan mahasiswa dengan militer yang telah terbina baik sejak era Orde
Lama. Pergolakan mahasiswa yang menjadi ancaman sesungguhnya bagi stabilitas
politik Indonesia ke depannya berawal dari masalah remeh seperti rambut
gondrong. Terbukti, tiga tahun setelah peristiwa 6 Oktober 1970 pecahlah
Malapetaka 15 Januari 1974, lalu disusul dengan bentrokan militer dengan ITB
tahun 1978, dan berakhir dengan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus
(NKK/BKK).
Penutup
Pada dasarnya, buku ini bukan hanya ingin melihat wacana rambut gondrong
sebagai awal mula ketegangan antara sipil dengan militer. Buku ini juga ingin
melihat bagaimana kekuasaan dipraktekkan oleh Orde Baru, khususnya terhadap
anak muda yang akan menjadi penerus generasi tua. Anak muda, yang sebelumnya
menjadi katalis gerakan rakyat, secara sistematis dimatikan potensinya. Mereka
dijauhkan dari kehidupan berpolitik dengan cara memposisikan mereka sebagai
pewaris idealisme pembangunan Orde Baru.
Lewat penjelasannya yang runut kita mampu melihat cara Orde Baru memandang
budaya barat yang sebenarnya merupakan implikasi dari liberalisasi ekonomi di
Indonesia yang mereka ciptakan sendiri. Terdapat paradoks pada cara pikir Orde
Baru, mereka menghamba pada sistem ekonomi barat, mengagung-agungkan investasi
asing namun mereka anti terhadap budaya barat. Mereka menganggap barat sebagai
benalu yang merusak kebudayaan dan nilai-nilai bangsa sehingga mereka harus
menjauhkan budaya barat dari kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lalu, kita juga bisa melihat bagaimana mereka membentuk wacana rambut
gondrong lewat media dan kebijakan-kebijakannya. Demi menjaga stabilitas
nasional, tindak preventif yang berlebihan pun dilakukan hingga selera pribadi
seperti gaya rambut menjadi ancaman yang dianggap potensial. Padahal masih
banyak permasalahan lain yang lebih perlu diperhatikan dan mengganggu masalah
stabilitas seperti korupsi, ketimpangan distribusi kesejahteraan, dan masalah
lainnya.
Bila melihat kondisi masa kini, kuatnya usaha depolitisasi Orde Baru masih
bisa kita rasakan hingga kini. Rambut gondrong, pada sebagian orang tua, masih
dianggap sebagai bentuk pemberontakkan, simbol ‘kekiri-kirian’, dan berbagai
stigma negatif lainnya. Kita pun masih bisa melihat adanya razia rambut
gondrong di sekolah-sekolah dasar. Rambut gondrong masih dilihat sebagai
sesuatu yang negatif karena wacana itu masih terpatri dalam benak sebagian
masyarakat kita. Tidak hanya rambut gondrong, usaha depolitisasi Orba lainnya
masih bisa kita lihat sampai sekarang seperti penggunaan kata ‘remaja’,
pembatasan mahasiswa dalam berkegiatan, dan banyak lainnya.
Studi ini mungkin akan lebih lengkap jika dijelaskan juga lebih spesifik
mengenai media mana saja yang menjadi saluran westernisasi budaya di Indonesia
karena jika dilihat dari bentuk praktik kekuasaan Orde Baru sebenarnya mereka
bisa saja menghentikan peredaran atau membreidel media yang dianggap merusak
kepribadian bangsa seperti yang mereka lakukan pada Indonesia Raya tahun 1974
atau Tempo dan Detik beberapa tahun setelahnnya. Bila Orde Baru melihat budaya
barat ini sebagai ancaman seharusnya yang mereka lakukan adalah menindak media
penyebar budayanya bukan menindak pelaku budaya barat yang merupakan konsumen.
Buku ini sangat menarik. Yudhistira mampu menemukan sebuah isu yang sangat
jarang diangkat di dalam sejarah konvensional namun sebenarnya berdampak besar
terhadap arah sejarah nasional. Terlebih, hasil penelitiannya mampu ditulis
dengan gaya yang mengalir dan ringan. Kelebihan dari buku ini adalah penjelasan
masalah yang dijelaskan secara detail beserta contoh-contohnya sehingga pembaca
yang mungkin tidak memahami Zetgeist atau semangat zaman saat
itu mampu mengimajinasikannya dengan baik.
Ausof Ali Athiyyah adalah Mahasiswa
Sejarah UI dan Anggota SEMAR UI. Penulis beredar di twitland dengan ID
@ausofali
Artikel ini pernah dimuat di website
IndoProgress rubrik Left Book Review edisi 29 Oktober 2014. Dimuat ulang di
sini untuk pendidikan.
Sumber Rujukan
Djamin, Zulkarnain. 1984. Pembangunan Ekonomi Indonesia: Sejak Repelita
Pertama. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Leifer, Michael. 1989. Politik Luar Negeri Indonesia. Jakarta: PT Gramedia
Shiraisi, Saya Sasaki. Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia
dalam Politik, terj. Tim Jakarta. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia. 2001.
[1]Aria Wiratma
Yudhistira. 2010. Dilarang Gondrong! Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak
Muda Awal 1970-an. Tangerang : Marjin Kiri.
[2]Ibid., hlm.14.
[3]Ibid., hlm.18.
[4] Syamsul Hadi,
dkk. (Para Peneliti CIReS/Puska HI). 2004. Strategi Pembangunan
Indonesia Pasca IMF. Jakarta: GRANIT.. hlm. 18, 19, 38.
[5] Istilah ini
disematkan karena rata-rata dari mereka merupakan lulusan University of
California, Berkeley. Pertama kali dicetuskan oleh David Ransom dalam Majalah
Ramparts edisi 4 tahun 1970.
[6]Thee Kian Wee. Pelaku
Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an. Jakarta: Kompas.
2005. Hal. 48
[7]Aria Wiratma
Yudhistira. Op.Cit., hlm. 29.
[8]Zulkarnain Djamin.
Pembangunan Ekonomi Indonesia: Sejak Repelita Pertama. Jakarta: Lembaga
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1984. Hal. 122
[9] Michael
Leifer. Politik Luar negeri Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia.
1986. Hal. 170
[10]Aria Wiratma
Yudhistira. Op.Cit., hlm.32-33.
[11]Ibid., hlm. 35.
[12]Ibid., hlm. 37.
[13]Ibid., hlm. 49.
[14] Saat itu, Perang
Dingin sedang berlangsung dan Amerika Serikat banyak menghabiskan anggarannya
untuk mendanai perang ini. Kematian ribuan tentaranya juga memicu penolakan
masyarakat atas keterlibatan AS dalam Perang Dingin.
[15]Aria Wiratma
Yudhistira. Op.Cit., hlm. 54.
[16]Ibid., hlm. 69.
[17]Ibid., hlm. 76.
[18]Sebenarnya definisi
dari ‘budaya bangsa’ pun masih menjadi perdebatan saat itu, bahkan hingga saat
ini.
[19]Aria Wiratma
Yudhistira. Op.Cit., hlm. 92.
[20]Ibid., hlm. 118.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar