Oleh Dicky Dwi Ananta[1]
Gagasan menulis
refleksi tentang gerakan mahasiswa karya Ernest Mandel yang berjudul “Gerakan
Mahasiswa Revolusioner: Teori dan Praktek”[2] ini
dilatarbelakangi sebuah “hentakan” dalam pikiran saya mengenai korelasi dan
relevansi tulisan tersebut dengan situasi gerakan mahasiswa Indonesia saat ini,
khususnya yang terjadi di UI. Tulisan Ernest Mandel ini merupakan kumpulan dari
pidato dia yang mengangkat tema gerakan mahasiswa. Tema ini diangkatnya sebagai
respon atas kecenderungan aktivisme dan spontanisme di kalangan aktivis radikal,
khususnya mahasiswa. Untuk membahas ini dia menggunakan tools tentang
pentingnya kesatuan teori dan praktek dalam perlawanan revolusioner.
Selanjutnya,
menyambung tulisan Ernest Mandel tersebut, saya juga akan memberikan review
terhadap tulisan Duncan Hallas yang berjudul “Agitasi dan Propaganda”[3]. Penyatuan dua
tulisan pemikir tersebut dalam satu coretan ini dikarenakan kaitan dari
keduanya yang erat. Selain itu, juga dilatarbelakangi oleh pengalaman empiris
bahwa kesatuan teori dan praktek di lapangan menuntut akan adanya
pengorganisiran massa. Pemahaman tentang pengorganisiran ini menyangkut tentang
bagaimana berpropaganda dan mengagitasi kelompok atau massa. Hal ini yang akan
dijelaskan dari pembacaan tulisan Duncan Hallas tersebut.
Kesatuan
Teori dan Praktek
Persatuan teori
dan praktek merupakan pelajaraan paling berharga dari revolusi-revolusi di
Eropa dan belahan dunia lainnya. Gagasan untuk menyatukan antara keduanya
dimulai dari pendapat para filsuf seperti Babeuf, Hegel hingga Marx. Penyatuan
teori dan praktek memiliki dimensi bahwa upaya pembebasan manusia dari
genggaman sistem ekonomi yang kapilatistik harus dilakukan secara sadar.
Implikasinya, setiap elemen yang melakukan hal tersebut harus menyadari kondisi
real dimana ia berada. Aspek ekonomi, sosial dan politik harus menjadi kajian
pertama untuk mendefinisikan seperti apa kondisi di sekitar subyek perlawanan
tersebut. Bila menggunakan teori Marx, revolusi hanya dapat dilakukan secara
sadar dimana orang memahami azas masyarakatnya dan faktor pendorong gerak
perkembangan sosial ekonominya. Tanpa mengetahui ini, revolusi hanya akan
menjadi sebuah utopia saja. Gagasan tentang penyatuan teori dan praktek harus
dimulai dari preposisi ini. Kesadaran tentang posisi dan kondisi sosial,
ekonomi, dan politik di sekitar mahasiswa hidup harus di-clear-kan terlebih
dahulu, sehingga dia bisa memahami apa yang menjadi musuh zamannya.
Untuk
hal ini, sudahkan kita lakukan?
Munculnya
gerakan mahasiswa di dunia Barat menurut Ernest Mandel pada umumnya disebabkan oleh
permasalahan di sekitar mahasiswa itu sendiri. Permasalahan dimulai dari adanya
ketegangan antara mahasiswa dengan Universitas, Institut atau Sekolah Tinggi
dimana dia bernaung. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi yang terjadi di dunia
ketiga. Perlawanan mahasiswa dan non-mahasiswa di sana lebih didorong oleh
realitas mereka yang masih di bawah penjajahan.
Sebagian besar
anak muda di dunia Barat yang masuk ke Universitas berasal dari kalangan
menengah atas. Kondisi ini membuat mereka tidak memiliki keterkaitan erat
dengan dunia perlawanan, baik di rumah ataupun masyarakatnya. Di sisi lain,
kondisi mahasiswa yang berasal dari kalangan bawah menjadi sangat minor. Segmen
ini yang sebenarnya memiliki potensi perlawanan yang lebih besar di sana. Namun
secara umum mahasiswa-mahasiswa tersebut, baik dari kalangan menengah-atas dan
proletar, menemukan keadaan yang menuntut mereka untuk harus melawan setelah
mereka masuk dan merasakan sendiri realitas di Universitas. Hal ini yang
akhirnya menuntun mereka pada perlawanan mahasiswa secara meluas. Perlawanan
ini dikarenakan oleh sebuah kondisi yang digambarkan Ernest Mandel sebagai
berikut, “…ini sudah mencakup organisasi, struktur dan
kurikulum universitas yang amat tidak memadai dan serangkaian
fakta material, sosial dan politik yang dialami dalam kerangka
universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh kebanyakan
mahasiswa.”[4]
Di sisi lain,
menurut pendidik dari Kanada yang dikutip Ernest, sebab dari adanya perlawanan
mahasiswa ini lebih pada aspek materialnya. Universitas dalam hal ini
menciptakan “proletariat” baru dimana mahasiswa tidak diperbolehkan
berpartisipasi dalam penentuan kurikulum, dan tidak berhak menentukan kehidupan
mereka sendiri selama di kampus. Semua wewenang tersebut dipegang dan diatur
secara ketat oleh kampus. Hal ini yang membuat mahasiswa berada dalam
keterasingan (alienasi) dengan kehidupannya sendiri. Kehendak untuk
mengekspresikan diri sesuai dengan minat dan kapasitasnya dibatasi oleh sistem.
Semua diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri yang kapitalistik. Dalam
analisisnya, Ernest memandang bahwa hal ini dipengaruhi oleh sistem yang
berlangsung di masyarakat. Bentuk kesewenangan struktur di universitas borjuis
merupakan cerminan atas apa yang ada di masyarakat borjuis. Kesewenangan di
keduanya ini yang ditentang oleh mahasiswa secara umum. Di sisi lain, mereka
juga mendapatkan tantangan dari substansi pendidikan yang diperolehnya.
Pendidikan tidak memberikan analisis ilmiah yang obyektif atas realitas dunia.
Kondisi ini tentu tidak memuaskan mahasiswa yang umumnya haus akan ilmu
yang sesuai dengan zamannya. Isu ini yang menjadikan tantangan mahasiswa
menjadi dua, yaitu struktur organisasi dan substansi pendidikan. Ini yang
kemudian menjadi sebab mahasiswa melawan dan memberontak atas institusinya
sendiri.
Universitas
borjuis dalam melihat perlawanan tersebut berusaha meredam dengan memberikan
solusi yang sifatnya reformasi Universitas. Namun hal ini tidak pernah berhasil
meredam perlawanan mahasiswa, karena tidak pernah menyentuh akar permasalahan.
Akar permasalahan yang dimaksud adalah keterasingan (alienasi) mahasiswa yang
disebabkan oleh struktur dan substansi pendidikan tadi. Reformasi yang
ditawarkan justru mempertinggi keterasingan dengan mengarahkan pendidikan pada
kebutuhan ekonomi dan kapital. Untuk menjawab adanya proletariat di kampus
tadi, para profesor ini justru mengarahkan agar pendidikan sesuai dengan
kebutuhan pasar industri saja, sehingga pengangguran bisa dihilangkan. Hal ini
membuat keterasingan semakin besar karena tidak membuat mahasiswa menemukan
struktur dan substansi pendidikan yang sesuai dengan keinginannya. Mahasiswa
justru semakin kehilangan kesempatan untuk memilih karir, bidang studi, dan
peminatan yang sesuai dengan keahlian dan kebutuhan mereka. Mereka dipaksa
menerima pekerjaan, bidang studi dan peminatan yang ditentukan kebutuhan
industri. Hal ini dikarenakan posisi universitas yang berada di bawah kendali
kebutuhan ekonomi kapitalisme. Tentu reformasi seperti ini tidak akan menyelesaikan
masalah. Lantas bagaimana menyelesaikan masalah ini?
Untuk
menyelesaikan hal ini, perlu ada upaya untuk menghilangkan alienasi atau
keterasingan. Mahasiswa di Barat pada tataran ini menyadari bahwa akar dari
adanya alienasi adalah kapitalisme, selama masih ada kapitalisme maka akan
tetap ada bentuk alienasi dalam setiap sektor kehidupan masyarakat, termasuk di
Universitas. Kesadaran ini kemudian menuntun bentuk baru dalam perlawanan
mahasiswa. Penghilangan alienasi tidak bisa dilakukan di kampus saja, melainkan
dimulai di masyarakat dengan menghantam pola kehidupan kapitalisme yang menjadi
sebab adanya alienasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengubahan sebuah segmen
tertentu di masyarakat, dalam hal ini universitas, tidak dapat dilakukan tanpa
mengubah tatanan masyarakat secara luas. Singkatnya mereka menyadari bahwa apa
yang terjadi di kampus mereka disebabkan oleh sistem kapitalisme yang sudah
menjalar dalam setiap sektor kehidupan, termasuk kampus mereka. Oleh karena
itu, gerakan mahasiswa di Barat secara revolusioner mulai mengubah haluan dalam
perlawanannya. Dimulai dari isu kampus beralih ke isu-isu sosial-politik di
sekitar mereka. Titik poin hantaman mereka adalah sistem kapitalisme yang ada
di dunia. Perlawanan pun berubah menjadi lintas batas Universitas. Solidaritas
atas perjuangan yang sama pun akhirnya terjalin di dunia karena adanya
persamaan sasaran tembak. Ini adalah penelusuran sejarah gerakan mahasiswa
secara historis materialisme (Histomat) yang terjadi di Barat.
Apakah hal ini
juga yang terjadi dalam gerakan mahasiswa di Indonesia, khususnya UI? Perlu
kita renungkan bersama atas pelajaran dari kawan-kawan kita di Barat.
Dalam
mewujudkan perlawanan tersebut, maka mutlak diperlukan adanya sebuah kesatuan
teori dan praktek. Dalam hal ini, sebuah anggapan bahwa teori dan praktek bisa
dipertentangkan atau dipisahkan merupakan hal yang salah. Aksi tanpa teori tak
akan berhasil melakukan perubahan yang mendasar, dan teori tanpa aksi hanya
akan menjadikan teori sebagai lelucuan belaka, karena tak pernah dilakukan
pengujian atasnya. Kesadaran dalam bergerak dilandasi akan pemahaman teori yang
harus mendalam. Tindak lanjutnya akan timbul sebuah kesadaran dalam diri
mahasiswa. Kesadaran inilah yang menjadi titik utama untuk mempraktekan teori
dalam sebuah aksi nyata. Kita harus mulai menghindari dikotomi pola pikir yang
salah antara mana yang lebih penting dari keduanya. Keduanya memiliki sifat
yang sejajar dan simetris sehingga keduanya harus menyatu dalam gerak
perlawanan.
Dikotomi yang
lumrah dalam dunia gerakan mahasiswa adalah adanya kerja intelektual dan kerja
manual. Hal ini harus dihilangkan karena menjadi wujud dasar adanya pemisahan
antara teori dan praktek. Pemisahan atau penggolongan kerja di antara aktivis
yang berfokus pada aktivisme berpikir dan aktivisme secara kasar merupakan
suatu penyakit dalam perjuangan revolusioner. Hal ini menyebabkan kontadiksi
antara apa yang dilakukan oleh aktivis dengan apa yang dicita-citakannya.
Sebuah harapan untuk menghilangkan ketimpangan, tetapi justru membuat
ketimpangan itu sendiri. Pemisahan teori dan praktek melalui dikotomi kerja
intelektual dan manual akan menyebabkan sebuah ketimpangan baru dalam
birokrasi. Sebuah anggapan bahwa kerja intelektual lebih terhormat dari kerja
manual atau sebaliknya merupakan implikasi dari adanya ketimpangan tersebut.
Kerja intelektual dan manual dalam perjuangan revolusioner harus berjalan
paralel, artinya setiap orang harus bisa mengintegrasikan antara kemampuan
intelektual dan manualnya. Dalam hal ini, ungkapan Ernest Mandel sangatlah
tepat, “…Kita harus bertahan bahwa tidak akan ada teoretisi yang baik
jika tidak terlibat dalam aksi, dan tidak akan ada aktivis yang
baik jika tidak dapat menerima, memperkuat dan memajukan teori.”[5] Idealnya
gerakan mahasiswa haruslah menjadi seperti itu.
Pemisahan teori
dan praktek melalui dikotomi kerja intelektual dan manual dalam gerakan
mahasiswa mutlak harus dihilangkan. Bentuk pemisahan yang pure dari sekelompok
orang yang bertugas membuat kajian saja dengan sekelompok orang yang bertugas
pokok dalam propaganda harus dihilangkan barrier-nya. Dalam gerakan mahasiswa,
setiap unsur harus memiliki kemampuan dalam berteori dan beraksi jika perubahan
mendasar menjadi targetnya. Dalam hal ini Ernest Mandell menggambarkan
mahasiswa yang “paripurna” dalam gerakan sebagai berikut, “Di sana
muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa agitator yang juga dapat, jika diperlukan,
membangun barikade dan bertempur mempertahankannya, dan pada saat yang
sama dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan berdiskusi dengan
sosiolog terkemuka, ahli politik dan ekonomi dan mengalahkan mereka dalam
bidang ilmu mereka sendiri.”[6] Hal ini yang
muncul dalam gerakan mahasiswa di Perancis, Jerman dan Italia.
Dalam tesis
Ernest, kesatuan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa dapat bertahan dalam
jangka waktu yang lama jika itu dituangkan dalam organisasi revolusioner. Hal
ini dikarenakan posisi mahasiswa yang tidak lama di kampus. Mahasiswa berada di
kampus mungkin hanya selama empat atau lima tahun, sedangkan perjuangan
revolusioner tidak dapat berlangsung seketika. Oleh karena itu, keberlangsungan
perjuangan revolusioner melalui penggabungan antara teori dan praktek dalam
gerakan mahasiswa harus dijaga dengan organisasi yang revolusioner tersebut.
Organisasi revolusioner dalam gagasan Ernest adalah bergabungnya mahasiswa dan
unsur-unsur progresif lain di masyarakat. Di Barat, gagasan ini diwujudkan
dengan bergabungnya mahasiswa dengan gerakan buruh. Hal ini bisa kita lihat
dalam aksi mahasiswa di Perancis pada tahun 1968 dan gerakan mahasiswa di
Turin, Italia.
Bergabungnya
mahasiswa dengan unsur lain di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan.
Mahasiswa harus menghilangkan egonya untuk berjuang sendiri dan menjadi entitas
tersendiri yang bisa mengalahkan musuhnya sendiri pula. Hal tersebut merupakan
sebuah kemustahilan. Kegunaan antara integrasi mahasiswa dan gerakan
revolusioner lainnya di masyarakat dalam sebuah organisasi revolusioner
merupakan upaya untuk menjadikan interaksi timbal balik yang terus menerus,
saling menguatkan dengan tujuan yang sama. Musuh saat ini, saya kira juga
merupakan hal yang sama, jika kita berpikir dalam abstraksi yang lebih tinggi.
Dalam kasus Indonesia, mahasiswa saat ini harus mulai melebur dengan gerakan
buruh, tani, nelayan dan organisasi revolusioner lainnya. Mitos bahwa gerakan
mahasiswa harus independen dalam arti an sich harus dihilangkan. Justru
mahasiswa harus menyelam ke dunia masyarakat secara mendalam untuk ikut
berjuang bersama masyarakat. Dalam hal ini mahasiswa bukanlah guru mereka dan
masyarakat sebagai obyek sosialisasi mahasiswa, tapi dalam perjuangan yang
sebenarnya. Hal ini didasarkan oleh musuh yang bukan lagi negara atau
rezim yang dzalim atau pun aparatus yang represif. Musuh saat ini adalah sebuah
sistem. Sistem yang sifatnya sudah transnasional, yaitu kapitalisme.
Negara berada dalam sub-ordinat sistem kapitalisme yang membelenggu masyarakat
sendiri. Oleh karena itu perlawanan harus dilakukan secara bersama-sama antara
mahasiswa dan masyarakat secara metodis, sistematis, dan programis.
Hal yang tak
kalah penting dalam mewujudkan kesatuan teori dan praktek dalam gerakan
mahasiswa yang progresif dan revolusionner adalah semangat solidaritas.
Semangat ini bisa mencangkup tingkat nasional dan internasional. Gerakan
mahasiswa di belahan dunia lainnya juga mengalami apa yang ada di
Barat. Maka semangat untuk saling mendukung dalam perjuangan mutlak
diperlukan. Dan saya kira bergabungnnya mahasiswa dalam aliansi internasional
yang lintas batas negara terkait perjuangan yang sama perlu dilakukan. Akar
masalah yang dialami mahasiswa di Chile juga sama dengan apa yang kita alami di
sini. Oleh karena itu, gerakan mahasiswa saat ini perlu bervisi untuk bergabung
dengan gerakan mahasiswa internasional dan gerakan progresif dan revolusioner
lainnya.
Maka, apakah
kita sebagai gerakan mahasiswa akan tetap berada dalam jalur yang berbeda
dengan gerakan buruh, tani, nelayan dan organisasi progresif lainnya dalam
rangka menjaga “mitos” independensi?
Agitasi
dan Propaganda
Melanjutkan
pembahasan tentang kesatuan teori dan praktek dalam dunia gerakan mahasiswa,
saya kira perlu pemahaman yang mendalam untuk mewujudkan teori tersebut dalam
praktek. Praktek di sini memiliki pengertian yang dekat dengan aksi, walaupun
bentuk aksi bisa berbeda-beda. Namun upaya untuk itu mutlak diperlukan sebagai
sebuah usaha untuk mengumpulkan manusia dalam interest yang sama. Dalam usaha
ini, agitasi dan propaganda diperlukan. Maka tulisan Duncan Hallas yang
berjudul “Agitasi dan Propaganda” diharapkan dapat membantu pemahaman akan hal
tersebut.
Dalam kamus
Oxford, agitasi memiliki arti “membangkitkan perhatian (to excite) atau
mendorong (stir it up)”, sedangkan propaganda adalah sebuah “rencana sistematis
atau gerakan bersama untuk penyebarluasan suatu keyakinan atau doktrin”. Dalam
penjelasan Duncan, agitasi memfokuskan pada sebuah isu kemudian mendorong orang
untuk bertindak atas isu tersebut, sedangkan propaganda berkaitan dengan
penjelasan gagasan secara terinci dan sistematis. Plekhanov memberikan
pembedaan dalam hal ini. Menurut dia, “Seorang propagandis menyajikan banyak
gagasan ke satu atau sedikit orang; seorang agitator menyajikan hanya satu atau
sedikit gagasan, tetapi menyajikannya ke sejumlah besar orang (a mass of
people).”[7] Pembedaannya
dalam gagasan yang diberikan dan kuantitas orang yang dituju. Sedangkan “ulama”
besar Marxis, Lenin, dalam bukunya What is to be Done menyatakan jika keduanya
berbeda dalam menyikapi sebuah isu. Menurutnya,
“Seorang propagandis yang, katakanlah, berurusan dengan persoalan pengangguran, mesti menjelaskan watak kapitalistis dari krisis, sebab dari tak terhindarkannya krisis dalam masyarakat modern, kebutuhan untuk mentransformasikan masyarakat ini menjadi sebuah masyarakat sosialis, dsb. Secara singkat, ia mesti menyajikan “banyak gagasan”, betul-betul sangat banyak, sehingga gagasan itu akan dipahami sebagai suatu keseluruhan yang integral oleh (secara komparatif) sedikit orang. Meskipun demikian, seorang agitator, yang berbicara mengenai persoalan yang sama, akan mengambil sebagai sebuah ilustrasi, kematian anggota keluarga seorang buruh karena kelaparan, peningkatan pemelaratan (impoverishment) dsb., dan penggunaan fakta ini, yang diketahui oleh semua orang, akan mengarahkan upayanya menjadi penyajian sebuah gagasan tunggal ke “massa”. Sebagai akibatnya, seorang propagandis bekerja terutama dengan mamakai bahasa cetak; seorang agitator dengan memakai bahasa lisan.” (Lenin, 1902)[8]
Contoh kasus
yang Lenin berikan tersebut telah memberikan gambaran secara gamblang bagaimana
seorang propagandis dan agitator bekerja. Keduanya memiliki cara yang berbeda,
namun keduanya tetap dalam koridor yang sama yaitu penyatuan antara teori
dan praktek. Seorang propagandis dan agitator haruslah memiliki pemahaman yang mendalam
akan sebuah teori, dan keduanya harus terlibat dalam sebuah pengorganisiran
massa.[9]
![]() |
Sumber: www.commonwealthbar.ca |
Propaganda
terbagi dalam dua jenis, yaitu propaganda abstrak dan realistik. Propaganda
abstrak memiliki pengertian bahwa gagasan yang diajukan sepenuhnya benar, namun
tidak terkait dengan perjuangan saat ini atau dengan tingkat kesadaran yang ada
di antara mereka yang menjadi sasaran dari penyebaran gagasan itu. Contohnya
adalah penghapusan sistem upah dalam sosialisme adalah benar, namun jika
itu ditawarkan saat ini tentu tidak tepat karena kesadaran buruh belum sampai
di situ. Sedangkan propaganda realistik adalah pengolahan isu yang real terjadi
dan argumen yang menjelaskan hal tersebut. Contohnya, propagandis realistis di
sebuah pabrik tidak akan mengusulkan penghapusan sistem upah. Ia (laki-laki
atau perempuan) akan mengusulkan serangkaian tuntutan yang diharapkan dapat
mengarahkan perjuangan ke kemenangan seperti peningkatan upah, dll.
Agitasi dan
propaganda haruslah menjadi sebuah usaha pengorganisiran massa di Universitas
dalam gerakan mahasiswa. Hal ini yang mungkin menjadi kekurangan gerakan
mahasiswa saat ini, saat gerakan mahasiswa mulai ditinggalkan mahasiswanya
sendiri. Dalam melakukan ini tentu bukanlah sebuah hal yang mudah. Oleh karena
itu, upaya untuk belajar mengorganisir massa harus terus dimunculkan. Mungkin
hal ini bisa kita temukan dalam gerakan lain di masyarakat. Harapannya, sebuah
aksi pencerdasan bukanlah ritual belaka sebelum aksi saja. Tapi sebuah upaya
yang terorganisir dengan cara agitasi dan propaganda yang benar sebagai sarana
penyatuan teori dan praktek dalam gerakan mahasiswa.
***
[1] Mahasiswa jurusan Ilmu Politik UI. Pusgerak BEM UI 2012. Dapat
dihubungi di @dickydwiananta
[2] Ernest
Mandel, “Gerakan Mahasiswa Revolusioner”, diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/mandel/001.htm.
Diakses pada 20 Mei 2012 pukul 12.47.
[3] Duncan Hallas, “Agitasi dan Propaganda”, What do we mean by
…?, Socialist Worker Review, No. 68, Sept 1968, hlm. 10.
[4] Ernest
Mandel, op. cit.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Duncan
Hallas, op. cit.
[8] V.I. Lenin, “Apa yang Harus Dikerjakan?” diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/lenin/1902/ApaYang/index.htm
diakses pada 26 Oktober 2012 pukul 14.00.
[9] Pengorganisiran
di sini harus dipahami secara mendalam. Pengorganisiran tidak selamanya
ditujukan untuk aksi massa secara terbuka saja. Pengorganisiran juga memiliki
arti pembuatan diskursus dalam masyarakat sehingga masyarakat memiliki
paradigma dan kesadaran yang sama. Contoh adalah gerakan Tarbiyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar