Kamis, 12 Desember 2013

Sesungguhnya Demokrasi yang Mahasiswa UI Mau!



Oleh: Patriot Muslim[1]

Kemampuan manusia untuk mewujudkan keadilan membuat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan manusia untuk bertindak tidak adil membuat demokrasi mutlak dibutuhkan. (Reinhold Niebuhr)

Norma tertinggi demokrasi bukan “jangkauan kebebasan” atau “jangkauan kesamaan”, tetapi ukuran tertinggi adalah partisipasi. (Benoist)

Beberapa bulan terakhir, kampus UI diramaikan oleh rangkaian kegiatan Pemilihan Raya atau lebih sering kita dengar dengan istilah Pemira. Kegiatan ini merupakan ajang suksesi kepemimpinan bagi lembaga-lembaga mahasiswa yang ada di kampus. Pendaftaran kandidat, verifikasi, eksplorasi kandidat, kampanye, debat, dan lain-lain telah menjadi rangkaian yang dilewati. Kini tiba saatnya untuk pemungutan suara.

Sebelumnya, pemungutan suara tahun ini menggunakan sistem electronic voting (e-vote). Mekanisme pemungutan suara yang penting ini, dan menjadi pertaruhan bagi masa depan lembaga mahasiswa, nyatanya memiliki segunung permasalahan. Tentunya dengan mudah dan dengan mata telanjang kita dapat menyaksikan masalah-masalah tersebut. Hal ini menjadi kekecewaan dari berbagai pihak. Mengapa demikian? Jawabnya adalah karena permasalahan-permasalahan tersebut dibiarkan oleh Panitia Pemira UI dan para anggota DPM UI. Tentu merupakan kebodohan yang fatal jika mereka sebagai mahasiswa membiarkan berbagai permasalahan dan kesalahan terjadi di sekitarnya.

Apa saja permasalahan yang muncul? Mungkin beberapa hal yang disebutkan di bawah ini hanyalah sebagian kecil dari masalah Pemira UI yang menggunakan sistem e-vote tersebut.

1.      Tidak masuknya suara yang telah diberikan oleh sejumlah pemilih pada hari pertama ke dalam server e-vote sehingga suara tersebut tidak tersimpan. Panitia Pemira UI tidak mengetahui secara pasti berapa suara yang hilang. Namun, Ketua Panitia Pemira UI memperkirakan sekitar 1500 suara hilang. Solusi yang diberikan oleh Panitia Pemira UI adalah pemilih yang suaranya tidak tersimpan di hari pertama tersebut, bisa datang lagi ke TPS untuk memberikan suara. Sayang, tidak ada upaya dari Panitia Pemira UI untuk menggiring orang-orang yang telah kehilangan suaranya tersebut untuk kembali lagi ke TPS. Usaha yang dilakukan hanya dengan mengeluarkan press release yang kemudian dipublikasikan lewat akun twitter @pemiraUI. Tentu ini bukan upaya maksimal untuk mengembalikan suara-suara yang telah hilang.
2.      Waktu operasional TPS tidak serentak di seluruh UI. Ada yang buka pagi, ada yang buka siang, bahkan ada yang baru buka saat sore hari.
3.      Aturan bahwa TPS harus buka minimal 8 jam per hari. Kenyataannya, ada TPS di beberapa fakultas yang buka kurang dari 8 jam. Tentu hal ini mengecewakan dan menghambat mahasiswa yang datang ke TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
4.      Jumlah TPS yang tidak proporsional. Di FMIPA (Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) ada 3-4 TPS dan di FT (Fakultas Teknik) ada 8 TPS. Hal ini jelas menguntungkan salah satu pasangan kandidat Ketua dan Wakil Ketua BEM UI yang berasal dari kedua fakultas tersebut. Di fakultas lain seperti FH (Fakultas Hukum), FIB (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya), dan FISIP (Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) tak dapat ditemui TPS dengan jumlah yang sedemikian banyaknya seperti FMIPA dan FT. Di FIB hanya ada satu TPS, begitupula di FH dan FISIP. Kami menganggap ini merupakan wujud diskriminasi untuk memperkecil peluang mahasiswa dalam memberi suara.
5.      Ada orang-orang yang tidak bisa menggunakan hak suaranya. Salah satunya ditemui di FH, yaitu mahasiswa bernama Yoseph C. P. Pardede dengan NPM 0503232229. Orang ini ditolak oleh panitia penjaga TPS. Masih banyak orang yang tidak bisa menggunakan hak suara dan sedang terus dikumpulkan datanya.
6.      Panitia Pemira UI tidak menjaga netralitas. Hal ini terbukti melalui akun resmi twitter panitia @pemiraUI. Akun tersebut melakukan retweet terhadap tweet dukungan seorang mahasiswa FKM untuk salah satu pasangan kandidat.

Kepada seluruh mahasiswa UI,

Universitas Indonesia merupakan tempat pembelajaran bagi kita atas banyak hal. Kami sangat mencintainya bersama-sama kurang lebih 40 ribu mahasiswanya. Kami tiada pernah bosan dalam mengupayakan veritas, probitas, iustitia (jujur, benar, adil) yang menjadi cita-cita kampus ini. Agar dengan demikian seluruh mahasiswa UI memperoleh hasil terbaik di Pemira UI. Tak lain untuk membuktikan bahwa kedaulatan ada di tangan kita semua. Keyakinan inilah, yakni keyakinan bahwa IKM UI akan menjadi milik seluruh mahasiswa, bukan hanya milik segelintir mahasiswa dan petinggi lembaga mahasiswa saja.

Kepada seluruh mahasiswa UI,

Laporan-laporan dan tuntutan-tuntutan atas berbagai permasalahan Pemira UI ini telah kami sampaikan ke Panitia Pemira UI, Komite Pengawas Pemira UI, dan DPM UI. Hal ini tak hanya kami lakukan sekali atau dua kali. Sayangnya, para pengambil kebijakan tersebut terlalu keras kepala dan tidak bisa melihat kebenaran dengan mata telanjang. Mereka pertahankan sistem e-vote yang nyata-nyata banyak masalah sehingga mengebiri hak politik mahasiswa. Mereka paksa pekerjakan panitia yang tidak memiliki netralitas dan profesionalitas. Hal ini memaksa kami untuk mengirimkan somasi dengan tuntutan BUBARKAN PANITIA dan ULANG PEMUNGUTAN SUARA DENGAN SISTEM COBLOS ATAU CONTRENG!!

Sayang somasi ini tidak ditanggapi, sehingga lagi-lagi dengan terpaksa kami membawa masalah ini ke kepolisian atas tuduhan penggelapan suara dan penghilangan hak politik mahasiswa. Kami sudah tak bisa merelakan keyakinan kami ini diserahkan ke satu lembaga mahasiswa, yang pada hakekatnya tak pernah bisa meyakinkan kami akan kemandiriannya

Kepada Pantia Pemira UI, DPM UI, dan seluruh mahasiswa UI,

Laporan-laporan dan tuntutan-tuntutan telah kami sampaikan berulang kali. Petisi mahasiswa yang terkumpul membuktikan bahwa Panitia Pemira UI dan DPM UI telah kehilangan kepercayaan. Siraman berkaleng-kaleng cat warna-warni dari seorang mahasiswa ke ruang sekretariat DPM UI menjadi bukti ada gejolak dan frustasi karena aspirasi diabaikan. Kini terserah pada Panitia Pemira UI dan DPM UI. Sejarah adalah hakim yang paling adil. Keputusan yang Panitia Pemira UI dan DPM UI ambil hari ini, akan dicatat dan diketahui oleh mahasiswa UI sepanjang zaman. Demokrasi prosedural selama ini hanya akan membuat mahasiswa menjadi apatis, maka laksanakanlah demokrasi yang hakiki dan sebenar-benarnya.

Kami tegaskan bahwa tulisan ini bukanlah serangan untuk memojokkan Panitia Pemira UI dan DPM UI. Sekali-kali: Tidak!

Tulisan ini lebih kepada pertanggungjawaban moral kepada almamater dan rekan-rekan mahasiswa, sekaligus permohonan maaf atas belum mampunya kami mengetuk hati dan merawat akal sehat Panitia Pemira UI dan DPM UI.

Seruan kami: ULANG PEMUNGUTAN SUARA DENGAN SISTEM COBLOS ATAU CONTRENG!! WUJUDKAN PEMIRA UI YANG JUJUR DAN NETRAL!! Kami akan setia pada tujuan kami mewujudkan sistem demokrasi yang hakiki, bukan demokrasi prosedural semata.


[1] Akun twitter: @meneerpatriot

25 komentar:

  1. Bicara akal sehat, seharusnya penulis tidak pantas mengalamatkannya pada panitia pemira dan DPM UI. Bagaimanapun sistemnya pasti akan ada kekurangan. Sebuah kebodohan jika penulis meminta dan menuntut untuk dilakukan pemilihan ulang dan mengembalikan sistem lama yang notabene memakan banyak waktu, biaya, dan tingkat kecurangan yang lebih tinggi. Sangat tidak efektif dan efisien. Jika demokrasi itu kebebasan dalam memilih, kenapa panitia pemira hanya diberi pilihan untuk mengikuti kata2 penulis? Kerjasama apa yang bisa penulis tawarkan? Jika bermasalah dengan sedikitnya partisipasi pemilih, kenapa tidak penulis mengajak satu persatu mahasiswa yang punya hak pilih untuk ke TPS? Bukankah itu lebih elegan dan memunculkan interaksi antara timses/calon dengan warga yang akan dipimpinnya? Kesalahan bukan berada pada pihak panitia pemira atau DPM. Pikirkanlah secara jernih mereka bekerja siang dan malam mempersiapkan konsep dan teknis tapi secara tidak elegan penulis dan komplotannya merusak suasana? Anda ingin diberi kebebasan dan diterima pendapatnya tapi anda tidak menerima pendapat dan keputusan panitia? Hopeless banget, hanya orang2 egois yang gila kekuasaan dan mau menang sendiri ciri orang seperti ini. Anda ingin indonesia lebih baik? Buang jauh2 pemikiran kekanakan seperti ini, yang ada bukan memberikan solusi, tetapi menimbulkan konflik baru yang jauh lebih kompleks. Jangan buta hanya karena anda mendukung salah satu calon, lihat ketiga calon punya kapabilitas dan potensi masing2. Bukankah lebih baik mendukung dan bekerjasama untuk membawa UI dan Indonesia kearah yang lebih baik? Bukankah lebih baik cara mengkritik disampaikan dengan elegan? Semoga nantinya calon yang belum berhasil dan berhasil mampu menjalin kerjasama demi UI dan Indonesia lebih baik. Aamiin.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo, Mas/Mbak. Anda sebaiknya baca baik2 tulisan Mas Patriot Muslim ini. Dia mempertanyakan mengapa jalannya pemira tidak berlangsung baik, kalau memang benar panitia pemiranya seperti yang anda sebut "bekerja siang dan malam mempersiapkan konsep dan teknis". Carut marut teknis yang menjadi poin kegusaran si penulis, ya anda pikir saja, di fakultas saya, sudahlah TPSnya cuma satu (sementara jumlah mahasiswa kami lebih dari 1000 orang), dan kalau anda menyarankan mengajak mahasiswanya, wah sayang sekali panitia pemira di kampus saya nampak cuek bebek melihat mahasiswa/i lalu lalang di depan TPS. Bahkan ketika beberapa teman saya dan saya sendiri sengaja melihat mereka dengan seksama, mereka kelihatan tidak peduli -- kalau anda bicara soal 'ajak mahasiwa ke tps'. Euforia itu ada, teknisnya yang tidak memadai.
      Dan kalau anda memang benar mahasiswa UI yang saya ketahui suka mengkritik Yang Terhormat Senayan karena kecurangan ataupun carut marut pesta demokrasi di Indonesia, bukankah apa yang terjadi di kampus UI ini tidak jauh berbeda?
      Lanjut lagi, saya lihat tulisan Mas Patriot Muslim ini tidak mengarahkan dukungannya pada siapa pun, tapi hanya mempertanyakan sebagai warga UI yang memang membuka mata bahwa ada cacat yang cukup serius di acara sekrusial pemira. Dan anda benar: sistem manapun ada cacatnya, masalahnya setelah cacatnya ada dan nyata, kenapa solusinya begitu normatif dan cenderung mengabaikan komponen-komponen lain? Dan tentu saja warga UI lainnya curiga dengan kinerja panitia ataukah ada keberpihakan panitia sendiri, mulai dari blunder di media sosial oleh panitia pemira, hingga "omongan-omongan" di TPS (pengakuan teman-teman saya)
      Ayolah, mas. Jangan tutup mata, dan perbaiki bersama-sama, bukan jadi ajang menghujat tulisan orang (yang sebenarnya juga bagian dari berpendapat dan berdemokrasi :p )
      Salam kompak :)

      Hapus
    2. Selamat pagi/siang/sore/malam untuk Yoru Ichi (entah siapa nama sebenarnya),

      Ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan:
      1. Anda bilang tulisan ini tidak pantas dialamatkan ke panitia pemira UI dan DPM UI. Lantas kemana saya harus alamatkan? Siapa yg mengadakan pemira UI dan bertanggungjawab atasnya? Tentulah panitia pemira UI dan DPM UI. :)
      2. Pemungutan suara ulang yg saya usulkan adalah untuk mendapat hasil yang valid dan sebenar2nya. Anda mencederai demokrasi krn mengabaikan proses demokrasi itu sendiri, hanya gara2 anda lebih mementingkan cepat dan hemat biaya.
      3. Kami memberi laporan2 dan tuntutan2 demi berjalannya pemira dgn baik. Hal ini tidak sekali atau dua kali kami lakukan. Semua kami layangkan secara resmi.
      4. Saat pihak Dirmawa UI memediasi ketiga pasang calon BEM UI + panitia + DPM UI + pihak perseorangan yg melayangkan somasi, kami telah menawarkan kerjasama dalam membiayai pemungutan suara ulang dan cetak kertas suara. Ini salah satu solusi konkret!
      5. Masalah mengajak orang2 ke TPS, bagaimana hal itu bs dilakukan di fakultas yg TPS nya tidak buka seharian? Bagaimana jika koneksi mengalami gangguan berjam-jam? Hal ini muncul hampir setiap hari. Masalah di FT jelas tak sama dgn masalah2 di FISIP, FIB, Fasilkom, FH, dll. Pakai kacamata yg lebih luas. :)
      6. Jika saya menyampaikan permasalahan2 yg ada dan memberi solusi, apakah itu yg anda maksud sbg tidak elegan?
      7. Cara lama anda nilai tidak efektif dan efisien. Menurut saya e-vote yg bermasalah tahun ini jauh lebih tidak efektif dan efisien. Wong setiap hari ada masalah koneksi yg parah, software di FISIP terhapus, dll alasan. Mungkin anda tak mau tahu kasus permasalahan di bbrp fakultas. Andai pake cara lama, menurut saya masalah2 tsb tidak akan muncul.
      8. Setiap sistem pasti punya kelebihan dan kekurangan, namun setelah ditimbang2, sistem lama mudharatnya lebih kecil. :)

      Sekian.
      Trims.

      Hapus
    3. Begini mas ..
      Anda tahu berapa jumlah panitia pemira? Sedikit.. siap yang membantu? Memang anda udah ngebantu apa dipemira?
      Di teknik dan di mipa dibantu oleh panitia pemira fakultas yg mau bantu evote bahkan. Nah jumlah tps awalnya 1 karena inisiasi sendiri mereka minjem laptop dan tethering kesana kemari buat buka bilik baru disetiap departemen (inisisasi panitia fakultas looh). Panitia pemira ui kekurangan SDM.
      Lalu apa yg terjadi di fisip dan fib? Siapa yg ngebantu?

      Hapus
  2. Terang aja dukung kebobrokan sistem pemira kali ini,jelas jelas anak teknik yang selama ini yang diuntungkan mana mau dia protes wong dia nyaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nyaman masalah tps? Fakultas anda mampu buka tps berapa? Anda udah ngebantuin?
      Teknik dan mipa dari dulu jumlah tpsnya segitu atas inisiasi mereka panitia pemira fakultas sendiri

      Hapus
  3. Maaf, perihal masalah jumlah TPS yang tersedia di fakultas saya rasa bukanlah menjadi sebuah masalah. Apakah anda pernah ke fakultas-fakultas yang anda sebut memiliki lebih dari 1 tps? Di MIPA saja ada empat departemen, jadi saya rasa wajar apabila jumlah TPS mereka lebih dari 1. Di Teknik saja ada 7(tujuh) departemen dan 1(satu) program internasional, jadi wajar pula apabila mereka memiliki TPS lebih dari 1. Seharusnya Anda berkaca dari hal tersebut, kenapa Anda tidak memberikan solusi yang lebih cerdas dengan menambahkan jumlah TPS yang ada di Fakultas yang Anda rasa kurang jumlahnya ketimbang hanya berkeluh kesah mengenai jumlah TPS yang ada di fakultas yang "katakanlah" jumlah TPS-nya kurang. Terus mengenai pengulangan pemungutan suara dan menggantinya dengan sistem coblos atau contreng saya rasa bukanlah menjadi sebuah solusi, sekali lagi bukanlah menjadi SOLUSI. Bayangkan berapa anggaran yang anda butuhkan untuk membuat kertas pemungutan suara? Terlebih pula jumlah mahasiswa di Universitas Indonesia yang begitu banyak, penggunaan sistem coblos atau contreng sejatinya hanya akan menguras keuangan, dengan kata lain pemborosan. Penggunaan e-voting sudah baik, dan lebih baik ketimbang menggunakan cara konvensional seperti yang Anda tuliskan di postingan blog ini. Terimakasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selamat pagi/siang/sore/malam untuk Yusuf Mandailing,

      Nah saya sepakat dgn anda bahwa fakultas yg departemen/jurusannya banyak, harus memiliki TPS lebih dari 1. Pernahkah anda ke FIB dan FISIP? FIB memiliki 15 jurusan. Sedangkan FISIP memiliki 8 jurusan. Wajarkah jika fakultas2 tsb masing2 hanya memiliki 1 TPS? Kami pantang berkeluh kesah tanpa cari jalan keluar. Sebagaimana telah saya sampaikan berulang2, kami telah memberikan laporan2 dan tuntutan2 kpd panitia agar smua diperbaiki dan bisa berjalan baik. Hal ini tidak sekali atau dua kali kami lakukan. Namun sayangnya itu tidak ditindaklanjuti oleh panitia. :(

      Solusi yang kami tawarkan di tulisan ini adalah solusi terbaik yang kami punya dan telah kami kaji. Soal anggaran kami siap bekerjasama dgn panitia, hal ini telah kami sampaikan saat pertemuan dgn panitia dan DPM UI di Dirmawa UI.

      Sistem e-vote dan konvensional masing2 memiliki kelebihan dan kekurangan. Namun kami percaya, jika konvensional yang dipakai, maka mudharatnya akan jauh lebih kecil. Dengan sistem konvensional, pasti tak akan ada cerita TPS tutup beberapa jam krn software terhapus, tak akan ada ceritanya menolak mahasiswa krn koneksi bermasalah berjam-jam setiap harinya.

      Sekian.
      Trims.

      Hapus
  4. Assalamu'alaykum wr. wb.

    selamat pagi saudara-saudara sekalian,

    Saya hanya ingin sedikit berkomentar terkait permasalahan Pemira ini.
    Dari awal, teman-teman sekalian teriak kami hanya ingin Demokrasi yang hakiki yang diejawantahkan dalam proses suksesi BEM UI tahun ini.
    Permasalahannya satu teman-teman, ketika teman2 berteriak inginkan demokrasi, ada satu hal komponen yang teman2 lupakan yaitu dalam berdemokrasi, suara terbanyak menjadi salah satu komponen terpenting dari Demokrasi. Pertanyaan saya, apakah ketika teman2 melayangkan somasi tersebut teman2 sudah membawa asiprasi sebagian besar mahasiswa UI, sehingga teman2 merasa somasi teman2 wajib kudu mesti direalisasikan oleh DPM dan panitia Pemira UI? menurut saya, jika memang teman2 ingin Pemungutan suara ini di ulang, saya rasa teman2 sekalian bisa mulai dengan bertanya kepada seluruh mahasiswa se-UI apakah mereka menghendaki Pemira ini diulang? jika teman2 se-UI tidak menghendakinya, apa iya kalian tetap memaksakan Pemria ini harus diulang? lalu siapa yang akan berpartisipasi dalam pemira ini jika teman2 se-UI tidak menghendakinya? sedangkan teman2 sendiri menuliskannya di atas bahwa "Norma tertinggi demokrasi bukan “jangkauan kebebasan” atau “jangkauan kesamaan”, tetapi ukuran tertinggi adalah partisipasi".

    Seringkali, kita lupa bahwa yang harus dan wajib didengar hanyalah suara kita. Karena kita merasa hanya kitlah yg peduli, maka kita merasa bahwa suara kita sudah menjadi reprsentatai dari masyarakat se-UI, padahal sekali-kali tidak teman-teman! solusinya, kenapa tidak teman2 mengajukan pada DPM untuk membuat semacam referendum yang nantinya bisa kita dapatkan jawaban, apakah masyarakat se-UI menghendaki pemira diulang atau tidak, dsn jika hasil referendum itu masyarakat se-UI sepakat untuk mengulang, maka tidak ada alasan lagi untuk DPM dan Panitia Pemria untuk tidak mengulangnya. Dan jika, masyarakat se-UI merasa tidak perlu, berarti pelru dibuat kesepakatan bahwa masyarakat se-UI harus mengakui legitimasi Ketua dan Wakil Ketua BEM terpilih. Sederhana bukan?

    Sekian,
    Terima kasih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waalaikumsalam Wr. Wb.
      Selamat pagi/siang/sore/malam untuk saudaraku Fariz Saputra,

      Norma tertinggi demokrasi adalah partisipasi. Sedangkan kita tahu bahwa partisipasi mahasiswa dalam Pemira UI kemarin telah banyak hilang dan terhalang. Lagi-lagi dengan mata telanjang bisa kita lihat contoh kasus di FH, FISIP, dan FIB.

      Sepengetahuan saya, IKM UI tidak mengenal referendum. Pengambil kebijakan tertinggi ada di Forma. :)

      Sekian.
      Trims.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. oya ., saya mau komentar dikit sebagai orang sedikit awam .

      saya mantan penjaga tps nya , anda pikir jaga tps itu gampang , selama 8 atau 9 jam nongkrong disana terus , padahal dekat dekat ke UAS dimana tugas banyak numpuk dan dikasi dosen diakhir, bukannya belajar tp malah sibuk narik narik orang agar ke TPS mau menyalurkan suaranya (tugas penjaga tps di fakultas gue narik suara sebanyak banyaknya, ga tau kalo difakultas lain, kalo diatas ada yang bilang "penjaga tps di fakultas gue tampak cuek bebekmelihat mahasiswa lalu lalang di depan tps" itu malah mencoreng nama fakultas lw sendiri hahaha , yang mau jagain aja males , apalagi yang ga mau jagain dan lihat lihat doang haha, di fakultas gw , seorang penjaga tps itu bisa ngusahain agar tpsnya di tambah dan berjallan ke kelas agar bisa narik suara lebih banyak, ), blm lagi kita juga harus kuliah , sibuk juga nyari orang gantiin supaya jaga tps kalo waktu kuliah yang belum tentu bisa lansung dapet . (tp di fakultas gw alhamdulillah walaupun sulit tetep ada yang bantu dikit)

      beberapa fakultas cuma sedikit tpsnya , lw malah mencoreng nama fakultas tersebut bro , nandain mereka orang males buka tps banyak soalnya ga ada yang bantu
      .
      jumlah tps bukan dari kebijakan pemira pusat , tapi kebijakan pemira fakultas ato mungkin perdepartemen , tps fakultas dikit, ya artinya mahasiswa fakultas tersebut males. karena ga ada sdm.

      blm lagi kita harus nyediain modem sendiri kalo internetnya ngadat , (ini mah bukan dari panitia pemira , dari ui nya sendiri hahaha , mungkin juga bakal mencoreng nama ui sebagai 'world class university' tp internetnya lemot)

      pikirin jugalah soal sdm kalo ada pemira ulang

      Hapus
    4. Selamat pagi/siang/sore/malam untuk Boy220492 (entah siapa nama sebenarnya),

      Sebelumnya saya ingin memastikan konsistensi anda, jadi sebenarnya anda komentar sbg orang awam atau sbg mantan petugas TPS?

      Singkat saja jawaban dari saya. Sebaiknya anda banyak belajar soal manajemen organisasi dan arti profesionalitas. Kami mempermasalahkan manajem,yg berantakan dan panitia yg tidak profesional, semata-mata untuk pembelajaran bersama dan agar Pemira UI memperoleh hasil yg sebenar2nya. Sayang sekali jika masih ada mahasiswa yg menyingkirkan pentingnya manajemen organisasi dan profesionalitas, hanya gara2 kasian sama panitia, gak ada SDM, dll.

      Kalau anda sudah paham dgn manajemen organisasi dan profesionalitas, hal2 seperti berada di TPS selama 8-9 jam tidak akan jadi masalah, karena bisa diakali dgn sistem shift dsb. Begitupula soal UAS dan tugas kuliah, kalo mau jadi panitia ya harus profesional donk, atur waktu kuliah dan kepanitiaan dgn baik.

      Marilah bersama kita sadari bahwa kritik itu penting dan tidak selalu negatif. Di FIB aja ada mata kuliah Kritik Sastra. Janganlah menganggap orang yg memberikan kritik sbg perusuh, pendendam, atau sbg orang tak mau keadaan lebih baik.

      Sekian.
      Trims.

      Hapus
    5. selamat malam :)

      makanya tadi saya bilang 'sedikit' awam, sebab posisi rendahan yang jabat sebagai mantan petugas tps, sangat jauh jika dibandingkan dengan pemira pusat.


      haha , bicara emng gampang si bro ,
      kalo ada yang ceramah tentang management pasti management orang yang ceramah tersebut oke kan ya , ga ganggu akademisnya,
      gue harap si ga cuma omong doang tanpa mencontohkan .

      kalo ga, ya tong kosong nyaring bunyinya .

      yup, itu bisa jadi pembelajaran yang sangat berharga kalo soal management,

      tp menurut gw ga tepat aja sih alasan perbedaan jumlah tps buat pemilu ulang, sebelumnya sudah saya bilang, jumlah tps itu kebijakan pemira fakultas masing masing, kalo dari pemira fakultas cuma mampu buat 1 atau 2 tps ya silahkan, soalnya yang MAU BANTU cuma segitu , kalo banyak juga silahkan kalo sdmnya ada.

      kalo tps nya dikit sih kesimpulan gue orang fakultas tersebut banyak yang ga peduli

      sekali lagi, tugas pemira fakultas/pj tps adalah mengumpulkan suara sebanyak banyaknya tak peduli itu suara buat siapa, bukankah prestasi panitia dilihat dari berapa jumlah suara yang masuk,

      (kalo di indonesia kayak gitu juga bukan ya? suara yang masuk dikit malah disebut kinerja panitia cacat) (tapi disini kenapa dipertanyakan ya kalo suara yang masuk banyak dengan buka tps banyak dibilang curang)

      untuk mengumpulkan suara itulah dibikin jumlah tps yang banyak, tapi sekali lagi itu tergantung sdm YANG MAU BANTU .

      nah kenapa di permasalahkan jumlah tps yang banyak, bagus toh, aspirasi suara yang masuk juga banyak, ga peduli suara tsb buat siapa. kinerja pemira fakultas yang dapat mengumpulkan suara banyak THE BEST berarti,

      Hapus
    6. - sekali lagi, jumlah tps itu kebijakan pemira fakultas BUKAN pemira pusat, mungkin bisa jadi pembelajaran panitia selanjutnya bikin aturan jumlah tps sesuai jurusan ato departemen,(kalo hukum nanti bisa disesuaikan entah perkelas/peminatan) dan yang jaga tps harus perwakilan dari jurusan tersebut, soal biar bisa lebih mudah narik orang ke tps, soalnya udah lumayan kenal jadi mudah manggil orangnya agar ditarik ke tps. pasti dengan ini suara masuk lebih banyak

      - isunya sih masalah tps terjadi karena tps yang banyak tersebut (sebut aja mipa dan teknik) dua duanya dari fakultas salah satu calon, menurut gw GA ADA HUBUNGANNYA, seseorang pemilih gunain suaranya buat milih seseorang calon karena sudah mengenal DEKAT calon tersebut dan dianggap sudah BERKOMPETEN. Kalo ga kenal dan ga berkompeten maka niscaya GA AKAN DIPILIH ... kalo dilihat jumlah suara yang dari teknik mipa mayoritas lari ke ivan-aid sedikit ke adnan-wize dan kevin-wieldan, ya itu artinya adnan-wize dan kevin-wieldan GA DEKAT dengan warga teknik dan mipa. Juga bisa dilihat ivan aid juga GA DEKAT dengan warga fisip dan hukum (merupakan pr besar buat ivan aid lebih mendekatkan diri ke fisip dan hukum ).
      - denger denger si jumlah tps mipa dan teknik memang dari dulu segitu, tapi kenapa baru d permasalahkan sekarang ya? tahun lalu ga dipermasalahin tuh soal beda tps.
      harusnya pemira dari fakultas lain ,justru belajar dari fakultas ini agar bisa ngumpulin suara banyak.
      - harusnya mahasiswa itu bahu membahu buat narik temennya ke tps bukan nonton doang kayak yang nyebut cuek bebek diatas,
      - memang benar pemira pusat menetapkan aturan blabla, kalo kadang didapat pemira fakultas yang ga menjalankan semestinya ga bisa dipaksa juga sebab namanya juga masi belajar (kalo mau lebih si ,bayar orang luar yang bukan mahasiswa aja buat jaga tpsnya, tp sekali lagi tersandung dana, kalo ada si ga papa), kalo mau lebih lagi, suruh aja senior tua tua yang management nya bagus buat jaga tps, bukan nyuruh junior yang gampang disuruh dan ilmu management masi cetek tapi diminta effort lebih -_- (tapi gw yakin ga ada atas nama senior yang mau jaga tps haha, 'selama junior ada kenapa harus gue')
      ato lebih ekstrim lagi, semua panitia berasal dari luar dan bukan mahasiswa ui (ya kali ya haha)

      kesimpulan gw ga tepat jumlah tps sebagai alasan buat pemilihan ulang, apalagi pake kertas , duh broo belajar ilmu lingkungan deh

      apalagi pake kertas , duh broo belajar ilmu lingkungan deh, nih gue kasi judulnya, searching di google aja "Plan B 3.0: Mobilizing to Save Civilization" di situ bakal di jelasin gimana dampak pohon yang ditebang buat kertas yang pada akhirnya untuk dibuang, padahal pohon tersebut bisa buat sesuatu yang lebih berguna lagi.

      di baca ya bro :)

      Hapus
    7. daripada pemilu ulang yang bakal ngabisin banyak dana kalon pake kertas, mending kita saling bahu membahu aagar dananya disumbangin buat korban penggusuran kereta api di pocin dan di stasiun ui ataupun buat emak di pusgiwa yang dulu sering didengung dengungkan . ( maaf selingan hehe )

      Hapus
  5. btw 'Yoseph C. P. Pardede dengan NPM 0503232229' itu angkatan 2005 bukan sih?

    maaf, kalo iya, emng masih ada ya angkatan 2005 di UI?
    setau gue mahasiswa kuliah di UI paling lama cuma 6 tahun , lewat dari itu di DO , kalopun cuti paling banyak cuma 1 tahun ,
    jadi semaksimalnya mahasiswa cuma bisa kuliah di UI cuma 7 tahun .. lewat dari itu bukan mahasiswa UI

    dan setau gue juga daftar pemilih tetap disadur dari mahasiswa aktif di siak ng ,,, emng masi ada angkatan 2005 sekarang masi aktif di siak ng?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beliau berasal dari program ekstensi FH UI dan masih aktif berkuliah. Silakan cek ke pihak dekanat FH atau rektorat.

      Sekian.
      Trims.

      Hapus
    2. eh, ekstensi sejak 2005 ya?

      oke, nanti gw cek. :) thanks infonya .

      juga bakal mempelajari lebih lanjut lagi tentang gimana sistem akademis di ekstensi FH , heran si kenapa tamatnya lama banget gitu melebihi syarat evaluasi sks kelas reguler ataupun paralel.

      Hapus
  6. Saya salah satu pengelola blog ini.
    Saya sangat apresiasi dengan perkembangan blog ini, berikut dengan tulisan-tulisannya. Namun, perlu diketahui oleh kawan-kawan semua, salah satu tujuan dari didirikannya blog ini adalah untuk menginisiasi adanya polemik, debat, dan kritik yang cerdas, ilmiah, dan rasional sebagai bagian dari tradisi kritik/debat akademik di kalangan mahasiswa. Semua itu dilakukan untuk memecah kebuntuan dan tradisi polemik, debat, dan kritik yang hilang di mahasiswa itu sendiri. Oleh karena itu, saya sangat mendorong bila ada tulisan yang tidak disepakati dalam blog ini, atau ingin memberikan pandangan yang berbeda mengenai suatu kasus/fenomena, agar dibuat tulisan serupa sebagai kritik, debat, dan serangan balik sehingga terjadi adu wacana yang cerdas dan dapat mendidik pembacanya. Dengan demikian, bisa membuat tradisi debat dan kritik secara akademis di mahasiswa hidup kembali. Saya sangat menyayangkan bila tradisi kritik itu hanya ajang nyinyir belaka, tanpa mempertanggungjawabkan argumen dengan ilmiah, rasional dan akademis. Bila mungkin ada kawan-kawan ingin mengirimkan gagasan dan membalasnya dengan begitu, silahkan kirimkan tulisan di serikatmahasiswaprogresif@gmail.com.
    Terimakasih.

    BalasHapus
  7. Selamat pagi/siang/sore/malam untuk admin,

    Terima kasih telah memuat tulisan saya. Saya mengharapkan hal yang sama dengan admin. Semoga orang-orang yang berkomentar bisa fokus terhadap masalah-masalah yang saya muat dalam tulisan, fakta dibalas fakta, bukti dibalas bukti. :)

    Sekian.
    Trims.

    BalasHapus
  8. Sedikit berkomentar, untuk masalah perbedaan jumlah TPS, saya rasa itu tergantung inisiatif dari Panitia Pemira Fakultas. Kenapa saya berbicara ini? Karena saya dari Fasilkom, saya melihat justru kebanyakan yang menjaga TPS adalah panitia Pemira Fasilkom. Nah disinilah peran pentingnya panitia Pemira Fakultas, untuk membantu panitia Pemira UI menyediakan hal-hal yang diperlukan.

    Jadi untuk masalah jumlah TPS, coba jangan terlalu menyalahkan Panitia Pemira UI,coba tanyakan panita Pemira di fakultas. nah untuk panitia pemira UI, perlu juga kesediaannya mau bekerjasama dengan panitia pemira fakultas, dan panitia pemira fakultas juga jangan berdiam diri dengan menerima jumlah TPS yang sesuai dari panitia pemira UI padahal tidak sesuai kondisi Fakultas tersebut :)

    Oh iya masalah pelemparan cat, saya rasa tidak seharusnya dilakukan. Marah boleh, tapi tidak begitu juga caranya. Itu namanya merusak fasilitas umum. Oke katakanlah DPM itu begitu bobroknya. Trus apakah dengan kita melempar cat itu artinya kira yang benar? tidak. justru itu membawa kita dalam kesalahan baru (urusan dengan PLK). Bagaimana kita bisa menilai kesalahan orang lain (DPM) kalau kita sendiri pula melakukan kesalahan. Lakukanlah protes dengan santun, jangan sampai nanti saat kita menuntut DPM yang "bobrok" itu, DPM akan mempermalukan kita "lah lu sendiri juga perusak tuh, gue (DPM) juga bobrok kan, kita sama-sama ngerusak, napa jadi lu yang sewot"
    nah gitu pendapat saya :)

    Saya sangat mendukung peran mahasiswa mengkritisi hal ini. Tapi tentu jangan sampai malah kita membuat masalah baru

    Terimakasih :)

    BalasHapus
  9. nah kayak gini nih maksud gw, (duh gw jadi malu kalo liat tulisan ini dibandingkan tulisan gw, tulisan gw kayak orang pasar haha, tp gw kesel aja kenapa usaha agar dapat narik suara sebanyak banyak nya yang merupakan tugas panitia pemira fakultas (dan panitia fakultas menjawab tugas tersebut dengan membuka banyak tps) dianggap sebagai sesuatu hal yang curang).

    (kasarnya, suruh panitia fakultas lw sendirilah buat buka banyak tps, (percuma protes ke pemira pusat, sebab yang menjalankan adalah pemira fakultas, kalo pemira fakultas lw ga sanggup buka tps banyak mau gimana lagi) , kalo perlu jumlah tps sesuai jumlah mahasiswa difakultas lw, tp ini ga mungkin haha)

    trus juga kalo gw dulu, beberapa senior yang berasal dua angkatan diatas gw , mereka sempetin diri buat nongkrong temenin gw di tps, malah mereka yang narik narik temen angkatan mereka buat ke tps , sedangkan gw narik narik temen angkatan gw dan angkatan dibawah buat ke tps.

    jadi GAK DILIATIN DOANG ORANG YANG JAGA TPS TERSEBUT !

    BalasHapus
  10. hehhe.... kisruh kisruuuh melulu.. dulu pas saya jadi panitia 2011 tidak sampai seperti ini masalahnya :) mengapa? ya mungkin karena evote tersebut..

    BalasHapus
  11. Di sini, saya menulis sebagai mahasiswa FISIP 2010, pengamat dari PEMIRA UI sekarang. Satu komentar saya adalah perdebatan ini (tidak diskusi sih) ga bakal abis abis kalau memang dari tadi ga sejalan.. saya akan coba perjelas:

    atas dasar apa, jumlah TPS itu berdasarkan panitia fakultas? Koreksi kalau saya salah, jumlah TPS tidak pernah diatur dalam wewenangnya siapa. Tapi secara logis, saya berpikir untuk PEMIRA UI jelas yang bertanggungjawab adalah PEMIRA UI dan (tentunya) DPM UI

    Bukankah jumlah TPS tersebut penyelenggaraan PEMIRA yang terintegrasi? Nah di sinilah poinnya. Terkait pertanyaan yang sebelumnya saya ajukan. Saya mengajukan solusi lebih ke arah: tidak apa apa kalau jumlah TPS dari (katakanlah) FT dan FMIPA itu berlebih, sepanjang yang digunakan untuk PEMIRA UI hanya 1-2 TPS seperti fakultas lainnya.

    Panitia PEMIRA UI sedang mengalami masalah internal yang cukup pelik. Orang-orangnya pada hilang hilangan. Tidak kuat denggan dinamika yang ada. Bagi saya, kesalahan mendasar dari hal ini adalah tidak jelasnya peraturan akan koordinasi antara panitia PEMIRA tingkat universitas dan fakultas. Batasannya sampai mana dan lain sebagainya. Koordinasi di sini sayangnya dilakukan dalam sistem hierarkitas (panitia PEMIRA tingkat universitas berada di atas panitia PEMIRA tingkar fakultas). Di sinilah poin kesalahan berikutnya.

    Terkait diadakan pemilihan ulang. Isu ini sempat muncul bahkan terlontar dari mulut ketua DPM UI 2013. Beliau bahkan mengajukan solusi kongkrit: diulang namun tetap evote, dengan catatan evote tidak akan mengalami masalah

    Salam

    BalasHapus