PERNYATAAN SIKAP SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF
UNIVERSITAS INDONESIA
Nomor
001/PS/08/2013
Tolak Pendidikan Mahal!
Laksanakan Pendidikan Gratis Untuk Semua!
“Kemudian daripada itu, untuk
membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…”
–Pembukaan UUD 1945
Salam Pembebasan,
Pendidikan merupakan Hak
Konstitusional yang tercantum dalam undang-Undang Dasar tahun 1945. Dalam pasal
31 ayat 1 UUD 1945 dengan jelas disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak
warga negara. Selain itu, dalam Kovenan Ekosob (UU no 11 tahun 20005) pasal
13 ayat 2C juga disebutkan bahwa pendidikan harus diadakan cuma-cuma secara
bertahap. Dengan berbagai macam produk perundang-undangan tersebut, maka
sudah seharusnyalah negara menyediakan sistem pendidikan yang mampu menjamin
semua warga negara untuk mengaksesnya tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.
Setelah dikeluarkannya berbagai regulasi semacam UU BHP dan UU
PT yang melegalkan privatisasi pendidikan, rezim neoliberal belum juga berhenti
melancarkan penindasannya. Beberapa hari ini kita kembali dikejutkan dengan pemberitaan yang sangat
miris tentang adanya lima mahasiswa Universitas Brawijaya yang berniat menjual
ginjalnya karena tidak mampu membayar uang kuliah (AntaraNews, 20 Agustus
2013). Universitas Brawijaya sendiri menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang
membuat tidak ada lagi pembiayaan lain selain UKT tersebut. Selain itu, untuk
mahasiswa angkatan pertama, pembayaran UKT dilakukan sekaligus untuk dua
semester (satu tahun) dan tidak diperbolehkan penundaan pembayaran terhadapnya
(Republika, 20 Agustus 2013). Berdasakan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya
Nomor 078/SK/2013, UKT tertinggi dipegang oleh Fakultas Kedokteran – Pendidikan
Dokter dengan UKT persmester sebesar 21.450.000 rupiah dan UKT terendah berada
di FPIK (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) yaitu sebesar 2.545.000 rupiah.
Mahalnya biaya pendidikan tersebutlah yang membuat lima mahasiswa Unibraw
tersebut nekad untuk menjual ginjalnya demi melanjutkan kuliah. Selain itu,
tuntutan yang dilakukan mahasiswa untuk penundaan biaya UKT pada hari selasa 20
Agustus 2013 tidak direspon sama sekali. Bahkan, Rektor Universitas Brawijaya,
Yogi Sugito, pada hari itu sedang berada di Hongkong dan Pembantu Rektor II
Warkum Sumitro juga berada di China (Republika, 20 Agustus 2013).
Lima orang mahasiswa Universitas
Brawijaya itu tentu hanyalah merupakan sebagian kecil dari potret suramnya
dunia pendidikan kita. Permasalahan akut di dunia pendidikan sejatinya berakar
pada paradigma yang dibangun para pembuat kebijakan dalam membangun pendidikan
Indonesia. Pendidikan Indonesia hari ini hanyalah dibuat untuk mempersiapkan
pos pos industri yang telah ada. Selain itu, dalam melihat permasalahan
pendidikan tinggi sebagaimana yang terjadi di Universitas Brawijaya (dan tentu
universitas-universitas lain), kita harus merujuk pada Undang-Undang Pendidikan
Tinggi (UU PT) yang disahkan DPR tahun 2012 silam.
Undang-Undang Pendidikan Tinggi
tersebut sejatinya adalah produk yang diperintahkan lembaga keuangan
internasional sebagai usaha privatisasi terhadap dunia pendidikan
Indonesia. Pasca dicabutnya UU Badan
Hukum Pendidikan (BHP), Bank Dunia pada Tanggal 17 April 2010 mengeluarkan
dokumen Indonesia managing Higher Education for Relevance and Efficiency
(IMHERE) yang berbunyi “A new BHP must be passed to establish the
independent legal status of all education institution in Indonesia (public and
privat), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP”. Jelas dalam
dokumen tersebut diperlihatkan bahwa masalah pendidikan di Indonesia disebabkan
oleh publik yang kurang mengeluarkan uang lebih banyak untuk pendidikan
tinggi, karena saat ini masyarakat umum menganggap pendidikian hanya
sebatas barang tersier/mewah. Dalam konteks inilah UU PT dibuat dan menjadi
dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
Jelaslah bahwa pendidikan tinggi (dan
pendidikan secara umum) dewasa ini sudah sangat menyimpang dari amanat
konstitusi yang menjadikan pendidikan merupakan hak untuk semua warga negara
dan untuk itulah negara hadir untuk menyediakan akses terhadap pendidikan
tersebut. Rezim neoliberal hari ini menganggap bahwa pendidikan merupakan jasa
yang diperjual-belikan. Hal ini diungkapkan secara
eksplisit dalam berbagai kesempatan oleh para punggawa neoliberal seperti Emil
Salim, dan sebagainya. Sebagaimana
jasa, maka hanya yang memiliki uang saja yang mampu untuk mengaksesnya. Di
satu sisi, setiap hari kita disuguhkan dagelan yang tidak lucu dari para
politisi borjuis, korupsi yang semakin menggila, alam yang semakin rusak oleh korporasi,
dan semua itu semakin menciptakan kemiskinan yang kian akut yang menyengsarakan
rakyat miskin, rakyat pekerja, dari hari ke hari.
Maka dari itu, kami dari Serikat
Mahasiswa Progresif menyatakan sikap:
- Mendukung sepenuhnya upaya perlawanan dari mahasiswa Universitas Brawijaya terhadap biaya pendidikan yang mahal!
- Menolak dan melawan keras privatisasi pendidikan yang hanya menyengsarakan rakyat pekerja, rakyat miskin!
- Menyerukan seluruh mahasiswa dan rakyat di Indonesia untuk terus-menerus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk privatisasi dan komersialisasi pendidikan!
- Privatisasi pendidikan akan terus ada selama sistem ekonomi politik dan yang memegang kuasa adalah kapitalisme neoliberal
Depok, 22 Agustus 2013
Serikat Mahasiswa Progresif Universitas
Indonesia (SEMAR UI)
Narahubung: Dicky 0857 9049 9259
Sungguh ironis,biaya pendidikan begitu mahal,hingga parahnya mahasiswa bersedia jual ginjal, Koruptor juga semakin ganas menjagal, jangan sampai negeri ini menjadi gagal, mari kita berjuang....!
BalasHapus