Kamis, 22 Agustus 2013

PERNYATAAN SIKAP SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UNIVERSITAS INDONESIA



PERNYATAAN SIKAP SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF
UNIVERSITAS INDONESIA
Nomor 001/PS/08/2013

Tolak Pendidikan Mahal!
Laksanakan Pendidikan Gratis Untuk Semua!



“Kemudian daripada itu, untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia…” –Pembukaan UUD 1945

Salam Pembebasan,

Pendidikan merupakan Hak Konstitusional yang tercantum dalam undang-Undang Dasar tahun 1945. Dalam pasal 31 ayat 1 UUD 1945 dengan jelas disebutkan bahwa pendidikan merupakan hak warga negara. Selain itu, dalam Kovenan Ekosob (UU no 11 tahun 20005) pasal 13 ayat 2C juga disebutkan bahwa pendidikan harus diadakan cuma-cuma secara bertahap. Dengan berbagai macam produk perundang-undangan tersebut, maka sudah seharusnyalah negara menyediakan sistem pendidikan yang mampu menjamin semua warga negara untuk mengaksesnya tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun.

Setelah dikeluarkannya berbagai regulasi semacam UU BHP dan UU PT yang melegalkan privatisasi pendidikan, rezim neoliberal belum juga berhenti melancarkan penindasannya. Beberapa hari ini kita kembali dikejutkan dengan pemberitaan yang sangat miris tentang adanya lima mahasiswa Universitas Brawijaya yang berniat menjual ginjalnya karena tidak mampu membayar uang kuliah (AntaraNews, 20 Agustus 2013). Universitas Brawijaya sendiri menetapkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang membuat tidak ada lagi pembiayaan lain selain UKT tersebut. Selain itu, untuk mahasiswa angkatan pertama, pembayaran UKT dilakukan sekaligus untuk dua semester (satu tahun) dan tidak diperbolehkan penundaan pembayaran terhadapnya (Republika, 20 Agustus 2013). Berdasakan Keputusan Rektor Universitas Brawijaya Nomor 078/SK/2013, UKT tertinggi dipegang oleh Fakultas Kedokteran – Pendidikan Dokter dengan UKT persmester sebesar 21.450.000 rupiah dan UKT terendah berada di FPIK (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan) yaitu sebesar 2.545.000 rupiah. Mahalnya biaya pendidikan tersebutlah yang membuat lima mahasiswa Unibraw tersebut nekad untuk menjual ginjalnya demi melanjutkan kuliah. Selain itu, tuntutan yang dilakukan mahasiswa untuk penundaan biaya UKT pada hari selasa 20 Agustus 2013 tidak direspon sama sekali. Bahkan, Rektor Universitas Brawijaya, Yogi Sugito, pada hari itu sedang berada di Hongkong dan Pembantu Rektor II Warkum Sumitro juga berada di China (Republika, 20 Agustus 2013).

Lima orang mahasiswa Universitas Brawijaya itu tentu hanyalah merupakan sebagian kecil dari potret suramnya dunia pendidikan kita. Permasalahan akut di dunia pendidikan sejatinya berakar pada paradigma yang dibangun para pembuat kebijakan dalam membangun pendidikan Indonesia. Pendidikan Indonesia hari ini hanyalah dibuat untuk mempersiapkan pos pos industri yang telah ada. Selain itu, dalam melihat permasalahan pendidikan tinggi sebagaimana yang terjadi di Universitas Brawijaya (dan tentu universitas-universitas lain), kita harus merujuk pada Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU PT) yang disahkan DPR tahun 2012 silam.

Undang-Undang Pendidikan Tinggi tersebut sejatinya adalah produk yang diperintahkan lembaga keuangan internasional sebagai usaha privatisasi terhadap dunia pendidikan Indonesia.  Pasca dicabutnya UU Badan Hukum Pendidikan (BHP), Bank Dunia pada Tanggal 17 April 2010 mengeluarkan dokumen Indonesia managing Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi “A new BHP must be passed to establish the independent legal status of all education institution in Indonesia (public and privat), thereby making BHMN HEIs a legal subset of BHP”. Jelas dalam dokumen tersebut diperlihatkan bahwa masalah pendidikan di Indonesia disebabkan oleh publik yang kurang mengeluarkan uang lebih banyak untuk pendidikan tinggi, karena saat ini masyarakat umum menganggap pendidikian hanya sebatas barang tersier/mewah. Dalam konteks inilah UU PT dibuat dan menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. 

Jelaslah bahwa pendidikan tinggi (dan pendidikan secara umum) dewasa ini sudah sangat menyimpang dari amanat konstitusi yang menjadikan pendidikan merupakan hak untuk semua warga negara dan untuk itulah negara hadir untuk menyediakan akses terhadap pendidikan tersebut. Rezim neoliberal hari ini menganggap bahwa pendidikan merupakan jasa yang diperjual-belikan. Hal ini diungkapkan secara eksplisit dalam berbagai kesempatan oleh para punggawa neoliberal seperti Emil Salim, dan sebagainya. Sebagaimana jasa, maka hanya yang memiliki uang saja yang mampu untuk mengaksesnya. Di satu sisi, setiap hari kita disuguhkan dagelan yang tidak lucu dari para politisi borjuis, korupsi yang semakin menggila, alam yang semakin rusak oleh korporasi, dan semua itu semakin menciptakan kemiskinan yang kian akut yang menyengsarakan rakyat miskin, rakyat pekerja, dari hari ke hari.

Maka dari itu, kami dari Serikat Mahasiswa Progresif menyatakan sikap:

  • Mendukung sepenuhnya upaya perlawanan dari mahasiswa Universitas Brawijaya terhadap biaya pendidikan yang mahal!
  • Menolak dan melawan keras privatisasi pendidikan yang hanya menyengsarakan rakyat pekerja, rakyat miskin!
  • Menyerukan seluruh mahasiswa dan rakyat di Indonesia untuk terus-menerus melakukan perlawanan terhadap segala bentuk privatisasi dan komersialisasi pendidikan!
  • Privatisasi pendidikan akan terus ada selama sistem ekonomi politik dan yang memegang kuasa adalah kapitalisme neoliberal


Depok, 22 Agustus 2013
Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI)

Narahubung: Dicky 0857 9049 9259

1 komentar:

  1. Sungguh ironis,biaya pendidikan begitu mahal,hingga parahnya mahasiswa bersedia jual ginjal, Koruptor juga semakin ganas menjagal, jangan sampai negeri ini menjadi gagal, mari kita berjuang....!

    BalasHapus