Rio Apinino, Sekjend Serikat Mahasiswa Progresif (SEMAR) UI
Pernah dimuat di Jurnal IndoPROGRESS Rubrik Left Book Review (LBR) Edisi XVIII/2014. Di muat ulang disini untuk tujuan pendidikan
Judul Buku: Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen
Penulis: Martin Suryajaya
Peneribit: Resist Book, 2013
Tebal: xvi +368 Halaman
Penulis: Martin Suryajaya
Peneribit: Resist Book, 2013
Tebal: xvi +368 Halaman
PERSOALAN yang seringkali dihadapi oleh kalangan kiri, khususon
Marxis, adalah bagaimana mengontekstualisasikan marxisme di era
kontemporer. Persoalan ini menjadi sangat krusial karena marxisme
semakin diragukan kebenarannya, terutama setelah Uni Sovyet runtuh dan
propaganda yang terus menerus dari pihak lain. Salah satu aspek yang
dianggap sebagai ‘keusangan’ marxisme adalah pembacaan yang sudah tidak
lagi memadai terhadap kapitalisme kontemporer yang saat ini menjelma
menjadi fenomena finansialisasi. Padahal, jika memahami logika kapital
itu sendiri, bahwa ‘kapital beranak cucu kapital,’ maka kita akan dengan
mudah mengatakan bahwa kapitalisme, dalam varian apapun, pada
prinsipnya adalah persoalan akumulasi.
Tetapi, tentu tidak cukup menjawab persoalan kebenaran marxisme hanya
dengan pernyataan jargonistik saja. Karena, dengan berhenti pada
jargon-jargon itulah marxisme menjadi sebatas mitos dan kehilangan
keilmiahan serta daya emansipatorisnya. Dalam konteks inilah buku Martin
Suryajaya berjudul Asal Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi Dari Aristoteles Sampai Amartya Sen menjadi penting. Buku ini secara garis besar menjelaskan fenomena kapitalisme yang berkaitan erat dengan persoalan nilai,
yaitu bagaimana melandasi keseukuran sebuah komoditas agar bisa
dipertukarkan dengan komoditas yang lain. Karena kapitalisme pada
dasarnya adalah akumulasi keuntungan melalui komoditas yang diciptakan,
maka nilai adalah prasyarat bagi relasi ekonomi tersebut, atau dengan
kata lain menjadi batu fondasi dari kapitalisme itu sendiri. Dengan
analisisnya, Martin membuktikan bahwa dari berbagai macam teori nilai
yang ada, teori nilai Marx lah yang paling eksplanatoris dalam
menjelaskan persoalan nilai, dan dengan demikian, kapitalisme itu
sendiri. Maka, alih-alih menjadi teori yang usang, marxisme adalah teori
yang paling mumpuni dalam menjelaskan fenomena ekonomi yang saat ini
terjadi.
Persoalan Keseukuran dan Teori Nilai-Kerja
Adalah Aristoteles yang dianggap sebagai orang yang pertama kali membicarakan persoalan nilai. Dalam bukunya yang berjudul Etika Nikomakhea
buku V, 1132b22-1133b28, Aristoteles mempersoalkan apakah yang dimaksud
pertukaran yang adil dan bagaimana pertukaran yang adil itu mungkin.
Bagi Aristoteles, barang yang akan dipertukarkan, agar menjadi adil,
syaratnya adalah nilai dari dua barang tersebut harus sama atau
ekuivalen. Akan tetapi, ekuivalensi ini mensyaratkan kedua barang yang
dipertukarkan itu seukur. Problem keseukuran inilah yang coba dijawab
Aristoteles. Mengapa dua barang yang berbeda fungsinya, bisa seukur?
Jawaban pertama yang diberikan Aristoteles, keduanya seukur sejauh bisa
diekspresikan secara moneter dalam uang. Tetapi, kemudian Aristoteles
mempertanyakan kembali jawaban tersebut karena uang bukanlah prinsip
penentu keseukuran melainkan hanya satuan pengukur. Aristoteles
memberikan jawaban kedua, dua barang bisa seukur sejauh barang tersebut
digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Sedangkan jawaban
ketiga, dua barang seukur dan bisa dipertukarkan secara adil karena
ukuran bisa direfleksikan melalui jumlah kerja yang digunakan untuk
memproduksi barang-barang tersebut. Jawaban Aristoteles tersebut dalam
perkembangannya menjadi fondasi bagi dua teori nilai yang paling dominan
tetapi saling bertolak belakang: teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas. Mari kita bahas teori nilai-kerja terlebih dahulu.
Teori nilai-kerja sebagai jawaban atas persoalan keseukuran mengemuka
dalam tradisi ekonomi klasik seperti William Petty, Adam Smith, David
Ricardo, hingga Karl Marx. Para ekonom klasik ini mendasari nilai pada sejumlah kerja yang dicurahkan untuk memproduksi barang,
dengan kata lain, jawaban ini berakar pada jawaban ke-tiga dari
Aristoteles. Martin menjelaskan bahwa semua ekonom klasik berpandangan
bahwa persoalan keseukuran terletak pada ranah produksi. Dalam teori
nilai-kerja, sebelum komoditas dipertukarkan sebenarnya komoditas
tersebut telah memiliki nilai. Nilai tersebut merupakan sifat inheren
komoditas yang muncul semenjak komoditas itu ada.[1] Inilah yang kemudian disebut sebagai paradigma produksionis
yang menghasilkan pandangan yang khas tentang hubungan atara sumber,
regulator, dan sarana pengukur nilai. Apa yang menjadi syarat material
keberadaan X menentukan sifat-sifat X, dan apa yang menentukan
sifat-sifat X dengan sendirinya merupakan sarana pengukur yang akurat
tentang X. Karena kerja merupakan syarat materil dari adanya komoditas,
maka jumlah kerja menentukan nilai komoditas sehingga cara yang paing
akurat untuk mengukur nilai komoditas adalah dengan melihat berapa
jumlah kerja yang tercurah di dalamnya.
Walaupun demikian, terdapat beberapa perbedaan dari para ekonom
klasik dalam memandang problem nilai. William Petty, misalnya,
mengatakan tanah dan kerja adalah besaran pokok yang meregulasi
nilai karena keduanya dapat dirumuskan dalam satuan penghitung yang
sama, yaitu jumlah makanan per hari. Pemikiran Petty kemudian
dilanjutkan oleh Adam Smith, yang menjadi ekonom klasik pertama yang
merumuskan posisi dasar terhadap teori nilai-kerja.
Menurut Smith, kerja adalah ukuran dasar nilai tukar dimana nilai
tukar itu ‘setara dengan jumlah kerja yang memungkinkannya untuk
membeli.’ Misalnya, nilai tukar barang A adalah sejumlah kerja yang
dapat dibeli dengan barang A. Inilah yang dimaksud dengan konsep ‘kerja
yang dibeli’ (commanded labour). Pada saat yang bersamaan, Smith
juga menjelaskan bahwa bahwa nilai tukar sebuah barang diukur dari
jumlah jam kerja yang diperlukan untuk memproduksinya, atau yang dikenal
dengan konsep ‘kerja yang menubuh’ (embodied labour). Sebagai contoh, kerja yang dicurahkan (embodied labour) untuk memproduksi sebuah jaket, adalah sama dengan kerja yang dapat diperoleh dari pertukaran atas jaket tersebut (commanded labour).
Artinya, tidak ada selisih antara nilai kerja dan nilai produk kerja.
Dua konsep kerja ini yang kemudian menjadi kontradiktif ketika
ditempatkan di dalam cakrawala historis. Dalam masyarakat pra-kapitalis,
sebagaimana dikemukakan John F. Henry,[2] nilai commanded labour memang setara dengan nilai embodied labour.
Permasalahannya, di dalam masyarakat yang sudah mengenal privatisasi
atas sarana produksi, nilai kerja dan nilai produk kerja menjadi tidak
lagi identik karena muncul bentuk pendapatan baru, yaitu sewa (rent) dan laba (profit).
Maka, argumen teori nilai-kerja, bagi Smith hanya berlaku dalam
masyarakat pra-kapitalis dimana belum ada pemisahan antara produsen dan
sarana produksi. Sedangkan di dalam masyarat kapitalis, Smith
menggunakan teori nilai-ongkos produksi, yaitu jumlah dari sewa, upah,
dan laba sebagai besaran pokok penentu nilai.
Kemudian, David Ricardo mengembangkan teori nilai-kerja dengan berawal dari kesangsian atas identitas embodied labour dan commanded labour. Ricardo beranggapan, konsep commanded labour harus ditinggalkan sama sekali dan menggantinya dengan embodied labour saja
karena identitas di antara keduanya hanya dimungkinkan sejauh kita
mengasumsikan imbalan bagi pekerja senantiasa dalam proposisi terhadap
apa yang diproduksinya.[3]
Bagi Ricardo, asumsi ini problematis karena nilai kerja itu sendiri
berfluktuasi seiring dengan nilai komoditas-komoditas yang dapat
membelinya. Padahal di sisi lain, nilai barang-barang ini ditentukan
oleh jumlah kerja yang diperlukan untuk memproduksinya. Dengan demikian,
anggapan Smith bahwa teori nilai-kerja hanya berlaku di masyarakat
primitif juga harus ditanggalkan. Sebagai gantinya, Ricardo menganggap
teori nilai-kerja sebagai satu-satunya penentu nilai berlaku di segala
zaman, baik yang belum atau sudah mengenal kepemilikan privat atas
sarana produksi.
Berbeda dengan semua ekonom klasik sebelumnya, Karl Marx memulai
analisis tentang nilai dengan cara mereduksi aspek-aspek nilai menjadi
analisis terhadap aspek-aspek kerja. Marx kemudian memilah dua bentuk
kerja: kerja konkret dan kerja abstrak. Kerja konkret adalah kerja
berguna (useful labour) atau kerja yang menghasilkan nilai pakai
suatu barang. Sedangkan kerja abstrak adalah tenaga kerja atau daya
kerja manusia terlepas dari realisasinya untuk memproduksi barang dengan
kegunaan tertentu. Kerja abstrak, tak seperti kerja konkret, merupakan
sebuah produk historis tertentu. Komoditas yang tidak diproduksi untuk
memenuhi nilai-pakai melainkan sebagai sarana nilai-tukar
mengindikasikan adanya struktur pembagian kerja dalam masyarakat, yaitu
saat terjadinya pemisahan antara produsen dan sarana produksi yang
muncul dalam relasi kerja-upahan (wage labour).[4] Marx dalam Capital I kemudian menjelaskan bagaimana mengukur besaran nilai ini,
‘Sekarang bagaimana kita mengukur besaran nilainya? Jawabannya,
dengan jumlah “substansi pembentuk nilai” yang terkandung di dalamnya,
yakni kerja. Jumlah kerja diukur dengan waktu berlangsungnya (lama
kerja), dan waktu kerja tersebut memiliki standarnya, misalnya minggu,
hari, jam dan seterusnya.’[5]
Mengukur besaran nilai, menurut Marx, adalah dengan jumlah ‘substansi
pembentuk nilai’ yang terkandung di dalamnya, yakni kerja. Jumlah kerja
ini diukur dengan waktu lamanya kerja, misalnya minggu, hari atau jam.
Karena bentuk nilai atau validitas teori nilai-kerja itu sendiri
spesifik secara historis, yaitu saat adanya relasi kerja upahan, maka
bentuk nilai dan teori nilai-kerja itu tidak berlaku dalam masyarakat
sebelum adanya relasi kerja-upahan dan dalam masyarakat dimana relasi
tersebut sudah tidak ada lagi.
Dengan melihat penalaran yang digunakan para ekonom klasik
sebagaimana yang telah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa model
penalaran mereka terkait problem nilai adalah penalaran yang
retrospektif dan fisikalis (syarat material dari adanya sesuatu
mementukan sifat-sifat sesuatu tersebut). Dengan demikian, Martin
menyimpulkan bahwa para ekonom klasik ini mengikutsertakan pula ontologi
yang berciri substansialis dan historis, yaitu realitas yang pada titik
akhir dikondisikan oleh keniscayaan fisik-material. Begitu pula
realitas ekonomi –yang pada mulanya adalah persoalan nilai, ia hadir
hanya karena adanya struktur yang memungkinkan keberadaannya.
Peralihan Teori Nilai dan Impllikasinya
Secara garis besar, teori nilai-utilitas hadir sebagai kritik atas
teori nilai-kerja. Teori yang dimulai dari pertanyaan seorang saudagar
bernama Bernardo Davanzati, tentang bagaimana sesuatu yang sama sekali
tidak berharga pada suatu saat dihargai sangat tinggi ini dicirikan
dengan penalaran yang psikologis-prospektif. Model penalaran ini
berargumen bahwa oleh karena nilai adalah fenomena mental yang timbul
atas hasrat manusia untuk memenuhi kebutuhannya, maka utilitas komoditas
yang dievaluasi menjadi sumber, regulator, dan sarana pengukur nilai.
Meskipun kenyataannya komoditas tersebut diciptakan melalui proses
produksi produsen, tetapi nilai tidak ada hubungan sama sekali dengan
kerja yang memungkinkan komoditas tersebut ada. Maka, sementara teori
nilai-kerja menempatkan produksi sebagai tempat asal munculnya nilai,
teori nilai-utilitas menempatkan problem keseukuran pada ranah konsumsi
dan mengemuka dari keinginan konsumen untuk memperoleh manfaat dari
suatu komoditas. Selama konsumen tidak merasakan manfaat atas sebuah
komoditas, maka barang tersebut tidak memiliki nilai sama sekali.
Argumentasi inilah yang mengemuka di semua ekonom pendukung teori
nilai-ulititas seperti Ferdinando Galiani, Condilac, J.B Say dan Samuel
Bailey.
Meskipun teori nilai-ulititas yang berkembang pada akhir abad ke-19
hadir sebagai negasi atas teori nilai-kerja, tetapi sebagaimana
dijelaskan Martin, teori nilai-ulititas ini tidak sekokoh teori
nilai-kerja. Kelemahan dari pendekatan ini adalah ketidakmampuannya menjelaskan secara kuantitatif mengapa terbentuk sejumlah nilai tertentu.
Misalnya, jika memang nilai adalah fenomena psikis, bagaimana nilai
tersebut mengemuka dalam suatu komoditas, misalnya Rp. 10.000 untuk
sebungkus rokok? Jika permasalahan yang sama ditanyakan bagi para
penganut teori nilai-kerja, maka masalah ini dapat dijawab dengan mudah
yaitu dengan menunjukkan jumlah jam kerja yang diperlukan untuk
memproduksi komoditas tersebut. Permasalahan ketiadaan sarana pengukur
nilai inilah yang tidak mampu dijawab oleh para pendahulu teori
nilai-utilitas seperti tokoh-tokoh yang telah disebutkan di atas.
Tetapi, dalam perkembangan teori nilai-utilitas, kuantifikasi atas
fenomena mental tersebut berhasil dilakukan oleh Hermann Heinrich
Gossen. Gossen melakukan kuantifikasi dengan cara menunjukkan secara
geometris bagaimana nilai komoditas berbanding terbalik dengan jumlah
yang telah dikonsumsi. Proposisi ini dikenal dengan Hukum Gossen
Pertama. Hukum ini kemudian diperkokoh dengan banyak ekonom-ekonom lain
seperti William Stanley Jevons, Carl Menger dan Leon Walras –tiga ekonom
yang mempelopori ‘Revolusi Marginalis’ yang membuka jalan bagi ilmu
ekonomi modern yang kita kenal saat ini.
Perkembangan selanjutnya dari teori nilai utilitas ditandai dengan
peralihan cara pembacaan atas utilitas: dari pendekatan kardinalis
menjadi pendekatan ordinalis. Para ekonom yang termasuk dalam golongan
ini diantaranya Vilfredo Pareto, John Hicks, Lionel Robbins dan paul
Samuelson. Jika dalam pendekatan kardinalis utilitas bisa
dikuantifikasi, maka pendekatan ordinalis yang dipelopori Pareto
beranggapan bahwa utilitas tak bisa lagi dapat diukur secara akurat karena perbandingan interpersonal atas utilitas adalah tidak mungkin.
Pareto menawarkan solusi alternatif berupa pengukuran berdasarkan
peringkat. Apa yang perlu diketahui bukanlah besarnya utilitas, tetapi
peringkat tiap komoditas yang diberikan oleh konsumen. Tetapi, Martin
kemudian menjelaskan bahwa apa yang dilakukan Pareto dengan menghindari
pembahasan tentang perbandingan interpersonal atas utilitas, membuat
masalah keseukuran antar komoditas tidak terjelaskan. Karena kaum
ordinalis juga tidak memberikan penjelasan alternatif terhadap
perbandingan interpersonal tersebut, keseukuran antar komoditas yang
merupakan basis dari seluruh teori nilai menjadi tidak terjelaskan.
Apa implikasi dari perubahan teori nilai ini? Di dalam bab VI, Martin
melakukan pengujian atas teori nilai-kerja dan teori nilai-utilitas
menggunakan teori filsafat ilmu dari Roy Bhaskar untuk menjawab
pertanyaan di muka. Melakukan eksperimen ini, Martin menunjukkan bahwa
implikasi peralihan teori nilai tidaklah kecil. Ada tiga kriteria yang
digunakan Roy Bhaskar dalam memilah antara realisme dan anti realisme
dalam ilmu pengetahuan: pertama, adanya stratifikasi ontologis; kedua, adanya stratifikasi penjelasan; dan ketiga, status ontologis hukum ilmiah.
Teori nilai-kerja mengakui stratifikasi ontologis dengan adanya
domain empirik dari komoditas, yaitu harga, dan domain aktual pertukaran
komoditas dari domain rill keseukuran nilai sebagai keseukuran kerja.
Sebaliknya, teori nilai utilitas menolak stratifikasi ontologis karena
menempatkan harga dan nilai sebagai rasio pertukaran pada aras yang
sama, yakni domain empirik. Dengan demikian, berdasarkan kriteria
pertama, teori nilai-kerja berada pada posisi realis dan teori
nilai-utilitas pada posisi anti realis. Kemudian, teori nilai-kerja
mengakui stratifikasi penjelasan dengan menunjukkan bahwa harga dapat
dijelaskan oleh keseukuran nilai dan adanya keseukuran nilai dijelaskan
oleh ongkos produksi yang akhirnya ditentukan oleh pencurahan sejumlah
kerja tertentu dalam produksi. Di sisi lain teori nilai-utilitas menolak
stratifikasi penjelasan seperti itu karena mengasalkan nilai pada
evaluasi ulititas oleh konsumen yang teramati secara empirik. Dengan
demikian, berdasarkan kriteria kedua, teori nilai kerja berada pada
posisi realis dan teori nilai-utilitas berada pada posisi anti realis.
Terakhir, berdasarkan kriteria ketiga, teori nilai-kerja pun berada pada
posisi realis sedangkan teori nilai utilitas berada pada posisi
antirealis. Hal ini dikarenakan teori nilai-kerja mengaku status
ontologis hukum ilmiah yang dilandaskan pada domain riil. Hukum nilai
selalu berciri disposisional (berlaku dalam batasan ceteris paribus)
dan tidak dapat digunakan untuk memprediksi. Teori nilai-utilitas
menolak status ontologis hukum ilmiah dengan memahaminya hanya sebatas
konjungsi konstan di antara fenomena empirik penawaran dan permintaan
yang regularitasnya dijadikan landasan justifikasi bagi prediksi.[6]
Berdasarkan ketiga kriteria tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan
bahwa teori nilai-kerja memiliki dimensi realis dan sebaliknya teori
nilai-utilitas memiliki dimensi antirealis.
Saat ini, karena pendekatan yang paling dominan adalah teori
nilai-utilitas, maka dalam keseharian seluruh kebijakan ekonomi adalah
juga berdasarkan pada pengandaian teori nilai-utilitas tersebut, yang
jika menggunakan filsafat ilmu Bhaskarian, berada pada posisi anti
realis. Sebagaimana dijelaskan Martin, teori nilai tersebut mengacaukan
adanya sesuatu dengan aktualisasinya, mengacaukan syarat keberadaan
sesuatu dengan manifestasi empiriknya, dan dengan menjangkarkan realitas
ekonomi pada evaluasi atas utilitas serta mereduksi kenyataan ekonomi
pada relasi pertukaran empirik di pasar, teori nilai-utilitas tidak
lain turut berkontribusi bagi tersedianya prakondisi epistemik yang
memungkinkan terjadinya krisis finansial. Selain itu, teori
nilai-utilitas juga menjadi justifikasi teoritis bagi fenomena
finansialisasi, yang tidak lain merupakan hegemoni finansial atas sektor
riil. Dengan teori ini, komoditas konkret ditentukan, alih-alih
menentukan, oleh komoditas virtual. Pertukaran komoditas justru
ditentukan oleh pertukaran atas prospek pertukaran itu sendiri.
Implikasi lain dari dominasi teori nilai-utilitas yang digunakan
sebagai dasar perumusan kebijakan ekonomi adalah munculnya problem etis,
yaitu kebijakan yang niscaya memprioritaskan kepentingan segelintir
spekulan ekonomi yang bergiat di pasar modal ketimbang kepentingan
bersama masyarakat. Hal ini tidak lain disebabkan karena teori nilai
utilitas menempatkan sektor finansial superior di atas sektor riil
karena potensi laba yang lebih besar.
Rehabilitasi Teori Nilai-Kerja Marx dan Tanggapan Atasnya
Implikasi serius dari teori nilai-utilitas inilah yang kemudian
mengharuskan kita untuk memikirkan kembali apa alternatif yang tersedia.
Dengan pembahasan yang panjang lebar di bab-bab sebelumnya, jawaban
yang paling memungkinkan bagi keterbatasan teori nilai-utilitas adalah
kembali pada teori nilai-kerja. Bagi Martin, yang menjadi tawarannya
dalam buku ini, adalah merehabilitasi teori nilai-kerja yang terbaik
yang tersedia dari berbagai teori nilai-kerja yang ada, yaitu, teori
nilai-kerja Marx.
Mengapa teori nilai-kerja Marx? Pertanyaan ini dijawab Martin dalam bab 7 dengan menyimpulkan bahwa teori
nilai-kerja marxian adalah teori nilai yang paling eksplanatoris dalam
menjelaskan persoalan keseukuran nilai dan berbagai turunannya.
Fakta yang paling signifikan adalah teori ini dapat menjawab pengandaian
dasar ilmu ekonomi, yaitu keseukuran antar komoditas dan berbagai teori
turunan seperti siklus bisnis dan krisis kapitalisme. Selain itu, teori
nilai-kerja Marx juga memiliki daya penjelasan terhadap fenomena yang
lazim dikeluarkan dalam domain analisa ilmu ekonomi seperti fenomena
imperialisme. Namun, teori nilai-kerja Marx bukan tanpa celah.
Berdasarkan buku ini, yang saat ini masih diperdebatkan dalam teori
nilai-kerja Marx adalah ‘problem transformasi,’ yaitu bagaimana memahami
hubungan nilai kerja dengan harga pasar. Di dalam kapitalisme,
komoditas tidak hanya mempunyai nilai, tapi juga harga yang keduanya
menjadi landasan pertukaran. Perbedaan di antara keduanya adalah,
mengutip Marx,[7]
harga merupakan bayangan nilai dalam bentuk uang. Apabila nilai
mencerminkan kuantitas kerja, maka harga mencerminkan kuantitas uang.
Menurut Martin, problem transformasi masih merupakan permasalahan
mendasar dalam teori nilai Marx yang mesti kita hadapi di awal abad
ke-21 ini.[8] Pertanyaannya, benarkah demikian?
Problem transformasi yang diutarakan Martin menjadi pekerjaan rumah
untuk rehabilitasi teori nilai-kerja Marx, di dalam perdebatan terkini,
sebenarnya sedikit banyak telah membentuk kesimpulan. Berdasarkan review
atas buku Law of Chaos: A Probabilistic Approach to Political Economy dari Emmanuel Farjoun dan Moshe Mahover, Muhammad Ridha[9]
berkesimpulan bahwa prinsip Marx dalam teori nilai-kerja masih tetap
berlaku di dalam kapitalisme kontemporer yang mempunyai derajat
kebebasan yang tinggi sekaligus tidak beraturan seperti saat ini. Bagi
Farjoun dan Machover, problem utama mengapa model transformasi Marx
dikritik oleh banyak ekonom (termasuk beberapa ekonom yang disebutkan
Martin) sebagai model yang inkonsisten, terletak pada kerangka teoritis
yang deterministis dalam konstruksi model Marx itu sendiri, yang selalu
melahirkan asumsi ekuilibrium rata-rata nilai komoditas. Bagi Farjoun
dan Machover, asumsi ekuilibrium ideal adalah tidak mungkin. Maka,
solusi dari mereka adalah menggunakan pendekatan probabilitas dalam
melihat teori ekonomi Marx. Menggunakan pendekatan probabilitas ini,
ekuilibrium dimaknai sebagai distribusi statistik, yaitu rasio antara
nilai kerja dan harga bergerak dari 0 sampai 1. Dengan kata lain, ada
hubungan statistik antara harga dan nilai. Sebagaimana menurut Ridha,
dengan pendekatan probabilitas ini, teori nilai-kerja Marx
terselamatkan, yaitu bukan untuk menghitung harga tiap-tiap komoditas,
melainkan tingkat keuntungan global setara dengan perhitungan yang
menggunakan besaran nilai kerja.[10]
Kalaupun ada problem yang harus diselesaikan para ekonom marxian,
berkaca pada pengalaman mogok nasional yang lalu, adalah bagaimana
melakukan aproksimasi atas tingkat keuntungan versi Marx. Dengan kata
lain, apa metodologi yang harus dipakai di tengah bias data resmi yang
dibangun di atas proposisi ekonomi mainstream saat ini untuk
mengukur tingkat keuntungan tersebut. Bagi saya, problem ini lebih
signifikan untuk diselesaikan bagi perjuangan rakyat pekerja yang memang
masih berkutat di seputar isu upah dan isu-isu ekonomisme lainnya.
Kembali pada tawaran rehabilitasi teori nilai-kerja Marx, Pertanyaan
yang kemudian langsung hinggap di kepala saya adalah, meminjam istilah
Lenin, what is to be done? Apa yang harus dilakukan untuk dapat
merehabilitasi teori nilai-kerja Marx ini dalam laku ekonomi
sehari-hari? Komposisi buku ini, sekaligus yang menjadi kekurangannya,
adalah terlalu mengetengahkan persoalan perdebatan teoritis di antara
para teoritikus teori nilai dan kurang menjabarkan tentang panggung di
mana para teoritikus tersebut berkontestasi. Dengan kata lain, buku ini
sangat minim penjelasan tentang konteks historis dimana suatu teori
nilai muncul. Padahal, jika saja penjelasan tentang konteks historis
tersebut lebih banyak, persoalan apa yang harus dilakukan untuk merehabilitasi teori nilai-kerja Marx mungkin akan sedikit lebih terang.
Poin krusial lain yang saya temukan dari buku ini adalah, dengan
penerimaan atas teori nilai-kerja Marx artinya kita juga harus menerima
tesis Marx tentang eksploitasi –yang berasal dari nilai lebih yang
dihasilkan kelas pekerja dan dirampas oleh para kapitalis- karena kedua
hal tersebut saling berhubungan erat, yaitu sama-sama spesifik secara
historis, yaitu saat adanya relasi kerja upahan (kapitalisme). Jika
demikian, penerimaan atas teori nilai-kerja Marx bukan hanya untuk
melepaskan ilmu ekonomi dari rantai yang membelenggu dirinya sendiri
sebagaimana kalimat terakhir dari buku ini, tetapi juga sejurus dengan
penerimaan atas emansipasi รก la Marxian yang didasari pada
pengambilalihan faktor-faktor produksi yang dimiliki segelintir kelas
kapitalis oleh kelas pekerja dan menjadikan faktor produksi tersebut
menjadi milik bersama. Lebih jauh, penerimaan atas teori nilai-kerja
Marx adalah juga penerimaan atas perjuangan kelas untuk mendirikan
masyarakat yang tidak lagi didasari pada produksi berbasiskan nilai,
atau dengan kata lain, komunisme. Sayangnya, penjelasan yang lebih jauh
tersebut tidak kita dapatkan dari buku Martin yang ke-empat ini.[11]
Hanya dengan penerimaan secara simultan itulah pemahaman atas teori
nilai-kerja Marx sekaligus menjadi pemahaman atas emansipasi manusia
yang sejati.
Penutup
Buku Martin Suryajaya ini merupakan proyek politik pengetahuan yang
penting dalam diskursus ekonomi Marxis yang masih terbilang langka di
Indonesia. Martin berhasil membuktikan bahwa teori nilai-kerja Marx
merupakan teori nilai yang paling eksplanatoris dibanding teori nilai
yang lain. Maka, sebagai jawaban atas keterbatasan teori nilai-utilitas,
rehabilitasi teori nilai-kerja Marx adalah kebutuhaan yang mendesak
saat ini. Tentu, selain sebagai seperangkat teori yang mampu menjadi
pisau untuk menganalisa kapitalisme lebih jernih, rehabilitasi teori
nilai ini juga tidak bisa dilepaskan sebagai bagian dari usaha
emansipasi rakyat pekerja dari rantai yang membelenggu mereka.
Untuk menegaskan kembali jawaban atas pertanyaan ‘darimana asal usul
kekayaan?’ sebagaimana yang menjadi judul buku ini, saya akan mengutip
pernyataan ekonom Robert Heilbroner.[12]
Bagi Heilbroner, di dalam masyarakat pra-kapitalis, kekayaan mengemuka
dalam sifatnya sebagai ‘nilai pakai’ yang hanya ditujukan untuk konsumsi
kemewahan pemiliknya. Kekayaan dalam kapitalisme mengemuka bukan
sebagai ‘nilai pakainya’ tetapi dalam sifatnya sebagai ‘nilai-tukar,’
yaitu sebagai sarana untuk mengakumulasi lebih banyak kekayaan. Maka,
sebagaimana karakteristik kepemilikan privat, hanya kelas yang memiliki
akses terhadap sarana-sarana produksilah yang mampu untuk menggenggam
kekayaan. Dengan kata lain, kekayaan dalam konteks kapitalisme, hanya
dimungkinkan dimiliki oleh kelas kapitalis sebagai pemilik sarana
produksi yang mana kekayaan tersebut, tentu saja, berasal dari kelas
pekerja yang dieksploitasi.
Penulis aktif di twitland dengan ID @rioapinino
Bacaan tambahan:
Coen Husain Pontoh. Kerja Konkret dan Kerja Abstrak. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=484 pada 3 Januari 2014.
Dede Mulyanto. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Ekonomi Kapitalistik. Jogyakarta: Resist Book, 2012.
Karl Marx. Capital I (ebook). Moscow: Progress Publisher, 1887.
Martin Suryajaya. Marxisme dan kalkulasi Sosialis. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/logika/?p=416 pada 3 Januari 2014.
Muhammad Ridha. Probabilitas Teori Nilai Kerja. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1453
Robert L. Heilbroner. Hakikat dan Logika Kapitalisme. Jakarta: LP3ES, 1991.
[1] Martin Suryajaya. Asal Usul Kekayaan. Hal. 105
[2] John F. Henry. Adam Smith and the Theory Of Value: Chapter Six Considered. [internet]. Diakses dari http://www.hetsa.org.au/pdf/31-A-1.pdf
[3] Martin Suryajaya. Op. Cit. Hlm 63
[4] Mengenai kerja konkret dan kerja abstrak dapat dilihat lebih lanjut melalui tulisan Coen Husain Pontoh, Kerja Konkret dan Kerja Abstrak, di http://indoprogress.com/lbr/?p=484
[5] Karl Marx. Capital I (ebook). Moscow: Progress Publisher, 1887. Hlm 10. Teks asli ‘How,
then, is the magnitude of this value to be measured? Plainly, by the
quantity of the value-creating substance, the labour, contained in the
article. The quantity of labour, however, is measured by its duration,
and labour-time in its turn finds its standard in weeks, days, and
hours.’
[6] Martin Suryajaya. Op.cit. Hal. 251.
[7] Karl Marx dikutip dari Dede Mulyanto. Genealogi Kapitalisme: Antropologi dan Ekonomi Politik Pranata Ekonomi Kapitalistik. Jogyakarta: Resist Book, 2012. Hlm 84
[8] Martin Suryajaya. Op.cit. Hal. 325.
[9] Muhammad Ridha. Probabilitas Teori Nilai Kerja. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1453
[10] Ibid.
[11] Mengenai bahasan terkait sila lihat Martin Suryajaya, Marxisme dan kalkulasi Sosialis, di http://indoprogress.com/logika/?p=416
[12] Robert L. Heilbroner. Hakikat dan Logika Kapitalisme. Jakarta: LP3ES, 1991. Hlm 20
Tidak ada komentar:
Posting Komentar