Silahkan kunjungi rumah baru kami di:
http://ui.progresif.org
Salam!
SEMAR UI
Selasa, 02 Agustus 2016
Rabu, 23 Desember 2015
Belajar dari Buruh
Gerakan
Mahasiswa UI Perlu Belajar dari Gerakan Buruh
Hafizh
Nuur
Mahasiswa
Ilmu Politik, FISIP UI
Pada
awal November 2015 lalu media ramai memberitakan mengenai mogok nasional yang
dilakukan oleh berbagai serikat buruh dalam menanggapi Peraturan Pemerintah
Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Mengamati rapih dan solidnya perumusan
kajian dan perencanaan gerakan buruh dalam menanggapi PP tentang Pengupahan
tersebut, jelas, timbul pertanyaan sekaligus harapan, kapankah gerakan
mahasiswa Universitas Indonesia (UI) dapat mencontoh keterorganisiran gerakan
buruh.
Ada kesamaan pada landasan bergerak, yakni
tuntutan akan hak. Gerakan buruh mengharapkan jaminan terhadap upah layak,
sedangkan gerakan mahasiswa UI menuntut pada tidak naiknya biaya pendidikan.
Keduanya sama-sama menuntut akan haknya masing-masing. Pada kesamaan landasan
pergerakan tersebut sayangnya terdapat perbedaan signifikan dalam strategi
pengkajian dan strategi eskalasi isu. Perlu diakui gerakan sosial terlanjur
terpisah-pisah berdasarkan: elemen penggeraknya, isu yang diperjuangkan, tak
jarang pula cara dan tujuan dalam gerakan sosial juga menjadi pemisah tajam yang
kemudian mereduksi dukungan antar berbagai organisasi gerakan sosial. Implikasi
paling nyata dari gerakan yang terpisah-pisah berdasarkan berbagai faktor
tersebut tentu pada standar keterorganisiran yang tak menentu. Menarik untuk
membicarakan bagaimanakah sebuah gerakan menentukan tujuan, membentuk formasi
lalu melaksanakan berbagai strategi untuk mewujudkan tujuan awal tersebut.
Karl-Dieter
Opp merangkum beberapa pandangan akademisi mengenai pemaknaan “gerakan sosial”.
Menurut McCarthy dan Zald, organisasi gerakan sosial adalah sesuatu yang
kompleks, dapat juga dianggap sebagai organisasi formal yang mengidentifikasi
tujuan berdasarkan preferensi dari gerakan sosial atau gerakan tandingan dan
bertujuan untuk mencapai tujuan tersebut (McCarthy dan Zald, 1977). Menurut
Tarrow, gerakan sosial lebih baik didefinisikan sebagai tantangan kolektif,
berdasarkan tujuan yang sama dan solidaritas sosial dalam interaksi yang
berkelanjutan dengan elit, pihak yang bersebrangan dan pemangku kepentingan
(Tarrow, 1998:4). Opp menyarankan perumusan definisi gerakan sosial (social movements) sebagai kolektifitas
sekelompok orang/aktor gerakan yang ingin mencapai suatu tujuan dengan
mempengaruhi target sebagai pembuat kebijakan atau pengambil keputusan (Opp,
2009:43).
Mengidentifikasi
keberhasilan gerakan sosial, menurut Porta dan Diani amat bergantung pada
bagaimana gerakan sosial tersebut membangun realita sosial menjadi rumusan
permasalahan untuk menciptakan tujuan bergerak. Perumusan tersebut diperlukan
agar aktor gerakan dapat merumuskan tujuan gerakan yang mudah dicerna oleh
khalayak umum. Porta dan Diani menyebut perumusan tersebut dengan istilah “framing”. (Porta dan Diani, 2006:78-79).
Lalu bagaimanakah gerakan buruh dan gerakan mahasiswa merumuskan realita sosial
menjadi tuntutan yang mudah dipahami oleh target (pembuat kebijakan dan
pengambil keputusan) dan khalayak umum?
Buruh: “Upah Layak” dan
“Tolak PP Pengupahan”
Framing
gerakan buruh menanggapi munculnya PP No. 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang
berusaha disampaikan kepada masyarakat yakni tolak PP Pengupahan dan upah untuk
hidup layak. Pada Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13
Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan Hidup
Layak, salah satu variabel pengupahan bagi buruh yakni penghitungan Kebutuhan
Hidup Layak (KHL). Sebagaimana yang ditulis oleh Januardy, bahwa ada paradigma
sesuai dengan pemenuhan Hak Asasi Manusia dari yang sebelumnya upah minimum
menjadi “upah (untuk hidup) layak”.[1]
Perkembangan paradigma tersebut menjadi alasan kuat mengapa penetapan upah
harus sangat mempertimbangkan 63 (enam puluh tiga) komponen Kebutuhan Hidup Layak
(KHL). Artinya penetapan upah tidak dengan memepertimbangkan KHL berpotensi
tidak memenuhi standar upah layak, melainkan hanya membuat standar upah minimum
tanpa melihat pemenuhan kebutuhan bagi buruh. Bahkan dikhawatirkan terjadi
politik upah murah.
Selain mengangkat framing gerakan “Upah Layak”, gerakan
buruh juga menolak diberlakukannya PP Pengupahan dengan framing “Tolak PP Pengupahan”. Perlu diakui PP Pengupahan hingga
kini masih menuai perdebatan di berbagai kalangan, termasuk di kelompok buruh
itu sendiri. Alasan utama dari “Tolak PP Pengupahan” ini disebabkan pandangan
buruh bahwa PP Pengupahan tidak memihak pada upah layak. Interpretasi tersebut
dapat dipahami apabila kita menilik langsung PP No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
yang telah disahkan pada 23 Oktober 2015.
Gerakan buruh mempermasalahkan
ketika pertimbangan naik atau tidaknya upah hanya didasarkan pada inflasi.
Sebagaimana yang dimuat dalam Pasal 44 ayat (1) PP No.78 Tahun 2015 tertulis
“penetapan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (1) dihitung
dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum”. Formula penghitungan
upah minimum tersebut tidak secara eksplisit memasukkan KHL sebagai variabel
yang mempengaruhi penetapan. Padahal Pasal 88 ayat 4 UU No.13 Tahun 2003 menyatakan
pemerintah menetapkan upah minimum berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan
memperhatikan pertumbuhan ekonomi serta produktifitas. Pada PP No.78 Tahun 2015
formula penetapan jangka panjang amat bergantung pada inflasi dan pertumbuhan
ekonomi, imbasnya peran dewan pengupahan dan serikat buruh menjadi minim karena
KHL tidak lagi ditinjau tahunan. Melainkan ditinjau lima tahun sekali.
Acuan utama inflasi sebagai faktor
utama penentu upah buruh terlihat jelas dalam pernyataan Menakertrans Hanif
Dhakiri yang dikutip oleh salah satu media online.
Pada pernyataannya, media tersebut mengutip bahwa Menakertrans menyatakan
daerah yang tidak mengikuti PP Pengupahan diasumsikan tidak akan lebih
sejahtera dibanding daerah yang mengikuti aturan PP Pengupahan. Pernyataan
tersebut didasari pada asumsi inflasi daerah tahun 2016 mencapai 11% dan akan
memberikan keuntungan pada kenaikan gaji buruh tahun 2016. Sedangkan daerah
yang tidak akan mengikuti PP Pengupahan hanya akan menerima imbas positif
inflasi hingga maksimal kenaikan upah 9%.[2]
Biar bagaimanapun aturan PP Pengupahan tersebut baru disahkan pada Oktober 2015
dimana pada umumnya Peraturan Gubernur tentang UMR telah disahkan pada November
tahun 2015 untuk upah tahun 2016.
Jadi secara umum buruh telah
menyadari apabila PP Pengupahan diterapkan, maka kenaikan upah layak setiap
tahunnya bagi buruh akan sangat bergantung pada inflasi dan pertumbuhan
ekonomi. Dimana setiap tahun inflasi nasional Indonesia tidak pernah lebih dari
10%. Tinjauan terhadap KHL yang dilakukan setiap lima tahun sekali juga
dipertanyakan, bagaimana pengupahan dapat memastikan bahwa upah bagi buruh
telah sesuai bagi 63 komponen kebutuhan pokok. Sebab KHL baru dievaluasi lima
tahun sekali. Pada penjelasan Pasal 44
ayat (2) PP Pengupahan, diasumsikan KHL akan otomatis terkoreksi dengan formula
penghitungan upah minimum. Hal ini disebabkan 63 komponen KHL dinyatakan
menjadi kebutuhan pokok penentu inflasi.
Mahasiswa: “Tolak
Kenaikan Biaya Pendidikan”
Pada tanggal 17 Desember
2015, organisasi gerakan formal mahasiswa UI atas nama BEM UI mengaku telah
mengajukan undangan audiensi publik biaya kuliah kepada Rektor UI. Selanjutnya
pada tanggal 19 Desember, informasi tersebut disebarluaskan untuk mengundang
publik hadir pada audiensi publik tersebut yang rencananya akan dilaksanakan
pada tanggal 23 Desember 2015. Kemudian pada tanggal 21 Desember 2015 kembali
dilaksanakan pertemuan untuk merencanakan apa-apa yang akan dipertanyakan pada
Audiensi Publik tanggal 23 Desember 2015.
Perlu menjadi catatan bahwa pada
pertemuan-pertemuan sebelumnya perwakilan mahasiswa telah berkumpul untuk
mendiskusikan perencanaan gerakan, pembumian isu dan kajian. Pada tanggal 19
November 2015 contohnya, ketika itu perwakilan-perwakilan gerakan mahasiswa UI
masih belum menentukan sikap terhadap isu, maupun framing yang akan disampaikan pada publik. Lalu pertanyaannya
kemudian bagaimana bisa gerakan mahasiswa UI mengeluarkan penyikapan sebelum
matang dalam perumusan kajian?
Mencoba untuk mengetengahkan
diantara pandangan yang setuju untuk biaya pendidikan naik dan menolak biaya
pendidikan naik, diskursus justru terjebak pada “kenapa harus naik” dan “kenapa
harus menolak untuk naik”. Minimnya akses informasi mahasiswa dalam struktur
interaksi antara mahasiswa dengan rektorat jelas menjadikan pertanyaan tersebut
tidak akan pernah terjawab dengan tuntas dan memuaskan. Berikutnya langkah
strategis untuk mengetahui kelayakan dalam penentuan biaya pendidikan bagi
dirinya sendiri justru juga tidak kunjung dilakukan. Gerakan mahasiswa harus
benar-benar belajar dari solidaritas kaum buruh dalam hal ini.
Alih-alih
memperjuangkan kepentingan mahasiswa, justru muncul informasi yang tersebar
secara masif “Mahasiswa Menggugat Rektor UI”. Memposisikan diri sebagai orang
awam, jelas untuk mencapai tahap awareness,
huru-hara ini berhasil menarik perhatian dengan headline-nya yang terkesan progresif. Akan tetapi begitu melihat
isinya, poin utamanya adalah undangan terhadap seluruh mahasiswa UI untuk hadir
dalam “Audiensi Publik Biaya Kuliah di UI”. Lalu apa? Apa yang akan
diaudiensikan dan apa yang akan diperjuangkan? Kembali pada konsepsi gerakan
sosial yang dirumuskan oleh Porta dan Diani, kegagalan menentukan framing berarti gagal menarik realitas
yang ada untuk secara lebih luas disampaikan pada publik. (Porta dan Diani,
2009: 87).
Strategi Perumusan Kajian
dan Gerakan
Survei KHL dan Mogok Nasional
Pada pembahasan di atas
telah disampaikan gerakan mahasiswa UI dalam menyikapi isu kenaikan biaya
pendidikan harus benar-benar belajar mengenai keterorganisiran dan solidaritas
dari gerakan buruh dalam merespon isu PP Pengupahan. Benar, gerakan mahasiswa
UI memang harus belajar dari gerakan buruh untuk dapat melihat celah strategis
dan mengeksekusinya.
Sejak pertengahan tahun 2015 berbagai
serikat, federasi dan konfederasi serikat buruh telah secara mandiri
melaksanakan survei terhadap 63 komponen KHL. Sebagaimana yang dijelaskan
sebelumnya bahwa mengacu pada UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Permenakertrans
No. 13 Tahun 2012 tentang Komponen dan Pelaksanaan Tahapan Pencapaian Kebutuhan
Hidup Layak, KHL sangat penting sebagai salah satu pertimbangan penetapan upah
layak. Survei terhadap KHL inilah yang kemudian menjadikan gerakan buruh lebih
percaya diri dalam menuntut kenaikan upah tahun berjalan.
Sebelum PP Pengupahan ditetapkan,
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengoreksi angka KHL yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Pada survei KHL tersebut, KSPI
pun menantang BPS untuk dapat saling mempertanggungjawabkan surveinya
masing-masing. Dari hasil survei tersebut muncul lah kelompok gerakan buruh
yang menuntut kenaikan upah hingga 22%.[3]
Selain survei KHL yang dilakukan oleh KSPI, survei KHL juga dilakukan oleh tim
Rieke Diah Pitaloka (Anggota Komisi IX DPR RI). Hasil dari surveinya Rieke
bahkan merekomendasikan kenaikan upah hingga 33%. Survei tersebut dilakukan
oleh banyak sukarelawan yang juga berasal dari kaum buruh di beberapa pasar
induk terpilih pada 7 kawasan industri.[4]
Pada tanggal 2 Oktober 2015 penulis
berkesempatan untuk mengikuti audiensi yang dilakukan perwakilan buruh terhadap
Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM RI dalam rangka menanyakan harmonisasi
Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan. Jauh sebelum PP Pengupahan
buruh bukan tanpa usaha menyikapi isu yang berkembang mengenai munculnya
Rencana Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan.
Hingga pada akhirnya memutuskan
dilaksanakan mogok nasional, gerakan buruh semakin gencar dalam menyuarakan framing “Tolak PP Pengupahan”. Perlu
dicatat bahwa buruh beranggapan dalam perumusan PP Pengupahan tersebut tidak
melibatkan buruh sama sekali. Sehingga meskipun lahirnya PP No.78 Tahun 2015
merupakan amanat dari Pasal 97 UU No.13 Tahun 2003, buruh tetap menolak PP
Pengupahan. Strategi lanjutan dalam menanggapi PP No.78 Tahun 2015 ini buruh
melakukan lobi-lobi politik sekaligus persiapan judicial review ke Mahkamah Agung untuk mereview kembali aturan pengupahan tersebut.
Kajian dan Audiensi Publik
Tugas pokok dan fungsi
Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia Unsur Mahasiswa (MWA UI UM) sebagai
representasi mahasiswa dalam forum MWA UI secara otomatis meletakkan amanat
pembuatan kajian pada Badan Kelengkapan MWA UI UM. Kajian yang dilakukan BK MWA
UI UM terakhir merilis beberapa data diantaranya:
- Jawaban
Rektor atas 7 Poin Rekomendasi Kebijakan dari Rektor http://bit.ly/JawabanRektor
- Kajian
Biaya Pendidikan UI http://bit.ly/BPUI2016
- Kajian
BOPTN dan Kenaikan Biaya Pendidikan UI http://bit.ly/inflasi-boptn dan http://bit.ly/pembangunanUI
- Status
Vokasi dan Kuota Bidik Misi http://bit.ly/VokasiUI
dan http://bit.ly/KuotaBM
Tidak
naiknya biaya pendidikan UI pada tahun 2015 merupakan janji kampanye Rektor UI,
Prof. Muhammad Anis dalam Pemilihan Rektor UI 2014-2019. Begitupula dengan
pelibatan mahasiswa dalam perumusan kesepakatan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang
mana pada bulan Maret 2015, Tim 5 mahasiswa menjadi perwakilan dalam perumusan
UKT.[5]
Sayangnya kesempatan partisipatif tersebut terkesan hanya melegitimasi sistem
yang telah berjalan tanpa ada perubahan signifikan. UKT tidak ubahnya seperti
sistem yang telah berjalan di UI sejak tahun 2008, yakni sistem Biaya
Operasional Pendidikan Berkeadilan (BOP-B).
Kembali
pada strategi perumusan kajian, alasan gerakan mahasiswa UI dalam melakukan
penolakan kenaikan biaya pendidikan masih belum memiliki argumentasi dan data
yang kuat. Pada kajian biaya pendidikan UI (http://bit.ly/BPUI2016),
BK MWA UI UM masih berpendapat sesuai dengan apa yang disampaikan oleh janji
kampanye rektor (http://bit.ly/JawabanRektor)
yang mana masih berbicara “seharusnya” tanpa diimbangi data yang mumpuni. Tentu
publik bertanya-tanya berapa besar endowment
fund UI, bagaimana penggunaannya, apa implikasi dari pemasukan UI yang
64%nya berasal dari Biaya Pendidikan. Sayang kajian tersebut hanya terbaca
sebagai pengingat janji kampanye rektor terpilih tanpa memaparkan data terbaru.
Publik
diberikan informasi umum yang mungkin jarang diketahui, bahwa Biaya Operasional
Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN) yang diterima UI, tertinggi dibanding kampus
lain. BOPTN yang diterima UI pada tahun 2013 tercatat senilai Rp
226.790.370.292,-. Peringkat dua diterima Universitas Terbuka sebesar Rp
100.000.000.000,. Kemudian selanjutnya Universitas Gadjah Mada dan Intitut
Teknologi Bandung, dan seterusnya. Masing-masing UGM dan ITB menerima BOPTN
senilai Rp 170,137,806,596 dan Rp 176,875,631,564.[6]
Terkait data yang dipaparkan tersebut, BK MWA UI UM merekomendasikan
meningkatkan pemasukan dari biaya pendidikan dan non-biaya pendidikan. Di
penghujung kajian tersebut, penulis kajian memaparkan UI masih terkendala
dengan sistem desentralisasi sehingga penerimaan yang diterima oleh UI belum
dapat dikelola secara optimal. Lalu simpulan kajian dipaksakan berkaitan dengan
penolakan kenaikan biaya pendidikan.
Gerakan
mahasiswa UI perlu belajar dari gerakan buruh. Tanpa “diundang” oleh pembuat
kebijakan, buruh secara mandiri melaksanakan survei KHL agar upah minimum
menjadi upah layak. Sedangkan bagaimana dengan gerakan mahasiswa UI? Jika buruh
memiliki komponen KHL untuk disurvei dan berani ditantang mengoreksi data BPS,
maka sebenarnya dalam penetapan biaya pendidikan, ada yang dinamakan Student Unit Cost (SUC).
Student unit cost (SUC)
merupakan besaran biaya (costs)
mengacu pada penghitungan unit yang berkaitan dengan aktivitas perkuliahan
mahasiswa (student).[7]
Jika KHL mencakup komponen kebutuhan hidup layak yang awalnya menjadi
pertimbangan utama dalam penetapan upah, maka demikian halnya dnegan SUC. Di
dalam SUC terdapat rincian apa saja yang akan mempengaruhi biaya kuliah
mahasiswa (yang digunakan/dimanfaatkan) pada penghitungan periode tertentu. SUC
UI dihitung setiap semester dengan mempertimbangkan sarana-prasarana, gaji
dosen, staf, biaya UTS dan UAS, dan lain sebagainya. Total ada 17 komponen atau
unit untuk sosial dan 18 komponen atau unit untuk eksakta.[8]
Penghitungan
terakhir SUC mahasiswa UI yang dimiliki oleh segelintir orang diketahui untuk
tahun 2012. Angka-angka yang tercantum dalam SUC jelas sudah tidak lagi relevan
dan sangat perlu dihitung ulang. Pertanyaannya kemudian dapatkah gerakan
mahasiswa UI belajar untuk dapat bertindak lebih strategis? Kajian-kajian biaya
pendidikan dengan landasan penghitungan pemasukan dan pengeluaran UI untuk
memperdebatkan naik atau tidaknya biaya pendidikan UI tidak akan pernah
mencapai argumen yang kuat. Sebab apabila perdebatan dengan landasan pemasukan
dan pengeluaran UI hanya akan meletakkan penghitungan biaya pendidikan UI
bergantung pada pasar (market based).
Ide
dasar dari SUC, mahasiswa membayar apa yang digunakan dengan asumsi biaya
pendidikan yang memang layak untuk dibayarkan. Sedangkan apabila menggunakan
perhitungan dan kerangka perdebatan inflasi dan lain sebagainya hanya akan menggantungkan
pendidikan sebagai harga pasaran. Pricing
UI terhadap biaya pendidikan mahasiswa akan sangat bergantung pada
penetapan Uang Kuliah Tunggal sesuai dengan peraturan menteri. Tanpa adanya
penghitungan dan transparansi akan pemanfaatan unit cost oleh mahasiswa hanya akan memberikan gambaran UKT yang
diterapkan hanya menjadi lumbung pemasukan UI. Dibanding akun pemasukan lain
(ventura, damas, DIPA), biaya pendidikan merupakan pemasukan yang paling pasti.
Artinyaperdebatan naik atau tidaknya biaya pendidikan akan terus berulang
seiring kebutuhan UI akan dana dari pemasukan yang pasti.
Indikator
|
Gerakan Buruh
|
Gerakan Mahasiswa UI
|
Tuntutan
|
Upah
Layak
|
Biaya
Pendidikan
|
Elemen Gerakan
|
Serikat,
Federasi dan Konfederasi Serikat Buruh
|
BEM,
BK MWA UM, Mahasiswa
|
Framing
|
“Tolak
PP Pengupahan”
|
“Menggugat
Rektor UI”
|
Pra Aksi
|
Audiensi
(√), Kajian (√), Konsolidasi Gerakan (√), Survei KHL (√)
|
Audiensi
(√), Kajian (√), Konsolidasi Gerakan (√), Penghitungan SUC (x)
|
Metode Aksi
|
Diskusi
dan Mogok Kerja Nasional
|
Audiensi
Publik dan Pembumian Isu
|
Tabel Perbandingan
Gerakan Buruh dan Gerakan Mahasiswa UI
Menggugat Rektor UI (?)
Narasi mengenai kenaikan biaya
pendidikan di tahun 2016 dimulai dengan diksi “Mahasiswa Menggugat Rektor UI”.
Benar-benar sebuah harapan yang muncul dari sebuah gerakan mahasiswa UI yang
kembali garang dan tegas dalam bersikap. Sayangnya apa yang ingin digugat (data
dan kajian) dan siapa saja yang menggugat masih mejadi pertanyaan besar dalam
gerakan mahasiswa ini.
Menghadirkan dan mewakili yang telah
terwakil merupakan permasalahan dalam setiap penyikapan. Maksudnya ketika
sekelompok orang menyatakan sikapnya mengatasnamakan kelompok yang lebih besar,
sekelompok orang tersebut tengah berada dalam ilusi kepemilikan bargaining yang tinggi. Sangat
mengkhawatirkan ketika belum benar-benar mengetahui apa yang ingin digugat dan
siapa yang menggugat tidak dipertimbangkan dengan matang.
Permasalahan mengenai “apa” yang
digugat bisa diselesaikan dengan kajian, akan tetapi pernasalahan “siapa” yang
menggugat lagi-lagi masih terjebak pada simbol. Tidak adil kalau membandingkan resource of mobilization yang dimiliki
kelompok buruh dengan gerakan mahasiswa kini. Jelas mobilisasi sumberdaya
mahasiswa jauh lebih minim dibandingkan gerakan buruh yang solidaritasnya masih
lebih tinggi. Tentu membangun kesadaran orang lain kemudian memintanya untuk
ikut bertindak bukanlah hal yang mudah, terserah mau dikatakan gerakan
mahasiswa masa kini terlalu banyak mengkaji atau apapun, yang jelas minimnya
mobilisasi sumberdaya menjadi pertanyaan besar gerakan mahasiswa kini.
Tepatkah “Mahasiswa Menggugat Rektor
UI” yang akan diselenggarakan berupa Audiensi Publik pada 23 Desember 2015?
Langkah tersebut akan sangat tepat ketika “gugatan” atau audiensi publik
tersebut telah memperoleh kajian dan data yang jelas. Apa yang dibuat dan
didiskusikan hingga kini secara subyektif masih belum siap untuk diaudiensikan.
Imbasnya forum 23 Desember 2015 hanya akan menjadi legitimasi bahwa para pemangku
kepentingan telah menetapkan kebijakan berdasarkan hasil diskusi publik. Biaya
pendidikan bagi mahasiswa UI angkatan 2016 akan tetap naik dan gerakan
mahasiswa UI akan tetap bergerak dengan cara yang sama.
Terlalu bermimpi mungkin, bila
gerakan mahasiswa UI dalam merespon haknya mengenai biaya pendidikan yang layak
bisa secanggih gerakan mahasiswa di UK dan di Cile. Student Union (serikat pelajar) di sana telah dapat merumuskan
kebijakan partisipatif dalam penentuan hak dan kewajiban mereka sebagai
mahasiswa. Cukup belajar dari gerakan buruh yang juga menuntut hak atas upah
layak, dimana dengan solidaritas yang hebat mampu melaksanakan survei KHL.
Dalam solidaritas dan koordinasi yang hebat pula mogok nasional telah
dilaksanakan meskipun puluhan orang terkena pukulan dan diamankan oleh aparat.
Melalui koordinasi dan solidaritas yang masih ada pula gerakan buruh tengah
mempersiapkan judicial review PP
Pengupahan. Gerakan mahasiswa UI benar-benar harus belajar dari gerakan buruh.
Referensi:
Opp, Karl-Dieter.
2009. Theories of Political Protest and Social Movements. New York and
London: Routledge
Porta, Donatella Della
and Diani, Mario. 2006. Social Movements an Introduction. Oxford:
Blackwell Publishing
[1] Alldo Felix Januardy, “Upah Layak Bukan Upah Minimum”, 3 November
2015, diakses pada 21 Desember 2015, http://www.selasar.com/politik/upah-layak-bukan-upah-minimum
[2] Septian Deny, “Menaker: PP Pengupahan Justru Menguntungkan
Buruh”, 25 November 2015, diakses pada
21 Desember 2015, http://liputan6.com/bisnis/read/2374519/menaker-pp-pengupahan-justru-menguntungkan-buruh
[3] JPNN, “Tuntut UMP 2015, Buruh Siap Adu Survei dengan BPS”, 23 Oktober
2014, diakses pada 22 Desember 2015, http://www.jpnn.com/news.php?id=265481
[4] Rieke Diah Pitalloka, “Survei Pengupahan Nasional di 7 Kawasan
Industri Rekomendasikan Kenaikan Upah 2016”, 23 September 2015, diakses pada 22
Desember 2015, http://www.rumahdiahpitaloka.org/survei-pengupahan-nasional-rekomendasikan-kenaikan-upah-2016-di-7-kawasan-industri-sebesar-33/
[5] BEM FISIP UI, “Diskusi Publik: UKT, Serupa tapi Tak Sama”, 25 Maret
2015, diakses pada 22 Desember 2015, http://kompasiana.com/bemfisipui/notula-diskusipublik-kubik-12-maret-2015-ukt-serupa-tapi-tak-sama_552df4be6ea834d7018b45ae
[6] BK MWA UI UM, “(Mungkinkah) Biaya Pendidikan Naik (?)”, 11 November
2015, diakses pada 21 Desember 2015, http://www.bit.ly/inflasi-boptn
[7] ___, “Mengenal Lebih Dekat Konsep Student
Unit Cost Mahasiswa UI: Sebuah Pengantar Analisa Student Unit Cost UI”, 29 November 2011, diakses pada tanggal 22
Desember 2015, http://www.anakui.com/2011/11/29/mengenal-lebih-dekat-konsep-student-unit-cost-mahasiswa-ui-sebuah-pengantar-analisa-student-unit-cost-ui/
[8] SUC UI 2012 dapat diunduh pada http://bit.ly/SUCUI2015
Rabu, 21 Oktober 2015
TOLAK TINDAKAN REPRESIF APARAT TERHADAP PERS KRITIS!
“Proclaim the truth and do not be silent through fear.”
― Catherine of Siena
Minggu, 18 Oktober, Bima Aria Putra, PEMRED Majalah LENTERA di interogasi oleh aparat terkait penerbitan Majalah LENTERA yang mengangkat isu mengenai pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia di Salatiga dan sekitarnya dalam rangka 50 tahun peristiwa 1965. Aparat kemudian menginstruksikan Bima untuk menghentikan publikasi Majalah Lentera dan membakar stok majalah, dengan alasan tidak adanya izin terbit. Hal ini mengingatkan kita dengan peraturan pers zaman orde baru, dimana media massa harus memiliki Surat Izin Terbit (SIT) atau Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).
Kebebasan berpendapat pada hakikatnya merupakan hak asasi dari setiap individu. Di Indonesia, kebebasan berpendapat yang merupakan bagian dari keadilan sosial sudah selayaknya ditegakkan, merujuk pada sila ke-5 pancasila yang berbunyi, "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.". Dalam pasal 28e ayat 2 dan 3 tentang HAM yang berbunyi, "(2) Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” disebutkan bahwa pemerintah wajib memberikan jaminan kepada warganya dalam kebebasan mengeluarkan pendapat.
Maka dari itu, SEMAR UI atas dasar kesetiannya terhadap pembebasan, dengan ini menyatakan:
1.Mengecam keras upaya-upaya pengekangan yang dilakukan apparat terhadap pers LENTERA mahasiswa UKSW
2.Menolak pembredelan terhadap kebebasan berekspresi, dengan dalih tidak ada perizinan, yang mencerminkan watak Orde Baru
3.Mendukung seluruh pergerakan pers kritis di seluruh dunia
4.Mendesak penegakan hak pers, hak menyampaikan pendapat, serta kebebasan akademis bagi kawan-kawan pers kritis, termasuk dari kalangan pelajar
5.Menyerukan persatuan pelajar, baik di tingkat regional maupun internasional untuk menjaga agar pendidikan tetap pada hakikatnya dalam membebaskan manusia
Depok, 20 Oktober 2015
Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia
Serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com
serikatmahasiswaprogresif@gmail.com
0857 9049 9259
Line: @jtc5494y
Twitter: @SemarUI
-----------
*berikut tautan Majalah LENTERA kami sertakan dibawah untuk diunduh dan disebarluaskan secara gratis.
Salatiga Kota Merah.pdf
https://drive.google.com/file/d/0B8ofCm2EIjdcSjVuZGZ4V0gtWDQ/view
Minggu, 23 Agustus 2015
Flyer MABA: Majalah Bagus
Memasuki tahun kedua, SEMAR UI mengadakan perekrutan terbuka kembali bagi kawan-kawan Mahasiswa UI. Sebagai pengantar perekrutan, kami menyajikan selebaran yang berisikan esay yang men-demistifikasi status "MAHA"-siswa dan juga kredo 'moralis' dalam gerakan mahasiswa. Bertolak dari konten di dalam selebaran, kami hendak mengajak kawan-kawan yang ingin belajar lebih jauh untuk bergabung bersama SEMAR UI.
Mari kawan, kita melebur bersama gerakan rakyat dan menyatakan bahwa mahasiswa bukanlah entitas eksklusif dengan belajar dan melawan ketidakadilan secara kolektif di SEMAR UI.
Mari kawan, kita melebur bersama gerakan rakyat dan menyatakan bahwa mahasiswa bukanlah entitas eksklusif dengan belajar dan melawan ketidakadilan secara kolektif di SEMAR UI.
Jumat, 31 Juli 2015
Gerakan Pekerja Tanpa Tanah (Landless Workers Movement) di Brazil
Oleh Rizal Assalam
Mahasiswa Ilmu Politik dan anggota SEMAR UI
Perubahan politik di Brazil melalui ‘Abertura’ yang dimulai pada periode pemerintahan Ernesto Geisel (1974-1979) dan dilanjutkan oleh Figuierido (1979-1985) memberikan ruang bagi pergerakan kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalisasi dan direpresi oleh rezim. Melalui Abertura’ gerakan Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) atau Landless Workers Movement muncul pertama kali pada tahun 1984. Gerakan ini pertama kali dimulai melalui okupasi properti dari Macali dan Brilhante di Kabupaten Ronda Alta, Negara Bagian Rio Grande do Sul pada tahun 1979. Okupasi ini kemudian tersebar sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas. Kemudian, pada tahun 1984 tiap pihak yang terlibat dalam land occupations melakukan pertemuan dan mendeklarasikan apa yang disebut sebagai Movement of Landless Workers.
Menurut Wright dan Wolford (2003) dan dokumen resmi dari MST, gerakan tersebut merupakan gerakan paling efektif dan terbesar. Tujuan gerakan ini dalam tataran idealisme adalah untuk membentuk resistensi terhadap kapitalisme dan mentransformasikan economic struggle menjadi perjuangan politik dan ideologis. Sementara itu, dalam tataran praksis tujuan MST adalah untuk mewujudkan reformasi agraria berkeadilan dan membangun masyarakat yang adil dan berbasis pada persaudaraan.
Pada awal kemunculannya, yang diperjuangkan oleh gerakan ini adalah mengenai redistribusi kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah terkonsentrasi pada segelintir pihak: di tahun 1985, 80 persen kepemilikan tanah berada di tangan 10 persen tuan tanah. Hal ini merupakan implikasi dari restrukturisasi agrikultur pada tahun 1970 yang menghasilkan landless class. Restrukturisasi agrikultur melalui industrialisasi secara bertahap yang dimulai pada tahun 1960 merusak model pengelolaan tanah secara kekeluargaan (famility-managed farming).
Pada perkembangannya, krisis yang dihadapi oleh Brazil mengimplikasikan integrasi ekonomi nasional Brazil ke dalam struktur perekonomian internasional (atau dalam kata lain, globalisasi) terutama pada tahun 1980an akhir dan awal 1990an. Integrasi yang mendorong perekonomian kapitalisme ini merupakan prasyarat bagi IMF untuk memberikan bantuan finansial kepada pemerintahan Brazil, seperti hak privatisasi, deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan, pemotongan anggaran sosial, dan dorongan investasi asing. Restrukturisasi perekonomian ini kemudian lebih bias kepada investor asing dan menciptakan gap antara the rich dan the poor. Sistem perekonomian yang lebih bersifat kekeluargaan menjadi tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal internasional yang kemudian justru melahirkan pengangguran. Permasalahan-permasalahan ini yang kemudian menjadi latar belakang Landless Workers Movement.
Sistem yang dibangun oleh gerakan ini lebih berdasarkan sifat kerja sama (kooperatif) melalui Sistema Cooperativista dos Assentados (SCA). Tanah-tanah yang diokupasi dikelola ke dalam produksi kooperatif untuk kepentingan sosial yang lebih luas. Berkaitan dengan hal tersebut, SCA ini dimanifestasikan melalui pengorganisasian tanah-tanah yang dikelola berdasarkan unit-unit produksi. Perwakilan tiap unit-unit produksi ini membentuk suatu majelis dalam pengambilan keputusan secara demokratis dengan prinsip manajemen kolektif.
Dalam kerangka kooperatif, tiap unit-unit produksi (baik kepemilikan secara kekeluargaan atau kolektif) memberikan sumbangan tiga persen dari hasil produksinya sebagai sumber pemasukan gerakan. Selain itu, besaran atau nominal sumbangan yang diberikan dapat dimusyawarahkan. Sumber pemasukan lainnya adalah melalui donasi, baik melalui bantuan dari UNESCO maupun dari jaringan ”Friends of th MST”. Pemasukan yang didapatkan oleh gerakan tersebut digunakan tidak hanya untuk membiayai setiap protes atau demonstrasi, melainkan juga untuk bantuan-bantuan sosial, seperti anggaran kesehatan dan pendidikan bagi tiap anggotanya. Sistem yang dibangun oleh gerakan ini merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat sosialis, yaitu di mana “... the means of production are shared”
Hal yang menarik berkaitan dengan permasalahan yang menjadi latar belakang gerakan dengan sistem gerakan tersebut adalah mengenai status kepemilikan tanah. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pergeseran orientasi perjuangan gerakan yang semula untuk memperjuangkan redistribusi kepemilikan tanah menjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Okupasi kepemilikan tanah yang dilakukan oleh gerakan ini berdasarkan penilaian bahwa tanah tersebut dianggap produktif, sehingga dikelola oleh komunitas. Okupasi ini mendapatkan justifikasi dari konstitusi Brazil yang membenarkan pengelolaan tanah yang tidak produktif untuk kepentingan umum. Selain itu, Mahkamah Agung (Supreme Court) menilai bahwa okupasi tanah-tanah tidak produktif bukan merupakan suatu tindakan kriminal dan negara berkewajiban untuk mengambilalih tanah yang dibiarkan tidak produktif oleh pemilik tanah. Klaim okupasi oleh gerakan ini pada perkembangannya mengalami hambatan melalui integrasi perekonomian Brazil ke dalam perekonomian internasional melalui neoliberalisme. Orientasi kebijakan pemerintah yang lebih memberikan keuntungan kepada pemodal asing seperti melalui hak privatisasi, menjadi hambatan bagi komunitas untuk mengelola tanah dan melakukan reformasi agraria berbasiskan kepemilikan komunal.
Secara keseluruhan, gerakan ini—sebagaimana disebutkan sebelumnya—dapat dikatakan sebagai gerakan yang paling efektif dan terbesar di Brazil. Hal ini berdasarkan indikator peningkatan intensitas dan keterlibatan dalam gerakan. Selain itu, gerakan ini mendapatkan simpati yang luas, baik dari kalangan domestik maupun pengakuan secara internasional. Dengan menyesuaikan dengan konteks permasalahan, gerakan komunitas tidak hanya sebatas melakukan okupasi dan pengelolaan tanah dalam kerangka kooperasi, melainkan juga menarik perhatian media dan simpati dari kalangan yang lebih luas seperti melakukan parade, marching dan membangun jaringan untuk membangun solidaritas dan simpati. Hal ini seperti pada kedatangan komunitas di Brasilia pada tahun 1997 melalui gerakan National March for Land Reform selama sekitar 2 bulan sebagai invasi simbolik. Tujuan gerakan ini adalah untuk “to open channels of communication with society” dan menunjukkan bahwa pemerintah lebih menaruh perhatian pada “only to interest of the elites and the big international economic groups”.
Mahasiswa Ilmu Politik dan anggota SEMAR UI
Perubahan politik di Brazil melalui ‘Abertura’ yang dimulai pada periode pemerintahan Ernesto Geisel (1974-1979) dan dilanjutkan oleh Figuierido (1979-1985) memberikan ruang bagi pergerakan kelompok-kelompok yang selama ini termarjinalisasi dan direpresi oleh rezim. Melalui Abertura’ gerakan Movimento dos Trabalhadores Rurais Sem Terra (MST) atau Landless Workers Movement muncul pertama kali pada tahun 1984. Gerakan ini pertama kali dimulai melalui okupasi properti dari Macali dan Brilhante di Kabupaten Ronda Alta, Negara Bagian Rio Grande do Sul pada tahun 1979. Okupasi ini kemudian tersebar sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas. Kemudian, pada tahun 1984 tiap pihak yang terlibat dalam land occupations melakukan pertemuan dan mendeklarasikan apa yang disebut sebagai Movement of Landless Workers.
Menurut Wright dan Wolford (2003) dan dokumen resmi dari MST, gerakan tersebut merupakan gerakan paling efektif dan terbesar. Tujuan gerakan ini dalam tataran idealisme adalah untuk membentuk resistensi terhadap kapitalisme dan mentransformasikan economic struggle menjadi perjuangan politik dan ideologis. Sementara itu, dalam tataran praksis tujuan MST adalah untuk mewujudkan reformasi agraria berkeadilan dan membangun masyarakat yang adil dan berbasis pada persaudaraan.
Pada awal kemunculannya, yang diperjuangkan oleh gerakan ini adalah mengenai redistribusi kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah terkonsentrasi pada segelintir pihak: di tahun 1985, 80 persen kepemilikan tanah berada di tangan 10 persen tuan tanah. Hal ini merupakan implikasi dari restrukturisasi agrikultur pada tahun 1970 yang menghasilkan landless class. Restrukturisasi agrikultur melalui industrialisasi secara bertahap yang dimulai pada tahun 1960 merusak model pengelolaan tanah secara kekeluargaan (famility-managed farming).
Pada perkembangannya, krisis yang dihadapi oleh Brazil mengimplikasikan integrasi ekonomi nasional Brazil ke dalam struktur perekonomian internasional (atau dalam kata lain, globalisasi) terutama pada tahun 1980an akhir dan awal 1990an. Integrasi yang mendorong perekonomian kapitalisme ini merupakan prasyarat bagi IMF untuk memberikan bantuan finansial kepada pemerintahan Brazil, seperti hak privatisasi, deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan, pemotongan anggaran sosial, dan dorongan investasi asing. Restrukturisasi perekonomian ini kemudian lebih bias kepada investor asing dan menciptakan gap antara the rich dan the poor. Sistem perekonomian yang lebih bersifat kekeluargaan menjadi tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal internasional yang kemudian justru melahirkan pengangguran. Permasalahan-permasalahan ini yang kemudian menjadi latar belakang Landless Workers Movement.
Sistem yang dibangun oleh gerakan ini lebih berdasarkan sifat kerja sama (kooperatif) melalui Sistema Cooperativista dos Assentados (SCA). Tanah-tanah yang diokupasi dikelola ke dalam produksi kooperatif untuk kepentingan sosial yang lebih luas. Berkaitan dengan hal tersebut, SCA ini dimanifestasikan melalui pengorganisasian tanah-tanah yang dikelola berdasarkan unit-unit produksi. Perwakilan tiap unit-unit produksi ini membentuk suatu majelis dalam pengambilan keputusan secara demokratis dengan prinsip manajemen kolektif.
Dalam kerangka kooperatif, tiap unit-unit produksi (baik kepemilikan secara kekeluargaan atau kolektif) memberikan sumbangan tiga persen dari hasil produksinya sebagai sumber pemasukan gerakan. Selain itu, besaran atau nominal sumbangan yang diberikan dapat dimusyawarahkan. Sumber pemasukan lainnya adalah melalui donasi, baik melalui bantuan dari UNESCO maupun dari jaringan ”Friends of th MST”. Pemasukan yang didapatkan oleh gerakan tersebut digunakan tidak hanya untuk membiayai setiap protes atau demonstrasi, melainkan juga untuk bantuan-bantuan sosial, seperti anggaran kesehatan dan pendidikan bagi tiap anggotanya. Sistem yang dibangun oleh gerakan ini merupakan upaya untuk mewujudkan masyarakat sosialis, yaitu di mana “... the means of production are shared”
Hal yang menarik berkaitan dengan permasalahan yang menjadi latar belakang gerakan dengan sistem gerakan tersebut adalah mengenai status kepemilikan tanah. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat pergeseran orientasi perjuangan gerakan yang semula untuk memperjuangkan redistribusi kepemilikan tanah menjadi perlawanan terhadap neoliberalisme. Okupasi kepemilikan tanah yang dilakukan oleh gerakan ini berdasarkan penilaian bahwa tanah tersebut dianggap produktif, sehingga dikelola oleh komunitas. Okupasi ini mendapatkan justifikasi dari konstitusi Brazil yang membenarkan pengelolaan tanah yang tidak produktif untuk kepentingan umum. Selain itu, Mahkamah Agung (Supreme Court) menilai bahwa okupasi tanah-tanah tidak produktif bukan merupakan suatu tindakan kriminal dan negara berkewajiban untuk mengambilalih tanah yang dibiarkan tidak produktif oleh pemilik tanah. Klaim okupasi oleh gerakan ini pada perkembangannya mengalami hambatan melalui integrasi perekonomian Brazil ke dalam perekonomian internasional melalui neoliberalisme. Orientasi kebijakan pemerintah yang lebih memberikan keuntungan kepada pemodal asing seperti melalui hak privatisasi, menjadi hambatan bagi komunitas untuk mengelola tanah dan melakukan reformasi agraria berbasiskan kepemilikan komunal.
Secara keseluruhan, gerakan ini—sebagaimana disebutkan sebelumnya—dapat dikatakan sebagai gerakan yang paling efektif dan terbesar di Brazil. Hal ini berdasarkan indikator peningkatan intensitas dan keterlibatan dalam gerakan. Selain itu, gerakan ini mendapatkan simpati yang luas, baik dari kalangan domestik maupun pengakuan secara internasional. Dengan menyesuaikan dengan konteks permasalahan, gerakan komunitas tidak hanya sebatas melakukan okupasi dan pengelolaan tanah dalam kerangka kooperasi, melainkan juga menarik perhatian media dan simpati dari kalangan yang lebih luas seperti melakukan parade, marching dan membangun jaringan untuk membangun solidaritas dan simpati. Hal ini seperti pada kedatangan komunitas di Brasilia pada tahun 1997 melalui gerakan National March for Land Reform selama sekitar 2 bulan sebagai invasi simbolik. Tujuan gerakan ini adalah untuk “to open channels of communication with society” dan menunjukkan bahwa pemerintah lebih menaruh perhatian pada “only to interest of the elites and the big international economic groups”.
Langganan:
Postingan (Atom)