Jumat, 23 Mei 2014

Apa yang Berbahaya dari Prabowo dan Gerindra? : Telaah Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra)[1]

Oleh: Rio Apinino, Sekjen SEMAR UI
 
Pro dan kontra terhadap Prabowo Subianto, Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya atau lebih dikenal dengan Gerindra dan mantan Danjen Kopassus, semakin menjadi diskursus yang panas akhir-akhir ini. Pro dan kontra terhadap Prabowo memang tidak pernah usai, terutama setelah Suharto jatuh dan dirinya disinyalir terlibat dalam berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa Orde Baru  Suharto. Pro dan kontra tersebut kembali menemukan momentumnya: Pemilu 2014. Dalam Pemilu kali ini, karena penguasaan modal dan kampanye yang masif, Gerindra merangsek menjadi partai klasemen atas: berada pada posisi tiga, hanya kalah dari dua partai tradisional, PDI dan Golkar. Ketika tulisan ini dibuat, dengan bekal koalisi 6 Partai, Prabowo mantap mencalonkan diri sebagai calon presiden RI didampingi Hatta Rajasa.


Tulisan ini, hanya dilihat dari judulnya saja, jelas berposisi kontra terhadap Prabowo dan Gerindra. Kita tahu, posisi apapun, di alam demokrasi saat ini sebenarnya merupakan hak bagi seluruh warga negara. Asalkan posisi tersebut disertai dengan argumentasi karena hari ini banyak sekali pihak yang berposisi tanpa argumentasi alias manut-manut wae. Dalam konteks demikian, saya akan menjabarkan argumentasi dari posisi saya tersebut dengan memprediksi atas apa yang akan terjadi jika Prabowo memenangkan Pemilu 2014 ini melalui telaah terhadap Manifesto Perjuangan Partai Gerakan Indonesia Raya yang merupakan pernyataan sikap dan kerangka kerja Gerindra dalam politik. Tentu, mereka yang pro terhadap Prabowo dan Gerindra seharusnya sudah membaca manifesto ini.

Ekonomi Kerakyatan atau Kapitalis Pribumi?

Ketika membaca secara keseluruhan isi manifesto ini, dan juga ditambah dengan pemberitaan media-media, maka Prabowo dan Gerindra akan dekat dengan frasa seperti ekonomi kerakyatan yang tentu saja, membuatnya terlihat pro-rakyat. Misalnya, dalam manifesto tertulis,

“Kebijakan perekonomian harus mendukung cita-cita welfare state (negara kesejahteraan) yang berkeadilan. Untuk itu diperlukan langkah yang tepat untuk menormalisasi kehidupan ekonomi rakyat dengan kembali memperjuangkan paham ekonomi kerakyatan.” (hlm. 14)

Selain menyinggung persoalan ekonomi kerakyatan, manifesto ini juga membahas watak ekonomi kapitalistik yang menurutnya telah dianut di Indonesia semenjak tahun 1980. Selain itu, manifesto ini juga menjelaskan bagaimana liberalisasi ekonomi pasca refromasi justru membuat perekonomian Indonesia tidak berdaulat dan hanya menjadi boneka asing, diantaranya adalah IMF. Katanya,

“Sejak era Orde Baru, ekonomi Indonesia cenderung berwatak kapitalistik... liberalisasi ekonomi pada tahun 1980-an telah menyebabkan Indonesia rentan terhadap krisis ekonomi. Krisis ekonomi 1997-1998 merupakan buah liberalisasi yang didorong oleh kekuatan-kekuatan organisasi dana moneter internasional (IMF)” (hlm. 14)

Sistem yang kapitalistik ini, berdasarkan apa yang ada di manifesto, adalah sistem yang akan dikoreksi Gerindra dan Prabowo kelak jika berhasil menjadi Presiden yang dirangkum dalam term ekonomi kerakyatan yang telah disebutkan sebelumnya. Persoalan mengenai ekonomi kerakyatan, meskipun banyak sekali definisi dari para ahli, dapat ditemukan konsepnya terutama dalam pasal 33 UUD 1945 yang merupakan konstitusi ekonomi dan pada pokoknya adalah sistem ekonomi yang mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam ekonomi, baik dalam aras produksi hingga konsumsi dan dengan koperasi sebagai sokogurunya. Dengan manifesto yang demikian, maka kesan yang timbul adalah Partai Gerindra merupakan partai yang berhaluan sosialis juga sekaligus nasionalis karena selalu menyuarakan kepentingan rakyat banyak dengan menyerahkan sebabnya pada kerakusan kapital asing. Tetapi tunggu, benarkah demikian?

Martin Suryajaya dalam tulisannya berjudul “Apa yang Sosialis dari Nasional-Sosialisme?”[2] menjelaskan hal ini. Program ekonomi Gerindra, yang dicirikan sebagai nasional-sosialis dengan program-program yang terlihat sosialis dan mengedepankan kepentingan nasional, dan dengan demikan nasionalis, ternyata pernah juga menjadi program partainya Hitler, sang Fasis berdarah dingin, Partai Nasionalis-Sosialis Jerman. Nazi, sebelum berkuasa, juga menjanjikan perekonomian dengan corak kerakyatan dengan fokus seperti nasionalisasi aset-aset yang dikuasai asing. Setelah berkuasa, bukan program-program sosialisme yang dijalankan Hitler dan Nazinya, melainkan ‘Aryanisasi.’ Nasionalisasi bukanlah dari, oleh dan untuk rakyat Jerman melainkan justru diambil alih oleh pengusaha-pengusaha Pribumi pendukung Hitler.

Nasionalisasi pura-pura ini bukan tidak mungkin terjadi di Indonesia. Kembali ke manifesto Gerindra, dijelaskan bahwa,

...kepemilikan negara terhadap alat alat perekonomian dan kekayaan yang menyangkut hajat hidup orang banyak harus tetap dipertahankan, dan diusahakan pengembalian seluruh alat-alat perekonomian dan kekayaan yang telah berpindah kepemilikan terutama yang erat kaitannya dengan keamanan nasional.” (hlm. 15-16)

Yang perlu digarisbawahi dalam kalimat tersebut adalah ‘kepemilikan negara.’ Selama ini, problem kepemilikan negara atau penguasaan negara terhadap sumber daya di Indonesia adalah sumber daya tersebut tidak benar-benar dikuasai rakyat. Penguasaan oleh negara telah secara otomatis mengatasnamakan penguasaan rakyat atas sumber daya tersebut. Padahal, yang terjadi adalah penguasaan sumber daya tersebut berada di segelintir tangan birokrat (kapitalis birokrat) tanpa adanya kontrol dari rakyat banyak. Padahal, problem utama dari nasionalisasi di Indonesia, sebagaimana yang dikatakan Hilmar Farid,[3] adalah ketidakmampuan membedakan kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Hal ini terlihat jelas contohnya dalam penguasaan sumber daya alam di masa Suharto. Sumber daya vital yang menguasai hajat hidup orang banyak secara mayoritas terlihat seperti berada dalam penguasaan negara dan dengan demikian mengatasnamakan rakyat sebagai penguasa kekayaan alam tersebut. Padahal, yang terjadi justru penguasaan sumber daya berada di tangan Kroni-Kroni Suharto atau bahkan keluarga-keluarganya.

Nasionalisasi aset memang dapat menjadi prioritas jika ingin mengembalikan kedaulatan Indonesia dibilang ekonomi maupun politik, dengan syarat, aset-aset tersebut dikelola oleh publik dan bukan oleh segelintir pejabat korup. Tentu ada berbagai macam cara, seperti penguatan kontrol buruh dalam keseluruhan proses produksi. Tetapi, adalah hal yang tidak mungkin menganggap Prabowo akan melaksanakan nasionalisasi di bawah kontrol publik ini ketika Prabowo jelas-jelas memiliki watak anti-buruh. Misalnya, buruh-buruh di perusahaan milik Prabowo, PT Kertas Nusantara, pernah tidak dibayar gajinya sejak November 2013 sampai Maret 2014.[4] Bagaimana mungkin mengharapkan adanya kontrol buruh dalam pengelolaan  aset-aset negara sedangkan saat ini buruh yang bekerja di perusahaannya saja tidak dibayar?

Tidak ada kepentingan rakyat banyak disini, yang ada adalah kepentingan kelas kapitalis pribumi yang –sama dengan kapitalis di seluruh penjuru dunia, tujuannya adalah akumulasi kapital tanpa henti. Nasionalisasi versi Prabowo dan Gerindra adalah nasionalisasi tipu-tipu, mirip seperti peristiwa nasionalisasi besar-besaran pada tahun 1950-an dimana aksi sepihak para buruh untuk mengambilalih perusahaan asing justru diambilalih segelintir perwira militer demi kepentingan pribadi mereka.

Kapitalis pribumi berlindung di balik slogan kepentingan rakyat dengan tujuan yang tidak lain agar tidak kalah dan terkubur oleh kapitalis-kapitalis asing. Hal ini diperkuat dengan salah satu kalimat dalam manifesto yang mengatakan bahwa PMA (Penanaman Modal Asing) perlu diatur. Tentu, yang menggantikan adalah modal pribumi, dengan karakteristik eksploitatif yang sama, hanya dengan warna kulit tuannya yang berbeda. Itulah program ekonomi kerakyatan versi Gerindra dan Prabowo.

Bukti bahwa ekonomi kerakyatan hanyalah gincu pemanis untuk menutupi apa yang ada di baliknya, diantaranya terlihat justru di bagian lain dalam manifesto ini. Dalam bagian lain, dijelaskan bahwa visi pendidikan Gerindra adalah menciptakan SDM-SDM siap pakai dari sekolah menengah kejuruan. Dengan kata lain, pendidikan bagi Gerindra adalah hanya untuk memenuhi kebutuhan Industri.

“Pendidikan tingkat menengah (menengah tingkat pertama dan menengah atas) harus lebih dijuruskan pada pendidikan kejuruan terutama teknik dan ekonomi, yang bisa langsung terserap dunia kerja. Partai Gerindra mengusung konsep pendidikan siap pakai di tingkat sekolah lanjutan, yang dapat menciptakan lulusan siap kerja.” (hlm. 30)

Visi pendidikan untuk memenuhi kebutuhan industri tersebut terlihat sangat kontradiktif dengan pernyataan dihalaman selanjutnya dari manifesto,

“secara sistemik, Partai Gerindra akan memperjuangkan pembangunan sistem pendidikan yang humanis, bukan sistem pendidikan yang liberal-kapitalistik.” (hlm. 31)

Maka, pertanyaan ini harusnya dapat dijawab: bagaimana mungkin membuat sistem pendidikan yang humanis sedangkan visi pendidikannya saja hanya bertujuan untuk mencetak robot-robot bernyawa yang dikondisikan menjadi sekrup-sekrup industri selain daripada visi pendidikan yang humanis itu hanyalah bualan omong kosong di siang hari? Bukankah pendidikan yang hanya bertujuan menciptakan robot-robot bernyawa itu tidak lain digunakan untuk melanggengkan sistem liberal-kapitalistik? Another logical fallacy!

Hal yang juga penting dilihat ketika telah bersepakat bahwa ekonomi kerakyatan yang diusung Prabowo dan Gerindra hanyalah gincu untuk memproteksi kapitalis pribumi dari kapitalis asing adalah adalah: apa latar belakang ekonomi Prabowo?

Berdasarkan tulisan dari George Junus Aditjondro,[5] keluarga besar Prabowo merupakan kapitalis sekaligus tuan tanah besar dengan penguasaan lahan sebanyak 3 juta hektar (ingat, tulisan ini dibuat pada tahun 2009, 5 tahun yang lalu!). Penguasaan tanah Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, tersebar dalam bentuk perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi dan aren, serta ratusan ribu hektar hutan pinus. Selain menguasai perkebunan, masih berdasarkan sumber yang sama, keduanya juga menguasai berbagai konsesi hutan dengan tujuan bisnis. Tercatat penguasaan konsesi seluas 96 ribu hektar yang membentang dari dari Kabupaten Bener Meriah ke Kabupaten Aceh Tengah yang merupakan sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh di Lhokseumawe; 30 ribu hektar perkebunan sawit di Sumatera Barat dan Jambi di bawah PT Tidar Kerinci Agung; 290 ribu hektar konsesi hutan PT Tanjung Redep di Kalimantan Timur yang dahulu dikuasai Bob Hasan, kroni Suharto; 350 ribu hektar konsesi hutan hasil akuisisi Kiani Group di Kalimantan Timur; 260 ribu hektar konsesi hutan PT Kartika Utama di provinsi yang sama; 260 ribu hektar konsesi hutan PT Ikani Lestari; 60 ribu hektar konsesi Nusantara Energy yang merupakan holding company Prabowo serta perkebunan PT Belantara Pusaka seluas 15 ribu hektar lebih.

Belum cukup sampai situ, Prabowo dan adiknya juga memiliki budidaya mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati di Bima, NTB dan perkebunan jarak seluas seratus hektar untuk bahan bakar nabati. Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585 ribu hektar. Di Papua, mereka juga mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih dari 15 trilyun kaki kubik. Dengan kepemilikan tanah seluas itu, maka HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) yang merupakan organisasi yang diketuai Prabowo seharusnya berubah namanya menjadi Himpunan Kerukunan Tuan Tanah Indonesia (HKTTI).

Dengan latar belakang imperium bisnis tersebut, dan dengan visi ekonomi yang orientasinya kepentingan kapitalis pribumi, maka keduanya menjadi cocok. Bahwa politik, tidak lain dan tidak bukan, digunakan secara kasar untuk mendapatkan akses secara langsung terhadap kebijakan pengelolaan sumber daya. Apakah kita mau kembali memiliki Presiden yang mengelola negara seperti mengelola sebuah imperium bisnis yang keuntungannya tersalur ke keluarga dan kroni-kroninya sendiri sebagaimana yang Suharto lakukan selama puluhan tahun?

Fasisme Makin Nyata: Kembalinya Orde Baru

Mei 1998, Suharto memang jatuh, tetapi tidak dengan Orde Baru sebagai sebuah sistem. Memang, bukanlah hal yang mudah untuk menghilangkan sama sekali pengaruh Orde Baru yang telah dibangun selama puluhan tahun. Tetapi, hal ini bukan berarti kita tidak bisa menghilangkan pengaruh-pengaruh Orde Baru tersebut. Sayangnya, ketika sistem yang dibangun Orde Baru selama puluhan tahun tersebut masih sangat terasa nyata pengaruhnya, partai Gerindra dan Prabowo justru secara eksplisit mencoba membangkitkan kembali sistem Orde Baru tersebut, yang terlihat jelas dalam manifestonya.

Kata kunci ketika membicarakan sistem yang dibangun pada masa Orde baru adalah: stabilitas politik untuk pertumbuhan ekonomi. Adanya pertumbuhan ekonomi mensyaratkan adanya stabilitas politik dalam negeri. Adapun pengejawantahan stabilitas politik ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah berbagai macam kebijakan yang menjadikan masyarakat Indonesia a-politis. Selain itu, stabilitas politik yang dimaksud pada masa Orde Baru juga apa yang kita lihat hari ini sebagai sebuah teror negara: ketidakbebasan pers, pemberangusan gerakan rakyat yang masif yang tumbuh di era Sukarno, Pembunuhan Misterius (Petrus), hingga penculikan-penculikan aktivis pro-demokrasi tahun 1997-998.

Prabowo sendiri terlibat diantaranya dalam peristiwa pembunuhan massal di Kraras, pada September 1983 dimana sebanyak 300 orang dibunuh dalam peristiwa itu. Pada tahun 1997-1998, Prabowo pun memimpin penculikan, penangkapan, dan penyiksaan terhadap para aktivis pro-demokrasi. Selain itu, Prabowo juga memiliki peran yang sentral dan penting dalam peristiwa kerusuhan anti-etnis Cina pada 14 Mei 1998 di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.[6]  Mantan duta besar Amerika untuk Indonesia, Robert Gelbard bahkan menyebutkan Prabowo sebagai “somebody who is perhaps the greatest violator of human rights in contemporary times among the Indonesian military. His deeds in the late 1990s before democracy took hold, were shocking, even by TNI standards.”  (terjemahan : seseorang yang mungkin merupakan penjahat HAM terkejam di era militer kontemporer Indonesia. Apa yang dia (Prabowo) lakukan di akhir 1990an sebelum demokrasi, sangatlah mengejutkan, bahkan untuk standar TNI).

Kestabilan politik yang menjadi syarat bagi pertumbuhan ekonomi ini terlihat jelas menjadi visi Prabowo dan Gerindra ketika berhasil menjadi presiden dan partai penguasa. Di dalam bidang politik manifesto misalnya, dijelaskan bahwa,

“...demokrasi yang sesuai dengan budaya bangsa Indonesia adalah demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan perwakilan. Demokrasi liberal telah menyebabkan terjadinya instabilitas politik nasional yang kontraproduktif bagi pembangunan bangsa Indonesia. (hlm. 11)

Bagi Prabowo dan Gerindra, era reformasi adalah era dimana demokrasi yang pada masa Orde Baru berasaskan permusyawaratan perwakilan telah digantikan dengan demokrasi liberal. Saya setuju bahwa era reformasi adalah era dimana demokrasi liberal berjaya, tetapi, bukan berarti jalan bagi keterbatasan dan kekurangan demokrasi liberal tersebut adalah kembali pada demokrasi versi Orde Baru, atau demokrasi pancasila dengan pemerintah sebagai otoritas penafsir satu-satunya.

Saya langsung teringat pada salah satu video di Youtube. Video tersebut menggambarkan demonstrasi buruh-buruh yang diinisiasi PRD. Dalam salah satu adegan, buruh-buruh yang berdemonstrasi di pinggir jalan tersebut di hadang oleh militer. Terjadilah percakapan (kira-kira) sebagai berikut:

Militer: Ngapain ramai-ramai disini?
Massa (diwakili koorlap): Demonstrasi pak! Menyuarakan pendapat. Ini demokrasi!
Militer: Demokrasi apa! Ini bukan demokrasi! Kan sudah ada perwakilanmu di DPR sana.

Pemutusan presentasi terhadap representasi memang merupakan bagian dari politik Orde baru. Padahal, sebagaimana diketahui, Dewan Perwakilan yang ada pada masa DPR tidak lain merupakann bagian dari rezim yang fungsinya hanya menjadi “yes man” saja dengan politik “Asal Bapak Senang (ABS)”-nya. Sedangkan, rakyat yang mencoba merepresentasikan dirinya langsung, misalnya melalui aksi massa, tidak diizinkan dan dapat dipastikan akan mendapatkan represi aparat. Tentu, saya tidak perlu berpanjang lebar menjelaskan represi yang dialami para pelaku protes pada masa Orde Baru. Cukuplah kita mengingat contoh-contoh seperti peristiwa Kedung Ombo, penentangan pembangunan Taman Mini, tragedi Talangsari, tragedi Trisakti dan Semanggi, dan lain-lain.

Intinya, demokrasi pada masa Ode Baru, merupakan demokrasi yang maknanya telah dikebiri dengan tujuan untuk melanggengkan kekuasaan. Tidak ada kebebasan berserikat, berkumpul, apalagi mengeluarkan pendapat. Visi inilah yang akan dilaksanakan Prabowo dan Gerindra. Sebagaimana yang ditulis dalam manifesto,

“Terkait dengan pelaksaan demokrasi yang memberikan kebebasan sebebas-bebasnya, kini bangsa kita tengah menghadapi pilihan, mana yang diutamakan, kemakmuran rakyat atau kebebasan yang sebebas-bebasnya. Menghadapi pilihan itu, Partai Gerindra akan mengutamakan kemakmuran rakyat sesuai amanat Pembukaan UUD 1945. Demokrasi dan kebebasan hanya merupakan salah satu alat, sedang tujuan utama kita berbangsa dan bernegara adalah kemakmuran rakyat.” (hlm. 14)

Apakah benar kemerdekaan Indonesia hanyalah ditujukan untuk kemakmuran rakyat dengan mengesampingkan kebebasan, termasuk kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat? Tentu jawabannya adalah tidak!   Kemerdekaan yang dimaksudkan tentulah merupakan kebebasan dalam bidang sipil dan politik, juga bidang ekonomi sosial dan budaya. Kedua hal tersebut tidak bisa dikesampingkan salah satu atau menegasikan satu diantaranya. Jika demikian, kemerdekaan yang telah direbut bukanlah kemerdekaan sejati.

Kita harus mengingat bahwa, salah satu dari keberhasilan reformasi adalah kebebasan mengeluarkan pendapat. Itu tidak bisa dipungkiri. Kita tentu tidak ingin hidup dalam represi dan ketidakbebasan politik sebagaimana yang terjadi pada masa Orde Baru yang coba dibangkitkan kembali oleh Prabowo dan Gerindra. Hanya dengan kebebasan politiklah rakyat Indonesia dapat memperjuangkan hak-haknya ditangan mereka sendiri. Dan, perjuangan kearah yang lebih baik melalui tangan sendiri itu, akan kembali ke masa yang suram dan tidak memiliki masa depan ketika rezim yang berkuasa nanti adalah rezim yang mengesampingkan kebebasan politik.

Selain itu, bukti lain yang dapat menunjukkan bahwa ketika Prabowo menjadi presiden maka dia akan menjalankan politik Orde Baru yang fasis adalah kesepakatannya terhadap sistem pertahanan dan keamanan yang dilakukan rezim Orde Baru, yaitu Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata). Sebagaimana yang tertulis dalam manifesto,

“Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang telah terbukti keampuhannya harus lebih dioperasionalkan yang didukung dengan peningkatan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan modernisasi infrastruktur Alutsista (alat utama sistem senjata) TNI serta profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (Polri).” (hlm. 36)

Di era Orde Baru, doktrin Hankamrata merupakan doktrin fundamental militer dengan juga melibatkan partisipasi sipil dalam “menjaga pertahanan dan keamanan negara.” Dalam prakteknya, doktrin inilah yang kemudian dipegang untuk memberangus seluruh gerakan rakyat baik oleh militer ataupun oleh sipil, yang tentunya juga diorganisir oleh militer (paramiliter).  Di era reformasi, hal ini tetap berlaku. Dengan berkelindannya doktrin Hankamrata dengan berbagai macam regulasi anti-rakyat seperti UU Ormas, UU Intelijen dan UU Kamnas, maka gerakan-gerakan rakyat akan selalu dianggap sebagai sebuah ancaman bagi pertahanan dan keamanan negara (baca: kenyamanan investor) dan sah untuk di represi ketimbang dianggap sebagai rakyat yang berjuang menuntut haknya kepada negara. Ditambah lagi, jaringan Prabowo ke ormas-ormas paramiliter dan anti-demokrasi seperti GRIB/Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu pimpinan Hercules, FAKI/Front anti Komunis Indonesia, FPI/Front Pembela Islam, dan kelompok Tidar jaringan DO Akmil Magelang semakin meneguhkan bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat semakin nyata terancam.

Untuk lebih menegaskan bahwa Prabowo dan Gerindra adalah rezim yang akan represif secara politik, saya akan mengutip lagi salah satu bagian dari manifesto, terutama bidang perburuhan,

Ketidakpuasan buruh terhadap manajemen kerja dan industri seringkali diungkapkan dalam bentuk pemogokan, demonstrasi, bahkan sabotase. Kondisi ini tidak kondusif bagi iklim dunia usaha dan industri serta menyebabkan hilangnya potensi investasi yang dapat menciptakan lapangan kerja. Partai Gerindra menilai hubungan buruh dan pengusaha perlu ditempatkan sebagai relasi yang seimbang, saling menguntungkan dan saling membutuhkan.” (hlm. 47)

Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan rakyat yang paling maju di era reformasi adalah gerakan buruh. Cara-cara yang diperjuangkan adalah apa yang ditulis dalam manifesto itu: mogok, demo, bahkan sabotase. Sayangnya, Prabowo dan Gerindra menganggap bahwa hal tersebut tidak lain merupakan kondisi yang tidak kondusif bagi iklim usaha. Apalagi, penilaian Prabowo dan Gerindra dalam hubungan buruh-pengusaha adalah hubungan yang seimbang. Padahal, sebagaimana yang kita tahu, relasi antara buruh-penguasa selalu merupakan relasi yang timpang, dan satu-satunya cara untuk memperkecil ketimpangan tersebut adalah menempatkan aksi massa para buruh sebagai metode perlawanan, tentu dalam konteks perjuangan kelas. Maka, jika kita mendapati kesan bahwa Prabowo sangat pro-buruh dalam masa-masa kampanye seperti saat ini, itu tidak lain hanyalah manipulasi.

Persepsi yang mengatakan bahwa relasi antara buruh dan penguasa merupakan mitra yang memiliki kesetaraan posisi, sebagaimana yang dipandang oleh Prabowo dan Gerindra, tidak lain merupakan pandangan Orde Baru yang jelas-jelas anti-buruh. Sekali lagi, bahkan gerakan buruh yang paling maju diantara gerakan sosial lain yang tumbuh pada masa reformasi pun akan tidak memiliki masa depan ketika Prabowo menjadi Presiden.

Tidak Adanya Masa Depan Bagi Penegakkan HAM dan Kelompok Minoritas

Salah satu isu utama dalam menjegal Prabowo untuk menjadi Presiden adalah kasus-kasus pelanggaran HAM-nya di masa lalu. Usaha-usaha untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM pun dilakukan oleh banyak pihak. Misalnya, Aksi Kamisan yang diselenggarakan keluarga korban tiap kamis di depan Istana Negara. Belum lagi berbagai aksi-aksi yang dilakukan berbagai elemen seperti mahasiswa ataupun LSM-LSM sejenis.

Dalam konteks ini, DPR melalui Panitia Khusus Orang Hilang pada 28 September 2009 merekomendasikan Presiden SBY untuk membentuk Pengadilan HAM ad hoc untuk mengusut kasus pelanggaran HAM, terutama kasus penghilangan paksa dan mendesak Kejaksaan Agung untuk segela menyelidiki kasus tersebut (Detik, 2009). Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc ini penting sebab, setidaknya karena dua hal. Pertama, negara adalah pihak yang paling bertanggung jawab dalam melindungi dan menghormati Hak Asasi warga negaranya. Kedua, pembentukan Pengadilan HAM ad hoc tidak lain adalah upaya untuk jujur terhadap sejarah masa lalu bangsa sendiri. Setelah rekomendasi DPR tersebut, sebagaimana yang diketahui, pengadilan HAM ad hoc tidak pernah dibentuk oleh Presiden.

Bagaimana masa depan penegakkan HAM jika Prabowo menjadi Presiden? Persoalan ini, dijelaskan secara gamblang dalam manifesto dengan ungkapan bahwa,

“...adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodie (berlebihan).” (hlm. 34)

Selain itu, dalam halaman selanjutnya, juga dijelaskan bahwa,

“Partai Gerindra menolak dijadikannya isu hak-hak asasi manusia sebagai instrumen politik pihak asing untuk mendikte dan campur tangan dalam urusan domestik negar Indonesia.” (hlm. 35)

Dua pernyataan tersebut sudah menjelaskan secara gamblang bagaimana masa depan penegakkan HAM masa lalu di Indonesia: NOL BESAR! Adanya Pengadilan HAM dianggap sebagai sesuatu yang berlebihan oleh Prabowo dan Gerindra. Apa yang berlebihan dari desakan untuk menuntut pelaku pelanggaran HAM ke meja pengadilan? Apa yang berlebihan dari tuntutan Ibu Sumarsih yang ingin mengetahui siapa sebenarnya aktor intelektual pembunuh Wawan, anak kesayangannya? Apa yang berlebihan dari tuntutan para orang tua yang ingin mengetahui keberadaan anaknya yang entah dimana saat ini, apakah masih bernyawa atau tidak? Apa yang berlebihan jika Fajar Merah dan Fitri Nganthi Wani ingin mengetahui siapa yang menculik dan membunuh Bapaknya, Wiji Thukul, organisator buruh dan penyair tajam itu?

Tuntutan akan adanya kebenaran terhadap kasus pelanggaran HAM semakin tidak masuk akal ketika Prabowo dan Gerindra menganggap bahwa hal tersebut merupakan instrumen politik asing untuk mendikte Indonesia. Bagi saya, pernyataan bahwa isu hak asasi manusia merupakan agenda politik asing untuk campur tangan dalam urusan domestik Indonesia sama sekali tidak masuk akal dan mengada-ada. Justru, kestabilan politik yang Prabowo dan Gerindra janjikan dalam manifesto inilah yang dapat menjadi instrumen politik asing untuk mengintervensi Indonesia. Dengan adanya kestabilan politik, maka investasi, baik dalam negeri maupun asing akan dapat berjalan dengan mulus. Ketika stabilitas politik mulai terganggu, maka saat itu pula Prabowo akan tidak segan-segan menggunakan berbagai cara untuk membuat stabilitas politik menjadi tegak. Jika mogok, demonstrasi dan sabotase pabrik oleh buruh dianggap mengganggu stabilitas politik, dan dengan demikian mengganggu jalannya investasi, maka gerakan-gerakan itupun pasti akan diberangus.  Bukankah justru itu yang merupakan salah satu bentuk dari intervensi asing (meskipun kadang-kadang tidak secara langsung) yang jelas-jelas dilaksanakan secara sadar dan terencana?

Pernyataan bahwa perjuangan terhadap isu-isu kemanusiaan merupakan sesuatu yang berlebihan dan merupakan intervensi asing, itu sama artinya dengan mengatakan bahwa bangsa Indonesia tidaklah beradab dan hanya satu tingkat di atas hewan yang hanya memerlukan perut yang penuh. Justru, penghormatan terhadap isu kemanusiaan dan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM merupakan salah satu ciri sebuah negara yang menghormati tiap-tiap masyarakatnya.

Selain itu, bagi saya, pernyataan bahwa isu HAM merupakan instrumen politik asing untuk mendikte Indonesia tidak lain merupakan sebuah usaha preventif agar pelanggaran HAM tidak pernah diusut secara tuntas. Jika kita melihat berbagai sejarah pelanggaran HAM oleh negara kepada rakyatnya, maka salah satu faktor keberhasilan dari penuntasan kasus tersebut justru dukungan asing/dunia internasional. Salah satu contoh terbaik adalah Argentina dalam melaksanakan pengadilan HAM bagi kediktatoran Junta Militer tahun 1976 – 1983. Pada tahun 2012 misalnya, negara tersebut berhasil mengadili sekita 400 penjahat HAM pada masa Junta Militer (berdikarionline, 2012). Keberhasilan tersebut salah satunya adalah dukungan dari Amnesti Internasional, sebuah lembaga internasional yang fokus kepada isu pelanggaran HAM di seluruh dunia. Selain itu, tentu saja, keberhasilan penuntasan kasus HAM adalah karena pimpinan negara tersebut yang berpihak di sisi korban. 

Bukan hanya penuntasan kasus pelanggaran HAM saja yang tidak memiliki masa depan seandainya Prabowo menjadi presiden, tetapi juga nasib para golongan minoritas agama seperti Ahmadiyah atau Syiah yang terancam keberadaannya. Seandainya Prabowo menjadi presiden, sebagaimana yang tertuang dalam manifestonya, maka klaim kebenaran agama berada dalam otoritas negara. Sebuah bentuk fasisme religius yang amat menakutkan!

“...pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.” (hlm 40)

Itulah kalimat lengkap bentuk fasisme religius yang tertera dalam manifesto Gerindra yang akan dijalankan seandainya Prabowo menjadi presiden. Dengan manifesto pemurnian agama ini, tidak heran ormas-ormas anti demokrasi nan fasis seperti FPI dan Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) berada di belakang Prabowo.

Penutup

Jika membaca manifesto Gerindra tanpa ketelitian, maka mungkin saja kesan pertama yang timbul adalah manifesto ini sempurna dan dapat menjadi jawaban atas segala jalan buntu yang dihadapi Indonesia. Misalnya saja, frasa-frasa yang terkesan sangat nasionalistik dengan menolak intervensi asing, bantuan hutang luar negeri, hingga penolakan privatisasi BUMN. Tetapi, tentu kita tidak bisa membaca secara lugu dan tanpa ketelitian seperti itu.

Memang, pada ahirnya kita tidak akan bisa mengetahui apa yang akan terjadi di masa depan. Yang bisa kita lakukan adalah melihat apa yang ada saat ini dan apa yang telah terjadi di masa lalu. Dengan melihat kedua hal tersebut, maka sedikit banyak kita akan memprediksi apa yang akan terjadi di masa depan. Apa yang penulis lakukan dengan menelaah manifesto Gerindra ini adalah elaborasi dari semuanya: melihat apa yang terjadi saat ini, melihat sejarah masa lalu, dan kemudian mencocokkannya dengan visi, atau dengan kata lain, masa depan apa yang akan dibangun Prabowo dan Gerindra atas Indonesia. Kesimpulannya, visi manifesto Gerindra tidak lain merupakan sebuah manifesto yang menegaskan bahwa Indonesia akan diarahkan pada bentuk fasisme: mengamankan kepemilikan pribadi dari ancaman modal asing dengan berselimut pada terminologi-terminologi nasionalistik (bahkan cenderung ultra-nasionalis), stabilitas politik dengan mensyaratkan pemberangusan gerakan rakyat dan segala bentuk protes sebagaimana yang Orde baru lakukan selama 32 tahun melalui militer dan paramiliter fasis-relijius yang ada di belakangnya, dan pengagungan terhadap sebagian kelompok dengan merendahkan dan menyingkirkan kelompok di luar mereka, terutama yang diungkapkan melalui manifesto pemurnian agama.

Satu-satunya cara untuk menggagalkan fasisme tegak di Indonesia, tidak lain, adalah bersatunya gerakan rakyat untuk melawan hal ini dengan berbagai macam metode aksi yang memungkinkan. Dalam momen politik kali ini, tidak bisa lagi kita bersikap netral/tidak berpihak. Jangan pilih Prabowo, demi kemanusiaan dan demokratisasi, atau minimal demi diri sendiri yang tidak mau lagi hidup di zaman seperti zaman fasisme Orde Baru.

***



[1] Manifesto  Partai Gerindra dapat dilihat lengkap dalam tautan berikut: http://partaigerindra.or.id/manifesto-perjuangan-partai-gerindra
[2] Martin Suryajaya. Apa yang Sosialis dari Nasional-Sosialis. [internet]. Diambil dari http://indoprogress.com/2014/05/apa-yang-sosialis-dari-nasional-sosialisme/ pada 20 Mei 2014
[3] Hilmar Farid. Soal Nasionalisasi Aset. Koran Bakti No I/Mei/2014.
[4] 5 Bulan Tak Digaji Karyawan Prabowo Subianto Mogok http://www.tempo.co/read/news/2014/01/20/058546632/5-Bulan-Tak-Digaji-Karyawan-Prabowo-Subianto-Mogok-
[5] George Junus Aditjondro. Menyongsong Era Suharto, Babak Kedua. [internet]. Diakses dari https://groups.google.com/forum/#!topic/populasi/KVZ4oHjs32A pada 21 Mei 2014.
[6] East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). Indonesia’s Militarized Democracy: Candidates bring proven records of violating human rights. [internet]. Diakses dari  http://etan.org/news/2014/3candidates.htm pada 23 Mei 2014

6 komentar:

  1. Tulisan ini sangat kental dengan aroma Komunis. Saya tidak sependapat dengan komunis juga tidak setuju ketika bangsa ini kembali ke liberal-kapitalis. komunis sudah terbukti gagal, liberalisme merangkak ke liang lahatnya. kita menuju ke New World Order. mengambil hal-hal baik dari keduanya lalu menyatukannya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bagian mana yg "kental dgn aroma komunis" -nya ya? :)

      Hapus
  2. Semoga Pak Prabowo adalah figur yang gentlemen dan berani jujur memberikan jawaban atas semua tuduhan baik yang pro maupun yang kontra.

    BalasHapus
  3. Itu kan cuma berkaca dari masa lalu.dan apakah ada bukti konkret untuk hal tsb.indonesia memang harus dipimpin oleh mantan militer ygkeras,krna watak orangnya sudah sgt bejat,baik dri rakyat kecilnys smpai dgn pejabat atad

    BalasHapus
  4. Klo saudara Firman merasa wataknya keras dan bejat mungkin cocok dipimpin Pak Prabowo.

    Bung Karno bilang "Jangan melupakan Sejarah"

    Sudah saatnya RAKYAT MENGGUGAT pemerintahan masa ORDE BARU tentang kesejahteraan yang harusnya dirasakan rakyat setelah 69 tahun Indonesia merdeka.

    BalasHapus
  5. Untuk penulis artikel ini, tolong lah jangan mengiring opini publik kalau prabowo adalah produk yg akan mengembalikan ke jaman liberal - kapitalis (orde baru). Itu kan hanya insting dan perkiraan penulis saja..tidak ada bukti konkret kalau prabowo akan mengembalikannya ke arah sana. Yg terpenting sekarang adalah bagaimana kita menyelamatkan pemimpin kita ayahanda jokowi agar bisa menyelesaikan amanahnya yg diucapkan di bawah kitab suci alquran sebagai Gubernur DKI Jakarta. :)

    BalasHapus