Selasa, 03 Desember 2013

Kebodohan Calon Ketua dan Wakil Ketua BEM UI 2014 atas Kesepakatannya pada Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Oleh Angin Timur
Anggota SEMAR UI

PADA rangkaian akhir kampanye calon ketua dan wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Universita Indonesia (BEM UI) 2014 yang dilaksanakan pada 30 November 2013 di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), pasangan kandidat nomor urut 3, Ivan Riansa (Ivan) dari Fakultas Teknik (FT) dan Ahmad Mujahid (Aid) dari FMIPA mengeluarkan sebuah pernyataan bodoh. Pernyataan tersebut adalah Kami sepakat Soeharto jadi Pahlawan Nasional, karena melihat melihat kriterianya. Kasusnya seharusnya sudah selesai, tapi ada pihak yang membuatya berlarut-larut”. Pernyataan ini sesuai dengan salah satu kicauan yang dikeluarkan oleh akun twitter Pemira IKM UI 2014 (@pemiraUI) pada sabtu malam tanggal 30/11/13 pukul 23.09 WIB.



Saya sebenarnya malas untuk mengomentari hal ini. Karena, bagi saya pemira hanyalah ajang regularitas. Tetapi, karena satu kicauan bodoh ini membuat saya termotivasi untuk buat tulisan ini. Hal ini karena menyangkut persoalan yang tidak hanya lips service aja, tetapi menyangkut hal yang sangat besar dan substansial. Pada posisi ini, saya bukanlah tim sukses manapun dari ketiga calon ketua dan wakil ketua BEM UI 2014. Saya juga tidak bertendensi mendukung salah satu calon dalam tulisan ini. Mengapa saya mengomentari dan menuliskan tulisan ini, lebih pada keprihatinan atas esensi pernyataan calon ketua BEM UI yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan. Sebagai studi kasus, dalam hal ini adalah Ivan dan Aid. Dalam tulisan ini pun diakui bahwa penulis tidak berada dalam acara debat tersebut, namun penulis memiliki bukti otentik yang jelas dan tertera dalam akun PEMIRA UI di atas bahwa salah satu calon ketua BEM UI sepakat pada pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Dan, oleh karena itu di sini saya tidak mengomentari kedua calon lainnya. Bukan masalah dukung-mendukung, tetapi pada persoalan bukti otentik tadi. Jika ada pembaca lainnya yang merasa bahwa kedua calon lainnya ternyata juga sepakat dengan pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan, misal dengan melihatnya di acara debat tersebut secara langsung, maka mari kita “bantai” bersama-sama.

Kicauan ini membuat saya bertanya-tanya, Apakah Ivan dan Aid mengetahui apa saja yang telah dilakukan oleh Soeharto semasa dia menjabat?  Bagi saya, apapun alasannya, Suharto tidak akan pernah pantas menjadi pahlawan nasional. Mengapa? Dari pertanyaan inilah mau tidak mau kita harus menelusuri kembali buku-buku sejarah (yang kritis terhadap orba, tentu) yang telah lama kita lupakan dan berdebu di rak buku. Sebagaimana kita ketahui, mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-2 ini telah melakukan banyak kejahatan HAM ketika dia menjabat. Yang harus kita ingat, ia melakukan pembunuhan masal orang-orang PKI, simpatisannya, dan yang tertuduh pada awal masa pemerintahannya melalui tangan Sarwo Edhi Wibowo terkait dengan kasus 65 untuk menegakan sebuah rejim yang bernama Orde Baru. Dengan demikian, Orde Baru dibangun di atas mayat jutaan orang-orang tersebut. John Roosa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal” memperkirakan sekitar 500.000 sampai 3 juta nyawa harus mati sia-sia karena sebuah keyakinan politik. Sebuah pembantaian terbesar kedua di dunia pasca Perang Dunia kedua, di bawah kekejaman Hitler dan dan hanya satu tangga dibawah rejim Pol Pot. Kemudian, juga melakukan pengurungan, penculikan, pembunuhan, dan pembuangan terhadap para aktivis yang mengkritisi kebijakannya. Yang bisa kita lihat pada kasus, Pembunuhan misterius ("Petrus") tahun 1980-an, kasus Tanjung Priok, Talangsari Lampung,  kasus 27 Juli 1996, Penculikan aktivis 1997-1998, dan pelanggaran HAM 1998. Belum lagi operasi militer yang terjadi di Aceh, Papua, dan Timor-Leste (yang ketika dijajah RI-nya Soeharto dan Orba menyandang nama "Timor Timur. Selanjutnya, seperti yang kita ketahui, beberapa aktivis dari kalangan mahasiswa yang menjadi korban kejahatan Soeharto berasal dari kampus kita sendiri, Universitas Indonesia. Salah satunya adalah mahasiswa dari FT jurusan Teknik Elektro angkatan 96, yaitu Yap Yun Hap. Maka dari itu, sangat miris sekali jika ketua dan wakil ketua BEM UI 2014 nanti malah sepakat setuju terhadap mengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Apalagi calon ketua dari kandidat tersebut berasal dari Fakultas yang sama, namun malah pro terhadap pengangkatan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.

Sekarang kita merasakan sendiri, Indonesia kini tidak memiliki kedaulatan atas bumi dan airnya. Sebagian besar bumi dan air kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan asing, dan kita hanya merasakan sedikit keuntungan dari itu. Kita bisa lihat di Papua, khususnya di Mimika, PT. Freeport bebas melakukan kegiatan pertambangan di gunung Eastberg dan Gastberg. Tetapi, hanya sedikit konpensasi yang diberikan untuk masyarakat, hanya sebesar 1%. Padahal, eksploitasi yang dilakukan sangat parah. Dari pembuangan limbah tailing yang merusak lingkungan, dan juga merusak nilai-nilai luhur kehidupan suku-suku asli penduduk Mimika. Hal ini, tidak terlepas dari UU yang pertama kali dikeluarkan oleh Soeharto, yaitu UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan UU tersebut, rejim Orde Baru membangun sebuah paradigma perekonomian yang berbasiskan modal asing, di atas modal dalam negeri. Masuknya PT. Freeport, dan perusahaan asing lainnya yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dimungkinkan dari peraturan tersebut. Akibatnya, bisa kita lihat sendiri saat ini. Selain hal tersebut, pembangunan ekonomi yang dilakukan Orba sangatlah rapuh. Bertumpu pada pertumbuhan ekonomi dan sangat percaya pada asas trickling down. Pola pembangunan dilakukan dengan cara-cara yang mengakomodir peminggiran dan pemiskinan secara struktural terhadap kaum marjinal. Ini yang menjadikannya pembangunan melesat cepat, tetapi juga sekaligus menciptakan bubble. Dan, terbukti hal itu kemudian “meledak” dengan  ditandai krisis ekonomi pada1997-1998.  Banyak orang yang mengkritisi itu sebelumnya, namun pengurungan, penculikan, pembuangan, dan pembunuhan yang mereka dapatkan. Hal itu tentu karena kita ingat, bahwa strategi pembangunan era Orde Baru menempatkan ekonomi sebagai panglima, khususnya pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, ia harus menstabilisasi politik dan gerakan rakyat dengan pembungkaman, pembredelan, dan depolitisasi rakyat secara luas. Tak ada kebebasan dan demokrasi di era Orde Baru. Benar-benar sistem yang otoriter. Dan perjuangan mendapatkan itu bukanlah hal yang main-main seperti anda dengan mudah melemparkan kicauan di twitter, sebagaimana “aktivis klik” era sekarang. Tetapi penuh dengan ancaman, kecaman, dan teror yang bermacam-macam. Tentu, pembaca sedikit banyak sudah tahu. Melihat hal demikian, apakah para calon ketua BEM itu tidak pernah belajar sejarah?

Saya merasa heran, kasus mana yang selesai dari semua kasus yang melibatkan Soeharto. Sejak Soeharto turun dan berlangsung era reformasi hingga sekarang, Soeharto tidak pernah diadili. Semua kasus yang dilakukan terkait dengan kejahatan HAM yang dilakukan olehnya tidak pernah diadili. Semua kasus dibiarkan mengendap dan kita dibuat lupa atas semua kejahatan HAM yang dilakukan oleh Soeharto. Malah, kini dengan mudah bertebaran poster-poster muka Suharto yang sedang tersenyum sambil berkata “Piye kabare? enakan jamanku tho?”

Seharusnya, jika Ivan dan Aid ingin menjadi ketua dan wakil ketua BEM UI 2014 lakukan dan dukunglah gerakan #melawanlupa yang telah dilakukan oleh beberapa orang. Bukan sepakat dengan pengangkatannya menjadi Pahlawan Nasional. Karena pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional sama saja membuat orang-orang di generasi sekarang dan berikutnya, lupa atas semua kejahatan HAM yang dilakukannya, dan kita hanya mengingat jasa-jasanya yang tidak sebanding atas kejahatan yang dilakukannya. Ataukah memang Ivan Aid memang berencana untuk menghilangkan memori kolektif, setidaknya dikalangan mahasiswa UI ini?

Saran saya kepada Ivan dan Aid, lebih banyak lagi mebaca buku-buku sejarah yang kritis terhadap orde baru. Karena, sejarah orde baru yang kita ketahui sekarang adalah buatan dari orde baru itu sendiri. Ya pastilah semua berisi kepentingan-kepentingan dari orde baru, yaitu pembersihan nama dari sang diktator Soeharto. Atau, ikut aksi kamisan di depan Istana Merdeka yang dilakukan oleh jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Dari itu, saya berharap calon ketua BEM UI 2014 dapat peka terhadap kondisi korban kejahatan Orde Baru yang memang harusnya diselesaikan, tetapi dengan cara yang sesuai dengan transisional justice, yang tidak pernah ada di Indonesia. Sebagai tambahan informasi saja, terutama bagi calon ketua BEM UI, perjuangan menegakan keadilan bagi pelanggaran HAM masa lalu tidaklah mudah. Kadang harus melewati masa yang panjang dan melelahkan, misalnya, Argentina yang membutuhkan waktu hingga 35 tahun sampai semua pelaku dapat diadili. Perjuangan itu tentu mensyaratkan adanya perjuangan yang kuat dan tanpa lelah dari masyarakat dan dukungan dari Negara. Pada posisi ini, bukankah tindakan dari calon ketua BEM UI 2014 ini justru kontraproduktif atas perjuangan kawan-kawan di luar yang menuntut kasus itu diselesaikan? Janganlah menjadi generasi yang amnesia, kawan.

TAMBAHAN:

Setelah tulisan ini di post dan disebarluaskan, muncul beberapa tanggapan. Sebagaimana sebuah opini, ada yang pro juga tak sedikit yang kontra. Pihak yang kontra terhadap tulisan ini menyarankan penulis untuk menyelidiki lebih jauh (karena memang penulis tidak ada di tempat ketika statement ini dibuat) dengan cara menanyakan pihak yang ada di TKP atau dengan cara lainnya. Sebelum penulis mempublish tulisan ini, penulis telah menanyakan kebenarannya kepada pihak yang ada di lokasi. Benar saja, Kandidat Ivan-Aid memang mengungkapkan kesetujuannya jika Suharto, sang Jendral Pelanggar HAM, dinobatkan oleh negara yang pelupa ini sebagai Pahlawan. Statement ini diperkuat dengan temuan notulensi Debat Kandidat yang dibuat oleh panitia Pemira UI. Yang berkaitan dengan kasus Suharto adalah sebagai berikut:

Usulan Partai Golkar agar  pemerintah  meanugerahkan  gelar Pahlawan  Nasional kepada  presiden  Soeharto sebaiknya disetujui.

Ivan-Aid :  Pahlawan itu memiliki  kontribusi  besar  dalam  pengembangan  dan  kemajuan.  32 tahun yang  dilakukan beliau  memberikan  bentuk sumbangsih  untuk  kemajuan  Indonesia  sendiri.  Coba  kita  lihat  apa  yang  diberikan, khususnya  bidang  pembangunan.  Perlu dibuat  parameter  definisi  pahlawan  nasional  itu  sendiri. Kami  merasa  32 tahun beliau  memimpin, itu  sebuah  hal  yang  layak Pak  Harto  dianugerahi  itu. Kami  setuju.

Kevin-Wieldan  : (Wieldan): Secara  pribadi  saya  menolak  karena  banyak  kasus HAM  yang belum  selesai  oleh  beliau. Setelah  selesai  kasusnya  baru  mengingat  apa  yang  dilakukan  beliau. Kevin : kalau  kita  lihat  pembangunannya, iya. Permasalahannya  apakah  kita berani  memberitahu  keluarga  korban HAM  kalau  Pak Harto  jadi  pahlawan atau tidak. Saya  juga  tidak  setuju kalau  kasusnya  belum  selesai.

Adnan-Wize : Beliau  punya  banyak  kenangan  yang  cukup  bermasalah, bisa  dikatakan  sebagai  pahlawan  pembangunan nasional. Tapi  jika  pahlawan  nasional  ketika  masih  ada  kasus  yang belum selesai itu  belum sesuai. Ketika  nanti  Indonesia  tahu  bahwa  Pak  Harto jadi  pahlawan  nasional, mereka  tahu  apa  yang  harus  dan  tidak  dilakukan. Enak  zaman  Pak  Harto, program  pembangunan 5 tahunnya  berjalan  lancar. Perlu  dikritisi  lagi  saat  di zaman orde  baru. Bagaimana  dikekangnya  kebebasan  politik, mengemukakan  pendapat. Ketika  dikatakan  pahlawan, kami belum sepakat, harus  diselesaikan dulu kasus-kasusnya.

Dari notulensi ini, maka apa yang penulis buat, adalah benar adanya. Penulis kemudian mengusulkan kepada pasangan Ivan-Aid untuk membuat tulisan tandingan yang berisi argumentasi lebih lanjut mengapa mereka menyetujui Suharto, Sang Jendral Pelanggar HAM, sebagai Pahlawan Nasional. Terimakasih.


*Notulensi lengkap Debat Kandidat dapat dilihat melalui link berikut: https://docs.google.com/document/d/16bamYMs0hTAez7k4ol0HSAKFAok2XCG37PQ4AxPDTYk/edit

8 komentar:

  1. hahaha, inilah jadinya kalau mahasiswa malas melirik sejarah.

    BalasHapus
  2. Semoga admin twitternya tidak salah menafsirkan kalimat si kandidat itu. Kalau misalnya admin akun Pemira IKM UI 2013 salah menafsirkan, dan membuat twit demikian, masalah ini menjadi lebih parah lagi. Dan teruntuk si kandidat, jika memang benar mereka menyatakan kalimat itu, wah.... betapa mirisnya... begitu buruknya kualitas calon pemimpin lembaga mahasiswa di UI.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Silakan lihat tulisan tambahan dari kami bung.. dari notulensinya jelas Ivan-Aid memang setuju Suharto sbg pelanghar HAM tanpa embel2 apapun..

      Hapus
  3. Wah, cukup mengejutkan... dan mengecewakan... lagi-lagi di dunia ini memang tidak ada yang bisa dipercaya 100% :)

    BalasHapus
  4. dan sekarang? Ivan dan Aid jadi Ketua dan Wakil BEM UI 2014. Gimana tuh?

    BalasHapus
  5. Bagus tulisannya bung.
    Mari kita lebih semangat dan progresif lagi. (Y)

    # Izin share yah bung :D

    BalasHapus