Pernah dimuat dalam jurnal IndoPROGRESS rubrik Left Book Review Edisi XV/2013
Penulis: Saskia Eleonora Wieringa
Penerbit: Penerbit GALANGPRESS (Anggota Ikapi)
Halaman: 542 halaman
BOLA mata para jendral dicungkil dari
tempatnya, sekujur tubuhnya dikuliti dan kemaluan mereka dipotong. Mayat
yang tak lagi utuh tersebut dikumpulkan dalam satu sumur mati di
wilayah Lubang Buaya, Jakarta. Di atas sumur mati tersebut para wanita
sundal menari ‘Tari harum Bunga’ dengan bugil merayakan kemenangan.
Tarian setan tersebut diiringi lagu Gendjer Gendjer yang bernuansa mistis. Maka, lengkap sudah segala kegerian dimalam jahaman 1 Oktober 1965 tersebut.
Setelah Orde Baru runtuh dan pemeriksaan ulang atas sejarah versi
Orde Baru dilakukan, kita tahu bahwa Tari Harum Bunga Gerwani di Lubang
Buaya merupakan omong kosong. Begitupun dengan mayat para korban yang
digambarkan dikuliti, bola mata yang keluar, hingga kemaluan yang
dipotong juga adalah kebohongan. Tetapi, hal ini bukan berarti secara
otomatis mengubah stigma masyarakat tentang PKI dan Gerwani. PKI masih
dicap sebagai organisasi ateis tak bermoral, dan Gerwani masih
digambarkan sebagai pelacur sundal yang hanya setingkat lebih tinggi
dari hewan.
Dalam konteks demikianlah, buku Saskia Eleonora Wieringa, seorang Profesor di Universitas Amsterdam dan ketua Gender and Women’s Same-Sex Relation Crossculturally, patut mendapat perhatian lebih. Wieringa dalam bukunya berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan : Politik Seksual Di Indonesia Pasca Kejatuhan PKI (yang berangkat dari sebuah penelitian berjudul The Politization of Gender Relation in Indonesia),
menunjukkan kepada kita apa Gerwani sebenarnya. Benarkah Gerwani adalah
organisasi para pelacur? Bagaimana Gerwani, dan gerakan perempuan pada
umumnya, ikut mewarnai perjalanan sejarah Indonesia?
Pertanyaan-pertanyaan demikian yang dijawab oleh Wieringa dalam buku
ini.
Gerwani: Organisasi Perempuan Militan
Pada tanggal 4 Juni 1950, enam wakil organisasi perempuan berkumpul
di Semarang dan menghasilkan sebuah keputusan untuk membuat satu
organisasi perempuan yang dinamakan Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Enam
organisasi yang mendirikan Gerwis adalah: Rukun Putri Indonesia
(Rupindo) dari Semarang, Persatuan Wanita Sedar dari Surabaya, Isteri
Sedar dari Bandung, Gerakan Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri,
Wanita Madura, dan Perjuangan Putri Republik Indonesia dari Pasuruhan.
Para pendiri Gerwis berasal dari kalangan sosial yang berbeda tetapi
semuanya terjun dalam gerakan nasional, bahkan, banyak diantaranya yang
menjadi anggota pasukan bersenjata. Dalam pembentukan organisasi
tersebut, disepakati ketua pertama Gerwis adalah Tris Metty yang pernah
menjadi anggota Laskar Wanita Jawa Tengah.
Walaupun Gerwis di dalam konstitusinya menyatakan diri sebagai
organisasi non-politik dan tidak berafiliasi dengan partai politik
manapun, kenyataannya PKI memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam
proses pembentukan hingga arah politik Gerwis kedepan. Sebagaimana yang
dijelaskan Ny Chalisah, salah satu pendiri Gerwis, bahwa ‘partai meminta
saya untuk membangun organisasi perempuan komunis di dalam partai’ (hlm
218). Tetapi, keinginan para pemimpin PKI ini bukanlah satu-satunya
faktor penyebab berdirinya Gerwis. Lebih besar dari itu, hasrat bersama
untuk tercapainya kemerdekaan nasional dan berakhirnya praktik
feodalisme adalah faktor terbesar berdirinya Gerwis.
Konres pertama Gerwis dilakukan pada Desember 1951. Dalam masa ini,
Gerwis berada dalam kondisi yang sulit. Para utusan Gerwis dari
daerah-daerah banyak yang masih berada dipenjara. Ketika itu, parlemen
yang dipimpin Masyumi adalah pemerintahan yang reaksioner dan para
utusan Gerwis tersebut adalam korban dari politik yang reaksioner ini.
Untuk itu, Aidit, sebagai pemimpin PKI kala itu, menginstruksikan Gerwis
untuk menghentikan sementara kritik terhadap pemerintah dan lebih
memfokuskan pada gerakan bawah tanah.
Dalam kongres kedua pada 1954, setelah mendapat tekanan dari PKI
untuk menjadi organisasi massa dibawahnya (Gerwis pada awalnya dibentuk
sebagai organisasi kader), Gerwis mengubah nama menjadi Gerwani (Gerakan
Wanita Indonesia) dan memilih Umi Sarjono –yang juga merupakan anggota
PKI sebagai ketuanya. Organisasi berkembang pesat diantara masa kongres
pertama dan kedua. Di Surabaya, Gerwis memiliki 40 cabang dengan 6000
anggota dan pada tahun 1954, anggotanya telah meliputi 80.000 orang.
Dalam masa ini pula, Gerwani aktif dalam tiga front perjuangan
sekaligus. Pertama, dalam lapangan politik, mereka menghadapi elemen reaksioner, yaitu elemen yang menggerakkan peristiwa 17 Oktober 1952; kedua,
dalam tataran feminisme, mereka menentang PP Nomor 19 yang mengatur
masalah perkawinan tetapi dinilai diskriminatif dan untuk itu Gerwis
mendukung disahkannyaUndang-Undang Perkawinan yang lebih demokratis; dan
ketiga, Gerwis berusaha sebisa mungkin untuk menghindari
konfrontasi dengan Sukarno. Selain itu, di tingkat lokal, Gerwis ikut
serta dalam kampanye BTI (Barisan Tani Indonesia) melawan tindakan
pemerintah yang berusaha mengusir kaum tani dari bekas perkebunan yang
telah mereka duduki. (hlm 227-228).
Perubahan Gerwani dari organisasi kader menjadi organisasi massa ini
salah satunya dilakukan dengan cara menawarkan kepada kaum perempuan
untuk menjadi pemimpin tanpa memandang latar-belakang sosial. Perwari
(Persatuan Wanita Republik Indonesia) misalnya, para pemimpinnya hanya
berasal dari keluarga pamong praja, atau memiliki pendidikan yang cukup
tinggi. Strategi ini berhasil merekrut banyak kader, karena perempuan
yang bergabung menilai Gerwani sebagai satu-satunya pihak yang sudi
membantu memecahkan persoalan mereka sehari-hari. Selain itu, Gerwani
juga dinilai sebagai organisasi alternatif di luar organisasi perempuan
yang sudah ada dan menawarkan solusi konkret atas permasalahan yang
terjadi sehari hari.
Kemudian, dalam resolusi Kongres ke III, Gerwani menunjukkan arah
politik yang semakin condong kepada urusan poilitik nasional dari yang
semula banyak berjuang dalam lapangan permasalahan perempuan, utamanya
tentang demokrasi terpimpin. Pergeseran orientasi ini semakin terlihat
ketika Gerwani fokus pada isu kenaikan harga pangan dan sandang
ketimbang urusan-urusan feminis seperti masalah perkawinan. Dengan
perubahan orientasi ini, maka Gerwani harus melakukan berbagai
penyesuaian yang dirumuskan dalam tiga hal. Pertama,Gerwani ingin memimpin gerakan yang lebih luas; kedua,
Gerwani menghendaki membangun gerakan massa, dalam hal ini Gerwani
mengikuti garis PKI dalam emansipasi perempuan yang merumuskan bahwa
sosialisme harus dicapai lebih dulu sebelum bicara masalah spesifik
tentang urusan perempuan; ketiga, Gerwani menghendaki perempuan
ikut ambil bagian dalam politik nasional, hal ini contohnya tercermin
dari keterlibatan Gerwani dalam urusan perang memperebutkan Irian Barat
dan menyerukan agar gerakan perempuan bersatu untuk itu.
Ideologi Gerwani
Dengan sepak terjangnya tersebut, menjadi pertanyaan besar apakah
ideologi yang menjadi dasar Gerwani. Pertanyaan tersebut dijawab oleh
Wieringa di bab 2 dengan judul ‘Tiga Alur: Feminisme, Sosialisme dan
Nasionalisme.’ Sebagaimana judulnya, Gerwani memang dipengaruhi oleh
tiga aliran pemikiran tersebut.
Gerwani mendapat inspirasi tentang pemikiran sosialis/marxisme karena
organisasi ini bertalian erat dengan PKI. Menurut Wieringa, dalam
hubungannya terhadap marxisme, Gerwani bergulat dengan sejumlah problem
teoritis. Dalam marxisme, perjuangan perempuan harus ditempatkan sebagai
bagian dari perjuangan kelas. Ketika komunisme ditegakkan, maka
perempuan sebagai subordinasi keluarga akan lenyap dan ‘keluarga
proletar bahagia’ akan menggantikannya (hlm 83). Pandangan ini memiliki
beberapa problem, diantaranya, bagi Wieringa, pandangan Engels tentang
keluarga yang ditulisnya dalam The Origin of the Family (1884) dianggap a-historis, terutama tentang masyarakat suku. Kedua,
karena perempuan utamanya ditempatkan dalam rumah tangga, maka teori
marxis hanya memiliki sedikit pengertian terhadap peran perempuan di
tengah masyarakat. Ketiga, karena eksploitasi perempuan dalam
keluarga dipandang sebagai penemuan kapitalis, maka pemecahannya dicari
di luar rumah tangga, yakni perempuan harus memasuki produksi
masyarakat, pekerjaan rumah tangga harus disosialisasi. Terakhir,
karena penindasan seksual dihubungkan dengan kapitalisme, maka disini
sosialisme akan memberikan jalan keluar dan oleh karena itu tidak perlu
adanya perjuangan perempuan secara sadar guna memperbaiki perilaku
laki-laki maupun mengubah hubungan antar-pribadi.
Pada tahun 70-80an, kaum feminis-marxis dan sosialis mencoba
mengoreksi marxisme karena dianggap kurang memberikan jawaban terkait
hubungan antara pekerjaan rumah tangga dalam kaitannya dengan produksi
masyarakat. Koreksi itu dimaksudkan untuk memperluas konsep pokok
tentang produksi dengan memasukkan persoalan melahirkan dan pemeliharaan
anak (hlm. 86). Namun, upaya penafsiran ulang marxisme ini tidak mampu
untuk menjawab sejumlah persoalan pokok, seperti hubungan antara
kapitalisme dengan patriarki. Hal ini biasanya dijabarkan dengan teori
secara terpisah tapi saling terkait (hlm 87). Problem lain yang dihadapi
feminis-marxis belakangan lebih fundamental. Utamanya terkait dengan
kritik terhadap subjek marxis dan penilaian basis epistemologi marxisme
yang menganggap marxisme dan perjuangan kelas sebagai perjuangan sosial
paling penting, sedangkan perjuangan lain harus tunduk di bawahnya.
Dalam hubungannya dengan feminisme, nasionalisme Indonesia juga
ditandai dengan kontradiksi penolakan akan pembedaan seksual disatu
pihak, dipihak lain hal itu bersifat universal (hlm 92). Disatu sisi,
perbedaan gender membuat dikotomisasi secara politik, ekonomi, dan
sosial, namun pada saat yang sama pembangunan keduanya dipandang sebagai
sesuatu yang amat penting dalam cita-cita nasional. Sebagai contoh,
Sukarno yang seorang nasionalis-sosialis mendorong perempuan untuk
mejadi ‘roda kedua’ kereta perang menuju kemerdekaan. Tetapi disisi
lain, pasca kolonialisme, para pemimpin laki-laki berupaya untuk
menguasai dan mengontrol kegiatan perempuan. Hal ini kemudian dilawan
oleh Gerwani, misalnya, dengan mendekonstruksi model putri Jawa Kartini.
Bagi mereka, Kartini adalah simbol bagaimana perempuan melawan dan
memberontak untuk mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki (hlm
82-92).
Setelah tahun 1959, Gerwani menyatakan kesetiaannya terhadap
sosialisme. Para pemimpin Gerwani pun mulai membaca karya-karya para
penulis sosialis seperti Clara Zetkin dan Engels. Selain itu, Api Kartini
(terbitan Gerwani), juga terus-menerus mempublikasikan tentang ‘berkah
sosialisme’ dengan mengutip kata-kata Sukarno. Demikianlah, dalam
sejarahnya yang relatif singkat, Gerwani telah melakukan upaya
pembentukan identitas dirinya sendiri. Ketiga alur wacana ini yang
kemudian mewarnai perjalanan sejarah Gerwani, meskipun hubungan diantara
ketiganya sangat dinamis.
Hubungan Gerwani dengan Organisasi Perempuan Lain
Hubungan Gerwani dengan organisasi gerakan perempuan lain dapat
dilihat dengan cara melihat isu-isu yang Gerwani perjuangkan, dan di
sisi lain, melihat juga apa yang diperjuangkan organisasi perempuan
lain. Kemudian dengan komparasi tersebut, akan terlihat hubungan
diantara keduanya.
Pada tahun 1950 terbentuk Kongres Wanita Indonesia (KWI) yang terdiri
dari berbagai organiasi perempuan, termasuk Gerwani di dalamnya. KWI
berasaskan pancasila dan memiliki tujuan untuk mencapai kemerdekaan
penuh, jaminan terhadap hak perempuan, dan perdamaian dunia serta
keamanan. Salah satu pokok perjuangan mereka adalah UU Perkawinan yang
baru dan demokratis, serta pendudukan perempuan dalam pengadilan agama.
Kongres juga menganjurkan kaum perempuan menggunakan hak pilih dalam
pemilu mendatang, perjuangan kelayakan upah, pemberantasan buta huruf,
dan mendirikan pusat pelatihan bagi perempuan.
Dalam perjalanannya, Pengaruh Gerwani di dalam tubuh KWI kian
meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kongres KWI pada tahun 1961. Saat
itu, KWI semakin mengikuti garis politik Sukarno. Hal ini juga terlihat
dari struktur organisasi pasca-kongres yang ditandai dengan naiknya
Hurustiati Subandrio, istri Subandrio, loyalis Sukarno, sebagai ketua.
Selain itu, dalam program perjuangan, KWI memprioritaskan pada
perjuangan pembebasan Irian Barat yang merupakan ambisi besar Sukarno.
Pada tahun 1962, KWI jugabergabung dengan Front Nasional yang ikut dalam
semua kegiatan termasuk demonstrasi dan latihan relawan dalam
mengkonfrontasi Nekolim Malaysia.
Setelah dikeluarkannya Dekrit Presiden 1959, pengaruh Sukarno
mengikat kuat gerakan perempuan, terutama Gerwani yang memang mendukung
penuh Sukarno. Hubungan yang dekat ini menyebabkan hubungan Gerwani
dengan gerakan perempuan lain, seperti Aisyiah (organisasi perempuan
Muhammadiyah), Wanita Katolik dan Bhayangkari (organisasi perempuan
Istri Angkatan) semakin tegang. Ketegangan itu juga dipicu oleh
pernikahan Sukarno dengan Hartini pada 1954. Sementara gerakan perempuan
lain melakukan kritik tajam terhadap persitiwa ini, Gerwani justru
melakukan hal yang sebaliknya. Hal ini dilakukan Gerwani karena
‘Presiden RI yang sedang melakukan perlawanan hebat terhadap tekanan
kaum imperialis AS itu kita ganggu, hal demikian akan memberikan
kesempatan pada kaum imperialis untuk masuk ke Indonesia’ (hlm 243). Di
luar itu, beberapa kasus sebenarnya memperlihatkan bagaimana Gerwani
juga pernah berada dalam satu front dengan organisasi perempuan lain
untuk memperjuangkan isu keperempuanan seperti, penolakan terhadap kawin
paksa dan penolakan terhadap film-film asal Amerika yang dianggap hanya
merusak moral bangsa.
Sementara itu, urusan tradisional perempuan seperti mengurusi
anak-anak dan pendidikannya, justru sama sekali tidak ditinggalkan
Gerwani. Malahan, urusan tradisional inilah yang kemudian menjadi dasar
bagi Gerwani untuk terus melakukan perjuangan seperti upaya menentang
kenaikan harga barang pokok. Bagian inilah yang justru menarik. Meskipun
Gerwani mengamini tugas tradisional rumah tangga sebagai kodrat
perempuan, tetapi bagi Gerwani, kodrat perempuan yang dimaksud tidak
meliputi pengertian bahwa para perempuan harus tampak malu-malu dan
lemah lembut di depan khalayak. Dalam Kongres II Gerwani misalnya,
dirumuskan bahwa hak kaum perempuan dan anak-anak tak dapat dipisahkan
dari kemerdekaan dan perdamaian. Hak atas fasilitas pendidikan,
kesehatan yang mudah, serta tanpa adanya buruh anak dan kawin paksa,
adalah tema perjuangan Gerwani yang dilakukan dengan konsisten.
Gerwani juga melakukan jaringan yang luas dan kuat dengan organisasi
perempuan internasional. Gerwani ikut serta dalam sebuah federasi
perempuan internasional, Women International Democratic Federation (WIDF) yang didirikan tahun 1945. Gerwani juga turut berpartisipasi dalam Congress of Women
di Paris. Adapun tujuan WIDF secara garis besar adalah memperjuangkan
hak kaum perempuan sebagai ibu, pekerja dan warga negara; memperjuangkah
hak anak-anak untuk hidup, kesejahteraan dan pendidikan; mendukung
kemerdekaan nasional, penghapusan apartheid, diskriminasi rasial dan dan
fasisme.
Hubungan diantara Gerwani dan WIDF awalnya sangat harmonis dan saling
mendukung. Tetapi, semenjak tahun 1960, hubungan diantara keduanya
mulai tegang dan puncaknya terjadi pada kongres WIDF 1963. Hal ini
sedikit banyak disebabkan oleh meningkatnya militansi Gerwani dan makin
dekatnya Gerwani dengan Tiongkok. Perselisihan pertama Gerwani dan WIDF
terjadi pada permulaan 1960, beberapa bulan setelah Sidang Biro di
Jakarta. Ketika itu isu Irian Barat begitu kuat. Gerwani yang ikut
memobilisasikan kadernya dalam perjuangan pembebasan Irian Barat, dirasa
tidak sesuai dengan asas WIDF yaitu perdamaian. Pada tahun 1963,
hubungan Gerwani dengan WIDF semakin memburuk. Dalam kongres bulan Juni,
timbul pertentangan karena mayoritas anggota hendak membawa organisasi
ke arah ‘feminis dan pasifis’. Bagi Gerwani, tidak akan ada perdamaian
selama imperialisme masih ada di dunia. Meskipun WIDF masih bisa
memahami apa yang dilakukan Gerwani dalam memperjuangkan pembebasan
Irian Barat adalah dalam rangka perjuangan nasional dan kemerdekaan 100
persen, tetapi dalam isu konfrontasi dengan Malaysia, WIDF sama sekali
tidak mendukungnya karena dinilai tidak memiliki alasan yang kuat.
Selain yang disebutkan di atas, dalam perjuangannya, Gerwani juga
seringkali bekerjasama dengan Barisan Tani Indonesia (BTI), Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dan Pemuda Rakyat. Dalam hal
ini kerjasama seringkali terjadi di tingkat basis-basis pengorganisiran
seperti di desa-desa dan kawasan pertanian. Tak jarang, seluruh anggota
keluarga masuk dalam semua organisasi ini: Si Ibu anggota Gerwani, Si
Bapak anggota BTI atau SOBSI, dan Si Anak sebagai anggota Pemuda Rakyat.
Dari berbagai contoh di atas, kesimpulan yang tampak jelas, bahwa
salah satu perbedaan Gerwani dengan gerakan perempuan lain adalah
Gerwani tidak melulu fokus memperjuangkan kesetaraan antara laki-laki
dan perempuan. Fokus Gerwani, lebih dari itu, adalah kesetaraan tanggung
jawab dalam perjuangan mencapai kemerdekaan nasional dan tegaknya
sosialisme di Indonesia.
Gerwani dan Lubang Buaya
Kemudian, sebagaimana kita tahu, dimulai pada 1 Oktober 1965, politik Indonesia berubah 180 derajat. Diawali dari suatu putsch
sejumlah kolonel kiri yang diklaim sebagai upaya melindungi Presiden
Sukarno dari kudeta Dewan Jendral (hlm 395), dimulailah suatu upaya
sistematis untuk menghancurkan gerakan kiri, dan gerakan rakyat secara
umum. Gerwani, sebagai bagian dari gerakan rakyat, pun menjadi target
sasaran. Salah satu bagian terpenting dari penghancuran Gerwani, yang
secara struktural tidak berada di bawah PKI, adalah propaganda fitnah
yang dialamatkan kepada mereka terkait dengan perisiwa Lubang Buaya yang
menjadi tempat pembantaian para Jendral.
Apa yang digambarkan Orde Baru terhadap perilaku Gerwani di Lubang
Buaya, merupakan unsur ideologis terpenting, karena perempuan komunis
ini –dalam versi mereka- menjadi tangan utama penyiksaan dan pembunuhan
para jendral. Pihak Angkatan Darat (AD), yang bersusah payah
mengonstruksi peristiwa Lubang Buaya, secara masif menyiarkan hasil
‘investigasi’ palsu mereka ke televisi, koran, dan radio.
Fitnah terhadap Gerwani ini secara masif dipropagandakan oleh AD
melalui berbagai koran yang terbit. Yang menarik adalah, pemberitaan
bahwa Gerwani lah pelaku pembunuhan para Jendral baru diberitakan
sepuluh hari setelah hari kejadian. Berita pertama pasca 1 Oktober yang
menyebutkan keterlibatan anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat pada
peristiwa Lubang Buaya terdapat dalam editorial koran AB (Angkatan Bersendjata)
tanggal 11 Oktober. Tentu hal ini merupakan kejanggalan mengingat pada
tanggal 2 Oktober, Suharto telah mendeklarasi bahwa kondisi telah aman
terkendali. Selain itu, Tari Harum Bunga, sebuah julukan yang disematkan
pada Gerwani ketika menguliti para jendral, merupakan tradisi paganisme
yang tidak ada akarnya dalam sejarah Indonesia, bahkan dalam era
animisme sekalipun. Tentu menjadi pertanyaan besar: ada apa yang terjadi
dalam rentan waktu sepuluh hari tersebut, dan siapa yang menjadi aktor
intelektual dibalik fitnah “Tari Harum Bunga”?
Berita dalam koran AB ini kemudian menjadi sumber utama yang dikutip koran-koran lainnya. Dalam koran Api
tanggal 12 Oktober 1965 misalnya, dijelaskan, ‘para sukarelawati
Gerwani telah mempermainkan para jendral dengan menarik kemaluan mereka
dan mereka gosok-gosokkan ke vagina mereka sendiri’. Dihari yang sama,
koran Berita Yudha Minggu melaporkan tubuh para jendral yang
dimutilasi, ‘matanya dicungkil, beberapa jendral penisnya dipotong’.
Sementara itu, koran umum Duta Masjarakat (DM) menyebutkan,
‘Gerwani menari-nari telanjang bulat di depan korbannya, perilaku yang
mengingatkan kita pada upacara kanibal yang dilakukan suku-suku primitif
ratusan tahun yang lalu.’
…banyak di antara mereka hanya merintih-rintih saja… Hal ini bukan karena mereka mendapat siksaan. Perwira penanggung jawab menjelaskan kepada pers bahwa mereka memperlakukan tahanan berdasarkan norma pancasila. Tidak karena siksaan, tapi karena mereka diliputi ketakutan disebabkan perbuatan hina yang pernah mereka lakukan, dan juga karena rohani mereka kosong, baik terhadap norma agama maupun karena norma cabul. (Koran Berita Yudha, 21 November 1965)
Meskipun diketahui kemudian bahwa segala tuduhan terhadap Gerwani di Lubang Buaya adalah kebohongan[1],
dan perempuan-perempuan yang menjadi saksi untuk memperkuat peristiwa
Lubang Buaya kenyataannya tidak berada di Lubang Buaya pada hari
kejadian (hlm 458), tetap saja propaganda AD telah menjadi keyakinan
umum dan menjadi justifikasi atas pembantaian yang terjadi kemudian.
Pertanyaan besarnya adalah: mengapa Gerwani yang dijadikan tonggak awal
untuk menghancurkan komunisme, dan gerakan rakyat secara umum?
Menurut Ruth Indiyah Rahayu,[2]
analisis gender dalam politik akan sangat membantu menerangkan apa yang
terjadi. Dalam menghancurkan sebuah gerakan, dapat dimulai dengan
menghancurkan citra terhadap kaum perempuannya dahulu. Hal ini amat
efektif, terutama dalam masyarakat yang legalis-normatif agama seperti
di Indonesia. Hal yang paling sensitif bagi masyarakat yang
legalis-normatif agama ialah permasalahan moralitas, terutama moralitas
yang dikaitkan dengan seksualitas perempuan. Apabila suatu hal dikaitkan
dengan moralitas dan seksualitas, para moralis dapat bergidik dan saat
itulah keberhasilan untuk menyengat dan menyentuh sentimen massa mudah
dicapai.
Keberhasilan skenario ini ada kaitannya pula dengan kebencian
sebagian massa pada Gerwani karena gerakan yang dilakukannya.
Sebagaimana dijelaskan di awal, Gerwani yang merupakan organisasi
perempuan yang konsisten melakukan kampanye anti-poligami,
anti-perkawinan dini, anti-perdagangan perempuan, dan anti-penjualan
keperawanan, adalah musuh laten bagi para tuan tanah dan para pamong
praja yang seringkali melakukan praktek demikian. Selain itu, Land Reform
yang juga diperjuangkan oleh Gerwani membuat mereka harus
berhadap-hadapan dengan para kiai tuan tanah. Masih menurut Ruth,
sepertinya hal ini lah yang terbaca oleh sang penggagas skenario fitnah
terhadap Gerwani. Skenario ini akan mudah dilakukan karena sudah banyak
orang yang tidak suka dengan Gerwani. Kebencian ini dikuatkan lagi
dengan sterotip yang melekat pada anggota PKI, yaitu ateis. Dengan
status Gerwani yang secara organis dekat dengan PKI, para anggota
Gerwani memperoleh dua stereotip sensitif: pelacur dan ateis. Oleh
karena itu, massa yang terprovokasi menganggap bahwa darah Gerwani, dan
para komunis lain, halal untuk ditumpahkan. Dan sebagaimana kita ketahui
pula, pembantaian terbesar kedua setelah Perang Dunia terjadi, dan di
atas mayat para korban lah orde baru berdiri dan bertahan selama 32
tahun.
Epilog
Propaganda Orde Baru menjadi justifikasi ideologis atas apa yang
mereka lakukan kemudian. Kudeta 1 Oktober bukan sekedar kudeta seorang
Letkol Untung, lebih dari itu, Suharto dan Angkatan Darat menjadikannya
sebagai legitimasi atas penghancuran PKI sampai ke akar-akarnya. Dalam
waktu yang bersamaan, Suharto secara perlahan menyingkirkan sukarno
sebagai presiden sah republik.
Orde Baru kemudian membangun citra baru atas kaum perempuan dan
kembali mensubordinasi kedudukan mereka di dalam masyarakat. Dalam
episode ini, hubungan gender di Indonesia di rekonstruksi secara amat
kasar. Perjuangan Gerwani yang berjalan kurang lebih 15 tahun untuk
memperoleh persamaan perempuan dalam politik serta menghormati simbol
dan militansi perempuan justru digambarkan Orde Baru sebagai bentuk
pelanggaran terhadap kodrat perempuan (hlm 409). Kaum perempuan digiring
perlahan untuk memasuki kodrat perempuan versi mereka. Kodrat dalam
pengertian yang paling konservatif, yaitu lingkungan rumah tangga dan
bidang sosial serta menjauhi hal-hal yang berbau politik. Dengan
demikian, pemulihan order yang dilakukan Jendral Suharto berarti
juga memulihkan dominasi laki-laki atas perempuan. Kaum perempuan harus
tunduk kembali pada kodratnya di alam patriarki yang telah lama hadir di
Indonesia.
Bagi saya, buku ini sendiri merupakan salah satu karya yang paling
penting dibaca gerakan perempuan khususnya, dan masyarakat pada umumnya.
Dari studinya yang mendalam, Wieringa berhasil menyuguhkan narasi yang
sangat detail dan hidup tentang gerakan perempuan yang pernah ada di
Indonesia sampai dengan tahun 1965. Wieringa, sebagaimana dijelaskan
dalam kata pengantar, berhasil mengisi kekosongan narasi sejarah dari
perspektif gender yang selama ini dikuasai oleh sejarah versi laki-laki.
Selain itu, hal yang juga penting adalah bagaimana wacana tentang
posisi gerakan perempuan dalam konteks perjuangan kelas dimunculkan
dalam buku ini.
Kalau ada yang perlu dikritisi dari buku ini, karena Wieringa tidak
memberikan posisi teoritisnya sendiri terkait hubungan antara marxisme
dan feminisme. Wieringa hanya menunjukkan problem-problem teoritis
antara feminisme dan marxisme, serta menunjukkan upaya-upaya yang
dilakukan oleh para feminis marxis guna melengkapi marxisme dalam
memandang masalah gender. Bagi saya pribadi, karena masalah gender
adalah konstruksi sosial dan dengan demikian berada dalam ranah
suprastruktur, maka perjuangan perempuan harus juga ditempatkan dalam
konteks perjuangan kelas. Bagaimanapun, di era kapitalisme saat ini,
kaum perempuan juga adalah kaum yang turut dieksploitasi dalam rangka
akumulasi kapital. Dalam sistem kerja upahan, misalnya, buruh perempuan
akan cenderung diberikan upah yang lebih murah daripada laki-laki karena
mekanisasi yang ada saat ini memungkinkan mesin tidak lagi perlu
dijalankan oleh laki-laki yang memiliki tenaga lebih. Selain itu,
tunjangan-tunjangan di luar upah bagi buruh perempuan pun akan selalu
lebih sedikit daripada buruh laki-laki. Alasan yang kerap dikemukakan,
perempuan bekerja karena keterpaksaan dan hanya untuk membantu
suami/kepala keluarga mencari nafkah –sebuah perspektif patriarki,
tentu. Perlawanan terhadap budaya partiarki adalah juga merupakan bagian
dari perlawanan terhadap sistem ekonomi politik kapitalisme yang ada
saat ini.¶
*Penulis beredar di twitland dengan ID @rioapinino
[1]
Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan Ben Anderson pada 1987
dan baru menjadi bahan perbincangan publik pasca Suharto jatuh.
[2] Wawancara dengan Ruth Indiah Rahayu, 29 September 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar