Mohamad Zaki Hussein, anggota Konfederasi Serikat Nasional (KSN)
Pernah dimuat di jurnal IndoPROGRESS. Dimuat ulang disini untuk tujuan pendidikan
PADA 27 September 2013, Presiden SBY mengeluarkan Instruksi Presiden
(Inpres) No. 9 Tahun 2013 Tentang Kebijakan Penetapan Upah Minimum Dalam
Rangka Keberlangsungan Usaha dan Peningkatan Kesejahteraan Pekerja.[1]
Dilihat dari waktu keluarnya, Inpres ini tampaknya merupakan salah satu
tindak lanjut dari ‘Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan
Ekonomi,[2] yang dikeluarkan pemerintah pada 23 Agustus 2013 sebagai respon terhadap krisis anjloknya nilai tukar Rupiah.
Secara umum, paket kebijakan itu berisikan pemberian insentif kepada
investasi dan pelimpahan beban krisis kepada buruh dan rakyat pekerja
lainnya. Pemberian insentif kepada investasi dapat dilihat dari
pemberian pengurangan pajak (additional deduction tax) untuk sektor padat karya; pengurangan pajak untuk riset dan pengembangan (R&D); optimalisasi tax allowance sebagai insentif investasi, serta pemberian tax holiday dan tax allowance untuk investasi berbasis agro (CPO, kakao, rotan) dan mineral logam (bauksit, nikel serta tembaga).
Sementara itu, pelimpahan beban krisis kepada buruh dapat dilihat
dari bagaimana paket kebijakan tersebut memperlakukan upah buruh. Dalam
paket kebijakan itu, disebutkan bahwa pemerintah akan ‘Mengarahkan
penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk mencegah terjadinya
PHK…dengan membedakan kenaikan untuk Upah Minimum Industri UMKM dan
Industri Padat karya dengan Industri Padat Modal.’ Meski diungkapkan
dengan bahasa indah yang seakan-akan berpihak pada buruh, yakni
‘mencegah terjadinya PHK,’ tetapi apa yang dimaksud oleh pemerintah
sebenarnya adalah bahwa di tengah krisis, upah harus rendah agar
pengusaha tetap untung, sehingga pengusaha tetap mau berinvestasi dan
tidak terjadi PHK.
Itu juga kenapa poin tentang upah buruh dalam paket kebijakan itu
diletakkan di bawah ‘Insentif yang akan diberikan dalam jangka pendek.’
Artinya, poin upah buruh itu merupakan insentif untuk pengusaha, bukan
untuk kesejahteraan buruh. Tidak lama setelah keluarnya ‘Paket Kebijakan
Stabilisasi dan Pertumbuhan Ekonomi,’ muncullah wacana tentang
pembatasan kenaikan upah minimum yang hanya boleh naik 10 persen atau 20
persen di atas inflasi. Kemudian, keluar Inpres No. 9 Tahun 2013.
Semangat Inpres No. 9 Tahun 2013 adalah semangat upah murah demi
‘keberlangsungan dunia usaha.’ Ada setidaknya tiga masalah dalam Inpres
ini. Pertama, dalam Inpres ini terdapat instruksi kepada Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans), dimana ‘untuk daerah yang
Upah Minimumnya masih berada di bawah nilai KHL, kenaikan Upah Minimum
dibedakan antara Industri Padat Karya tertentu dengan industri lainnya.’
Artinya, di daerah yang upah minimumnya masih di bawah Kebutuhan Hidup
Layak (KHL), tidak boleh ada kenaikan Upah Minimum
Provinsi/Kabupaten/Kota (UMP/K) yang bersifat umum atau lintas-sektoral,
hanya boleh ada kenaikan upah minimum sektoral (UMSP/K).
Kedua, dalam Inpres ini, terdapat instruksi kepada
Menakertrans yang menyatakan bahwa ‘besaran kenaikan upah pada provinsi
dan/atau kabupaten/kota yang upah minimumnya telah mencapai KHL atau
lebih, ditetapkan secara bipartit antara pemberi kerja dan pekerja dalam
perusahaan masing-masing.’ Artinya, untuk daerah yang upah minimumnya
telah mencapai KHL atau lebih, tidak boleh ada kenaikan UMP/K, hanya
boleh ada kenaikan upah aktual di tingkat perusahaan yang ditetapkan
secara bipartit. UMP/K sendiri, menurut UU No. 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan (UUK), ‘ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan
rekomendasi dari Dewan Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota’
(Pasal 89).[3] Jadi, UMP/K mustahil ditetapkan secara bipartit, karena harus dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur.
Ketiga, Inpres ini menginstruksikan Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk ‘memantau proses penentuan dan pelaksanaan kebijakan
penetapan Upah Minimum.’ Artinya, Inpres ini bukan hanya membolehkan
keterlibatan kepolisian dalam proses penentuan upah minimum, tetapi
malah mengharuskannya. Hal ini membuka peluang lebih besar bagi tindakan
represif kepolisian dalam proses penentuan upah minimum.
Jadi, kenapa Inpres No. 9 Tahun 2013 harus dicabut? Jawabannya,
karena Inpres ini hendak meneruskan upah murah di Indonesia. Begitu
pula, Inpres ini bisa dimanfaatkan oleh pihak kepolisian sebagai
pembenaran untuk melakukan tindakan represif dalam proses penentuan upah
minimum. Saat ini, kaum buruh sedang memperjuangkan kesejahteraan
mereka dengan menuntut kenaikan upah minimum 2014 minimal 50 persen dan
UMP DKI Jakarta Rp3,7 juta. Dan untuk itu, kaum buruh berencana
melakukan Mogok Nasional pada 28-30 Oktober 2013. Mari dukung Mogok
Nasional buruh 28-30 Oktober 2013, naikkan upah minimum 2014 minimal 50
persen dan UMP DKI Jakarta Rp3,7 juta, serta cabut Inpres No. 9 Tahun
2013 tentang Upah Minimum!***
[1] Inpres No. 9 Tahun 2013 bisa diunduh di http://www.kemendagri.go.id/media/documents/2013/10/08/i/n/inpres_no.09-2013.pdf.
[2]
Untuk mengetahui isi paket kebijakan ini, lihat siaran pers pemerintah
tentang “Pokok-Pokok Paket Kebijakan Stabilisasi dan Pertumbuhan
Ekonomi,” 23 Agustus 2013, http://www.ekon.go.id/press/view/pokok-pokok-paket-kebijakan.189.html#.Uj8T8n_eLkw.
[3] UUK No. 13 Tahun 2003 bisa diunduh di http://www.setneg.go.id//index.php?option=com_perundangan&id=315&task=detail&catid=1&Itemid=42&tahun=2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar