Oleh Dicky Dwi Ananta
Kepala Departemen
Agitasi dan Propaganda,
Serikat Mahasiswa
Progresif Universitas Indonesia (SEMAR UI)
Dalam pembukaan UUD
1945 secara tegas tertulis bahwa salah satu tujuan Negara Republik Indonesia
adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan itu, maka Negara melalui
pemerintah memiliki tanggung jawab untuk terlibat aktif dalam usaha
mencerdaskan kehidupan warga negaranya. Cara yang dilakukan untuk melaksanakan
perintah konstitusi tersebut, tak bisa tidak, harus melalui pendidikan
nasional. Dengan demikian, pendidikan nasional merupakan tanggung jawab
pemerintah dan harus bersifat menyeluruh bagi setiap warga negara Indonesia.
Salah satu isu hangat
untuk dibicarakan (kembali) mengenai sistem pendidikan nasional adalah
penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia. Mengapa hal tersebut sedang
hangat? Karena pada Juli 2012 kemarin, pemerintah bersama DPR baru saja
mengesahkan Undang-Undang yang berlaku secara nasional untuk mengatur sistem
pendidikan tinggi, yaitu UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
(selanjutnya disebut UU Dikti). UU tersebut dinilai sangat berbahaya karena
memiliki tendensi memasukan pendidikan sebagai salah satu fitur komoditas yang
bisa diperjual-belikan secara bebas. Akibatnya, aksesbilitas masyarakat secara
luas untuk mendapatkan pendidikan tinggi menjadi taruhannya. Maka dalam tulisan
ini, diskusi diarahkan seputar UU tersebut untuk dianalisa dengan kebutuhan
perlawanan sekarang, yaitu Judicial Review atas UU tersebut di MK. Juga,
untuk me-refresh kembali bagaimana kita memandang UU yang telah disahkan
tersebut, sekaligus menguatkan posisi dialogis kita atasnya. Selain itu, juga
sebagai bagian dari propaganda gerakan untuk menolak peraturan dan kebijakan
pemerintah yang mendorong adanya liberalisasi, privatisasi, dan komersialisasi
pendidikan di Indonesia.
Menengok Kembali UU
Pendidikan Tinggi
Apa sebenarnya yang
terjadi dengan UU Dikti hingga dapat dikatakan sebagai jalan mulus privatisasi
pendidikan tinggi di Indonesia? Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dicatat
di sini.
Pertama, semangat Badan Hukum (BH) dalam UU Dikti. Pengaturan tentang bentuk BH
terdapat pada pasal 65, “Penyelenggaraan otonomi Perguruan Tinggi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 dapat diberikan secara selektif berdasarkan
evaluasi kinerja oleh Menteri kepada PTN dengan menerapkan Pola Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum atau dengan membentuk PTN badan hukum untuk
menghasilkan Pendidikan Tinggi bermutu.” Dengan adanya aturan tersebut PTN Badan Hukum
diberikan hak istimewa untuk, di antaranya dipisahkannya harta kekayaan dari
negara, tata kelola dan pengambilan keputusan yang mandiri, hak mengelola dana
secara mandiri, mengangkat dan memberhentikan dosen sendiri, mendirikan badan
usaha dan mengelola dana abadi, atau membuka dan menutup program studi. Konsep
‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi bukanlah untuk nama
atau bentuk hukum tertentu, melainkan lebih pada fungsi penyelenggaraan
pendidikan. BH pada UU ini memiliki tendensi untuk menjadi konsep BH dalam
artian bentuk institusi, maka konsekuensinya PTN BH bisa melakukan praktek
liberalisasi dan komersialisasi.
Kedua, gagasan otonomi dalam pengelolaan perguruan tinggi. Dalam UU
Dikti, otonomi dijelaskan di pasal 64, yang di dalamnya ada otonomi akademik
dan non-akademik. Dalam hal otonomi akademik, hal itu merupakan sebuah
keharusan. Bentuk bagaimanapun sebuah perguruan tinggi, di tempat manapun, dan
waktu kapanpun, otonomi akademik harus ada, bahkan menjadi syarat bagi
perguruan tinggi itu berdiri. Hal yang menjadi masalah adalah otonomi dalam
bentuk non akademik, yang disebutkan di pasal 64 ayat 3 yang meliputi
pengelolaan organisasi, keuangan, kemahasiswan, ketenagaan, dan sarana prasarana.
Otonomi keuangan menjadi awal bagaimana biaya kuliah yang tinggi menjadi
memungkin. Padahal dalam amar putusan MK mengenai pembatalan UU BHP menyatakan
bahwa, “Kewenangan institusi pendidikan untuk mencari dana secara otonom
berpotensi melanggar hak atas pendidikan bagi peserta didik.” Kehadiran
otonomi dalam perguruan tinggi pun, dalam artian non akademik, selalu
didengung-dengungkan akademisi pro-otonom sebagai syarat terciptanya otonomi
akademik. Padahal sebenarnya itu tidak ada hubungannya. Bahkan, bukan menjadi
keharusan. Mengutip kembali amar putusan MK, “Otonomi pengelolaan pendidikan
tinggi bukan merupakan sebuah keharusan dalam mencapai tujuan Negara untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, bahkan dapat mengagalkannya.” Bila hal itu
pernah dinyatakan inskonstitusional, lantas mengapa semangat otonomi masih
dibawa? Jawabannya ada di poin ketiga.
Ketiga, besarnya pengaruh institusi kapitalisme global dalam agenda setting
pendidikan tinggi. Umar, dalam tulisannya yang berjudul “UU Pendidikan
Tinggi dalam Jerat Kapitalisme”, mengajukan bahwa setidaknya ada dua hal
yang menjadi semangat UU ini, yaitu “globalisasi perguruan tinggi” yang
digaungkan WTO dan “reformasi perguruan tinggi” yang diagendakan Bank Dunia.[2]
Melalui dua institusi tersebut, kebijakan tentang pendidikan tinggi di
Indonesia diarahkan untuk menjadi bagian dari kapitalisme global. Melalui
perjanjian GATS tahun 1994, Indonesia diharuskan meliberalisasi 12 sektor jasa,
salah satunya pendidikan. Pendidikan di situ secara khusus adalah pendidikan
tinggi.[3]
Sedangkan, reformasi perguruan tinggi dari Bank Dunia diarahkan untuk, pertama, mendorong diferensiasi Institusi
PT, kedua, mendorong diferensiasi
pendanaan dari publik; ketiga, mendefinisi
ulang peran pemerintah; dan keempat, fokus
pada kualitas, performa, dan persamaan. Agenda tersebut ada di beberapa pasal,
antara lain, Pasal 48 (Kerjasama penelitian dengan industri dan dunia usaha),
pasal 65 (wewenang PTN Badan Hukum untuk mendirikan badan usaha dan
mengembangkan dana abadi), pasal 85 (pembiayaan pendidikan tinggi oleh
mahasiswa), pasal 86 (insentif kepada dunia usaha untuk membiayai pendidikan
tinggi), pasal 87 (hak mengelola kekayaan negara), pasal 88 (standar satuan
biaya operasional pendidikan), pasal 89 (pendanaan PTN Badan Hukum), dan yang
paling mencolok, pasal 90 (penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PT negara
lain).[4]
Keempat, UU dikti adalah baju lain dari UU BHP. Substansi UU Pendidikan Tinggi ini
sebenarnya memiliki semangat yang sama dengan UU Badan Hukum Pendidikan (UU
BHP), padahal UU ini telah dianggap inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi
pada tanggal 31 Maret 2010. Alasan dibatalkannya karena berpotensi memberikan
diskriminasi atas hak penndidikan. Pasca pembatalan UU BHP tersebut, Bank
Dunia, pada tanggal 17 April 2010, mengeluarkan dokumen Indonesia Managing
Higher Education for Relevance and Efficiency (IMHERE) yang berbunyi: “A new
BHP must be passed to establish the independent legal status of all education
institutions in Indonesia (public and private), thereby making BHMN HEIs a
legal subset of BHP.” Dalam dokumen tersebut diperlihatkan, bahwa masalah
pendidikan di Indonesia disebabkan oleh publik yang kurang mengeluarkan uang
lebih banyak untuk pendidikan tinggi, karena saat ini masyarakat umum
menganggap pendidikan hanya sebagai barang tersier/mewah.[5]
Kelima, UU Dikti menjustifikasi pelepasan tanggung jawab negara pada pendidikan.
Dengan skema yang seperti UU BHP, semangat privatisasi memberikan jalan bagi
pemerintah untuk melepaskan tanggung jawabnya di sektor pendidikan. Dengan
otonomi keuangan, perguruan tinggi diharapkan dapat mencari pendanaannya
sendiri, yaitu melalui masyarakat, mahasiswa, dan kerja sama industri. Hal ini
juga sesuai dengan tujuan dari reformasi perguruan tinggi tadi, yaitu untuk
mendefinisikan ulang peran pemerintah. Beberapa pasal dalam UU ini melegitimasi
hal tersebut, terutama dalam hal keuangan, seperti pasal 86 tentang pembiayaan
dari dunia usaha dan industri melalui fasilitasi dan insentif, pasal 88
mengatur standar satuan biaya operasional yang ditanggung oleh mahasiswa, serta
pasal 89 yang menyatakan dengan jelas bahwa pendanaan PTN Badan Hukum adalah
subsidi.[6]
Perlunya
Kontekstualisasi Lahirnya UU Dikti
Untuk melihat jejak
kemunculan peraturan pemerintah yang memberikan ruang privatisasi pendidikan
saat ini, kita perlu menggunakan analisa secara struktural dan historis
atasnya. Dengan begitu kita bisa melihat bahwa kebijakan seperti itu ditentukan
oleh latar belakang material yang jelas dan menyejarah. Pembacaan seperti ini
berguna untuk menghindari kerancuan dakwaan moral bahwa kebijakan pendidikan
tinggi seperti itu akibat dari, sekedar, “pemerintah yang jahat”.
Pendidikan, dalam hal
ini Pendidikan Tinggi, merupakan bagian dari barang publik. Bila dilihat secara
konseptual, pendidikan merupakan bagian dari quasi public goods, dimana
sebagian besar urusan penyelenggaraannya bertumpu pada pemerintah.[7]
Wujud nyata bahwa pendidikan tinggi merupakan bagian dari barang publik adalah
tanggung jawab pemerintah dalam menanggung biaya pelayanannya. Dari hal itu
maka pemerintah memmiliki peran yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan,
walaupun tidak menutup kemungkinan swasta akan ikut berperan dalam
penyelenggaraannya. Namun, tetaplah peran pemerintah yang paling besar.
Selain menjadi barang
publik, pendidikan pada dasarnya merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM),
khususnya HAM Ekosob (Ekonomi, Sosial dan Budaya). Dasar bahwa pendidikan
menjadi HAM Ekosob adalah Pasal 26 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia,
Pasal 13 Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya yang telah
diratifikasi dengan UU No. 11 Tahun 2005, Pasal 12, 16, 42, 48, 54, dan 60 UU
No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 28C dan 28E Bab Hak Asasi
Manusia UUD NKRI 1945.[8]
Khusus mengenai pendidikan tinggi, Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi Sosial
dan Budaya pada Pasal 13 ayat (2) huruf c mengatakan sebagai berikut: pendidikan
tinggi juga harus dilaksanakan dengan prinsip terbuka bagi semua orang atas
dasar kemampuan, dengan segala upaya yang tepat, khususnya melalui pengadaan
pendidikan cuma-cuma secara bertahap. Artinya negara-negara menyepakati
bahwa pendidikan tinggi ke depannya harus diadakan secara cuma-cuma secara
bertahap.
Dalam Pembukaan UUD
1945, salah satu tujuan dari Negara Republik Indonesia berdiri adalah
mencerdaskan kehidupan bangsa. Term “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” itu akan
mewujud dalam bentuk penyediaan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, bagi
warga negara secara adil dan menyeluruh. Hal tersebut kemudian diperkuat dengan
pasal 31 UUD 1945 tentang hak untuk mendapatkan pendidikan bagi setiap warga
negara. Argumen ini atas bertendensi untuk menyampaikan bahwa pendidikan, dalam
hal ini pendidikan tinggi, merupakan (a) barang publik, (b) hak setiap warga
negara dan (c) menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya.
Namun, beberapa
argumen di atas harus dikomparasi dengan kenyataan sekarang, terutama
kontekstualisasinya dengan sistem politik-ekonomi yang berlangsung saat ini,
yaitu sistem politik-ekonomi neoliberalisme. Argumen di atas dalam konteks
politik-ekonomi neoliberalisme berusaha dibalikkan. Dalam paradigma
neoliberalisme, peran serta pemerintah/negara haruslah disingkirkan dari
hubungan individu dan masyarakat. Bahkan negara menjadi musuh utama dari paham
neoliberalisme.[9]
Di sisi lain, sistem yang didorong untuk menjadi sarana terwujudnya
kesejahteraan adalah pasar bebas. Pasar bebas menjadi mekanisme utama yang akan
mengatur bagaimana sumber daya akan terdistribusi secara efisien sehingga
diharapkan kesejahteraan akan tercipta dengan sendirinya secara trickling
down.
Neoliberalisme
meletakan “pasar” dalam posisi yang sangat fundamental. Dia-lah yang
segala-galanya. Maka, aturan dasar yang diajukan oleh neoliberalisme adalah
'liberalisasikan perdagangan dan finance’; 'biarkan pasar menentukan
harga’, 'akhiri inflasi', 'stabilisasi ekonomi makro', 'privatisasi',
'pemerintah harus menyingkir dari menghalangi jalan'.[10]
Dalam Washington Consesus terdapat sepuluh “ajaran pokok” yang menjadi
doktrin Neoliberalisme di dunia, yaitu disiplin fiskal, peninjauan ulang
prioritas pengeluaran pemerintah, reformasi perpajakan, suku bunga pada tingkat
moderat yang ditentukan pasar, stabilitas nilai tukar yang kompetitif,
mengamankan hak milik, deregulasi, liberalisasi perdagangan, liberalisasi
keuangan dan penghapusan hambatan PMA, dan privatisasi BUMN.[11]
Lahirnya UU Dikti, atau bentuk privatisasi pendidikan lainnya, mau tidak mau
harus kita kontekskan dengan skema di atas. Pendidikan tinggi yang sebelumnya
sebagai barang publik (dengan segala asumsi di dalamnya), berusaha digeser
menjadi barang privat dalam penyelenggaraannya.
Praktek ini berpangkal
dari krisis ekonomi pada tahun 1997. Saat itu IMF menawarkan utang kepada
Indonesia. Di dalam penawaran utang tersebut, terdapat beberapa kesepakatan
yang harus diterima Indonesia sebagai konsesinya. Konsesi ini dikenal dengan
sebutan Program Penyesuaian Struktural (Structural Adjustment Program/SAP).
SAP yang berisikan agenda di atas bemaksud “menyesuaikan” struktur ekonomi
Indonesia agar bisa lebih terintegrasi dengan perdagangan internasional,
tepatnya dengan kapitalisme internasional. Menggunakan kalimat sederhana,
seluruh paket SAP mengarah kepada pengecilan peran negara, sekaligus
meningkatkan peran mekanisme pasar dalam perekonomian. Negara lebih terfokus
sebagai penjamin keamanan, memberlakukan hukum untuk ketertiban, dan hanya
dalam keadaan terpaksa memberi bantuan “darurat”.[12]
Selain dari IMF, pada saat bersamaan, Bank Dunia
menyetujui pinjaman untuk empat program penyesuaian struktural antara tahun
1998-1999, yaitu Policy Reform Support Loan (PRSL) sebesar 1 miliar
dollar Amerika Serikat, Policy Reform Support Loan II (PRSL II) sebesar
500 juta dollar Amerika Serikat, Social Safety Net Adjusment Loan (SSNL)
sebesar 600 juta dollar Amerika Serikat, dan Water Resources Sector
Adjusment Loan (WATSAL) sebesar 300 juta dollar Amerika Serikat. Baik PRSL
dan PRSL II maupun WATSAL merupakan pinjaman program yang bertujuan mendorong
pelaksanaan deregulasi, liberalisasi, dan peningkatan peran serta pihak swasta
di berbagai sektor ekonomi, keuangan, perbankan, dan infrastruktur, termasuk
kelistrikan dan air bersih.[13]
Agenda SAP yang
termanifestasi dalam Letter of Intent (LoI) IMF, World Bank, dan Bank
Pembangunan Asia, secara ringkas tergambar dari beberapa hal, diantaranya
adalah (a) liberalisasi keuangan; antara lain: kurs bebas, devisa bebas,
pengembangan BEJ, (b) liberalisasi perdagangan, (c) meratifikasi keputusan WTO,
(d) pengetatan prioritas APBN, termasuk pencabutan subsidi, (e) privatisasi
BUMN, (f) penjualan korporasi domestik kepada modal internasional, (g)
perlindungan maksimal bagi hak milik pribadi (swasta), (h) penerapan harga
pasar bagi energy, (i) mekanisme harga bagi pasar tenaga kerja, minimalkan
perlindungan buruh, (j) Bank Indonesia sepenuhnya mengikuti BasselI dan BasselII
dari BIS.[14]
LoI IMF itu yang ditanda tangani pemerintah Indonesia selama periode akhir 1997
hingga 2003 berjumlah 24 buah.[15]
Kesepakatan di atas secara sistematis membuat Indonesia semakin bergantung pada
lembaga keuangan internasional, sekaligus berada dalam jeratan neoliberalisme
yang semakin kuat.
Dalam konteks
pendidikan di Indonesia, privatisasi pendidikan merupakan bagian dari program
pengurangan atau penghapusan subsidi pemerintah terhadap pelayanan publik di
sektor pendidikan dan menyerahkan mekanismenya pada pasar. Mengikuti paham
neoliberalisme, pembiayaan di bidang pendidikan tersebut dianggap sesuatu yang
tidak efisien untuk anggaran pemerintah. Oleh karena itu harus dikurangi,
bahkan kalau bisa dihilangkan. Salah satu cara untuk mengurangi subsidi adalah
dengan dijalankannya praktek privatisasi di pendidikan tinggi. Dengan itu,
pendidikan tinggi diharapkan dapat mencari sumber pendanaannya sendiri dan
tidak bergantung pada pendanaan dari pemerintah. Hal itu juga dikuatkan dengan
adanya kesepakatan GATS di tahun 1994, dimana Indonesia berada di dalamnya
untuk meliberalisasi 12 sektor jasa, salah satunya pendidikan. Pendidikan di
situ secara khusus adalah pendidikan tinggi.[16]
Menurut Sofian Efendi,
alasan pemerintah melakukan kebijakan privatisasi adalah rendahnya angka
partisipasi masyarakat terhadap pendidikan tinggi, dan rendahnya mutu
pendidikan tinggi itu sendiri.[17]
Sedangkan menurut Jony Raimon Purba, terdapat tiga alasan, yaitu keterbatasan
anggaran pendidikan dan rendahnya kualitas pendidikan, peranan lembaga
internasional lewat kebijakan SAP (Structural Adjusment Programe), dan
kebutuhan untuk meningkatkan daya saing perguruan tinggi negeri sebagai akibat
arus globalisasi yang menuntut adanya kompetisi, transparansi, dan aturan
sesuai sistem pasar.[18]
Alasan tersebut kemudian yang menjadi justifikasi pemerintah untuk
memprivatisasi pendidikan tinggi di Indonesia.
Privatisasi pendidikan
sendiri, menurut Henry M. Levin, merupakan transfer aktivitas, aset, dan
tanggung jawab dari pemerintah/ institusi publik kepada sektor privat/
individual dan agensi-agensi. Dalam hal ini mengubah pengelolaan pendidikan
tinggi bukan oleh pemerintah, dengan tujuan untuk profit maupun non-profit.
Privatisasi juga sering dikenal sebagai liberalisasi, dimana agen bebas dari
regulasi pemerintah dan pasar dapat memberi alternatif pelayanan dari pelayanan
yang diberikan oleh pemerintah/ sistem yang dialokasikan negara.[19]
Bentuk dari privatisasi pendidikan tinggi itu, menurut Bielfield dan Levin,
dilakukan dengan beberapa cara, seperti meningkatnya lembaga pendidikan yang
disediakan oleh sektor swasta, pendanaan pendidikan mayoritas dari ditanggung
sektor swasta (masyarakat dan sumbangan) dibanding dari pemerintah (APBN),
meningkatkan monitor (check and balances) dari masyarakat terhadap
lembaga pendidikan dan regulasi pemerintah.[20]
Kemudian ditambahkan oleh Philip Albatch, Lis Reisberg, dan Laura Rumbley,
privatisasi pendidikan mengambil bentuk, seperti membebani peserta didik
tanggung jawab pendanaan pendidikan, dengan bayaran (SPP) dan biaya pendidikan lainnya.
Bentuk lainnya ialah komersialisasi, seperti: mendapatkan pendanaan dari
kegiatan konsultasi, lisensi, penjualan kekayaan intelektual, mendapatkan
keuntungan dari hasil kolaborasi dengan industri, menyewakan aset perguruan
tinggi, dan sumber lainnya untuk meningkatkan pendapatan.[21]
Dalam melihat praktek privatisasi yang dijalankan di Indonesia, kita akan
berpegang ada konsepsi tersebut.
Sebagai bagian dari
kerja neoliberalisme, praktek privatisasi pendidikan tinggi dilakukan melalui
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia itu sendiri. Praktek
privatisasi tersebut dijalankan dengan pembuatan rangkaian peraturan yang
secara prinsip berupaya menarik peran pemerintah dari penyelenggaraan
pendidikan tinggi. Rangkaian peraturan tersebut dapat dirunut dari uraian di
bawah ini:
a. Peraturan
Pemerintah No. 60 Tahun 1999
PP ini secara umum
menjelaskan tentang pendidikan tinggi secara mendetail. Hal yang menjadi poin
khusus adalah pasal 114 ayat 1 yang menyatakan bahwa “Pembiayaan perguruan
tinggi dapat diperoleh dari sumber pemerintah, masyarakat, dan pihak luar
negeri. Terkait dengan dana dari masyarakat, maka yang berasal dari
sumber-sumber sebagai berikut: (1) Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP); (2).
biaya seleksi ujian masuk perguruan tinggi; (3). hasil kontrak kerja yang
sesuai dengan peran dan fungsi perguruan tinggi; (4). hasil penjualan produk
yang diperoleh dari penyelenggaraan pendidikan tinggi; (5). sumbangan dan hibah
dari perorangan, lembaga Pemerintah atau lembaga non-pemerintah; dan (6).
penerimaan dari masyarakat lainnya.”[22]
b. Peraturan
Pemerintah No. 61 Tahun 1999
PP ini mengatur
tentang perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Dengan PP ini,
memungkinkan sebuah Universitas dapat berubah menjadi badan hukum. Kelanjutan
dari PP ini adalah berubahnya beberapa Universitas negeri menjadi PT BHMN,
antara lain UI, UGM, IPB, ITB, USU, UPI, dan Unair. Dalam PP ini diatur
beberapa poin penting tentang pemisahan kekayaan Universitas dan negara, sumber
pendanaan PT BHMN: pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri, usaha, dan
tabungan universitas, struktur organisasi, mekanisme check and balances, dan
ketenagakerjaan.[23]
c. Keputusan
Dirjen Dikti Kemendiknas No. 28/DIKTI/Kep/2002
Kepmen ini berisi tentang
Penyelenggaraan Program Reguler dan Non Reguler di Perguruan Tinggi Negeri.
Terbatasnya dana untuk pendidikan tinggi menjadi alasannya mengapa harus dibuka
program non-reguler. Dengan biaya yang lebih tinggi (karena tak mendapat
subsidi), program non-reguler ini diharapkan dapat memberikan bantuan pemasukan
bagi PTN.[24]
d. Undang-Undang
No. 20 Tahun 2003
UU ini merupakan peraturan yang menjadi
platform bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Pasca adanya UU ini,
semua jenjang pendidikan harus mengacu padanya. Dalam Uini, perguruan tinggi
harus menyelenggarakan tridharma pendidikan tinggi, yaitu pendidikan,
penelitian, dan pengabdian. Terkait pendanaan pedidikan tinggi, masyarakat
diwajibkan memberikan dukungan sumberdaya di pendidikan tinggi (pasal 9),
peserta didik diwajibkan menanggung biaya pendidikan (pasal 12), UU ini juga
memperbolehkan perguruan tinggi untuk mencari pendanaannya sendiri dari
masyarakat (pasal 24), kemudian juga mengatur bahwa pendanaan pedidikan tinggi
ditanggung bersama antara pemerintah, pemda, dan masyarakat, tetapi tidak
diatur detailnya (pasal 46). Kemudian terdapat beberapa poin penting lagi,
yaitu tentang pengalokasiaan dana pendidikan (pasal 49), kemandirian
pengelolaan (pasal 50), Badan Hukum Pendidikan (BHP) (pasal 53),
diperbolehkannya lembaga pendidikan asing di Indonesia (pasal 64 dan 65).[25]
e. Peraturan
Pemerintah No.23 Tahun 2005
Peraturan ini berisi
tentang pola keuangan BLU (Badan Layanan Umum) untuk PTN. Dengan peraturan ini,
PTN berprinsip diperbolehkan mencari sumber dananya sendiri dan diberikan
keleluasaan untuk menerapkan prinsip bisnis dalam pelayanan pada masyarakat
sehingga pendidikan tinggi dimaksudkan sebagai komoditas jasa yang diperjual
belikan tanpa profit. Beberaapa Unversitas yang menjadi BLU adalah UNPAD,
Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Hasanudin, Universitas 11 Maret,
UIN Sunan Gunung Jati, UIN Kalijaga, UIN Alaudin, dan UIN Jakarta.[26]
f. Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 2005
Peraturan ini mengatur tentang subsidi
silang biaya operasi perguruan tinggi. Alasan dari peraturan ini adalah
ketidakmampuan pemerintah dalam meyelenggarakan pendidikan tinggi secara penuh.
Oleh karena itu praktekk subsidi silang antara peserta didik yang mampu dan
tidak mampu dilakukan. Dengan subsidi silang ini diharapkan pendanaan
dari masyarakat dapat bertambah.[27]
g. Peraturan
Pemerintah No. 48 Tahun 2008
Peraturan ini
menjelaskan tentang pendanaan pendidikan tinggi secara lebih detail, terutama
mengenai tanggung jawab pemerintah, pemda, dan masyarakat. Masyarakat tersebut
adalah (a) penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat, (b)
peserta didik (oraangtua atau wali), (c) dan siapapun yang mempunyai perhatian
dan peranan dalam bidang pendidikan. Dengan peraturan ini menegaskan jika
masyarakat menjadi salah satu penangung jawab pendidikan tinggi di Indonesia.[28]
h. UU
No. 9 Tahun 2009
Peraturan ini membahas
tentang konsep badan hukum pendidikan di Indonesia. Namun kemudian UU ini
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor 11-14-21-126 dan
136/PUU-VII/2009 karena dianggap menjadi jalan komersialisasi pendidikan tinggi
di Indonesia. Secara garis besar, UU ini mengamatkan agar satuan pendidikan di
Indonesia berbentuk badan hukum sehingga pendanaannya menjadi tanggung jawab
satuan pendidikan itu sendiri. Terdapat mekanisme pelepasan tanggung jawab
pemerintah dalam penyelenggaran pendidikan tinggi di Indonesia. Oleh karena
itu, MK kemudian membatalkan UU ini secara keseluruhan.[29]
i. Undang-Undang
No. 12 tahun 2012
UU ini baru disahkan pada 13 Juli 2012
kemarin. Namun, UU ini telah menimbulkan kontroversi di masyarakat karena
dianggap sebagai bangkitnya Badan Hukum Pendidikan gaya baru. Argumentasi untuk
UU ini telah dijelaskan di atas.
Posisi
Pendidikan dalam Kapitalisme
Dari
pengalaman empiris di atas, privatisasi pendidikan digunakan untuk semakin
meleburkan pendidikan tinggi lebih “masuk” pada kapitalisme global. Maka akan
timbul pertanyaan, Bagaimana sebenarnya posisi pendidikan dalam skema
kapitalisme sehingga ia memandangnya sangat penting untuk di’ekspansi’? Sesi
ini kita akan diskusikan hal tersebut.
Dalam sistem
Kapitalisme, terdapat ciri antropologis yang kentara atasnya yaitu rasionalitas
dan kontinuitas. Dengan ciri tersebut, terdapat suatu skema yang harus selalu
dibangun olehnya untuk mempertahankan eksistensinya, yaitu reproduksi.
Reproduksi di sini diartikan secara spesifik sebagai reproduksi kondisi
produksi. Kondisi produksi ini diasumsikan bahwa di setiap tatanan sosial
memiliki modus produksi yang dominan. Reproduksi ini bertujuan untuk
mempertahankan kondisi produksi yang telah mengada, di dalam dan di bawah
relasi produksi yang definitif tersebut. Menurut Althusser, terdapat dua hal
yang harus selalu direproduksi kapitalisme, yaitu kekuatan produktif dan
hubungan produksi yang telah ada.[30]
Dalam kapitalisme,
kekuatan produksi terletak pada alat produksi dan sumber daya manusia.
Reproduksi pada kekuatan produksi meliputi reproduksi pada dua hal tersebut.
Karena berhubungan dengan pendidikan, kita akan langsung fokus pada reproduksi
sumber daya manusia. Pendidikan dalam hal ini, merupakan bagian dari reproduksi
sumber daya manusia.
Reproduksi material
dari sumber daya manusia diperoleh pekerja melalui upah yang diterimanya.
Namun, kondisi tersebut belum cukup untuk menjamin reproduksi di bidang sumber
daya manusia. Dalam perkembangan selanjutnya, kapitalisme memiliki
kebutuhan untuk menjadikan pekerja berkompeten. Kompeten di sini maksudnya
bahwa pekerja harus cocok ditempatkan dalam suatu pembagian kerja yang
kompleks. Dengan begitu, terdapat tuntutan bahwa setiap pekerja harus memiliki
keahlian tertentu dan jumlahnya yang terdeferensiasi. Berhadapan dengan itu,
maka pekerja harus dibentuk dan direproduksi dengan cara yang seperti itu.
Sistem dan institusi
pendidikan (kapitalis) di sini berperan dalam membentuk dan menjalankan
reproduksi keahlian pekerja tersebut, yang tidak dapat dijalankan oleh sistem
internal produksi sendiri. Dalam pendidikan, setiap manusia diajarkan cara
membaca, menulis, dan berhitung. Keahlian dasar ini merupakan bentuk
manifestasi hasil pendidikan yang dapat digunakan dalam pelbagai jenis
pekerjaan dan pembagiannya. Dengan begitu, ajaran utama dari sistem pendidikan
kapitalis adalah pembelajaran tentang “know-how’ (tahu-teknik).
Tetapi selain
mempelajari tentang pengetahuan dan teknik, pelajar di institusi pendidikan
diajarkan tentang aturan tingkah laku yang baik, yang tak lain merupakan norma
dan tata aturan yang diciptakan untuk mengatur kehidupan mereka dalam ranah
yang telah ditentukan oleh penguasa/kapitalis. Maka, sebenarnya, dalam sekolah
setiap orang diajarkan untuk selalu patuh pada tatanan yang dibangun
penguasa/kapitalis. Kesimpulan dari ini, seperti yang dijelaskan Althhusser,
bahwa “Reproduksi tenaga kerja membutuhkan tidak saja reproduksi keahlian
mereka, tetapi pada saat yang sama, merupakan reproduksi ketundukan sumber daya
manusia kepada aturan yang sudah mapan.”[31]
Dengan begitu, reproduksi sumber daya manusia yang dijalankan institusi
pendidikan, memberikan dua hal yaitu reproduksi keahlian dan reproduksi
ketundukan pada ideologi penguasa/kapitalis. Hal ini dapat dilihat pada
reproduksi ketundukan terhadap ideologi yang beroperasi pada pekerja, karena
jelas reproduksi keahlian hanya dapat terjaadi dalam bentuk dan dibawah
ketundukan pada ideologi yang sedang berjalan.
Berkaitan dengan
ketundukan ideologis, institusi pendidikan berperan besar dalam menjalankan
proses ideologisasi ini. Dalam bahasa Althusser institusi pendidikan
ditempatkan sebagai ISA (Ideological State Aparatus) paling dominan dalam
relasi produksi kapitalisme.[32]
Aparatus jenis ini merupakan alat dari negara untuk melakukan secara massif
proses yang menonjolkan ideologi, termasuk di dalamnya pembentukan dan
penjagaannya. Hal ini sangat penting karena tak ada kelas atau penguasa yang
dapat berkuasa lama, tanpa memegang kendali dan menjalankan hagemoni di
sekeliling aparatus ideologis. ISA digunakan kelas yang berkuasa untuk menjaga
hagemoni ideologi tersebut.
Apa siginifikansi
penjagaan hagemoni ideologi ini? Bagi kapitalisme, ini adalah bagian dari
reproduksi relasi produksi yang telah berjalan. Dengan adanya ISA, proses
kesadaran mengenai relasi produksi yang eksploitatif ditempatkan dalam konteks
yang biasa-biasa saja, dengan demikian, gejolak perlawanan dijauhkan dari pekerja
dan relasi produksi dapat berjalan secara kontinyu. Dengan ISA, proses
pendispilinan tubuh juga dijalankan dengan mengikuti pola kerja yang ada dalam
kehidupan kapitalisme. Dalam dunia sekarang, adakah sebuah institusi aparatus
negara ideologis yang dapat memaksa peserta di dalamnya terlibat dalam
aktivitas selama, minimal, delapan jam selama enam hari, kecuali sekolah?
Pendisiplinan ini dibentuk dalam kerangka menyiapkan diri-diri manusia dalam
memasuki dunia kerja berikutnya.
Melihat paparan, yang
sebagian besar diambil dari pemikiran Althusser, di atas kita bisa tempatkan
bahwa sistem dan institusi pendidikan memiliki peran yang strategis di tubuh
kapitalisme. Pertama sebagai bagian dari skema reproduksi alat produski,
dimana dalam hal ini menempati sebagai reproduksi sumber daya manusia, dan Kedua,
berperan sebagi penjalan utama dari reproduksi relasi hubungan produksi dengan
menjadi ISA.
Terkait dengan itu
dalam konteks dunia pendidikan kita, pendidikan tinggi merupakan sebuah
reproduksi tenaga kerja terdidik yang ditujukan untuk diupah murah. Mengapa
murah? Jumlah persaingan yang ketat diantara pencari pekerja menjadi
jawabannya. Saat suplai melimpah, nilai tenaga kerja semakin turun. Menjadi
terdidik, menjadikan setiap pekerja meiliki kompetensi yang bisa ditempatkan di
posisi tertentu dalam pembagian kerja yang kompleks.
Di samping itu, dengan
sistem sekarang yang menjadikan pendidikan tinggi sangat mahal, proses
reproduksi ketundukan sangat ditekankan. Karena alasan kuliah mahal, bentuk
berpikir kritis di perguruan tinggi menjadi nomor sekian. Yang utama dan paling
penting bagi mahasiswa adalah ijazah yang kemudian dapat digunakan untuk
mencari kerja. Proses akademik yang menngutamakan nalar berpikir semakin
dikurangi secara sttruktural. Ini akan mereproduksi tenaga kerja yang tunduk
dan patuh tanpa ada budaya kritis.
Selain sebagai moda
reproduksi alat produksi, institusi pendidikan menjadi salah satu alat
legitimasi utama dari sistem kapitalisme saat ini. Dengan diskursus akademik
yang ada, kampus-kampus tertentu di Indonesia menjadi rumah produksi
pemikir-pemikir yang menjejalkan pemikiran yang mendukung berlakunya sistem
kapitalisme itu sendiri. Bahkan, kampus juga menjadi basis utama para pendukung
UU Dikti yang merupakan bagian dari privatisasi pendidikan tinggi. Dengan
demikian, sebagai ISA yang bertugas menjaga hagemoni pemikiran, institusi
pendidikan menjadi sangat relevan saat ini.
Penutup
Pengalaman adanya privatisasi
pendidikan tinggi sebenarnya bukanlah hal yang pertama kita alami. Sejak 2000
hal itu telah ada, dan perjuangan melawan itu membawa hasil yang posistif
dengan dibatalkannya UU BHP pada 2010. Dalam hal ini, sebenarnya peluang
melawan kebijakan ini masih sangat terbuka. Saat ini proses Judicial Review sedang
berjalan di MK. Maka menjadi kebutuhan bagi kita untuk memperbesar gerakan
untuk melawan itu dan memenangkan pertarungan ini.
Pengalaman ini pun
juga bukan milik kita sepenuhnya. Berbagai tempat di belahan dunia juga
mengalami hal demikian. Privatisasi pendidikan dengan tendensi utama menjadikan
pendidikan semakin terintegrasi dengan kapitalisme global merupakan musuh bagi
pendidikan yang berpihak pada rakyat secara luas. Kita lihat kawan-kawan kita
di Chile, Montreal, hingga London juga mengalaminya. Mereka bisa melawan dan
memenangkan pertarungan saat mahasiswa bergabung dengan gerakan rakyat lainnya.
Karena bagaimanapun, isu pendidikan tidak hanya milik mahasiswa, tetapi milik
publik secara luas. Oleh karena itu, mari bersatu pada kekuatan rakyat untuk
memenangkan ini. Tak segan-segannya saya ulangi lagi seruan ini:
Buruh (dan calon
buruh) di seluruh dunia, Bersatulah!!!
Daftar
Pustaka
Althusser, Louis. Tentang
Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies.
Yogyakarta: Jalasutra. 2008.
Effendi, Sofian. GATS
dan Liberalisasi Pendidikan Tinggi. Makalah tidak diterbitkan. Makalah
pada Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan”
diselenggarakan oleh BEM KM UGM, Ygoayakarta, 22 September 2005
Fakih, Mansour.
Neoliberalisme dan Globalisasi. Jurnal Al Manar. Edisi 1. Januari, 2004.
Nugroho, Galih
Ramadian. Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi Periode Tahun
2000-2012(Studi Komparasi Indonesia dan India). Skripsi sarjana. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
Indonesia. 2012.
Risky, Awalil dan
Nasyid Majidi. Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia. Jakarta: E-
Publishing. 2008.
Purba, Jony Raimon. Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik
Indonesia Studi Kasus: Penerapan
Kebijakan Privatisasi Pendidikan Di
Indonesia. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. 2008.
Priyono, B. Herry. “Sesat Neoliberalisme”, diunduh dari
http://indoprogress.com/sesat-neoliberalisme/
diakses pada 20 Mei 2013 pukul 20.13 WIB
Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat
Kapitalisme” diunduh
dari http://indoprogress.com/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/
diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 13.05 WIB
“Batalkan UU
Pendidikan Tinggi: Pernyataan Sikap Partai Rakyat Pekerja” diunduh dari
http://www.prp-indonesia.org/2013/batalkan-uu-pendidikan-tinggi
diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB
“Pendidikan Tinggi Di
Tengah Privatisasi dan Cengkeraman Pemerintah” diunduh dari
http://www.elsam.or.id/?id=2016&lang=in&act=view&cat=c/12
diakses pada 19 Mei 2013 14.35 WIB.
[1] Tulisan ini
disampaikan pada diskusi rutin Pimpinan Pusat Kolektif-Nasional PEMBEBASAN
(Pusat Perjuangan Mahasiswa untuk Pembebasan Nasional) Jakarta, 4 Oktober 2013.
[2] Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, “UU Pendidikan Tinggi dalam Jerat Kapitalisme” diunduh dari http://indoprogress.com/uu-pendidikan-tinggi-dalam-jerat-kapitalisme/
diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 13.05 WIB
[3] Sofian Effendi, “GATS dan
Liberalisasi Pendidikan Tinggi”, makalah tidak diterbitkan. Makalah pada
Diskusi “GATS: Neo-imprialisme modern dalam Pendidkan” diselenggarakan
oleh BEM KM UGM, Yogyakarta, 22 September 2005, hlm. 2
[4]Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, op.cit.
[5] “Batalkan UU
Pendidikan Tinggi: Pernyataan Sikap Partai Rakyat Pekerja” diunduh dari http://www.prp-indonesia.org/2013/batalkan-uu-pendidikan-tinggi
diakses pada 2 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB
[6] Ahmad Rizky
Mardhatillah Umar, op.cit.
[7] Mohamad Mahsun,
“Pengukuran Kinerja Sektor Publik”, (Jogjakarta: BPFEUI UGM, 2006) hlm. 10
[8] “Pendidikan Tinggi Di Tengah
Privatisasi dan Cengkeraman Pemerintah” diunduh dari http://www.elsam.or.id/?id=2016&lang=in&act=view&cat=c/12
diakses pada 19 Mei 2013 14.35 WIB.
[9] B. Herry Priyono, “Sesat
Neoliberalisme”, diunduh dari http://indoprogress.com/sesat-neoliberalisme/
diakses pada 20 Mei 2013 pukul 20.13 WIB
[10] Mansour Fakih,
“Neoliberalisme dan Globalisasi”, Jurnal Al Manar, Edisi 1, (Januari, 2004)
hlm. 4
[11] Awalil Risky dan
Nasyid Majidi, “Neoliberalisme Mencengkeram Indonesia”, (Jakarta:
E-Publishing, 2008) hlm. 240
[12] Ibid. hlm
282-284
[13] Jony Raimon Purba,
“Neoliberalisme Dan Ekonomi Politik Indonesia Studi Kasus: Penerapan Kebijakan
Privatisasi Pendidikan Di Indonesia” (Skripsi Sarjana, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara, 2008)
[14] Awalil, op.cit. hlm.
285
[15] Ibid.
hlm 282
[16] Sofian Effendi, op.cit hlm. 2
[17] Ibid . hlm. 10
[18] Jony, op.cit.
[19] Henry M. Levin dalam
Galih Ramadian Nugoroho, Politik Pendidikan: Liberalisasi Pendidikan Tinggi
Periode Tahun 2000-2012(Studi Komparasi Indonesia dan India). (Skripsi
sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012),
hlm. 18
[20] Clive R Belfield
& Henry M. Levin, dalam Galih, ibid. hlm. 18
[21] Philip Albatch, Lis
Reisberg, dan Laura Rumbley dalam Galih, ibid. hlm 19
[22] Galih Ramadian
Nugroho, ibid. hlm. 59
[23] Ibid. hlm
60-63
[24] Ibid. hlm 64
[25] Ibid. hlm
64-66
[26] Ibid. hlm. 66
[27] Ibid. hlm.
67-68
[28] Ibid. hlm. 68
[29] Joni Roiman, op.cit,
hlm.
[30] Louis Althusser,
“Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, dan Cultural Studies”,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2008), hlm. 4
[31] Ibid. hlm. 9
[32] Ibid. hlm. 20
thanks ya infonya !!!
BalasHapuswww.bisnistiket.co.id