Sebelum apa-apa, mari lihat dua karya berikut ini: Pamflet SEMAR UI Edisi
Ke-3 dengan tema "Mahasiswa dukung Mogok!"[3] dan
tanggapan terhadapnya dari seorang kawan bernama Shindu Pratomo.[4] Berdasar
korespondensi twitter antara admin @SEMARUI dan admin @UILDSC, diketahui bahwa mulanya kawan Shindu berkeinginan
untuk menyampaikan tanggapannya langsung secara pribadi ke SEMAR UI. Namun
karena tidak ditanggapi, maka Ia bergabung dengan UI LDSC[5] dan
menyampaikan tanggapannya tersebut melalui blog UI LDSC. Kami meminta maaf jika
memang benar kawan Shindu sudah pernah memberikan tanggapan dan menunjukkannya
kepada kami namun kami-nya yang alpa, yang mana kami memang tidak mengingat hal
tersebut sudah pernah terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia per-twitter-an. Lain cerita kalau fragmen
tersebut terjadi di salahsatu mimpi kawan Shindu atau di sebuah skenario film
yang Ia buat. Usut punya usut, jika kawan Shindu memang pernah menunjukkan link tanggapannya kepada kami via twitter, kami memohon maaf (lagi) jika
tidak melihatnya, mengingat akun twitter
kawan Shindu di-protect dan kami
tidak me-request untuk mem-follow kawan Shindu. How could
we know?
Akademis atau Tidak?
Menanggapi balik tanggapan tersebut, kami tidak tertarik untuk mengikuti
tingkah laku kawan Shindu untuk menilai-nilai sebuah karya apakah ia akademis
atau tidak. Kadar akademis atau tidaknya sebuah karya sebenarnya dengan
sederhana dapat tampak oleh karya itu sendiri tanpa penilaian dari orang lain.
Misalnya, apakah argumen dalam karya tersebut mengandung kontradiksi,
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, tidak konsisten. Atau apakah
argumen dalam karya tersebut menghargai tata cara pembacaan fakta dan data yang
umum dalam dunia akademis, dan sedikit teknis, apakah karya tersebut cukup
menghargai sumbangan para akademisi sebelumnya dengan cara menyebutkan sumber
kutipan secara layak. Setelah dengan sendirinya suatu karya menunjukkan bahwa
ia akademis atau tidak, persoalan apakah publik mau mengakui bahwa karya
tersebut benarlah akademis (atau benarlah tidak akademis), merupakan penilaian
publik secara satu kesatuan, bukanlah penilaian orang perseorangan. Terlebih,
orang perseorangan yang tidak memiliki otoritas akademis apapun (jumlah
publisitas, jumlah sitasi, jumlah asuhan peserta ajar, pengakuan dari komunitas
akademis, dan kadar-kadar pengukur otoritas akademis lainnya yang umum dalam
masyarakat).
Lebih-lebih, menurut kami, publik pembaca tidak membutuhkan penilaian dari
kami untuk dapat mengetahui apakah tanggapan dari Kawan Shindu itu sendiri
akademis atau tidak, atau dengan cara lain mengatakannya, dari dua tulisan yang
sebelumnya berkorespondensi ini, sebenarnya, yang manakah yang akademis dan
yang manakah yang tidak, sehingga, meminjam pendapat kawan Shindu, perlu
"dikontrol persebarannya dan
diberi tanda, agar bisa disikapi dengan sebagaimana harusnya."[6]
Tentu kami tidak tertarik untuk mengusik perbedaan penapat yang terjadi
antara kami dan kawan Shindu, mengingat pendapatan saja bisa berbeda, masa' pendapat tidak.
Namun yang membuat kami iba dan tergerak untuk membantu kawan Shindu supaya
bersama-sama belajar lebih jauh, adalah bagaimana kawan Shindu menyampaikan
ketidaksepakatannya dengan pendapat kami. Tentu kami sadar bahwa di dunia ini
sangatlah banyak orang yang tidak setuju dengan mogok buruh, dengan berbagai
alasannya masing-masing (terlepas dari, setidaknya, fakta legal bahwa ia
merupakan mekanisme hubungan industrial yang dilindungi oleh perundang-undangan
Indonesia melalui UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, di mana lock
out atau tutup perusahaan merupakan hak pengusaha, di saat mogok
adalah hak pekerja)[7].
Argumen-Argumen Kawan
Shindu
Yang membuat kami geli adalah betapa naifnya kawan Shindu dalam membaca
kenyataan sosial saat Ia berusaha mempertahankan posisi argumennya menentang
mogok buruh. Pertama, saat kawan
Shindu melakukan problematisasi terhadap konsep "produktivitas". Kami
hingga saat ini belum benar-benar menangkap di titik mana sebenarnya kawan
Shindu gagal memahami konsep ini, mengingat produktivitas adalah konsep yang
sangat umum digunakan dalam berbagai studi sosial seperti ekonomi, pembangunan,
politik, dan hubungan internasional. Bahkan berbagai organisasi internasional
dan pemikir sosial yang otoritatif di bidangnya masing-masing, menggunakannya
dan memiliki definisi yang tidak jauh berbeda antar satu sama lain terkait
produktivitas, produktivitas nasional, dan produktivitas pekerja. Di antaranya
adalah yang kami berprasangka baik kawan Shindu sudah familiar dengan nama-nama
berikut, seperti OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), World Bank (Bank Dunia), dan Paul
Krugman (Ekonom Keynesian peraih Nobel Ekonomi tahun 2008). Menjawab pertanyaan
kawan Shindu,
"Obat macam apa yang membuat
manusia bekerja seperti itu?,"[8]
tentunya produktivitas pekerja tidak meningkat dengan makan obat semacam
kacang ajaib di komik Dragon Ball (tenang, kami sendiri juga penikmat karya
Akira Toriyama tersebut. Dan ini adalah salahsatu contoh dari yang tidak
termasuk ke dalam karya akademis, jika kawan Shindu butuh pembanding untuk
menilai suatu karya apakah akademis atau tidak).
Jika kawan Shindu belum familiar, kami perkenalkan, sumber peningkatan
produktivitas pekerja di antaranya adalah teknologi dan tingkat pendidikan. Di
sini perlu kami tegaskan, bahwa jika produktivitas pekerja meningkat (semakin
banyak barang yang dapat dihasilkan seorang pekerja dalam satu skala waktu
tertentu dibandingkan dalam skala waktu yang sama di rentang waktu yang
sebelumnya), pekerja layak untuk mendapatkan peningkatan upah sebagai bentuk
ikut merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang dinikmati para
pengusahanya.
Kedua, terkait pandangan
kawan Shindu tentang bagaimana strategi menjadi negara maju, yang menurutnya
adalah dengan
"peningkatan keuntungan harus
ditabung untuk memajukan perusahaan",[9]
menurut kami ini adalah di antara sedikit petunjuk bahwa sebenarnya jika
kawan Shindu menganggap tanggapannya terhadap pendapat kami sebagai sesuatu yang
serius, bukan candaan, kawan Shindu mampu untuk melakukannya jauh lebih baik
lagi. Walaupun, kami tidak bersepakat dengan kawan Shindu dalam hal ini
(bagaimana bisa? Bagi kami, mengafirmasi filsafat Marxis yaitu varian materialisme
yang berfokus pada manusia sebagai subjek, kemajuan ekonomi negara adalah untuk
manusia, bukan untuk ekonomi itu sendiri, mengingat ekonomi adalah bentukan
manusia. Kemajuan ekonomi negara yang tidak dinikmati oleh manusianya sendiri
bagi kami seperti pemberontakan kaum robot yang terjadi di alam fikir Fujiko F.
Fujio saat Ia mengarang salahsatu kisah komik Petualangan Doraemon, atau anjing
peliharaan yang menggigit majikannya sendiri, atau seperti kata peribahasa, senjata
makan tuan). Di titik ini, walaupun kami melawannya, kami mengapresiasi
kawan Shindu yang entah secara sadar atau tidak mengambil posisi yang jelas
tentang skema pembangunan yaitu yang berlandaskan pada akumulasi modal, atau
seperti kata orang-orang, kapitalistik.
Argumen ketiga kawan Shindu
adalah bahwa menggaji pekerja secara manusiawi berarti tidak memberikan
insentif kepada pendidikan dan kontribusi lebih. Untuk menanggapi bagian ini,
sekaligus argumen sampingannya tentang dampak negatif lain dari gaji yang
manusiawi bagi pekerja, yaitu
"kalau buruh nantinya digaji 5
juta per bulan ditambah asuransi dan tunjangan lainnya, siapa yang mau menjadi
manajer dan supervisor dengan gaji yang
sama?,"[10]
kami ingin mempromosikan dua film dokumenter yang bagi kami akademis.
Pertama, film pemenang Documentary Award dalam
American Film Institute Festival tahun
2004, The Take karya Naomi Klein dan
Avi Lewis. Kedua, film pemenang Phoneix
Film Critics Society Award tahun 2009, Capitalism:
A Love Story karya Michael Moore. Keduanya menunjukkan bahwa, pekerja tanpa
bos adalah mungkin, sementara di sisi lain, bagi kami, bos tanpa pekerja-lah
yang mustahil.
The Take bercerita tentang
pola gerakan buruh di Argentina yaitu pengambilalihan pabrik oleh koperasi
pekerja saat pengusaha melakukan klaim bangkrut.[11] Pola gerakan
buruh seperti ini berkembang hingga menasional di Argentina. Di antara yang
menginisiasi adalah para pekerja di pabrik keramik Zanon (yang tentunya kawan
Shindu dapat meng-google-nya untuk
menemukan sejebret success story feature tentang skema
pembangunan alternatif dari yang kawan Shindu dan mayoritas umat manusia
lainnya hari ini masih belum bisa melepaskan diri dari belenggu pikiran
tentangnya, yaitu pembangunan berlandaskan akumulasi modal di tangan segelintir
orang yang disebut para pengusaha, seperti tertera di argumen kedua kawan
Shindu di atas).
Persoalan imajinasi memang merupakan salahsatu hambatan terbesar dalam
mencari alternatif dari sistem sosial-produksi dominan hari ini yaitu
kapitalisme. Sudah banyak pula pihak-pihak yang menitikberatkan pentingnya
imajinasi bagi kebaikan manusia. Mengutip dari kawan-kawan @JERKResearch
(Jaringan Riset Kolektif), salahsatu anggota koalisi GERAK LAWAN (Gerakan
Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme) yang merespon KTM-9 WTO (World
Trade Organization) di Bali awal bulan Desember ini,
"Lebih mudah
hari ini bayangkan bumi ditabrak meteor, berpacaran dengan vampir, atau
bersahabat dengan robot raksasa ketimbang membayangkan imajinasi yang amat lugu
dan sederhana tentang kehidupan tanpa kapitalisme neoliberal Kontemporer."[12]
Hilmar Farid, sejarawan ISSI (Institut Sejarah Sosial
Indonesia) dan kandidat Ph.D dari National University of Singapore,
menyatakan dalam wawancara dengan @ffildzahizz, redaksi Left Book Review IndoPROGRESS,
“Tanpa
bermaksud menyederhanakan masalah saya kira warisan politik Orde Baru yang
paling bermasalah dan sulit diatasi adalah kemiskinan imajinasi. Bukan hanya
imajinasi politik, tapi juga imajinasi sosial dan kultural.”[13]
Albert Einstein menyatakan
“I am enough of an
artist to draw freely upon my imagination. Imagination is more
important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and
understand, while imagination embraces the entire worldand all there
ever will be to know and understand,”[14]
dan
“Logic will get
you from A to B. Imagination will take you everywhere.”
Sementara Bob Marley, dalam lagunya yang terkenal
tentang kebebasan, Redemption Song, menyeru,
“Emancipate
yourselves from mental slavery; None but ourselves can free our minds.”[15]
Dalam Capitalism: A Love Story, selain
berkisah tentang pabrik roti di Amerika Serikat yang dikelola secara kolektif
oleh para pekerjanya dan menyebabkan upah yang lebih besar tiga kali lipat
dibanding saat dikelola oleh para bos, Michael Moore berkisah juga tentang
penemu vaksin polio, Jonas Salk.[16] Jonas Salk memilih
untuk tidak mematenkan penemuannya, menyebabkan vaksin polio sebagai salahsatu
vaksin yang paling mudah didapati (kami berprasangka baik bahwa kawan Shindu
sendiri pernah merasakan efek domino dari kemurahan hati Jonas Salk yaitu
imunisasi polio di posyandu / puskesmas sekitar rumahnya semasa balita).
Padahal, jika ingin, Ia dapat dengan mudah mematenkannya, dan menjadikan Ia,
keluarganya, dan keturunannya, menjadi kaya raya. Namun saat ditanya mengapa
tidak, jawabnya, yang di-capture oleh
film Michael Moore tersebut, Ia menyatakan bahwa Ia hanya perlu hidup yang
berkecukupan secara layak. Kisah ini menunjukkan bahwa uang bukanlah
satu-satunya insentif bagi manusia untuk berbuat baik bagi sesamanya dan
berkembang serta mengembangkan peradabannya demi keberlangsungan dan
keberlanjutan hidup umat manusia. Dalam The Selfish Gene, karya
seminalnya tentang Teori Evolusi, Richard Dawkins membangun argumen yang sulit dirubuhkan
tentang kesatuan gen manusia yang bertujuan kelanggengannya sebagai spesies,
yang karenanya menormalkan fenomena-fenomena saling tolong menolong antar
sesama manusia tanpa pamrih apapun.
Kawan Shindu juga mengingatkan kami,
“Jangan
salahkan mereka yang membangun perusahaan dari nol dan menjadi sukses.”[17]
Terima kasih atas pengingatan ini.
Dengan berusaha menerapkan sekaligus mengembangkan terus filsafat sosial Marxis
yaitu materialisme historis, kami berusaha untuk konsisten melihat ketimpangan
kepemilikan faktor produksi yang terjadi di masyarakat, akar dari segala kritik
Marxis terhadap sistem sosial-produksi kapitalisme, sebagai fenomena yang
terberi secara sosial, yaitu memasyarakat, dan secara historis, yaitu menyejarah.
Maksudnya, ketimpangan di masyarakat ini memang bukanlah salah para pengusaha
kapitalis tersebut (yang mana dengan ini kami meminta kawan Shindu untuk menunjukkan
pula di bagian mana kami menyalahkan para pengusaha), melainkan merupakan
warisan dari generasi masyarakat yang sebelumnya. Lebih jauh tentang ini, kami
menyarankan kawan Shindu menyimak bersama ulasan kawan Martin Suryajaya dalam
buku terbarunya, yang merupakan pengemasan ulang dari tesis studi master Martin
di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, yang berjudul “Asal-Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai
dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen”.[18]
Kesalahpahaman tentang
Mogok dan Sumbangsih Gerakan Pekerja bagi Umat Manusia
Kami juga menyarankan kawan Shindu untuk menambah daftar bacaannya tentang
konsep “mogok”. Kesalahpahaman tentang konsep ini menyebabkan kawan Shindu
memberikan tanggapan yang juga tidak dapat kami pahami. Kami terangkan ulang di
sini, mogok adalah hak pekerja, sebagai respon terhadap mandeknya negosiasi
dalam konflik hubungan industrial, di mana hak respon pengusaha adalah lock out. Jadi, mogok yang dilakukan
pekerja bukanlah disebabkan sumbu pendek yang terusut yang lalu dilanjutkan
dengan provokasi untuk membuat rusuh dan merugikan masyarakat. Dalam masyarakat
kapitalistik yang pertentangan sistemiknya terletak pada pertentangan antara
pekerja dan pengusaha, memang selayaknya masyarakat diikutsertakan dalam
pertentangan ini, dan mengambil posisinya masing-masing. Apakah memilih
mendukung pengusaha dan skema pembangunan yang berlandaskan akumulasi modal,
atau skema pembangunan alternatif, yang dengan baik film dokumenter The Take telah menunjukkannya, lebih
menguntungkan baik bagi pekerja maupun masyarakat.
Dalam film tersebut dijelaskan bahwa pengambilalihan pabrik-pabrik
tersebut bukanlah tindakan rusuh yang illegal, melainkan mereka dimenangkan
dalam konflik litigasi (hukum). Pasca perusahaan-perusahaan dikelola oleh para
pekerjanya, upah mereka meningkat. Harga barang yang diproduksi juga menjadi
lebih murah, bahkan mampu menyumbang untuk rumah sakit dan sekolah publik,
sehingga masyarakat sangat bersimpati dan mendukung gerakan itu. Bukan hanya
pabrik keramik yang diambil alih, melainkan juga pabrik garmen, pabrik
otomotif, pabrik es krim, bahkan rumah sakit dan sekolah.[19]
Sebagai catatan, gerakan sekaligus skema pembangunan alternatif ini bukan
monopoli Argentina saja, melainkan menyebar ke berbagai negara di Amerika
Latin. Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chavez bahkan menyelenggarakan forum
nasional rutin yang mempertemukan para pekerja yang mengelola pabrik mereka
sendiri. Di Bolivia, Presiden Evo Moralez belum lama ini mengeluarkan dekrit
presiden yang melegitimasi tindakan pemgambil-alihan pabrik. Tentunya ini dalam
kondisi tertentu, yaitu saat pengusaha melakukan klaim pailit hanya untuk
melakukan relokasi investasi ke tempat lain yang upah pekerjanya lebih murah,
yang kemudian tidak terbukti melalui inspeksi petugas pengadilan. Para pekerja
dalam perusahaan yang seperti ini, berdasar dekrit presiden tersebut,
diperbolehkan untuk mengambil alih faktor-faktor produksi yang ditinggalkan
pengusaha yang pergi dan melanjutkan berjalannya perusahaan tersebut. Tentunya
dekrit ini tidak absen dari penolakan oleh oposisi dan dunia internasional.
Namun presiden dengan dukungan kelas pekerja yang besar dibelakangnya, bertahan
dengan keputusan penekenan dekrit.[20]
Kawan Shindu juga tidak bisa membantah fakta sejarah bahwa jam kerya layak
yang sekarang secara normatif dinikmati semua umat manusia yang memenuhi
kebutuhan hidupnya melalui pemberian upah dari orang lain (baca = pekerja,
secara terminologis), merupakan hasil perjuangan gerakan pekerja yang salahsatu
metode utamanya adalah mogok. Perjuangan dan pengorbanan darah bahkan nyawa
para pekerja Amerika ratusan tahun yang lalu tersebut kini kita semua peringati
sebagai Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 Mei (May Day).[21]
Bukan hanya itu hasil perjuangan gerakan pekerja yang lantas dinikmati
oleh umat manusia secara umum. Di Indonesia, kita mengingat sejarah hak
kebebasan berkelompok bermula dari Semaun yang mengorganisir serikat pekerja
Kereta bernama Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) sekitar tahun
1920-an sejak zaman kolonial Hindia Belanda.[22]
Belum lama pula, –terlepas dari berbagai pro dan kontra atasnya- , pada
tahun 2011 gerakan buruh mendesak disahkannya UU BPJS (Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial) sebagai implementasi dari UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial
Nasional) yang mandek beberapa tahun penerapannya sejak disahkan tahun 2004.
Kini, gerakan buruh juga sedang melakukan perjuangan legislasi lain, yaitu
menuntut perlindungan kepada PRT, melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 189
tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga yang mengakui hak para pekerja rumah
tangga sebagaimana para pekerja yang lainnya dan pengesahan RUU PPRT
(Perlindungan Pekerja Rumah Tangga).
Gerakan pekerja di berbagai belahan dunia lainnya sudah lebih maju
daripada di Indonesia dalam hal tuntutan. Di negara-negara Skandinavia dan
Amerika Latin, kerja domestik perempuan yaitu yang berkaitan dengan reproduksi,
sudah dihargai sebagaimana kerja produksi di pabrik, sehingga mendorong pula
keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dilaksanakan misalnya melalui cuti
haid, hamil, dan melahirkan yang luas dan terupah. Lebih lanjut tentang ini,
silakan kawan Shindu simak elaborasi kawan Fildzah Izzati dalam reviewnya
terhadap buku Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and
Feminist Struggle karya Silvia
Federici.[23]
Dari beberapa contoh di atas, kawan Shindu tidak bisa mengelak dari
fakta tren gerakan buruh baik di dunia maupun di Indonesia, yang mengemuka
menjadi salahsatu slogan dari Mogok Nasional 2013 awal bulan November lalu,
yaitu “Buruh Berjuang dari Pabrik untuk Publik”.
Mari Bersama Belajar
Marxisme (dan Leninisme)
Dalam penjelasannya di bagian “Marxisme
Pada Awalnya..”,[24] kawan Shindu
menganggap bahwa, pertama, pewarisan
faktor produksi menurut Marxis adalah melalui hubungan darah, kedua, Komunisme bagi Marx seperti Ia
tulis dalam karyanya Das Kapital,
adalah
“hanyalah jalan; jalan menuju
anarkisme,”[25]
dan ketiga, bagi Lenin, era
sekarang merupakan era yang ditunggu-tunggu para Marxis karena di negara-negara
yang bebas, umat manusia berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sebelum
masuk ke ranah materiil, kami terlebih dahulu menunjukkan kejanggalan
argumentasi kawan Shindu di ranah formil.
Pada bagian ini kami menemukan bahwa kawan Shindu melakukan pembajakan
otoritas argumen. Kawan Shindu memaksa Marx untuk mengatakan hal yang tidak pernah
Ia katakan, begitu juga yang dilakukan kawan Shindu terhadap Lenin, hanya untuk
mendukung argumentasinya. Sebagai kawan yang baik yang ingin bersama-sama
belajar supaya kelak bernalar, kami menyarankan kawan Shindu untuk berlatih
lebih banyak lagi dalam melakukan kutipan. Kami akui bahwa meletakkan sitasi
merupakan salahsatu fase penulisan yang melelahkan, tapi ingatlah kawan Shindu,
Marx menyatakan dalam pengantar edisi Bahasa Prancis tahun 1872 bagi bagi
karyanya Das Capital volume 1,
“There is no royal road to science,
and only those who do not dread the fatiguing climb of its steep paths have a
chance of gaining its luminous summits.”[26]
Ketidaktuntasan Kawan Shindu dalam melakukan kutipan, lebih tepatnya
mengutip secara misleading, atau yang
paling tepat adalah mengarang-ngarang Marx dan Lenin pernah menyampaikan
hal-hal di atas, membuat kami menjadi bertanya-tanya, apakah sedari tadi kita
merujuk pada Marx yang sama dan Lenin yang sama? Kami khawatir kawan Shindu
mengenal akademisi lain yang sama-sama bernama Marx dan Lenin yang karena
keterbatasan kami belum mengenalnya, dan hanya karena kawan Shindu tidak tuntas
mengutip mereka, membuat kami menduga bahwa yang kawan Shindu maksud adalah
Karl Marx dari Jerman, kawan dari Frederick Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin,
yang bersama Trotsky menjadi dwitunggal Revolusi Bolshevik.
Tentunya tidak menutup kemungkinan dalam dunia ini ada seorang pemikir
anarkis bernama Marx dan seorang pemikir liberal bernama Lenin. Bisa saja
mereka bernama Alexander Marx atau George Marx, dan Michael Lenin atau William
Lenin. Jika yang dimaksud oleh kawan Shindu adalah seperti yang kami perkirakan
di sini, kami sarankan alangkah baiknya lain kali kawan Shindu lebih tuntas
dalam melakukan kutipan supaya tidak terjadi salah duga seperti sekarang ini.
Karena sependek pengetahuan kami, yang kawan Shindu lakukan terhadap pemikiran
Marx dan Lenin dalam karya mereka, merupakan interpretasi yang benar-benar baru
dan sangat berbeda dari interpretasi yang dilakukan oleh akademisi lain pada
umumnya. Bahkan, kawan Shindu tidak menunjukkan secara tepat di sebelah mana
Marx dan Lenin mengungkapkan argumentasi seperti di atas. Karena itu, ungkapan
kawan Shindu,
“Jelas terlihat bahwa satu-satunya
alasan mengapa Marx memilih komunisme adalah karena Liberalisme (atau
Libertarianisme, untuk versi anarki) belum dapat diimplementasikan.”[27]
menjadi lebih mirip igauan daripada argumentasi akademis.
Marx dan kaum Anarkis yang dipimpin Mikail Bakunin telah terlibat dalam
pertentangan hebat di Internationale
pertama (1864-1876). Bagi Marx, analisis Bakunin terhadap kapitalisme tidak
ilmiah. Ia mendeskripsikan Bakunin sebagai
“A man devoid of all theoretical
knowledge.”[28]
Dan bagi kaum anarkis saat itu, komunisme dalam partai komunis dan negara
sosialis akan menciptakan hirarki sosial baru, yang mana kaum anarkis mengaku
menentang segala bentuk hirarki sosial. Bakunin mendeskripsikan Marx sebagai
“…The instinct of liberty is lacking
in him [Marx]; he remains from head to foot, an authoritarian.”[29]
Pertentangan ini menyebabkan kaum anarkis tidak lagi dilibatkan dalam Internationale kedua (1889-1916). Di
kemudian hari, bagaimanapun, sepanjang sejarah perkembangan keduanya, terlepas
dari pertentangan yang pernah terjadi antar Marx dan Bakunin, masing-masing ideologi
kerap saling mengisi, bekerja sama, bahkan menyatu dalam perlawanan-perlawanan
riil terhadap kapitalisme dan fasisme.
Di antara yang paling kentara terlihat adalah era Perang Sipil Spanyol
atau Revolusi Spanyol di dekade 1930-an. Saat itu, kaum anarkis dan komunis
(khususnya Trotskyist yang sedang melakukan oposisi internasional terhadap
rezim kapitalisme-negara oleh Stalin di Uni Soviet) bahu membahu melalui
serikat-serikat buruh (khususnya CNT-FAI, National
Confederation of Labour-Iberian
Anarchist Federation) dan partai politik revolusioner (POUM, Workers Party of Marxist Unification)
untuk melawan rezim fasis jendral Fransisco Franco. Kaum anarkis-komunis umum
dirujuk sebagai kelompok Republikan sementata jendral Franco dan
tentara-tentara di bawah kepemimpinannya umum dirujuk sebagai kelompok
Nasionalis.
Jendral Franco yang mengkudeta presiden Manuel Azana yang baru saja
terpilih melalui pemilu yang demokratis mendapat perlawanan dari mayoritas
rakyat Spanyol yang membentuk milisi-milisi di berbagai daerah. Mereka ingin
mempertahankan republik mereka dari kudeta militer tersebut. Di tengah-tengah
perlawanan yang menjadi Perang Sipil dan membagi Spanyol menjadi dua daerah, di
wilayah-wilayah yang dikuasainya, seperti Barcelona, Valencia, dan Madrid, kelompok
anarkis-komunis juga melakukan revolusi sosial misalnya dengan menjalankan
sistem transportasi dan pabrik-pabrik secara kolektif di bawah kontrol bersama
para pekerja. Mereka juga melakukan kolektivisasi lahan atau yang umum kita
kenal sebagai Reforma Agraria. Lebih jauh tentang era Revolusi Spanyol ini,
kembali kami menyarankan kawan Shindu untuk menyimak film-film yang memberikan
gambaran tentang peristiwa tersebut, yaitu Land
and Freedom karya Ken Loach[30] dan lebih
khusus tentang peranan kaum perempuan, Libertarias
/ Freedom Fighters karya Vicente Aranda.[31]
Setelah membahas tentang bagaimana menariknya temuan kawan Shindu tentang
Marx yang mendefinisikan komunisme sebagai jalan menuju anarkisme, kami juga
ingin mengingatkan kawan Shindu bahwa jika Ia menemukan seorang Lenin yang
berpandangan, seperti kawan Shindu tulis sendiri, mendefinisikan era
kapitalisme-neoliberal sekarang,
”Dan sekarang adalah masa yang
mereka tunggu-tunggu, saat semua manusia, setidaknya di negara-negara bebas,
berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri.”[32]
Lenin yang ini bukanlah Lenin yang memimpin Revolusi Bolshevik. Karena
Vladimir Ilyich Lenin justru sangat sinis terhadap konsep kebebasan dalam
masyarakat demokrasi-borjuis. Baginya,
“When feudalism was overthrown and “free” capitalist society appeared in
the world, it at once became apparent that this
freedom meant a new system of oppression and exploitation of the working
people.”[33]
Di waktu lain Ia juga menggambarkan situasi globalisasi neoliberal yang
masih kita hadapi hingga saat ini, yaitu tidak ada kebebasan bagi negara-negara
kecil dan lemah,
“Monopolies, oligarchy, the striving
for domination and not for freedom,
the exploitation of an increasing number of small or weak nations by a handful
of the richest or most powerful nations — all these have given birth to those
distinctive characteristics of imperialism which compel us to define it as
parasitic or decaying capitalism.”[34]
Lebih jauh, Lenin menunjukkan bahwa ketidakbebasan yang membelenggu
mayoritas umat manusia tertindas hari ini, baru akan enyah saat terjadi Dictatorship of the Proletariat. Yaitu,
saat ketidakbebasan tersebut gantian membelenggu para penindas dan
pengeksploitasi manusia karena diambilalihnya faktor-faktor produksi menjadi
milik bersama dari yang tadinya dimonopoli oleh mereka:
“The dictatorship of the
proletariat, i.e., the organization of the vanguard of the oppressed as the
ruling class for the purpose of suppressing the oppressors, cannot result
merely in an expansion of democracy. Simultaneously with an immense expansion
of democracy, which for the first time becomes democracy for the poor,
democracy for the people, and not democracy for the money-bags, the
dictatorship of the proletariat imposes a series of restrictions on the freedom of the oppressors, the exploiters, the
capitalists.”[35]
Bagi Lenin,
“Freedom in capitalist society
always remains about the same as it was in the ancient Greek republics: freedom for the slave-owners”[36]
Mengingat masih tingginya tingkat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender
di masyarakat hari ini, tentunya jika dilakukan wawancara imajiner dengan
Lenin, Ia akan menolak dikutip berkata bahwa zaman kini adalah zaman bebas.
Karena, bagi Lenin,
“There cannot be, nor is there nor
will there ever be real ‘freedom’ as long as there is no
freedom for women from the privileges which the law grants to men,”[37]
Lebih jauh, Ia juga menghubungkan ketimpangan jender dengan demokrasi
borjuis,
“Bourgeois democracy is democracy of
pompous phrases, solemn words, exuberant promises and the high-sounding slogans of freedom and equality. But, in fact, it screens the non-freedom and
inferiority of women, the non-freedom and inferiority of the toilers and
exploited.”[38]
Menurut Lenin, kebebasan bagi kaum tani hanya dapat terjadi di bawah Dictatorship of the Proletariat:
“Under the dictatorship of the
proletariat the peasant for the
first time has been working for himself and feeding better than the city dweller.
For the first time the peasant has seen
real freedom—freedom to eat his bread, freedom from starvation. In the
distribution of the land, as we know, the maximum equality has been
established; in the vast majority of cases the peasants are dividing the land
according to the number of “mouths to feed”.”[39]
Terakhir, konsep kebebasan pers di alam kapitalisme juga ditolaknya,
sebagai:
“All over the world, wherever there
are capitalists, freedom of the press
means freedom to buy up newspapers, to buy writers, to bribe, buy and fake
“public opinion” for the benefit of the bourgeoisie.”[40]
Jadi, kawan Shindu, setelah kami sodorkan beberapa kutipan pandangan
Vladimir Ilyich Lenin tentang kebebasan di era demokrasi-borjuis dan
kapitalisme hari ini, sudikah kawan Shindu memperkenalkan kepada kami Lenin
yang satunya lagi, yang menganggap bahwa di era sekarang, semua manusia
terutama di negara-negara bebas, telah bebas menentukan nasibnya sendiri?
Benar Seperti Itukah Kondisi
dan Emansipasi Kelas Pekerja?
Pada bagian selanjutnya dari tanggapan ini, kami ingin membantu memberikan
jawaban terhadap pertanyaan kawan Shindu yang tidak berhasil Ia jawab sendiri
secara tuntas dalam tulisannya, yaitu bagaimana kondisi pekerja di Indonesia
hari ini dan siapa serta bagaimana yang harus menyelesaikan masalah mereka.
Standar akademis yang kami pegang, sayangnya, kawan Shindu, tidak mengakomodasi
pengalaman pribadi, seperti yang kawan Shindu tuliskan dan sayangnya tanpa
elaborasi apapun,
“Saya tahu betul kondisi buruh
secara pribadi. … Sejak umur 9 tahun,
saya sudah kenyang diajak inspeksi production
lines di pabrik garmen.”[41]
Tentunya sebuah bentuk pengalaman pribadi dapat diartikulasikan menjadi
fakta lapangan untuk menopang data statistik, namun seperti kita sama-sama
pelajari di kelas masing-masing di kampus, ada cara-caranya tersendiri.
Misalnya, wawancara, atau field notes
melalui observasi partisipatoris. Yang jelas, bukan statemen pengakuan belaka seperti yang kawan Shindu lakukan. Apa
lagi, tampaknya, yang kawan Shindu maksud Ia pernah lakukan dahulu adalah
menginspeksi para pekerja, yang mana Ia bukanlah pekerjanya, sehingga Ia
melihat realita pekerja sebagai outsider
dan tidak melakukan upaya apa-apa untuk melakukan verstehen terhadap realita para pekerja sehari-hari. Ia hanya
mengakses reaitas empirik tanpa mendalaminya lebih lanjut untuk mengakses
realitas aktual dan realitas riil dari kondisi pekerja yang Ia akui pernah
sering Ia inspeksi dahulu.[42]
Kami khawatir kawan Shindu terjerembab pada jebakan over-generalisasi,
saat Ia menyatakan,
“Di tahun 2003 saya lihat sendiri
pengusaha asal Korea yang menggaji buruhnya Rp3000 (ya, tiga ribu rupiah) per
hari. Saya tahu.
Dan saya tahu bahwa keadaan sekarang
tidak demikian. Apalagi bicara soal Indonesia. Tidak, tidak! jangan samakan
kita dengan Bangladesh atau Afrika Selatan yang ada pabrik Nautica. Sama sekali
tidak seperti itu.”[43]
Selain teriakan
bertanda seru, “Tidak, tidak!”, di
atas, apa lagi usaha yang sudah kawan Shindu lakukan untuk menunjukkan bahwa
kondisi buruh di Indonesia sudah tidak mengalami penindasan? Seberapa mendalam
dan komprehensif kah pengamatan yang pernah Ia lakukan di daerah tempat
tinggalnya, Tangerang? Pabrik apa saja yang sudah pernah Ia hampiri? Serikat
buruh mana saja yang pernah Ia wawancarai? Tempat tinggal komunitas buruh yang
mana sajakah di sana yang sudah pernah Ia tinggali (live in)? Tentunya kami tidak sabar untuk mendengar lebih jauh,
kabar gembira yang kawan Shindu bahwa, bahwa buruh di Indonesia sudah tidak
lagi dieksploitasi. Tapi sayangnya, seruan “Tidak,
tidak!” yang kawan Shindu lakukan di atas seolah berlalu begitu saja di hadapan
kami tanpa bekas apapun, seperti knalpot bus kuning UI yang mengepul
menghalangi jarak pandang untuk melihat tulisan di body belakang bus tersebut; “Use
public transportation to reduce air pollution.”
Realita yang kami saksikan
saat melakukan live in di setidaknya
sekretariat FSBKU-KSN (Federasi Serikat Buruh Karya Utama-Konfederasi Serikat
Nasional) Tangerang dan FSPMI-KSPI (Federasi Serikat Pekerja Metal
Indonesia-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Jakarta, dan berinteraksi
dengan setidaknya pimpinan-pimpinan dan perwakilan-perwakilan serikat dari FBLP
(Federasi buruh Lintas Pabrik) Jakarta, GSBI (Gabungan Serikat Buruh
Independen) Tangerang, dan SBPI (Serikat Buruh Perkebunan Indonesia) Sumatera
Utara bertentangan dengan apa yang kawan Shindu coba yakinkan dengan
teriakannya, “Tidak, tidak!” di atas.
Selain itu,
berdasarkan hasil interaksi kami secara langsung dengan kawan-kawan buruh dari
Bangladesh, Malaysia, Korea, Hong Kong, Vietnam, Filipina, Taiwan, India,
Thailand, Sri Lanka, dan beberapa negara Asia lainnya , kami melihat dengan
lebih jelas lagi bahwa kondisi eksploitasi atau penindasan khas kapitalisme
melalui penghisapan nilai lebih (surplus value) lewat kerja upahan bukanlah
semata terjadi khas di sebuah negara (lalu negara lainnya tidak), melainkan
terjadi di semua negara dengan corak produksi kapitalistik, termasuk Indonesia
(tentu saja).
Untuk itu, kembali
lagi kami menyarankan kawan Shindu untuk menyimak beberapa tontotan berikut,
yaitu dokumenter The New Rulers of the
World karya John Pilger[44] tentang di
antaranya pekerja Nike dan GAP, dokumenter Bekasi Bergerak karya LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane)[45] tentang
kondisi dan gerakan buruh di Bekasi, Di
Balik Tembok karya FSBKU[46] tentang
kondisi dan gerakan buruh di Tangerang, Alkinemokiye
karya Dandhy Laksono[47] tentang
kondisi dan gerakan buruh PT Freeport Indonesia di Papua, dan Di Balik Frekuensi karya Ucu Agustin[48] tentang
kondisi dan gerakan pekerja media di Indonesia khususnya Metro TV. Setelah,
tentunya, kami sarankan terlebih dahulu kawan Shindu benar-benar melakukan live in jika ingin mengetahui bagaimana
kondisi sebenarnya dari buruh di Indonesia.
Elaborasi lebih
lengkap tentang kondisi dan gerakan buruh di Indonesia dapat kawan Shindu akses
di beberapa situs internet seperti situs berita on-line Portal PerspektifNews http://www.perspektifnews.com/, blog
sindikasi para pegiat pengetahuan dan aktivis pergerakan progresif http://indoprogress.com/, dan partai
politik berbasis kelas pekerja http://www.prp-indonesia.org/.
Tapi sederhananya, hingga kini, para pekerja di Indonesia masih menghadapi
masalah-masalah klasik dalam hubungan industrial seperti upah yang tidak layak,
penangguhan upah, pemberangusan serikat, intimidasi, kriminalisasi, dan
pembunuhan karakter terhadap aktivis serikat, diskriminasi gender dalam proses
produksi, hubungan kerja yang penuh kerentanan dalam bentuk kerja kontrak
ataupun outsourcing, dan kekerasan
oleh negara melalui militer dan kepolisian dan oleh organisasi masyarakat
paramiliter seperti Pemuda Pancasila.
Dalam konteks yang seperti ini, argumentasi kawan Shindu,
“Negara
sudah bekerja keras untuk menegakkan hukum dan meratakan kesejahteraan. Tolong
jangan buang uang pembayar pajak dengan mogok.”
menjadi tidak masuk di akal bahkan menggelikan. Bagian
dari negara yang mana yang kawan Shindu lihat bekerja keras untuk menegakkan
hukum dan meratakan kesejahteraan? Padahal kita dapat lihat grafik di bawah ini
bahwa berdasar data dari Bank Dunia, dinamika koefisien gini di Indonesia
setidaknya sejak dekade 1980-an hingga dekade 2010-an ini, bergerak seiring
dengan dinamika PDB. Artinya, saat PDB menurun, ekonomi nasional melemah,
distribusi kekayaan masyarakat semakin adil, sementara di sisi lain, saat PDB
meningkat, ekonomi nasional tumbuh membaik, ternyata distribusi kekayaan
masyarakat juga ikut menjadi semakin timpang. Ini menunjukkan bahwa pembangunan
ekonomi di Indonesia belum dinikmati oleh segenap rakyatnya melainkan hanya
oleh segelintir masyarakat saja.[49]
Data dari Prakarsa
Policy Review 2011 menunjukkan bahwa kekayaan dari 40 orang terkaya Indonesia
setara dengan kekayaan 60 juta penduduk (hampir seperempat jumlah penduduk
Indonesia). Kekayaan dari 43 ribu penduduk terkaya Indonesia setara dengan
kekayaan 140 juta penduduk (lebih dari
setengah jumlah penduduk Indonesia). Bahkan Indonesia merupakan negara terburuk
dalam pengentasan kemiskinan di Asia Tenggara, dengan data bertambahnya jumlah
orang miskin sebanyak 2,7 juta jiwa hanya dalam rentang tahun 2008 hingga 2011.[50]
Menyinggung kembali perdebadan tentang tingkat upah yang
layak, kami ingin bertanya, menurut kawan Shindu, lebih baik mana, menjadi
negara yang perekonomiannya kompetitif karena birokrasinya lancar dan hukum
ditegakkan, atau karena upah buruhnya murah? Tabel di bawah menunjukkan
perbandingan antara tingkat upah Indonesia relatif terhadap negara berkembang
lainnya:[51]
Dari tabel di atas terlihat bahwa tingkat upah Indonesia menduduki peringkat keenam dari
bawah dari 15 negara berkembang di Asia. Mitos China dengan upah murahnya telah
terbantahkan karena kini Ia menduduki peringkat ketiga upah terbesar setelah
Malaysia dan Thailand. Pekerja Indonesia berdasar tabel di atas bahkan dibayar
lebih murah dari negara-negara seperti Nepal, Sri Lanka, dan Laos. Jika
berbicara tentang negara mana yang manusianya dihargai paling rendah, ternyata
Indonesia merupakan salahsatu yang terbaik, Indonesia sangat ‘kompetitif’.
Satu tabel lain untuk mengkontraskan adalah tingkat
kemudahan berbisnis di negara-negara Asia yang diukur di antaranya berdasar
kerumitan birokrasi dan kepastian penegakan hukum, seperti tampak pada tabel di
bawah.[52]
Ternyata Indonesia masih sangat ketinggalan, bahkan kalah
oleh Papua Nugini dan mayoritas negara anggota ASEAN. Kedua tabel ini
menunjukkan bahwa investasi yang datang ke Indonesia selama ini masih dominan
disebabkan karena upah pekerjanya yang murah, bukan birokrasi dan hukum yang
mendukung. Jelas, kami memiliki posisi yaitu memilih negara yang
perekonomiannya kompetitif karena birokrasi dan hukum yang baik, bukan karena
‘harga manusia’-nya rendah.
Demi upah yang lebih tinggi lagi, yang berarti penghidupan
yang sedikit bertambah layak bagi para pekerja di Indonesia, siapakah yang
melakukan emansipasi? Atau, menggunakan bahasa kawan Shindu, “Siapa harus menyelesaikannya (masalah-masalah
para pekerja)?” Bagi kami, jawabannya
jelas pula, yaitu mengafirmasi pernyataan dari First International:
“That
the emancipation of the working classes
must be conquered by the working classes themselves; that, the struggle for
the emancipation of the working classes means not a struggle for class
privileges and monopolies, but for equal rights and duties, and the abolition
of all class rule;”[53]
Berikut pula kami kutipkan pandangan tentang upah pekerja
dari salah seorang ekonom klasik Inggris abad ke-18:
“The
liberal reward of labour, therefore, as it is the effect of increasing wealth,
so it is the cause of increasing population. To complain of it, is to lament
over the necessary effect and cause of
the greatest public prosperity.
…
The
liberal reward of labour, as it encourages the propagation, so it increases the
industry of the common people. The wages of labour are the encouragement of
industry, which, like every other human quality, improves in proportion to the
encouragement it receives….Where wages
are high, accordingly, we shall always find the workmen more active,
diligent, and expeditious, than where they are low.”[54]
See? Adam Smith ♥ High Wages![55] Siapakah Ia?
Ia bukanlah Marx ataupun seorang Marxis, atau orang kiri lainnya dan bukan pula
Keynes ataupun ekonom Keynesian. Ia adalah Adam Smith, yang seringkali dielukan
sebagai bapak liberalisme ekonomi. Jika kawan Shindu sebagai anggota UI LDSC
tidak pula setuju dengan prinsip mendasar yang digariskan Smith di atas, kepada
siapa lagikah kawan Shindu ingin mendasarkan filsafat liberalismenya, siapa
lagikah yang akan kawan Shindu kutip untuk menguatkan argumen bahwa upah buruh
jangan terlalu tinggi? Jika tetap tidak pula bersetuju bahkan dengan Smith,
kami menyarankan UI LDSC mengganti namanya menjadi UI NCSC, yaitu University of Indonesia Neoliberalism and
Capitalism Study Club.
Penutup
Terakhir, untuk menutup tanggapan ini, kami mengapresiasi
usaha kawan Shindu untuk menyemarakkan pertarungan gagasan di kampus kita
tercinta. Sudah lama bagi kami kampus kering dari pertarungan gagasan yang
produktif; hanya diisi oleh gosip-gosip dan rangkaian acara-acara yang
pura-pura menghibur dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan aksi-aksi yang
pura-pura bergerak dari berbagai organisasi kemahasiswaan pula.
Padahal, di sinilah, katanya, dicetak para calon pemimpin
bangsa. Atas dasar itu, kami menghargai usaha kawan Shindu untuk mencoba ikut
meramaikan pertarungan gagasan yang kami pantik melalui PAMFLET. Kami merasa
dihargai pula, karena bagi kami penghargaan yang tertinggi bagi sebuah karya
akademis adalah kritik baginya, karena hanya dengan kritik-lah,
perspektif-perspektif dalam ilmu sosial dapat berkembang dan terus memperbaiki
dirinya masing-masing. Walaupun belum berhasil menghadirkan kritik yang
setimpal dan memuaskan, tidak mengapa. Kami tetap berterima kasih (lagi) bahwa kawan
Shindu telah mencoba. Nice try!
Daftar Pustaka
1. Adam Smith, “Of the Wages of The
Labour” dalam An Inquiry into the
Nature and Causes of the Wealth of Nations Buku 1 Bab 8 (London: Methuen & Co.,
Ltd., 1904), diakses dari Library of Economics and Liberty, http://www.econlib.org/library/Smith/smWN3.html.
2. Albert Einstein, Albert Einstein Quotes, diakses dari http://www.goodreads.com/author/quotes/9810.Albert_Einstein.
3. Alexander Trachtenberg, “The History
of May Day” dalam Marxists.org,
diakses dari http://www.marxists.org/subject/mayday/articles/tracht.html.
4. Avi Lewis dan Naomi Klein, The Take [motion picture], 2004, dapat
diakses di http://www.youtube.com/watch?v=Sug7bWxTuSo.
5. Bob Marley, Redemption Song, diakses dari http://www.lyricsfreak.com/b/bob+marley/redemption+song_20021829.html.
6. Budiman Sudjatmiko, Tata
Negara Sibernetika: Langkah untuk wujudkan Pembangunan Berkeadilan, 4 Juli 2011, diakses dari http://budimansudjatmiko.net/node/122.
7. Chris Devonshire-Ellis, “China Now
Has Third Highest Labor Costs in Emerging Asia” dalam China Briefing, 19 Januari 2011, diakses dari http://www.china-briefing.com/news/2011/01/19/china-near-top-of-the-list-for-wage-overheads-in-emerging-asia.html.
8. Corey Robin, Adam Smith ♥ High Wages, 23 November 2013, diakses dari http://coreyrobin.com/2013/11/23/adam-smith-♥-high-wages/.
9. Dandhy Laksono, Alkinemokiye [motion picture], 2011, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=x3OWOu88BhY.
10. Fildzah Izzati, “Hilmar Farid : Warisan Kunci Politik Orde
Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial, dan Kultural!” dalam Left Book Review edisi 12/2013, diakses
dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1364.
11. Fildzah Izzati, “Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back
to Commons!” dalam Left Book Review
edisi 25/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1514.
12. FSBKU, Di Balik Tembok [motion picture], 2007.
13. International Workingmen Association
(First International), Rules
and Administrative Regulations of the International Workingmen’s Association (1867), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/iwma/documents/1867/rules.htm.
14. JeRKresearch (16 November 2013),
status twitter.
15. John Pilger, The New Rulers of the World [motion picture], 2001, dapat diakses
di http://www.youtube.com/watch?v=pfrL2DUtmXY.
16. Karl Marx, “Preface To The French Edition” dalam Das
Capital Vol. 1 (1872), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1867-c1/p2.htm.
17. Karl Marx dan Frederick Engels, Selected
Correspondence (Moscow, 1975).
18. Ken Loach, Land and Freedom [motion picture], 1995.
19. K. J. Kenafick, Michael
Bakunin and Karl Marx (Melbourne, 1948).
20. LIPS, Bekasi Bergerak [motion picture], 2013.
21. Martin Suryajaya, Asal-Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai
dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen (Yogyakarta: Resist
Book, 2013), dapat diakses daftar isinya di https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10152043618831489&set=a.10152043601791489.1073741826.799086488&type=1&relevant_count=1.
22. Michael Moore, Capitalism: A Love Story [motion picture]. 2009, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=yLDIoO_ug2ci.
23. Prakarsa Policy Review, Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan
Melebar (2011).
24. Raymond Samuel, “Presiden Evo
Moralez Teken Dekrit yang Ijinkan Buruh Ambil Alih Pabrik” dalam Berdikari Online, 10 Oktober 2013,
diakses dari http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20131010/presiden-evo-morales-teken-dekrit-yang-ijinkan-buruh-ambil-alih-pabrik.html
25. Roy Bhaskar dalam Robertus
Robert,”Realisme Kritis dan Pendasaran Filosofis Ilmu Sosial” dalam Komunitas: Jurnal Sosiologi, Volume 2 Tahun 2007.
26. SEMAR UI, Pamflet SEMAR UI Edisi 3: “Mahasiswa Dukung Mogok!”, Oktober 2013,
diakses dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/new-post-pamflet-semar-ui-edisi-03.html.
27. Shindu Pratomo, Counter Review Terhadap Pamflet SEMAR UI Oktober 2013. 21 November
2013, diakses dari http://liberaldemokratui.wordpress.com/2013/11/21/counter-review-terhadap-pamflet-semar-ui-oktober-2013/.
28. Ucu Agustin, Di Balik Frekuensi [motion picture], 2012.
29. Vicente Aranda, Libertarias [motion picture], 1996.
30. Vladimir Ilyich Lenin, A
Letter To G. Myasnikov
(1921), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1921/aug/05.htm.
31. Vladimir Ilyich Lenin, Economics
And Politics In The Era Of The Dictatorship Of The Proletariat (1919), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/oct/30.htm.
32. Vladimir Ilyich Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1914),
dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/ch10.htm.
33. Vladimir Ilyich Lenin, Soviet Power and the Status of Women (1919),
dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/nov/06.htm.
34. Vladimir Ilyich Lenin, State and Revolution (1917), dapat
diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1917/staterev/ch05.htm.
35. Vladimir Ilyich Lenin, The Three Sources and Three Component Parts
of Marxism (1913), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm.
36. --, “RI behind ASEAN peers in WB
survey” dalam The Jakarta Post, 30
Oktober 2013, diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/30/ri-behind-asean-peers-wb-survey.html.
37. --, “Semaoen, Aktivis Buruh dan
Pemikir” dalam Kompas, 21 Mei 2005.
[1] Tanggapan terhadap Shindu Pratomo, Counter
Review Terhadap Pamflet SEMAR UI Oktober 2013. 21 November 2013, diakses
dari http://liberaldemokratui.wordpress.com/2013/11/21/counter-review-terhadap-pamflet-semar-ui-oktober-2013/.
[2] Serikat Mahasiswa Progresif UI, sebuah organisasi mahasiswa di lingkungan
Universitas Indonesia.
[3] SEMAR UI, Pamflet SEMAR UI Edisi 3:
“Mahasiswa Dukung Mogok!”, Oktober 2013, diakses dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/new-post-pamflet-semar-ui-edisi-03.html.
[4] Shindu Pratomo, ibid.
[5] University of Indonesia Liberalism
and Democracy Study Club, sebuah organisasi mahasiswa di lingkungan
Universitas Indonesia.
[6] Shindu Pratomo, ibid.
[7] Lihat pasal 137 UU no.13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan
[8] Shindu Pratomo, ibid.
[9] Ibid.
[10] Shindu Pratomo, Ibid.
[11] Avi Lewis dan Naomi Klein, The Take
[motion picture], 2004, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=Sug7bWxTuSo.
[12] JeRKresearch (16 November 2013), status twitter.
[13] Fildzah Izzati, “Hilmar Farid :
Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial,
dan Kultural!” dalam Left Book Review
edisi 12/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1364.
[14] Albert Einstein, Albert Einstein
Quotes, diakses dari http://www.goodreads.com/author/quotes/9810.Albert_Einstein.
[15] Bob Marley, Redemption Song,
diakses dari http://www.lyricsfreak.com/b/bob+marley/redemption+song_20021829.html.
[16] Michael Moore, Capitalism: A Love Story
[motion picture]. 2009, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=yLDIoO_ug2ci.
[17] Shindu Pratomo, ibid.
[18] Martin Suryajaya, Asal-Usul
Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai
Amartya Sen (Yogyakarta: Resist Book, 2013), dapat diakses daftar isinya di
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10152043618831489&set=a.10152043601791489.1073741826.799086488&type=1&relevant_count=1.
[19] Avi Lewis dan Naomi Klein, ibid.
[20] Raymond Samuel, “Presiden Evo Moralez Teken Dekrit yang Ijinkan Buruh
Ambil Alih Pabrik” dalam Berdikari Online,
10 Oktober 2013, diakses dari http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20131010/presiden-evo-morales-teken-dekrit-yang-ijinkan-buruh-ambil-alih-pabrik.html.
[21] Alexander Trachtenberg, “The History of May Day” dalam Marxists.org, diakses dari http://www.marxists.org/subject/mayday/articles/tracht.html.
[22] --, “Semaoen, Aktivis Buruh dan Pemikir” dalam Kompas, 21 Mei 2005.
[23] Fildzah Izzati, “Housework Bukan
Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!” dalam Left Book Review edisi 25/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1514.
[24] Shindu Pratomo, ibid.
[25] Ibid.
[26] Karl Marx, “Preface To The French
Edition” dalam Das Capital Vol. 1
(1872), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1867-c1/p2.htm.
[27] Shindu Pratomo, ibid.
[28] Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Correspondence (Moscow,
1975), hlm. 254.
[29] K. J. Kenafick, Michael Bakunin and Karl Marx (Melbourne,
1948), hlm. 40.
[30] Ken Loach, Land and Freedom
[motion picture], 1995.
[31] Vicente Aranda, Libertarias
[motion picture], 1996.
[32] Shindu Pratomo, ibid.
[33] Vladimir Ilyich Lenin, The
Three Sources and Three Component Parts of Marxism (1913), dapat
diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm.
[34] Vladimir Ilyich Lenin, Imperialism:
The Highest Stage of Capitalism (1914), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/ch10.htm.
[35] Vladimir Ilyich Lenin, State
and Revolution (1917), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1917/staterev/ch05.htm.
[36] Ibid.
[37] Vladimir Ilyich Lenin, Soviet Power
and the Status of Women (1919), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/nov/06.htm.
[38] Vladimir Ilyich Lenin, Soviet Power
and the Status of Women, Ibid.
[39] Vladimir Ilyich Lenin, Economics And Politics In The Era Of The
Dictatorship Of The Proletariat (1919), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/oct/30.htm.
[40] Vladimir Ilyich Lenin, A Letter To G. Myasnikov (1921), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1921/aug/05.htm.
[41] Shindu Pratomo, ibid.
[42] Pendekatan Realisme Kritis sebagai salahsatu pisau analisis dalam ilmu
sosial yang berpendekatan Marxis, mensyaratkan demistifikasi terhadap apa yang
sekadar tampak (realitas empirik) dan bahkan usaha untuk menguak posisi realita
yang diteliti di tengah relasi kuasa yang terjadi, supaya mencapai realitas
riil, yaitu realita yang sebenarnya. Lihat Roy Bhaskar dalam Robertus Robert,”Realisme
Kritis dan Pendasaran Filosofis Ilmu Sosial” dalam Komunitas: Jurnal
Sosiologi, Volume 2 Tahun 2007, hlm. 83-84.
[43] Shindu Pratomo, ibid.
[44] John Pilger, The New Rulers of the
World [motion picture], 2001, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=pfrL2DUtmXY.
[45] LIPS, Bekasi Bergerak [motion
picture], 2013.
[46] FSBKU, Di Balik Tembok [motion
picture], 2007.
[47] Dandhy Laksono, Alkinemokiye
[motion picture], 2011, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=x3OWOu88BhY.
[48] Ucu Agustin, Di Balik Frekuensi
[motion picture], 2012.
[49] Budiman Sudjatmiko, Tata Negara Sibernetika: Langkah untuk
wujudkan Pembangunan Berkeadilan, 4 Juli 2011, diakses dari http://budimansudjatmiko.net/node/122.
[50] Prakarsa Policy Review, Kemiskinan
Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar (2011), hlm. 1-4.
[51] Chris Devonshire-Ellis, “China Now Has Third Highest Labor Costs in
Emerging Asia” dalam China Briefing,
19 Januari 2011, diakses dari http://www.china-briefing.com/news/2011/01/19/china-near-top-of-the-list-for-wage-overheads-in-emerging-asia.html.
[52] --, “RI behind ASEAN peers in WB survey” dalam The Jakarta Post, 30 Oktober 2013, diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/30/ri-behind-asean-peers-wb-survey.html.
[53] International Workingmen Association (First
International), Rules and Administrative Regulations of the
International Workingmen’s Association (1867), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/iwma/documents/1867/rules.htm.
[54] Adam Smith, “Of the Wages of The Labour” dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations Buku 1 Bab 8
(London: Methuen & Co., Ltd., 1904), diakses dari Library of Economics
and Liberty, http://www.econlib.org/library/Smith/smWN3.html;
Corey Robin, Adam Smith ♥ High Wages,
23 November 2013, diakses dari http://coreyrobin.com/2013/11/23/adam-smith-♥-high-wages/.
[55] Istilah ini mengutip judul tulisan dari Corey Robin : Adam Smith ♥ High Wages, 23 November 2013, diakses
dari http://coreyrobin.com/2013/11/23/adam-smith-♥-high-wages/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar