Minggu, 24 November 2013

Kami Masih Belajar untuk Menjadi AKADEMIS, Progresif, dan Marxis[1]


Oleh: Kamandhanu
Anggota SEMAR UI[2]

Sebelum apa-apa, mari lihat dua karya berikut ini: Pamflet SEMAR UI Edisi Ke-3 dengan tema "Mahasiswa dukung Mogok!"[3] dan tanggapan terhadapnya dari seorang kawan bernama Shindu Pratomo.[4] Berdasar korespondensi twitter antara admin @SEMARUI dan admin @UILDSC, diketahui bahwa mulanya kawan Shindu berkeinginan untuk menyampaikan tanggapannya langsung secara pribadi ke SEMAR UI. Namun karena tidak ditanggapi, maka Ia bergabung dengan UI LDSC[5] dan menyampaikan tanggapannya tersebut melalui blog UI LDSC. Kami meminta maaf jika memang benar kawan Shindu sudah pernah memberikan tanggapan dan menunjukkannya kepada kami namun kami-nya yang alpa, yang mana kami memang tidak mengingat hal tersebut sudah pernah terjadi baik di dunia nyata maupun di dunia per-twitter-an. Lain cerita kalau fragmen tersebut terjadi di salahsatu mimpi kawan Shindu atau di sebuah skenario film yang Ia buat. Usut punya usut, jika kawan Shindu memang pernah menunjukkan link tanggapannya kepada kami via twitter, kami memohon maaf (lagi) jika tidak melihatnya, mengingat akun twitter kawan Shindu di-protect dan kami tidak me-request untuk mem-follow kawan Shindu. How could we know?


Akademis atau Tidak?

Menanggapi balik tanggapan tersebut, kami tidak tertarik untuk mengikuti tingkah laku kawan Shindu untuk menilai-nilai sebuah karya apakah ia akademis atau tidak. Kadar akademis atau tidaknya sebuah karya sebenarnya dengan sederhana dapat tampak oleh karya itu sendiri tanpa penilaian dari orang lain. Misalnya, apakah argumen dalam karya tersebut mengandung kontradiksi, bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, tidak konsisten. Atau apakah argumen dalam karya tersebut menghargai tata cara pembacaan fakta dan data yang umum dalam dunia akademis, dan sedikit teknis, apakah karya tersebut cukup menghargai sumbangan para akademisi sebelumnya dengan cara menyebutkan sumber kutipan secara layak. Setelah dengan sendirinya suatu karya menunjukkan bahwa ia akademis atau tidak, persoalan apakah publik mau mengakui bahwa karya tersebut benarlah akademis (atau benarlah tidak akademis), merupakan penilaian publik secara satu kesatuan, bukanlah penilaian orang perseorangan. Terlebih, orang perseorangan yang tidak memiliki otoritas akademis apapun (jumlah publisitas, jumlah sitasi, jumlah asuhan peserta ajar, pengakuan dari komunitas akademis, dan kadar-kadar pengukur otoritas akademis lainnya yang umum dalam masyarakat). 

Lebih-lebih, menurut kami, publik pembaca tidak membutuhkan penilaian dari kami untuk dapat mengetahui apakah tanggapan dari Kawan Shindu itu sendiri akademis atau tidak, atau dengan cara lain mengatakannya, dari dua tulisan yang sebelumnya berkorespondensi ini, sebenarnya, yang manakah yang akademis dan yang manakah yang tidak, sehingga, meminjam pendapat kawan Shindu, perlu

"dikontrol persebarannya dan diberi tanda, agar bisa disikapi dengan sebagaimana harusnya."[6]

Tentu kami tidak tertarik untuk mengusik perbedaan penapat yang terjadi antara kami dan kawan Shindu, mengingat pendapatan saja bisa berbeda, masa' pendapat tidak.

Namun yang membuat kami iba dan tergerak untuk membantu kawan Shindu supaya bersama-sama belajar lebih jauh, adalah bagaimana kawan Shindu menyampaikan ketidaksepakatannya dengan pendapat kami. Tentu kami sadar bahwa di dunia ini sangatlah banyak orang yang tidak setuju dengan mogok buruh, dengan berbagai alasannya masing-masing (terlepas dari, setidaknya, fakta legal bahwa ia merupakan mekanisme hubungan industrial yang dilindungi oleh perundang-undangan Indonesia melalui UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, di mana lock out atau tutup perusahaan merupakan hak pengusaha, di saat mogok adalah hak pekerja)[7]

Argumen-Argumen Kawan Shindu

Yang membuat kami geli adalah betapa naifnya kawan Shindu dalam membaca kenyataan sosial saat Ia berusaha mempertahankan posisi argumennya menentang mogok buruh. Pertama, saat kawan Shindu melakukan problematisasi terhadap konsep "produktivitas". Kami hingga saat ini belum benar-benar menangkap di titik mana sebenarnya kawan Shindu gagal memahami konsep ini, mengingat produktivitas adalah konsep yang sangat umum digunakan dalam berbagai studi sosial seperti ekonomi, pembangunan, politik, dan hubungan internasional. Bahkan berbagai organisasi internasional dan pemikir sosial yang otoritatif di bidangnya masing-masing, menggunakannya dan memiliki definisi yang tidak jauh berbeda antar satu sama lain terkait produktivitas, produktivitas nasional, dan produktivitas pekerja. Di antaranya adalah yang kami berprasangka baik kawan Shindu sudah familiar dengan nama-nama berikut, seperti OECD (Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan), World Bank (Bank Dunia), dan Paul Krugman (Ekonom Keynesian peraih Nobel Ekonomi tahun 2008). Menjawab pertanyaan kawan Shindu,

"Obat macam apa yang membuat manusia bekerja seperti itu?,"[8]

tentunya produktivitas pekerja tidak meningkat dengan makan obat semacam kacang ajaib di komik Dragon Ball (tenang, kami sendiri juga penikmat karya Akira Toriyama tersebut. Dan ini adalah salahsatu contoh dari yang tidak termasuk ke dalam karya akademis, jika kawan Shindu butuh pembanding untuk menilai suatu karya apakah akademis atau tidak).

Jika kawan Shindu belum familiar, kami perkenalkan, sumber peningkatan produktivitas pekerja di antaranya adalah teknologi dan tingkat pendidikan. Di sini perlu kami tegaskan, bahwa jika produktivitas pekerja meningkat (semakin banyak barang yang dapat dihasilkan seorang pekerja dalam satu skala waktu tertentu dibandingkan dalam skala waktu yang sama di rentang waktu yang sebelumnya), pekerja layak untuk mendapatkan peningkatan upah sebagai bentuk ikut merasakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang dinikmati para pengusahanya.

Kedua, terkait pandangan kawan Shindu tentang bagaimana strategi menjadi negara maju, yang menurutnya adalah dengan

"peningkatan keuntungan harus ditabung untuk memajukan perusahaan",[9]

menurut kami ini adalah di antara sedikit petunjuk bahwa sebenarnya jika kawan Shindu menganggap tanggapannya terhadap pendapat kami sebagai sesuatu yang serius, bukan candaan, kawan Shindu mampu untuk melakukannya jauh lebih baik lagi. Walaupun, kami tidak bersepakat dengan kawan Shindu dalam hal ini (bagaimana bisa? Bagi kami, mengafirmasi filsafat Marxis yaitu varian materialisme yang berfokus pada manusia sebagai subjek, kemajuan ekonomi negara adalah untuk manusia, bukan untuk ekonomi itu sendiri, mengingat ekonomi adalah bentukan manusia. Kemajuan ekonomi negara yang tidak dinikmati oleh manusianya sendiri bagi kami seperti pemberontakan kaum robot yang terjadi di alam fikir Fujiko F. Fujio saat Ia mengarang salahsatu kisah komik Petualangan Doraemon, atau anjing peliharaan yang menggigit majikannya sendiri, atau seperti kata peribahasa, senjata makan tuan). Di titik ini, walaupun kami melawannya, kami mengapresiasi kawan Shindu yang entah secara sadar atau tidak mengambil posisi yang jelas tentang skema pembangunan yaitu yang berlandaskan pada akumulasi modal, atau seperti kata orang-orang, kapitalistik.

Argumen ketiga kawan Shindu adalah bahwa menggaji pekerja secara manusiawi berarti tidak memberikan insentif kepada pendidikan dan kontribusi lebih. Untuk menanggapi bagian ini, sekaligus argumen sampingannya tentang dampak negatif lain dari gaji yang manusiawi bagi pekerja, yaitu

"kalau buruh nantinya digaji 5 juta per bulan ditambah asuransi dan tunjangan lainnya, siapa yang mau menjadi manajer dan supervisor dengan gaji yang sama?,"[10] 

kami ingin mempromosikan dua film dokumenter yang bagi kami akademis. Pertama, film pemenang Documentary Award dalam American Film Institute Festival tahun 2004, The Take karya Naomi Klein dan Avi Lewis. Kedua, film pemenang Phoneix Film Critics Society Award tahun 2009, Capitalism: A Love Story karya Michael Moore. Keduanya menunjukkan bahwa, pekerja tanpa bos adalah mungkin, sementara di sisi lain, bagi kami, bos tanpa pekerja-lah yang mustahil.

The Take bercerita tentang pola gerakan buruh di Argentina yaitu pengambilalihan pabrik oleh koperasi pekerja saat pengusaha melakukan klaim bangkrut.[11] Pola gerakan buruh seperti ini berkembang hingga menasional di Argentina. Di antara yang menginisiasi adalah para pekerja di pabrik keramik Zanon (yang tentunya kawan Shindu dapat meng-google-nya untuk menemukan sejebret success story feature tentang skema pembangunan alternatif dari yang kawan Shindu dan mayoritas umat manusia lainnya hari ini masih belum bisa melepaskan diri dari belenggu pikiran tentangnya, yaitu pembangunan berlandaskan akumulasi modal di tangan segelintir orang yang disebut para pengusaha, seperti tertera di argumen kedua kawan Shindu di atas).

Persoalan imajinasi memang merupakan salahsatu hambatan terbesar dalam mencari alternatif dari sistem sosial-produksi dominan hari ini yaitu kapitalisme. Sudah banyak pula pihak-pihak yang menitikberatkan pentingnya imajinasi bagi kebaikan manusia. Mengutip dari kawan-kawan @JERKResearch (Jaringan Riset Kolektif), salahsatu anggota koalisi GERAK LAWAN (Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme-Imperialisme) yang merespon KTM-9 WTO (World Trade Organization) di Bali awal bulan Desember ini

"Lebih mudah hari ini bayangkan bumi ditabrak meteor, berpacaran dengan vampir, atau bersahabat dengan robot raksasa ketimbang membayangkan imajinasi yang amat lugu dan sederhana tentang kehidupan tanpa kapitalisme neoliberal Kontemporer."[12]

Hilmar Farid, sejarawan ISSI (Institut Sejarah Sosial Indonesia) dan kandidat Ph.D dari National University of Singapore, menyatakan dalam wawancara dengan @ffildzahizz, redaksi Left Book Review IndoPROGRESS,

Tanpa bermaksud menyederhanakan masalah saya kira warisan politik Orde Baru yang paling bermasalah dan sulit diatasi adalah kemiskinan imajinasi. Bukan hanya imajinasi politik, tapi juga imajinasi sosial dan kultural.[13]

Albert Einstein menyatakan

I am enough of an artist to draw freely upon my imagination. Imagination is more important than knowledge. For knowledge is limited to all we now know and understand, while imagination embraces the entire worldand all there ever will be to know and understand,[14]

dan

Logic will get you from A to B. Imagination will take you everywhere.”

Sementara Bob Marley, dalam lagunya yang terkenal tentang kebebasan, Redemption Song, menyeru,

Emancipate yourselves from mental slavery; None but ourselves can free our minds.[15]

Dalam Capitalism: A Love Story, selain berkisah tentang pabrik roti di Amerika Serikat yang dikelola secara kolektif oleh para pekerjanya dan menyebabkan upah yang lebih besar tiga kali lipat dibanding saat dikelola oleh para bos, Michael Moore berkisah juga tentang penemu vaksin polio, Jonas Salk.[16] Jonas Salk memilih untuk tidak mematenkan penemuannya, menyebabkan vaksin polio sebagai salahsatu vaksin yang paling mudah didapati (kami berprasangka baik bahwa kawan Shindu sendiri pernah merasakan efek domino dari kemurahan hati Jonas Salk yaitu imunisasi polio di posyandu / puskesmas sekitar rumahnya semasa balita). Padahal, jika ingin, Ia dapat dengan mudah mematenkannya, dan menjadikan Ia, keluarganya, dan keturunannya, menjadi kaya raya. Namun saat ditanya mengapa tidak, jawabnya, yang di-capture oleh film Michael Moore tersebut, Ia menyatakan bahwa Ia hanya perlu hidup yang berkecukupan secara layak. Kisah ini menunjukkan bahwa uang bukanlah satu-satunya insentif bagi manusia untuk berbuat baik bagi sesamanya dan berkembang serta mengembangkan peradabannya demi keberlangsungan dan keberlanjutan hidup umat manusia. Dalam The Selfish Gene, karya seminalnya tentang Teori Evolusi, Richard Dawkins membangun argumen yang sulit dirubuhkan tentang kesatuan gen manusia yang bertujuan kelanggengannya sebagai spesies, yang karenanya menormalkan fenomena-fenomena saling tolong menolong antar sesama manusia tanpa pamrih apapun.

Kawan Shindu juga mengingatkan kami,

Jangan salahkan mereka yang membangun perusahaan dari nol dan menjadi sukses.[17]

Terima kasih atas pengingatan ini. Dengan berusaha menerapkan sekaligus mengembangkan terus filsafat sosial Marxis yaitu materialisme historis, kami berusaha untuk konsisten melihat ketimpangan kepemilikan faktor produksi yang terjadi di masyarakat, akar dari segala kritik Marxis terhadap sistem sosial-produksi kapitalisme, sebagai fenomena yang terberi secara sosial, yaitu memasyarakat, dan secara historis, yaitu menyejarah. Maksudnya, ketimpangan di masyarakat ini memang bukanlah salah para pengusaha kapitalis tersebut (yang mana dengan ini kami meminta kawan Shindu untuk menunjukkan pula di bagian mana kami menyalahkan para pengusaha), melainkan merupakan warisan dari generasi masyarakat yang sebelumnya. Lebih jauh tentang ini, kami menyarankan kawan Shindu menyimak bersama ulasan kawan Martin Suryajaya dalam buku terbarunya, yang merupakan pengemasan ulang dari tesis studi master Martin di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, yang berjudul “Asal-Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen”.[18]

Kesalahpahaman tentang Mogok dan Sumbangsih Gerakan Pekerja bagi Umat Manusia

Kami juga menyarankan kawan Shindu untuk menambah daftar bacaannya tentang konsep “mogok”. Kesalahpahaman tentang konsep ini menyebabkan kawan Shindu memberikan tanggapan yang juga tidak dapat kami pahami. Kami terangkan ulang di sini, mogok adalah hak pekerja, sebagai respon terhadap mandeknya negosiasi dalam konflik hubungan industrial, di mana hak respon pengusaha adalah lock out. Jadi, mogok yang dilakukan pekerja bukanlah disebabkan sumbu pendek yang terusut yang lalu dilanjutkan dengan provokasi untuk membuat rusuh dan merugikan masyarakat. Dalam masyarakat kapitalistik yang pertentangan sistemiknya terletak pada pertentangan antara pekerja dan pengusaha, memang selayaknya masyarakat diikutsertakan dalam pertentangan ini, dan mengambil posisinya masing-masing. Apakah memilih mendukung pengusaha dan skema pembangunan yang berlandaskan akumulasi modal, atau skema pembangunan alternatif, yang dengan baik film dokumenter The Take telah menunjukkannya, lebih menguntungkan baik bagi pekerja maupun masyarakat.

Dalam film tersebut dijelaskan bahwa pengambilalihan pabrik-pabrik tersebut bukanlah tindakan rusuh yang illegal, melainkan mereka dimenangkan dalam konflik litigasi (hukum). Pasca perusahaan-perusahaan dikelola oleh para pekerjanya, upah mereka meningkat. Harga barang yang diproduksi juga menjadi lebih murah, bahkan mampu menyumbang untuk rumah sakit dan sekolah publik, sehingga masyarakat sangat bersimpati dan mendukung gerakan itu. Bukan hanya pabrik keramik yang diambil alih, melainkan juga pabrik garmen, pabrik otomotif, pabrik es krim, bahkan rumah sakit dan sekolah.[19]

Sebagai catatan, gerakan sekaligus skema pembangunan alternatif ini bukan monopoli Argentina saja, melainkan menyebar ke berbagai negara di Amerika Latin. Venezuela di bawah pimpinan Hugo Chavez bahkan menyelenggarakan forum nasional rutin yang mempertemukan para pekerja yang mengelola pabrik mereka sendiri. Di Bolivia, Presiden Evo Moralez belum lama ini mengeluarkan dekrit presiden yang melegitimasi tindakan pemgambil-alihan pabrik. Tentunya ini dalam kondisi tertentu, yaitu saat pengusaha melakukan klaim pailit hanya untuk melakukan relokasi investasi ke tempat lain yang upah pekerjanya lebih murah, yang kemudian tidak terbukti melalui inspeksi petugas pengadilan. Para pekerja dalam perusahaan yang seperti ini, berdasar dekrit presiden tersebut, diperbolehkan untuk mengambil alih faktor-faktor produksi yang ditinggalkan pengusaha yang pergi dan melanjutkan berjalannya perusahaan tersebut. Tentunya dekrit ini tidak absen dari penolakan oleh oposisi dan dunia internasional. Namun presiden dengan dukungan kelas pekerja yang besar dibelakangnya, bertahan dengan keputusan penekenan dekrit.[20]

Kawan Shindu juga tidak bisa membantah fakta sejarah bahwa jam kerya layak yang sekarang secara normatif dinikmati semua umat manusia yang memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pemberian upah dari orang lain (baca = pekerja, secara terminologis), merupakan hasil perjuangan gerakan pekerja yang salahsatu metode utamanya adalah mogok. Perjuangan dan pengorbanan darah bahkan nyawa para pekerja Amerika ratusan tahun yang lalu tersebut kini kita semua peringati sebagai Hari Buruh Sedunia setiap tanggal 1 Mei (May Day).[21]

Bukan hanya itu hasil perjuangan gerakan pekerja yang lantas dinikmati oleh umat manusia secara umum. Di Indonesia, kita mengingat sejarah hak kebebasan berkelompok bermula dari Semaun yang mengorganisir serikat pekerja Kereta bernama Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) sekitar tahun 1920-an sejak zaman kolonial Hindia Belanda.[22]

Belum lama pula, –terlepas dari berbagai pro dan kontra atasnya- , pada tahun 2011 gerakan buruh mendesak disahkannya UU BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) sebagai implementasi dari UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) yang mandek beberapa tahun penerapannya sejak disahkan tahun 2004. Kini, gerakan buruh juga sedang melakukan perjuangan legislasi lain, yaitu menuntut perlindungan kepada PRT, melalui ratifikasi Konvensi ILO No. 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga yang mengakui hak para pekerja rumah tangga sebagaimana para pekerja yang lainnya dan pengesahan RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga).

Gerakan pekerja di berbagai belahan dunia lainnya sudah lebih maju daripada di Indonesia dalam hal tuntutan. Di negara-negara Skandinavia dan Amerika Latin, kerja domestik perempuan yaitu yang berkaitan dengan reproduksi, sudah dihargai sebagaimana kerja produksi di pabrik, sehingga mendorong pula keadilan dan kesetaraan gender. Hal ini dilaksanakan misalnya melalui cuti haid, hamil, dan melahirkan yang luas dan terupah. Lebih lanjut tentang ini, silakan kawan Shindu simak elaborasi kawan Fildzah Izzati dalam reviewnya terhadap buku Revolution at Point Zero : Housework, Reproduction, and Feminist Struggle karya Silvia Federici.[23] Dari beberapa contoh di atas, kawan Shindu tidak bisa mengelak dari fakta tren gerakan buruh baik di dunia maupun di Indonesia, yang mengemuka menjadi salahsatu slogan dari Mogok Nasional 2013 awal bulan November lalu, yaitu “Buruh Berjuang dari Pabrik untuk Publik”.

Mari Bersama Belajar Marxisme (dan Leninisme)

Dalam penjelasannya di bagian “Marxisme Pada Awalnya..”,[24] kawan Shindu menganggap bahwa, pertama, pewarisan faktor produksi menurut Marxis adalah melalui hubungan darah, kedua, Komunisme bagi Marx seperti Ia tulis dalam karyanya Das Kapital, adalah

hanyalah jalan; jalan menuju anarkisme,”[25]

dan ketiga, bagi Lenin, era sekarang merupakan era yang ditunggu-tunggu para Marxis karena di negara-negara yang bebas, umat manusia berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri. Sebelum masuk ke ranah materiil, kami terlebih dahulu menunjukkan kejanggalan argumentasi kawan Shindu di ranah formil.

Pada bagian ini kami menemukan bahwa kawan Shindu melakukan pembajakan otoritas argumen. Kawan Shindu memaksa Marx untuk mengatakan hal yang tidak pernah Ia katakan, begitu juga yang dilakukan kawan Shindu terhadap Lenin, hanya untuk mendukung argumentasinya. Sebagai kawan yang baik yang ingin bersama-sama belajar supaya kelak bernalar, kami menyarankan kawan Shindu untuk berlatih lebih banyak lagi dalam melakukan kutipan. Kami akui bahwa meletakkan sitasi merupakan salahsatu fase penulisan yang melelahkan, tapi ingatlah kawan Shindu, Marx menyatakan dalam pengantar edisi Bahasa Prancis tahun 1872 bagi bagi karyanya Das Capital volume 1,

There is no royal road to science, and only those who do not dread the fatiguing climb of its steep paths have a chance of gaining its luminous summits.[26]

Ketidaktuntasan Kawan Shindu dalam melakukan kutipan, lebih tepatnya mengutip secara misleading, atau yang paling tepat adalah mengarang-ngarang Marx dan Lenin pernah menyampaikan hal-hal di atas, membuat kami menjadi bertanya-tanya, apakah sedari tadi kita merujuk pada Marx yang sama dan Lenin yang sama? Kami khawatir kawan Shindu mengenal akademisi lain yang sama-sama bernama Marx dan Lenin yang karena keterbatasan kami belum mengenalnya, dan hanya karena kawan Shindu tidak tuntas mengutip mereka, membuat kami menduga bahwa yang kawan Shindu maksud adalah Karl Marx dari Jerman, kawan dari Frederick Engels, dan Vladimir Ilyich Lenin, yang bersama Trotsky menjadi dwitunggal Revolusi Bolshevik.

Tentunya tidak menutup kemungkinan dalam dunia ini ada seorang pemikir anarkis bernama Marx dan seorang pemikir liberal bernama Lenin. Bisa saja mereka bernama Alexander Marx atau George Marx, dan Michael Lenin atau William Lenin. Jika yang dimaksud oleh kawan Shindu adalah seperti yang kami perkirakan di sini, kami sarankan alangkah baiknya lain kali kawan Shindu lebih tuntas dalam melakukan kutipan supaya tidak terjadi salah duga seperti sekarang ini. Karena sependek pengetahuan kami, yang kawan Shindu lakukan terhadap pemikiran Marx dan Lenin dalam karya mereka, merupakan interpretasi yang benar-benar baru dan sangat berbeda dari interpretasi yang dilakukan oleh akademisi lain pada umumnya. Bahkan, kawan Shindu tidak menunjukkan secara tepat di sebelah mana Marx dan Lenin mengungkapkan argumentasi seperti di atas. Karena itu, ungkapan kawan Shindu,

Jelas terlihat bahwa satu-satunya alasan mengapa Marx memilih komunisme adalah karena Liberalisme (atau Libertarianisme, untuk versi anarki) belum dapat diimplementasikan.[27]

menjadi lebih mirip igauan daripada argumentasi akademis.

Marx dan kaum Anarkis yang dipimpin Mikail Bakunin telah terlibat dalam pertentangan hebat di Internationale pertama (1864-1876). Bagi Marx, analisis Bakunin terhadap kapitalisme tidak ilmiah. Ia mendeskripsikan Bakunin sebagai

A man devoid of all theoretical knowledge.[28]

Dan bagi kaum anarkis saat itu, komunisme dalam partai komunis dan negara sosialis akan menciptakan hirarki sosial baru, yang mana kaum anarkis mengaku menentang segala bentuk hirarki sosial. Bakunin mendeskripsikan Marx sebagai

…The instinct of liberty is lacking in him [Marx]; he remains from head to foot, an authoritarian.[29]

Pertentangan ini menyebabkan kaum anarkis tidak lagi dilibatkan dalam Internationale kedua (1889-1916). Di kemudian hari, bagaimanapun, sepanjang sejarah perkembangan keduanya, terlepas dari pertentangan yang pernah terjadi antar Marx dan Bakunin, masing-masing ideologi kerap saling mengisi, bekerja sama, bahkan menyatu dalam perlawanan-perlawanan riil terhadap kapitalisme dan fasisme.

Di antara yang paling kentara terlihat adalah era Perang Sipil Spanyol atau Revolusi Spanyol di dekade 1930-an. Saat itu, kaum anarkis dan komunis (khususnya Trotskyist yang sedang melakukan oposisi internasional terhadap rezim kapitalisme-negara oleh Stalin di Uni Soviet) bahu membahu melalui serikat-serikat buruh (khususnya CNT-FAI, National Confederation of Labour-Iberian Anarchist Federation) dan partai politik revolusioner (POUM, Workers Party of Marxist Unification) untuk melawan rezim fasis jendral Fransisco Franco. Kaum anarkis-komunis umum dirujuk sebagai kelompok Republikan sementata jendral Franco dan tentara-tentara di bawah kepemimpinannya umum dirujuk sebagai kelompok Nasionalis.

Jendral Franco yang mengkudeta presiden Manuel Azana yang baru saja terpilih melalui pemilu yang demokratis mendapat perlawanan dari mayoritas rakyat Spanyol yang membentuk milisi-milisi di berbagai daerah. Mereka ingin mempertahankan republik mereka dari kudeta militer tersebut. Di tengah-tengah perlawanan yang menjadi Perang Sipil dan membagi Spanyol menjadi dua daerah, di wilayah-wilayah yang dikuasainya, seperti Barcelona, Valencia, dan Madrid, kelompok anarkis-komunis juga melakukan revolusi sosial misalnya dengan menjalankan sistem transportasi dan pabrik-pabrik secara kolektif di bawah kontrol bersama para pekerja. Mereka juga melakukan kolektivisasi lahan atau yang umum kita kenal sebagai Reforma Agraria. Lebih jauh tentang era Revolusi Spanyol ini, kembali kami menyarankan kawan Shindu untuk menyimak film-film yang memberikan gambaran tentang peristiwa tersebut, yaitu Land and Freedom karya Ken Loach[30] dan lebih khusus tentang peranan kaum perempuan, Libertarias / Freedom Fighters karya Vicente Aranda.[31]
 
Setelah membahas tentang bagaimana menariknya temuan kawan Shindu tentang Marx yang mendefinisikan komunisme sebagai jalan menuju anarkisme, kami juga ingin mengingatkan kawan Shindu bahwa jika Ia menemukan seorang Lenin yang berpandangan, seperti kawan Shindu tulis sendiri, mendefinisikan era kapitalisme-neoliberal sekarang,

Dan sekarang adalah masa yang mereka tunggu-tunggu, saat semua manusia, setidaknya di negara-negara bebas, berhak untuk menentukan nasib mereka sendiri.[32]

Lenin yang ini bukanlah Lenin yang memimpin Revolusi Bolshevik. Karena Vladimir Ilyich Lenin justru sangat sinis terhadap konsep kebebasan dalam masyarakat demokrasi-borjuis. Baginya,

When feudalism was overthrown and “free” capitalist society appeared in the world, it at once became apparent that this freedom meant a new system of oppression and exploitation of the working people.[33]

Di waktu lain Ia juga menggambarkan situasi globalisasi neoliberal yang masih kita hadapi hingga saat ini, yaitu tidak ada kebebasan bagi negara-negara kecil dan lemah,

Monopolies, oligarchy, the striving for domination and not for freedom, the exploitation of an increasing number of small or weak nations by a handful of the richest or most powerful nations — all these have given birth to those distinctive characteristics of imperialism which compel us to define it as parasitic or decaying capitalism.[34]

Lebih jauh, Lenin menunjukkan bahwa ketidakbebasan yang membelenggu mayoritas umat manusia tertindas hari ini, baru akan enyah saat terjadi Dictatorship of the Proletariat. Yaitu, saat ketidakbebasan tersebut gantian membelenggu para penindas dan pengeksploitasi manusia karena diambilalihnya faktor-faktor produksi menjadi milik bersama dari yang tadinya dimonopoli oleh mereka:

The dictatorship of the proletariat, i.e., the organization of the vanguard of the oppressed as the ruling class for the purpose of suppressing the oppressors, cannot result merely in an expansion of democracy. Simultaneously with an immense expansion of democracy, which for the first time becomes democracy for the poor, democracy for the people, and not democracy for the money-bags, the dictatorship of the proletariat imposes a series of restrictions on the freedom of the oppressors, the exploiters, the capitalists.[35]

Bagi Lenin,

Freedom in capitalist society always remains about the same as it was in the ancient Greek republicsfreedom for the slave-owners[36]

Mengingat masih tingginya tingkat ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender di masyarakat hari ini, tentunya jika dilakukan wawancara imajiner dengan Lenin, Ia akan menolak dikutip berkata bahwa zaman kini adalah zaman bebas. Karena, bagi Lenin,

There cannot be, nor is there nor will there ever be real ‘freedom’ as long as there is no freedom for women from the privileges which the law grants to men,[37]

Lebih jauh, Ia juga menghubungkan ketimpangan jender dengan demokrasi borjuis,

Bourgeois democracy is democracy of pompous phrases, solemn words, exuberant promises and the high-sounding slogans of freedom and equality. But, in fact, it screens the non-freedom and inferiority of women, the non-freedom and inferiority of the toilers and exploited.”[38]

Menurut Lenin, kebebasan bagi kaum tani hanya dapat terjadi di bawah Dictatorship of the Proletariat:

Under the dictatorship of the proletariat the peasant for the first time has been working for himself and feeding better than the city dweller. For the first time the peasant has seen real freedom—freedom to eat his bread, freedom from starvation. In the distribution of the land, as we know, the maximum equality has been established; in the vast majority of cases the peasants are dividing the land according to the number of “mouths to feed”.”[39]

Terakhir, konsep kebebasan pers di alam kapitalisme juga ditolaknya, sebagai:

All over the world, wherever there are capitalists, freedom of the press means freedom to buy up newspapers, to buy writers, to bribe, buy and fake “public opinion” for the benefit of the bourgeoisie.[40]

Jadi, kawan Shindu, setelah kami sodorkan beberapa kutipan pandangan Vladimir Ilyich Lenin tentang kebebasan di era demokrasi-borjuis dan kapitalisme hari ini, sudikah kawan Shindu memperkenalkan kepada kami Lenin yang satunya lagi, yang menganggap bahwa di era sekarang, semua manusia terutama di negara-negara bebas, telah bebas menentukan nasibnya sendiri?

Benar Seperti Itukah Kondisi dan Emansipasi Kelas Pekerja?

Pada bagian selanjutnya dari tanggapan ini, kami ingin membantu memberikan jawaban terhadap pertanyaan kawan Shindu yang tidak berhasil Ia jawab sendiri secara tuntas dalam tulisannya, yaitu bagaimana kondisi pekerja di Indonesia hari ini dan siapa serta bagaimana yang harus menyelesaikan masalah mereka. Standar akademis yang kami pegang, sayangnya, kawan Shindu, tidak mengakomodasi pengalaman pribadi, seperti yang kawan Shindu tuliskan dan sayangnya tanpa elaborasi apapun,

Saya tahu betul kondisi buruh secara pribadi. … Sejak umur 9 tahun, saya sudah kenyang diajak inspeksi production lines di pabrik garmen.”[41]

Tentunya sebuah bentuk pengalaman pribadi dapat diartikulasikan menjadi fakta lapangan untuk menopang data statistik, namun seperti kita sama-sama pelajari di kelas masing-masing di kampus, ada cara-caranya tersendiri. Misalnya, wawancara, atau field notes melalui observasi partisipatoris. Yang jelas, bukan statemen pengakuan belaka seperti yang kawan Shindu lakukan. Apa lagi, tampaknya, yang kawan Shindu maksud Ia pernah lakukan dahulu adalah menginspeksi para pekerja, yang mana Ia bukanlah pekerjanya, sehingga Ia melihat realita pekerja sebagai outsider dan tidak melakukan upaya apa-apa untuk melakukan verstehen terhadap realita para pekerja sehari-hari. Ia hanya mengakses reaitas empirik tanpa mendalaminya lebih lanjut untuk mengakses realitas aktual dan realitas riil dari kondisi pekerja yang Ia akui pernah sering Ia inspeksi dahulu.[42]

Kami khawatir kawan Shindu terjerembab pada jebakan over-generalisasi, saat Ia menyatakan,

Di tahun 2003 saya lihat sendiri pengusaha asal Korea yang menggaji buruhnya Rp3000 (ya, tiga ribu rupiah) per hari. Saya tahu.
Dan saya tahu bahwa keadaan sekarang tidak demikian. Apalagi bicara soal Indonesia. Tidak, tidak! jangan samakan kita dengan Bangladesh atau Afrika Selatan yang ada pabrik Nautica. Sama sekali tidak seperti itu.[43]

Selain teriakan bertanda seru, “Tidak, tidak!”, di atas, apa lagi usaha yang sudah kawan Shindu lakukan untuk menunjukkan bahwa kondisi buruh di Indonesia sudah tidak mengalami penindasan? Seberapa mendalam dan komprehensif kah pengamatan yang pernah Ia lakukan di daerah tempat tinggalnya, Tangerang? Pabrik apa saja yang sudah pernah Ia hampiri? Serikat buruh mana saja yang pernah Ia wawancarai? Tempat tinggal komunitas buruh yang mana sajakah di sana yang sudah pernah Ia tinggali (live in)? Tentunya kami tidak sabar untuk mendengar lebih jauh, kabar gembira yang kawan Shindu bahwa, bahwa buruh di Indonesia sudah tidak lagi dieksploitasi. Tapi sayangnya, seruan “Tidak, tidak!” yang kawan Shindu lakukan di atas seolah berlalu begitu saja di hadapan kami tanpa bekas apapun, seperti knalpot bus kuning UI yang mengepul menghalangi jarak pandang untuk melihat tulisan di body belakang bus tersebut; “Use public transportation to reduce air pollution.”

Realita yang kami saksikan saat melakukan live in di setidaknya sekretariat FSBKU-KSN (Federasi Serikat Buruh Karya Utama-Konfederasi Serikat Nasional) Tangerang dan FSPMI-KSPI (Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia-Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia) Jakarta, dan berinteraksi dengan setidaknya pimpinan-pimpinan dan perwakilan-perwakilan serikat dari FBLP (Federasi buruh Lintas Pabrik) Jakarta, GSBI (Gabungan Serikat Buruh Independen) Tangerang, dan SBPI (Serikat Buruh Perkebunan Indonesia) Sumatera Utara bertentangan dengan apa yang kawan Shindu coba yakinkan dengan teriakannya, “Tidak, tidak!” di atas.

Selain itu, berdasarkan hasil interaksi kami secara langsung dengan kawan-kawan buruh dari Bangladesh, Malaysia, Korea, Hong Kong, Vietnam, Filipina, Taiwan, India, Thailand, Sri Lanka, dan beberapa negara Asia lainnya , kami melihat dengan lebih jelas lagi bahwa kondisi eksploitasi atau penindasan khas kapitalisme melalui penghisapan nilai lebih (surplus value) lewat kerja upahan bukanlah semata terjadi khas di sebuah negara (lalu negara lainnya tidak), melainkan terjadi di semua negara dengan corak produksi kapitalistik, termasuk Indonesia (tentu saja).

Untuk itu, kembali lagi kami menyarankan kawan Shindu untuk menyimak beberapa tontotan berikut, yaitu dokumenter The New Rulers of the World karya John Pilger[44] tentang di antaranya pekerja Nike dan GAP, dokumenter Bekasi Bergerak karya LIPS (Lembaga Informasi Perburuhan Sedane)[45] tentang kondisi dan gerakan buruh di Bekasi, Di Balik Tembok karya FSBKU[46] tentang kondisi dan gerakan buruh di Tangerang, Alkinemokiye karya Dandhy Laksono[47] tentang kondisi dan gerakan buruh PT Freeport Indonesia di Papua, dan Di Balik Frekuensi karya Ucu Agustin[48] tentang kondisi dan gerakan pekerja media di Indonesia khususnya Metro TV. Setelah, tentunya, kami sarankan terlebih dahulu kawan Shindu benar-benar melakukan live in jika ingin mengetahui bagaimana kondisi sebenarnya dari buruh di Indonesia.

Elaborasi lebih lengkap tentang kondisi dan gerakan buruh di Indonesia dapat kawan Shindu akses di beberapa situs internet seperti situs berita on-line Portal PerspektifNews http://www.perspektifnews.com/, blog sindikasi para pegiat pengetahuan dan aktivis pergerakan progresif http://indoprogress.com/, dan partai politik berbasis kelas pekerja http://www.prp-indonesia.org/. Tapi sederhananya, hingga kini, para pekerja di Indonesia masih menghadapi masalah-masalah klasik dalam hubungan industrial seperti upah yang tidak layak, penangguhan upah, pemberangusan serikat, intimidasi, kriminalisasi, dan pembunuhan karakter terhadap aktivis serikat, diskriminasi gender dalam proses produksi, hubungan kerja yang penuh kerentanan dalam bentuk kerja kontrak ataupun outsourcing, dan kekerasan oleh negara melalui militer dan kepolisian dan oleh organisasi masyarakat paramiliter seperti Pemuda Pancasila.

Dalam konteks yang seperti ini, argumentasi kawan Shindu,

Negara sudah bekerja keras untuk menegakkan hukum dan meratakan kesejahteraan. Tolong jangan buang uang pembayar pajak dengan mogok.

menjadi tidak masuk di akal bahkan menggelikan. Bagian dari negara yang mana yang kawan Shindu lihat bekerja keras untuk menegakkan hukum dan meratakan kesejahteraan? Padahal kita dapat lihat grafik di bawah ini bahwa berdasar data dari Bank Dunia, dinamika koefisien gini di Indonesia setidaknya sejak dekade 1980-an hingga dekade 2010-an ini, bergerak seiring dengan dinamika PDB. Artinya, saat PDB menurun, ekonomi nasional melemah, distribusi kekayaan masyarakat semakin adil, sementara di sisi lain, saat PDB meningkat, ekonomi nasional tumbuh membaik, ternyata distribusi kekayaan masyarakat juga ikut menjadi semakin timpang. Ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi di Indonesia belum dinikmati oleh segenap rakyatnya melainkan hanya oleh segelintir masyarakat saja.[49]


Data dari Prakarsa Policy Review 2011 menunjukkan bahwa kekayaan dari 40 orang terkaya Indonesia setara dengan kekayaan 60 juta penduduk (hampir seperempat jumlah penduduk Indonesia). Kekayaan dari 43 ribu penduduk terkaya Indonesia setara dengan kekayaan  140 juta penduduk (lebih dari setengah jumlah penduduk Indonesia). Bahkan Indonesia merupakan negara terburuk dalam pengentasan kemiskinan di Asia Tenggara, dengan data bertambahnya jumlah orang miskin sebanyak 2,7 juta jiwa hanya dalam rentang tahun 2008 hingga 2011.[50]

Menyinggung kembali perdebadan tentang tingkat upah yang layak, kami ingin bertanya, menurut kawan Shindu, lebih baik mana, menjadi negara yang perekonomiannya kompetitif karena birokrasinya lancar dan hukum ditegakkan, atau karena upah buruhnya murah? Tabel di bawah menunjukkan perbandingan antara tingkat upah Indonesia relatif terhadap negara berkembang lainnya:[51]


Dari tabel di atas terlihat bahwa tingkat upah Indonesia  menduduki peringkat keenam dari bawah dari 15 negara berkembang di Asia. Mitos China dengan upah murahnya telah terbantahkan karena kini Ia menduduki peringkat ketiga upah terbesar setelah Malaysia dan Thailand. Pekerja Indonesia berdasar tabel di atas bahkan dibayar lebih murah dari negara-negara seperti Nepal, Sri Lanka, dan Laos. Jika berbicara tentang negara mana yang manusianya dihargai paling rendah, ternyata Indonesia merupakan salahsatu yang terbaik, Indonesia sangat ‘kompetitif’.

Satu tabel lain untuk mengkontraskan adalah tingkat kemudahan berbisnis di negara-negara Asia yang diukur di antaranya berdasar kerumitan birokrasi dan kepastian penegakan hukum, seperti tampak pada tabel di bawah.[52]


Ternyata Indonesia masih sangat ketinggalan, bahkan kalah oleh Papua Nugini dan mayoritas negara anggota ASEAN. Kedua tabel ini menunjukkan bahwa investasi yang datang ke Indonesia selama ini masih dominan disebabkan karena upah pekerjanya yang murah, bukan birokrasi dan hukum yang mendukung. Jelas, kami memiliki posisi yaitu memilih negara yang perekonomiannya kompetitif karena birokrasi dan hukum yang baik, bukan karena ‘harga manusia’-nya rendah.

Demi upah yang lebih tinggi lagi, yang berarti penghidupan yang sedikit bertambah layak bagi para pekerja di Indonesia, siapakah yang melakukan emansipasi? Atau, menggunakan bahasa kawan Shindu, “Siapa harus menyelesaikannya (masalah-masalah para pekerja)?” Bagi kami, jawabannya jelas pula, yaitu mengafirmasi pernyataan dari First International:

That the emancipation of the working classes must be conquered by the working classes themselves; that, the struggle for the emancipation of the working classes means not a struggle for class privileges and monopolies, but for equal rights and duties, and the abolition of all class rule;[53]

Berikut pula kami kutipkan pandangan tentang upah pekerja dari salah seorang ekonom klasik Inggris abad ke-18:

The liberal reward of labour, therefore, as it is the effect of increasing wealth, so it is the cause of increasing population. To complain of it, is to lament over the necessary effect and cause of the greatest public prosperity.
The liberal reward of labour, as it encourages the propagation, so it increases the industry of the common people. The wages of labour are the encouragement of industry, which, like every other human quality, improves in proportion to the encouragement it receives….Where wages are high, accordingly, we shall always find the workmen more active, diligent, and expeditious, than where they are low.[54]

See? Adam Smith ♥ High Wages![55] Siapakah Ia? Ia bukanlah Marx ataupun seorang Marxis, atau orang kiri lainnya dan bukan pula Keynes ataupun ekonom Keynesian. Ia adalah Adam Smith, yang seringkali dielukan sebagai bapak liberalisme ekonomi. Jika kawan Shindu sebagai anggota UI LDSC tidak pula setuju dengan prinsip mendasar yang digariskan Smith di atas, kepada siapa lagikah kawan Shindu ingin mendasarkan filsafat liberalismenya, siapa lagikah yang akan kawan Shindu kutip untuk menguatkan argumen bahwa upah buruh jangan terlalu tinggi? Jika tetap tidak pula bersetuju bahkan dengan Smith, kami menyarankan UI LDSC mengganti namanya menjadi UI NCSC, yaitu University of Indonesia Neoliberalism and Capitalism Study Club.

Penutup

Terakhir, untuk menutup tanggapan ini, kami mengapresiasi usaha kawan Shindu untuk menyemarakkan pertarungan gagasan di kampus kita tercinta. Sudah lama bagi kami kampus kering dari pertarungan gagasan yang produktif; hanya diisi oleh gosip-gosip dan rangkaian acara-acara yang pura-pura menghibur dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan aksi-aksi yang pura-pura bergerak dari berbagai organisasi kemahasiswaan pula.

Padahal, di sinilah, katanya, dicetak para calon pemimpin bangsa. Atas dasar itu, kami menghargai usaha kawan Shindu untuk mencoba ikut meramaikan pertarungan gagasan yang kami pantik melalui PAMFLET. Kami merasa dihargai pula, karena bagi kami penghargaan yang tertinggi bagi sebuah karya akademis adalah kritik baginya, karena hanya dengan kritik-lah, perspektif-perspektif dalam ilmu sosial dapat berkembang dan terus memperbaiki dirinya masing-masing. Walaupun belum berhasil menghadirkan kritik yang setimpal dan memuaskan, tidak mengapa. Kami tetap berterima kasih (lagi) bahwa kawan Shindu telah mencoba. Nice try!

Daftar Pustaka

1. Adam Smith, “Of the Wages of The Labour” dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations Buku 1 Bab 8 (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), diakses dari Library of Economics and Liberty, http://www.econlib.org/library/Smith/smWN3.html.
2. Albert Einstein, Albert Einstein Quotes, diakses dari http://www.goodreads.com/author/quotes/9810.Albert_Einstein.
3. Alexander Trachtenberg, “The History of May Day” dalam Marxists.org, diakses dari http://www.marxists.org/subject/mayday/articles/tracht.html.
4. Avi Lewis dan Naomi Klein, The Take [motion picture], 2004, dapat diakses di  http://www.youtube.com/watch?v=Sug7bWxTuSo.
5. Bob Marley, Redemption Song, diakses dari http://www.lyricsfreak.com/b/bob+marley/redemption+song_20021829.html.
6. Budiman Sudjatmiko, Tata Negara Sibernetika: Langkah untuk wujudkan Pembangunan Berkeadilan, 4 Juli 2011, diakses dari http://budimansudjatmiko.net/node/122.
7. Chris Devonshire-Ellis, “China Now Has Third Highest Labor Costs in Emerging Asia” dalam China Briefing, 19 Januari 2011, diakses dari http://www.china-briefing.com/news/2011/01/19/china-near-top-of-the-list-for-wage-overheads-in-emerging-asia.html.
8. Corey Robin, Adam Smith ♥ High Wages, 23 November 2013, diakses dari http://coreyrobin.com/2013/11/23/adam-smith-♥-high-wages/.
9. Dandhy Laksono, Alkinemokiye [motion picture], 2011, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=x3OWOu88BhY.
10. Fildzah Izzati, “Hilmar Farid : Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial, dan Kultural!” dalam Left Book Review edisi 12/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1364.
11. Fildzah Izzati, “Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!” dalam Left Book Review edisi 25/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1514.
12. FSBKU, Di Balik Tembok [motion picture], 2007.
13. International Workingmen Association (First International), Rules and Administrative Regulations of the International Workingmen’s Association (1867), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/iwma/documents/1867/rules.htm.
14. JeRKresearch (16 November 2013), status twitter.
15. John Pilger, The New Rulers of the World [motion picture], 2001, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=pfrL2DUtmXY.
16. Karl Marx, “Preface To The French Edition” dalam Das Capital Vol. 1 (1872), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1867-c1/p2.htm.
17. Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Correspondence (Moscow, 1975).
18. Ken Loach, Land and Freedom [motion picture], 1995.
19. K. J. Kenafick, Michael Bakunin and Karl Marx (Melbourne, 1948).
20. LIPS, Bekasi Bergerak [motion picture], 2013.
21. Martin Suryajaya, Asal-Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen (Yogyakarta: Resist Book, 2013), dapat diakses daftar isinya di https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10152043618831489&set=a.10152043601791489.1073741826.799086488&type=1&relevant_count=1.
22. Michael Moore, Capitalism: A Love Story [motion picture]. 2009, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=yLDIoO_ug2ci.
23. Prakarsa Policy Review, Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar (2011).
24. Raymond Samuel, “Presiden Evo Moralez Teken Dekrit yang Ijinkan Buruh Ambil Alih Pabrik” dalam Berdikari Online, 10 Oktober 2013, diakses dari http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20131010/presiden-evo-morales-teken-dekrit-yang-ijinkan-buruh-ambil-alih-pabrik.html
25. Roy Bhaskar dalam Robertus Robert,”Realisme Kritis dan Pendasaran Filosofis Ilmu Sosial” dalam Komunitas: Jurnal Sosiologi, Volume 2 Tahun 2007.
26. SEMAR UI, Pamflet SEMAR UI Edisi 3: “Mahasiswa Dukung Mogok!”, Oktober 2013, diakses dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/new-post-pamflet-semar-ui-edisi-03.html.
27. Shindu Pratomo, Counter Review Terhadap Pamflet SEMAR UI Oktober 2013. 21 November 2013, diakses dari http://liberaldemokratui.wordpress.com/2013/11/21/counter-review-terhadap-pamflet-semar-ui-oktober-2013/.
28. Ucu Agustin, Di Balik Frekuensi [motion picture], 2012.
29. Vicente Aranda, Libertarias [motion picture], 1996.
30. Vladimir Ilyich Lenin, A Letter To G. Myasnikov (1921), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1921/aug/05.htm.
31. Vladimir Ilyich Lenin, Economics And Politics In The Era Of The Dictatorship Of The Proletariat (1919), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/oct/30.htm.
32. Vladimir Ilyich Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1914), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/ch10.htm.
33. Vladimir Ilyich Lenin, Soviet Power and the Status of Women (1919), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/nov/06.htm.
34. Vladimir Ilyich Lenin, State and Revolution (1917), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1917/staterev/ch05.htm.
35. Vladimir Ilyich Lenin, The Three Sources and Three Component Parts of Marxism (1913), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm.
36. --, “RI behind ASEAN peers in WB survey” dalam The Jakarta Post, 30 Oktober 2013, diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/30/ri-behind-asean-peers-wb-survey.html.
37. --, “Semaoen, Aktivis Buruh dan Pemikir” dalam Kompas, 21 Mei 2005.


[1] Tanggapan terhadap Shindu Pratomo, Counter Review Terhadap Pamflet SEMAR UI Oktober 2013. 21 November 2013, diakses dari http://liberaldemokratui.wordpress.com/2013/11/21/counter-review-terhadap-pamflet-semar-ui-oktober-2013/.
[2] Serikat Mahasiswa Progresif UI, sebuah organisasi mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia.
[3] SEMAR UI, Pamflet SEMAR UI Edisi 3: “Mahasiswa Dukung Mogok!”, Oktober 2013, diakses dari http://serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com/2013/10/new-post-pamflet-semar-ui-edisi-03.html.
[4] Shindu Pratomo, ibid.
[5] University of Indonesia Liberalism and Democracy Study Club, sebuah organisasi mahasiswa di lingkungan Universitas Indonesia.
[6] Shindu Pratomo, ibid.
[7]  Lihat pasal 137 UU no.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
[8] Shindu Pratomo, ibid.
[9] Ibid.
[10] Shindu Pratomo, Ibid.
[11] Avi Lewis dan Naomi Klein, The Take [motion picture], 2004, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=Sug7bWxTuSo.
[12] JeRKresearch (16 November 2013), status twitter.
[13] Fildzah Izzati, “Hilmar Farid : Warisan Kunci Politik Orde Baru adalah Kemiskinan Imajinasi Politik, Sosial, dan Kultural!” dalam Left Book Review edisi 12/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1364.
[14] Albert Einstein, Albert Einstein Quotes, diakses dari http://www.goodreads.com/author/quotes/9810.Albert_Einstein.
[16] Michael Moore, Capitalism: A Love Story [motion picture]. 2009, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=yLDIoO_ug2ci.
[17] Shindu Pratomo, ibid.
[18] Martin Suryajaya, Asal-Usul Kekayaan: Sejarah Teori Nilai dalam Ilmu Ekonomi dari Aristoteles sampai Amartya Sen (Yogyakarta: Resist Book, 2013), dapat diakses daftar isinya di https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10152043618831489&set=a.10152043601791489.1073741826.799086488&type=1&relevant_count=1.
[19] Avi Lewis dan Naomi Klein, ibid.
[20] Raymond Samuel, “Presiden Evo Moralez Teken Dekrit yang Ijinkan Buruh Ambil Alih Pabrik” dalam Berdikari Online, 10 Oktober 2013, diakses dari http://www.berdikarionline.com/dunia-bergerak/20131010/presiden-evo-morales-teken-dekrit-yang-ijinkan-buruh-ambil-alih-pabrik.html.
[21] Alexander Trachtenberg, “The History of May Day” dalam Marxists.org, diakses dari http://www.marxists.org/subject/mayday/articles/tracht.html.
[22] --, “Semaoen, Aktivis Buruh dan Pemikir” dalam Kompas, 21 Mei 2005.
[23] Fildzah Izzati, “Housework Bukan Kodrat Perempuan! Bring Back to Commons!” dalam Left Book Review edisi 25/2013, diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1514.
[24] Shindu Pratomo, ibid.
[25] Ibid.
[26] Karl Marx, “Preface To The French Edition” dalam Das Capital Vol. 1 (1872), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/works/1867-c1/p2.htm.
[27] Shindu Pratomo, ibid.
[28] Karl Marx dan Frederick Engels, Selected Correspondence (Moscow, 1975), hlm. 254.
[29] K. J. Kenafick, Michael Bakunin and Karl Marx (Melbourne, 1948), hlm. 40.
[30] Ken Loach, Land and Freedom [motion picture], 1995.
[31] Vicente Aranda, Libertarias [motion picture], 1996.
[32] Shindu Pratomo, ibid.
[33] Vladimir Ilyich Lenin, The Three Sources and Three Component Parts of Marxism (1913), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1913/mar/x01.htm.
[34] Vladimir Ilyich Lenin, Imperialism: The Highest Stage of Capitalism (1914), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1916/imp-hsc/ch10.htm.
[35] Vladimir Ilyich Lenin, State and Revolution (1917), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1917/staterev/ch05.htm.
[36] Ibid.
[37] Vladimir Ilyich Lenin, Soviet Power and the Status of Women (1919), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/nov/06.htm.
[38] Vladimir Ilyich Lenin, Soviet Power and the Status of Women, Ibid.
[39] Vladimir Ilyich Lenin, Economics And Politics In The Era Of The Dictatorship Of The Proletariat (1919), dapat diakses di http://www.marxists.org/archive/lenin/works/1919/oct/30.htm.
[40] Vladimir Ilyich Lenin, A Letter To G. Myasnikov (1921), dapat diakses di https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1921/aug/05.htm.
[41] Shindu Pratomo, ibid.
[42] Pendekatan Realisme Kritis sebagai salahsatu pisau analisis dalam ilmu sosial yang berpendekatan Marxis, mensyaratkan demistifikasi terhadap apa yang sekadar tampak (realitas empirik) dan bahkan usaha untuk menguak posisi realita yang diteliti di tengah relasi kuasa yang terjadi, supaya mencapai realitas riil, yaitu realita yang sebenarnya. Lihat Roy Bhaskar dalam Robertus Robert,”Realisme Kritis dan Pendasaran Filosofis Ilmu Sosial” dalam Komunitas: Jurnal Sosiologi, Volume 2 Tahun 2007, hlm. 83-84.
[43] Shindu Pratomo, ibid.
[44] John Pilger, The New Rulers of the World [motion picture], 2001, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=pfrL2DUtmXY.
[45] LIPS, Bekasi Bergerak [motion picture], 2013.
[46] FSBKU, Di Balik Tembok [motion picture], 2007.
[47] Dandhy Laksono, Alkinemokiye [motion picture], 2011, dapat diakses di http://www.youtube.com/watch?v=x3OWOu88BhY.
[48] Ucu Agustin, Di Balik Frekuensi [motion picture], 2012.
[49] Budiman Sudjatmiko, Tata Negara Sibernetika: Langkah untuk wujudkan Pembangunan Berkeadilan, 4 Juli 2011, diakses dari http://budimansudjatmiko.net/node/122.
[50] Prakarsa Policy Review, Kemiskinan Melonjak, Jurang Kesenjangan Melebar (2011), hlm. 1-4.
[51] Chris Devonshire-Ellis, “China Now Has Third Highest Labor Costs in Emerging Asia” dalam China Briefing, 19 Januari 2011, diakses dari http://www.china-briefing.com/news/2011/01/19/china-near-top-of-the-list-for-wage-overheads-in-emerging-asia.html.
[52] --, “RI behind ASEAN peers in WB survey” dalam The Jakarta Post, 30 Oktober 2013, diakses dari http://www.thejakartapost.com/news/2013/10/30/ri-behind-asean-peers-wb-survey.html.
[53] International Workingmen Association (First International), Rules and Administrative Regulations of the International Workingmen’s Association (1867), diakses dari http://www.marxists.org/archive/marx/iwma/documents/1867/rules.htm.
[54] Adam Smith, “Of the Wages of The Labour” dalam An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations Buku 1 Bab 8 (London: Methuen & Co., Ltd., 1904), diakses dari Library of Economics and Liberty, http://www.econlib.org/library/Smith/smWN3.html; Corey Robin, Adam Smith ♥ High Wages, 23 November 2013, diakses dari http://coreyrobin.com/2013/11/23/adam-smith-♥-high-wages/.
[55] Istilah ini mengutip judul tulisan dari Corey Robin : Adam Smith High Wages, 23 November 2013, diakses dari http://coreyrobin.com/2013/11/23/adam-smith--high-wages/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar