Oleh Rio Apinino
Sekjen SEMAR UI
Sebuah tanggapan untuk
Shindu Pratomo
KALAU saja Shindu Pratomo mau sedikit lebih banyak mencari, ia
akan menemukan argumen-argumen yang dikemukakannya terkait mogok nasional yang
baru selesai (dan sampai tulisan ini dibuat sebenarnya masih banyak
perlawanan-perlawanan melalui mogok daerah) sama persis dan tercecer melalui
muntahan-muntahan komentar dari kelas menengah melalui berbagai media: kicauan
twitter, komentar di facebook dan berita online
atau sekedar obrolan santai di Seven Eleven atau Lawson. Kemudian, jika Shindu
juga mau mencari lebih banyak dan dalam sedikit lagi, ia juga akan
menemukan komentar-komentar –baik yang
ilmiah maupun yang terhitung tidak ilmiah- yang mendukung gerakan buruh untuk
menaikkan upah. Jadi, dalam tulisan ini saya tidak bermaksud mengomentari dan
melakukan konter-kritik terkait tema itu. Selain karena pembahasan akan tidak
menjadi fokus, juga saya maksudkan agar Shindu mencari anti-argumennya
sendiri.
Yang membuat saya terganggu adalah pernyataan Sindhu tentang
pamflet kami: mohon setiap tulisan yang
bersifat non-akademik dikontrol persebarannya dan diberi tanda, agar bisa
disikapi dengan sebagaimana harusnya. Pertama, apa maksud “dikontrol
persebarannya?” apakah Shindu bermaksud bersikap layaknya Orde Baru yang main breidel
ketika ada ide-ide yang tidak sesuai dan mengganggu keamanan dan ketertiban
negara (baca: UI)? Bukankah salahsatu tujuan didirikannya UILDSC adalah untuk “menjunjung
tinggi kebebasan berpikir, bersuara, dan berkarya” dan salah satu manifestasi
kebebasan bersuara adalah penyebaran ide-ide, apapun ide itu? Kedua, apa pula
maksud “diberi tanda”? semacam eks-Tapol kah yang kartu identitasnya diberi
tanda “EK” dan dengan demikian dipersulit dalam berbagai hal? Siapa pula yang
diberikan otoritas untuk membubuhkan tanda pada pamflet kami? Ketiga, dan yang
paling penting: pernyataan Shindu tersebut bagi saya adalah sebuah ironi dari
tujuan organisasi UILDSC yang sedemikian sublim itu.
Tapi, sebagaimana tulisan Shindu yang bukan bertujuan utama
untuk mengkritik hal tersebut, saya pun demikian. Yang lebih mengganggu saya
justru terletak pada kalimat sesudahnya: tulisan
ini mengkritik penggunaan dan penyalahgunaan nama dan terminologi Marxisme.
Pada poin inilah kritik saya terhadap pandangan Shindu berangkat. Karena,
sepanjang struktur esai ini, yang benar-benar dimaksudkan untuk “mengkritik
penyalahgunaan nama dan terminologi marxisme” hanyalah satu subbab berjudul
“Marxisme pada awalnya: Feudalisme dan Imperialisme Sejati” yang terdiri dari
empat paragraf dari total sekitar dua puluh satu paragraf.
Marxisme Pada
Awalnya: Sosialisme Ilmiah
Sosialisme pada dasarnya dicirikan oleh komitmen bersama untuk
membentuk masyarakat yang adil dan egaliter. Sedangkan, adanya sistem ekonomi
politik kapitalisme membuat komitmen perjuangan terhadap masyarakat yang ideal
tersebut terhambat secara struktural. Berbagai varian sosialisme, dengan
derajat yang berbeda-beda, dengan demikian selalu menentang relasi kepemilikan
kapitalis tersebut[1]. Tetapi,
bukanlah Marx yang mencetuskan ide tentang sosialisme tersebut. Ide tentang
sosialisme bahkan telah ada sejak zaman Yunani Kuno. Yang Marx lakukan (bersama
kawannya, Engels) adalah melakukan pendasaran ilmiah terhadap sosialisme tersebut.
Karena itulah ajaran-ajaran Marx tentang sosialisme disebut juga sosialisme
ilmiah. Dan sosialisme sebelum Marx, yang hanya mendasari pada moralitas: rasa
iba karena melihat kondisi buruh yang buruk dan dengan sepenuh kerendahan hati
membantu mereka, disebut sosialisme utopis. Tokoh-tokoh terkenal sosialisme
utopis diantaranya Saint Simon dan Robert Owen.
Lantas, apa yang membedakan keduanya? Engels menjelaskan,
“Modern socialism is, in its content, primarily the product of the recognition, on the one hand, of the class antagonisms prevailing in modern society between proprietors and non-proprietors, between capitalists and wage-workers, and on the other, of the anarchy ruling in production”[2]
Selanjutnya, dalam buku yang sama,
“modern socialism had at first to link itself with the intellectual data ready to hand, however deeply its roots lay in material economic facts”[3]
Dalam dua kutipan di atas, kita temukan perbedaan sosialisme
utopis dan ilmiah adalah: sosialisme modern/ilmiah adalah hasil dari gerak
sejarah yang mana gagasannya tidak datang begitu saja dari langit ke tujuh
dengan diperantarai oleh Jibril dan langsung masuk ke otak Marx, ada
kondisi-kondisi yang memungkinkan hal itu lahir. Jadi, berbeda dengan
sosialisme utopis yang berkembang di abad ke-19 yang mana kondisi materil yang
memungkinkan bagi kontradiksi kapitalisme belum tersedia, sosialisme ilmiah ada
ketika kondisi yang memungkinkannya telah terwujud. Selain itu, sosialisme
utopis yang didasari semata pada rasa kemanusiaan dan tanpa mempertimbangkan
kondisi materiil, akan berujung pada idealisme. Sedangkan Marx dan Engels, yang
sama-sama kita tahu, adalah seorang materialis. Karena itulah, sosialisme
ilmiah yang mereka cetuskan didasari pada pembacaan terhadap realistas (yaitu
kapitalisme) dan melihat sosialisme sebagai pelampauan dari kapitalisme.
Membaca Masyarakat
dengan Materialisme Historis
Merupakan hal yang menggelikan membaca tulisan Shindu, bahwa
Marxisme pada awalnya: Feudalisme dan
Imperialisme sejati tetapi sepanjang esai saya tidak menemukan satupun
argumen yang menjabarkan pernyataan tersebut. Bagi siapapun yang pernah membaca
marxisme, meskipun tidak secara mendalam, akan berseloroh: “lah, gimana bisa? Wong feodalisme dan
imperialisme beda sekali?!” Bagaimana mungkin, melabeli, mendefinisikan,
menyamakan suatu terminologi, dengan arti yang saling bertolak belakang seperti
feodalisme dan imperialisme? Ini sama saja dengan mendefinisikan sebuah
“gelas”, pada awalnya, sebagai “kaca” dan “besi”.
Lalu, bagaimana Marxisme membaca feodalisme dan imperialisme
itu? Marxisme, dengan teori materialisme historisnya, melihat feodalisme disatu
sisi dan imperialisme disisi lain, sebagai suatu fase dalam gerak sejarah masyarakat
yang dicirikan dengan corak produksi tertentu. Dengan teori ini, Marx melihat
masyarakat bagaikan sebuah bangunan, dimana dalam bangunan itu terdapat
fondasi/basis yang berkaitan dengan hal ikhwal ekonomi (bagaimana suatu
masyarakat memproduksi kebutuhan mereka) dan di atas fondasi tersebut berdiri
suprastruktur yang merupakan aspek-aspek non-ekonomi seperti hukum, budaya,
negara dan politik.
Sebagaimana menurut Marx,
“Dalam produksi sosial yang orang-orang lakukan, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi materiel mereka. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang nyata, di atas mana timbul strukturstruktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan materiel menentukan sifat umum dari prosesproses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan.”[4]
Jadi, dengan demikian, feodalisme ataupun kapitalisme
merupakan suatu corak produksi yang sama sekali berbeda. Jika feodalisme
dicirikan dengan corak kepemilikan atas tanah dimana kelas yang paling saling
berkontradiksi adalah tuan tanah dan borjuasi, maka kapitalisme dicirikan
dengan kepemilikan alat produksi pada segelintir orang dimana kontradiski pokok
pertentangan terletak pada kelas yang memiliki alat produksi tersebut (kapitalis)
dengan yang tidak memiliki alat produksi dan hanya bisa menjual tenaga kerjanya
pada para kapitalis (proletar).
Bagaimana corak produksi dalam masyarakat ini dapat berubah?
Marx menjelaskan,
“Pada suatu tahap dalam perkembangannya, kekuatan-kekuatan produksi materiel dalam masyarakat bertentangan dengan hubungan-hubungan produksi yang ada, atau-yang hanyamerupakan bahasa hukum bagi hal yang sama-bertentangan dengan hubungan-hubungan hak milik di tempat orang itu bekerja sebelumnya. Hubungan-hubungan ini berubah dari bentuk-bentuk perkembangan kekuatan-kekuatan produksi menjadi belenggu-belenggu mereka. Kemudian sampailah masa revolusi sosial. Dengan perubahan fondasi ekonomi, maka seluruh struktur atas yang sangat besar cepat atau lambat akan berubah.... Tidak ada tata sosial pernah lenyap sebelum semua kekuatan produktif yang bisa ditampungnya telah berkembang semuanya dan hubungan-hubungan produksi baru yang lebih tinggi tidak akan pernah timbul sebelum kondisikondisi materiel bagi eksistensinya telah matang di dalam kandungan masyarakat lama.”[5]
Apa yang Marx lakukan dalam mengabstraksikan gerak historis
masyarakat adalah mencoba menangkap hukum geraknya. Dengan menangkap hukum
gerak tersebut, Marx memproyeksikan bahwa kapitalisme dan demokrasi liberal
yang saling berkelitlindan yang ada saat ini bukanlah akhir dari sejarah
sebagaimana Fukuyama katakan. Kapitalisme akan hancur dan digantikan dengan
sosialisme, dan kemudian melangkah lebih maju menjadi komunisme. Komunisme
inilah akhir dari sejarah manusia karena sudah tidak ada lagi kontradiksi kelas
yang mana ia adalah syarat adanya revolusi sosial. Tetapi, yang harus diperhatikan
adalah, meskipun kapitalisme memiliki kontradiksi internal yang kontinyu, ia
tidak dapat hancur dengan sendirinya. Diperlukan adanya subjek yang bergerak, yang
sadar, subjek tersebut haruslah memiliki relasi langsung dengan kapitalisme, ia
ada dijantung kapitalisme itu sendiri, kelas itu adalah: proletariat. Perjuangan
upah melalui mogok nasional, dengan demikian, adalah langkah kecil menuju
kesadaran yang lebih jauh.
Selain itu, hal yang juga penting dalam membaca materialisme
historis adalah, suprastruktur (dalam hal ini yang saya bicarakan khususnya
adalah negara), tidak lain merupakan organ-organ yang digunakan untuk
melanggengkan apa yang ada di basis. Atau sebagaimana menurut Lenin, “Negara
adalah organ kekuasaan kelas, organ penindasan dari satu kelas terhadap kelas
yang lain, ia adalah ciptaan "tata tertib" yang melegalkan dan
mengekalkan penindasan ini dengan memoderasikan bentrokan antar kelas”[6].
Negara adalah representasi dari kelas yang berkuasa. Shindu dalam seluruh
argumen-argumennya mengartikan negara sebagai arena yang netral dan berdiri
diatas semua kelas-kelas dalam masyarakat dan apa-apa yang mereka lakukan
adalah untuk kebermanfaatan bersama. Hal ini terlihat jelas dalam pernyataan “adalah
hak perusahaan, dan juga negara, untuk mengembangkan sektor dan faktor produksi
yang perlu dikembangkan.” atau “Negara sudah bekerja keras untuk menegakkan
hukum dan meratakan kesejahteraan.”. Kenyataannya, negara Indonesia hari ini
bukanlah negara yang berdiri diatas semua kelas dalam masyarakat. Bagaimana mungkin
menerima logika bahwa negara sudah bekerja keras untuk meratakan kesejahteraan
sedangkan kenyataannya, contohnya, selalu subsidi untuk public goods yang dipangkas ketika harga minyak dunia naik dan tak
pernah berbicara sedikitpun untuk menaikkan pajak-pajak perusahaan agar income negara meningkat? Atau bagaimana
mungkin menerima logika yang sama dengan kenyataan proyek MP3EI yang saat ini berjalan
justru menjadi legitimasi bagi korporasi-korporasi besar untuk melakukan
eksploitasi besar-besaran sebagai sarana akumulasi kapital setelah sebelumnya
menggusur rakyat (tahukah saudara Shindu jika penggusuran pedagang stasiun
kereta beberapa tempo hari lalu adalah bagian kecil untuk memuluskan MP3EI?)
dan hanya meninggalkan kerusakan ekosistem yang parah?
Kembali pada pernyataan lain dari Shindu, bahwa ia mengatakan
bahwa marxisme adalah imperialis sejati. Saya tak tahu benar alur berpikir
saudara Shindu hingga sampai pada kesimpulan tersebut, karena memang tak ada
pembahasan apapun setelahnya. Apa kriteria-kriteria imperialis dari Shindu?
Atau apakah memang pernyataan tersebut digunakan agar sidang pembaca tertarik
untuk terus melanjutkan membaca tulisannya –karena memang terlihat sangat
propagandis. Kenyataannya, marxisme seringkali justru digunakan sebagai sebuah
pisau analisa dan spirit perjuangan melawan imperialisme yang pada awal abad ke
20-an menjadi kosakata politik dan jurnalistik dalam wacana tentang penaklukan
kolonial[7].
Hal ini juga termasuk sejarah pembebasan nasional Indonesia yang saat itu
diwakili oleh PKI dan masih terjadi hingga saat ini diberbagai belahan dunia. Lenin
sendiri dalam pamfletnya Imperialism, The Highest Stage of Capitalism: A
Popular Outline (1916) menyatakan
bahwa justru kapitalisme monopoli lah yang merupakan manifestasi dari imperialisme
dan menyerukan perjuangan pembebasan nasional dari negara imperialis bagi para
kelas pekerja sedunia, selain daripada menentang perang.
Masalah labelisasi yang serampangan seperti contoh di atas kembali
diulang oleh Shindu melalui pernyataannya bahwa komunisme hanyalah jalan; jalan menuju anarkisme. Saya tak tahu
benar referensi apa yang Shindu pakai dalam membuat tulisan ini hingga bisa
membuat paragraf dahsyat seperti ini:
“Karl Marx dengan jelas mengemukakan dalam Das Kapital bahwa
komunisme hanyalah jalan; jalan menuju anarkisme. Tempat dimana manusia bebas
dan tidak dibelenggu sistem, sehingga betul-betul tidak ada kelas dalam arti
apapun. Jelas terlihat bahwa satu-satunya alasan mengapa Marx memilih komunisme
adalah karena Liberalisme (atau Libertarianisme, untuk versi anarki) belum
dapat diimplementasikan”
Memang, dalam seluruh spektrum politik selalu terdapat
golongan anarkis –bahkan kapitalisme pun bekerja melalui anarkisme pasar,
bukan? Namun, karena Shindu berkata bahwa “komunisme hanyalah jalan menuju
anarkisme”, maka saya tangkap yang dimaksud Shindu sebagai anarkisme adalah
anarkisme dalam dunia kiri yang juga berlawan terhadap kapitalisme. Dengan
demikian, anarkisme yang dimaksud, bukanlah suatu corak produksi tertentu setelah
komunisme (silakan scrool ulang tentang materialisme historis dan komunisme
sebagai tahap terakhir sejarah manusia beberapa paragraf sebelumnya).
Tujuan anarkisme (dalam terminologi “kiri”, sekali lagi) pada
dasarnya adalah sama dengan marxisme, yaitu: membentuk masyarakat tanpa kelas
atau dengan kata lain, komunisme. Yang membedakan secara substansial (disamping
perbedaan-perbedaan lain) adalah, cara pandang bagaimana melampaui kondisi yang
ada menuju masyarakat komunis. George Novack dengan sangat baik merumuskan
perbedaan diantara keduanya:
“Marxisme memerangi segala bentuk pemerintah ataupun otoritas yang reaksioner…dengan menegakkan kekuasan negara di tangan klas buruh -- sebagai sebuah transisi yang di jalani -- dalam rangka penghapusan segenap kekuasaan negara, maupun segala bentuk penindasan. Sedangkan anarkisme menentang segala otoritas maupun negara -- tidak perduli apakah negara tersebut berkarakter progresif atau reaksioner-- anarkisme tidak memandang hakikat klas sebagai yang perlu di pertimbangkan. Itulah sebabnya kaum anarkis menolak segala bentuk partisipasi dalam politik. Sementara kaum Marxis mendidik kaum buruh agar terlibat secara aktif dalam politik; dan merebut kekuasaan negara dengan "segala sarana yang memungkinkan"[8].
Marxisme, dengan demikian, menekankan pada keterorganisiran
kelas proletariat melalui serikat-serikat buruh atau partai berbasis kelas pekerja. Sedangkan anarkisme,
karena menentang segala bentuk otoritas, juga menentang segala bentuk
organisasi baik dalam bentuk serikat ataupun partai. Akibat konflik ini, kaum
anarkis dan kaum marxis yang tadinya berada dalam satu organisasi,
Internasional Pertama, akhirnya berpisah dan memilih jalur yang dipercayainya
masing-masing.
Untuk para Kritikus
Gerakan Kiri
Apa kesimpulan dari semuanya? Shindu, dengan demikian, pertama, telah mendistorsi habis-habisan
Marxisme dengan pembacaan dan labelisasi yang serampangan itu; kedua, memaksa Marx (dan Lenin) mengucapkan
apa yang tak pernah ia ucapkan, sebuah pembohongan otoritas yang luar biasa!; ketiga, melalui tulisannya yang di awal paragraf bertujuan untuk mengkritik penggunaan dan penyalahgunaan nama dan terminologi Marxisme, Shindu justru tidak pernah beranjak kemana-mana karena ia sendirilah yang terjebak pada penyalahgunaan nama dan terminologi marxisme itu sendiri.
Tapi tenang kawan, kau tidak sendiri, sudah banyak kami temukan orang-orang yang sama –yang berusaha untuk melabeli, yang menghakimi (atau lebih tepat disebut nyinyir?), marxisme dan gerakan kiri pada umumnya tetapi terjatuh pada jurang kesia-siaan karena hal yang sama juga: terjebak pada penyalahgunaan nama dan terminologi marxisme. Selain itu, acapkali kita temukan pihak yang mengkritik marxisme tetapi tidak pernah mempelajari sungguh-sungguh apa itu marxisme, dengan kata lain, mereka mengkritik marxisme tidak secara imanen. Kritik yang tidak imanen inilah yang membuat banyaknya tulisan sampah yang selalu mengulang-ulang doktrin yang mempercayai inti marxisme adalah menyebarkan gagasan ateisme. Pernah juga saya temui tulisan seseorang yang bahkan mendefinisikan filsafat materialisme sebagai filsafat yang mengajarkan penumpukan kekayaan materialis sebagai sarana eksistensi diri manusia. Ada yang seperti itu? ada!
Tapi tenang kawan, kau tidak sendiri, sudah banyak kami temukan orang-orang yang sama –yang berusaha untuk melabeli, yang menghakimi (atau lebih tepat disebut nyinyir?), marxisme dan gerakan kiri pada umumnya tetapi terjatuh pada jurang kesia-siaan karena hal yang sama juga: terjebak pada penyalahgunaan nama dan terminologi marxisme. Selain itu, acapkali kita temukan pihak yang mengkritik marxisme tetapi tidak pernah mempelajari sungguh-sungguh apa itu marxisme, dengan kata lain, mereka mengkritik marxisme tidak secara imanen. Kritik yang tidak imanen inilah yang membuat banyaknya tulisan sampah yang selalu mengulang-ulang doktrin yang mempercayai inti marxisme adalah menyebarkan gagasan ateisme. Pernah juga saya temui tulisan seseorang yang bahkan mendefinisikan filsafat materialisme sebagai filsafat yang mengajarkan penumpukan kekayaan materialis sebagai sarana eksistensi diri manusia. Ada yang seperti itu? ada!
Meskipun kualitas konter kritik yang dibuat Shindu untuk
pamflet kami saya rasa tidak sebanding, tetapi usaha tersebut bagi saya adalah permulaan yang baik
untuk membangkitkan kembali diskursus-diskursus akademik yang telah mati di
kampus kita. Selain itu, setelah membaca ulang tulisan yang terdiri dari sekitar dua ribu empat ratus kata ini, kok ya lagi-lagi saya rasa tidak sebanding
dengan empat paragraf argumentasi (jika bisa dikatakan begitu) yang ditulis Shindu? Tulisan ini memang di beberapa bagian terasa pedas. Tak apalah, saya
justru sangat mengharapkan ada tulisan balasan lagi atas tulisan saya ini,
tentu dengan bumbu cabai yang lebih banyak agar rasa menjadi lebih pedas!
[1] Lihat Michael
Newman. Socialism: A Very Short
Introduction. New York: Oxford University Press, 2005. Hlm. 1-3.
[2] Frederick
Engels. Socialism: Utopian and Scientific.
Peking: Foreign Languages Press, 1975. Hlm 46
[3] Ibid.
[4] Karl Marx. Kata Pengantar Pada Sebuah Sumbangan Untuk
Kritik Terhadap Ekonomi Politik. [internet]. Diakses dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1859/pengantar-kritik.htm
pada 24 November 2013
[5] Ibid.
[6] V. I. Lenin. Negara dan Revolusi.ECONARCH Institute,
2009. Hlm 10
[7] Mohamad Zaki
Husein. Imperialisme Sebagai Tahap
Monopoli dari Kapitalisme. [internet]. Diakses dari http://indoprogress.com/lbr/?p=1432
pada 24 November 2012
[8] George Novack. Sejarah Internasional Pertama Dan
Internasional Kedua. [internet] diakses melalui http://www.marxists.org/indonesia/archive/novack/001.htm
pada 25 November 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar