Sabtu, 21 Desember 2013

"Ibu Lahirkan Janin Janin Perlawanan!"

Pengantar Redaksi

Tulisan lama ini dibuat oleh Wilson, seorang aktivis PRD yang didakwa atas Kasus Subversiv di Rezim Orde Baru. Dalam tulisan yang sangat menyentuh ini, Wilson menunjukkan rezim otoritarianisme Suharto bahkan telah memporakporandakan relasi yang ada dalam sebuah keluarga -khususnya dalam tulisan ini antara ibu dan anak.  Meskipun tulisan ini merupakan tulisan lama, namun esensi tulisan inilah yang membuatnya selalu relevan disegala zaman. Selain itu, kami memuat ulang tulisan ini agar menjadi bahan renungan kita semua, khususnya generasi muda, agar tak alpa sejarah, apalagi menganggap Suharto pantas jadi Pahlawan Nasional seperti apa yang dilakukan Ketua dan Wakil Ketua BEM UI 2014 yang baru saja terpilih.



Tulisan yang merupakan buah kontemplasi (renungan) penulis yang digarap di Rutan Kejagung. Dengan baik, Wilson merefleksikan pergolakan batinnya dalam kalimat demikian:

"Bahwa kekuasaan yang despotik tidak hanya menghancurkan kedaulatan rakyat, tapi lebih ekstrim lagi ia telah mengganggu simbiosis emosionil antara keluarga, antara ibu dan anak."

***

Waktu menunjukkan pukul 16.00 sore. Hari itu Kamis, 1996, ibu saya menjenguk saya di Tahanan Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan. Di ruang besuk saya temui ibu saya yang berdiri mematung, wajahnya tampak lebih putih dari biasanya.

Di bawah matanya tampak tumpukan lengkung-lengkung hitam. Ia pasti kurang tidur. Meskipun mencoba untuk tetap tenang, gumpalan-gumpalan hawa hangat menggumpal di kantung mata. Pertemuan seperti ini tidak pernah saya bayangkan.

Di depan, berdiri ibu saya yang kini berusia 55 tahun. Di belakang saya, seorang sipir penjara mengawasi dengan tatapan dingin. Beberapa rambut uban ibu menjuntai keluar dari kerudungnya yang berwarna hitam. Inilah untuk pertama kalinya saya bertemu ibu saya dalam kondisi sebagai manusia yang tidak merdeka. Kekuasaan politik telah merenggutnya dari saya dan ibu saya. Pertemuan singkat selama 30 menit, dengan tanpa banyak dialog berakhir. Singkat memang, tapi cukup untuk membagi beban yang ditaruh oleh penguasa.

Setiba kembali di sel saya yang berukuran 4x4 m, satu hal saya rasakan, bahwa betapa pun penderitaan dipaksakan oleh situasi, rejim telah gagal untuk memenjarakan cinta saya pada ibu saya. Pilihan-pilihan sulit bekerja pada memori saya. Penjara telah menyediakan waktu yang luas untuk mengingat-ingat masa lalu, semua tampak hidup dan kembali menjadi baru.
Bagi seorang aktivis, adalah jauh lebih siap menghadapi resiko penjara, dicabut hak asasinya, tapi tidak untuk menatap sepasang mata kuatir dari ibu. Kontradiksi aneh mulai muncul silih berganti. Keluarga saya yang sederhana harus demikian banyak menanggung beban dan semuanya harus ditimpakan oleh aktivitas politik melawan penguasa. Memang, saya terhitung cepat untuk menuntaskan dengan mencoba menghibur diri: "Ini adalah proses menuju kualitas manusia baru."

Pilihan-pilihan alternatif tidak banyak bagi seorang tahanan, apa pun kesimpulan yang diambil ia akan selalu tetap ragu dengan pilihannya sendiri. Konflik internal ini memang rumit, hanya kita sendiri yang terlibat di dalamnya.

Menceritakan pada kawan memang membuat lega untuk sementara, tapi tidak melenyapkannya. Pada Budiman, aku tulis surat untuk saling menguatkan "posisi politik" masing-masing, agar sedikit terbebas dari labirin batin. "Keluarga kita memanggul beban berat karena kekejian rejim atas kita. Memang mereka tak tahu politik, tapi kini mereka tahu politik. Keluarga bisa menguatkan, bisa juga menciptakan kontradiksi. Tapi apapun vonis dan propaganda rejim, aku yakin mereka akan selalu ada di pihak kita."

Ibu saya bukan lah Benazir Bhutto, Aung San Suu Kyi, Cory Aquino, Megawati atau Indira Gandhi yang sehari-hari bergumul dengan politik. Ibu saya adalah seorang pensiunan guru, yang kurang lebih 35 tahun menjadi guru Taman Kanak-kanak. Melayani suaminya yang lumpuh terkena stroke sejak 3 tahun yang lalu, dan anak bungsunya, wanita satu-satunya yang sedang mengalami perawatan paru-paru basah. Ia tidak punya motif apa-apa tentang politik. Tapi atas semua tuduhan dan fitnahan penguasa, ia berani berkata: "mereka adalah bohong belaka".

Adalah dari rahim para ibu-ibu, para pejuang demokrasi lahir. Mereka lah yang merasakan sakit dan bertaruh nyawa untuk sebuah kehidupan yang baru lahir. Lalu akan kah mereka diam melihat para penguasa merampas buah hati mereka, dan bahkan hendak menjatuhkan hukuman seumur hidup atau mati sebagai tuntutan maksimal pasal antisubversi?

Ibu saya tahu bahwa Orde Baru (baca:Orsoe) adalah mahakuat dan tega bertangan besi. Ibu saya yang berperawakan kecil dengan banyak uban di kepalanya berkata dengan perlahan namun penuh kekuatan.

"Tidak! Tidak akan saya biarkan seorang pun, kekuasaan apa pun hendak merampas kehidupan yang dititipkan Tuhan melalui rahim saya. Darah dan nyawa saya ada di dalam daging dan kehidupan anak saya. Bila hidup anak saya hendak dirampas, apalagi oleh penguasa yang sewenang-wenang, saya akan berdiri di depan para penguasa."

Saya terkejut. Saya mengenal ibu selama 28 tahun usia saya. Ia seorang lembut yang mencubit pun tidak pernah berani ia lakukan. Belum pernah saya mendengar kalimat seperti itu sebelumnya. Mana mungkin penguasa militer yang didukung modal, hukum dan birokrasi akan takut melawan ibu saya yang lembut ini? Ini merupakan pertarungan yang tak seimbang secara fisik: Orde Baru versus ibu saya.

Berhadapan dengan militer bukan merupakan pengalaman baru bagi ibu saya. Tangan-tangan jahat kekuasaan sudah berulangkali datang meneror rumah saya. Pada bulan Agustus 1994, sekitar pukul 23.00, 4 orang dari BIA datang ke rumah bersama Pak RT. Kebetulan saya sedang di rumah menjenguk ayah saya yang terkena stroke. Mereka menemui ibu saya dan meminta agar anaknya ikut bersama mereka ke BIA.

Ibu saya bertanya, "Ada keperluan apa?" Dengan tenang dan dingin dijawab, "Kami ingin bicara dengan Wilson, harap ibu serahkan dia."

Saya yang sedang di kamar berpikir cepat untuk meloloskan diri. Orang BIA masih mengancam ibu saya, bahwa bila Wilson tidak diserahkan, ia akan kerahkan polisi untuk menangkapnya. Tepat pada saat itu saya sudah lolos dari pintu belakang rumah dan menghilang untuk waktu yang cukup lama. Ketika saya ke rumah 3 bulan kemudian, ibu saya mengatakan bahwa ia diancam untuk menyerahkan anaknya pada BIA. Sang intel berbaik hati meninggalkan peta lokasi BIA di Ragunan.

Yang ke dua kalinya adalah paska aksi 7 Desember 1995, di mana saya yang memimpinnya. Pada tanggal 12 Desember, sekitar pukul 23.00 WIB, sebuah hardtop berhenti di depan rumah saya. Tiga orang laki-laki kekar berambut cepak turun dan mengetuk pintu pagar. Ibu saya yang sedang tidur, bangun dan keluar pintu pagar. "Anda siapa?" kata ibu saya.
Seorang intel menjawab, "saya temannya Wilson, Bu. Malam ini ada rapat buruh, Wilson harus ikut, kami bertugas menjemputnya!"

Ibu saya sudah curiga bahwa mereka adalah intel militer. Ia jawab, "Wilson tidak pernah pulang ke rumah mungkin dia ada di Bandung, Yogya atau entah di mana, saya tidak pernah tahu." Sang intel memaksa untuk masuk. Ibu saya langsung berteriak. "Kalian pasti tentara! Wilson tidak ada di sini!"

Ia lalu masuk ke rumah dan mengunci pintu. Dari balik tirai ia melihat tiga orang intel itu diskusi sejenak. Lalu masuk mobil dan lenyap.

Ternyata provokasi memang tak henti-henti ke rumah saya. Pada Januari 1996, 2 orang polisi yang mengaku dari Polda datang ke rumah siang hari. Ia mengatakan diutus untuk menjemput Wilson untuk diinterogasi karena dianggap telah menghina kepala negara dalam aktivitas politiknya. Ibu saya yang sudah tahu prosedur hukum menanyakan surat tugas dan pelanggaran hukum mana yang dilanggar. Mereka menyerahkan surat panggilan dari bagian Reserse Polda untuk menyidik saya karena melanggar Pasal 134 KUHP. Saya tahu seminggu kemudian. Dua minggu kemudian surat panggilan kedua diantar oleh polisi berpakaian preman. Ibu saya yang menerimanya. Saya tidak pernah melayani panggilan tersebut. Kalau mereka mau menangkap saya, aparat tahu bahwa sava ada di Tebet, sekretariat PPBI.

Aparat intelijen dari BIA dan Bakorstanas kembali datang paska Kerusuhan 27 Juli setelah Menko Polkam mengumumkan bahwa PRD yang menunggangi kerusuhan 27 Juli 1996.

Pada 30 Juli, intel dari Bakorstanas/BIA datang ke rumah malam hari sekitar pukul 20.00. Ibu saya menemuinya di ruang tamu. Sang intel langsung memberitahu bahwa Wilson diduga terlibat Kerusuhan 27 Juli.

"Wilson tidak pernah pulang ke rumah," kata ibu saya. Sang intel mengancam bahwa ibu bisa ditahan bila melindungi tersangka. Ia lalu meminta nama saudara dan alamatnya sekaligus dengan memaksa.

Ibu saya menjawab, "Wilson tidak pernah dekat dengan saudaranya, mustahil ia bersembunyi di sana."

Akhirnya ibu saya memberikan alamat kakaknya. Ia meminta nama dan pangkat sang intel Bakorstanas dan mengatakan, "Abang saya kena penyakit jantung, jangan sampai ada apa-apa dengan dia. Bila terjadi sesuatu Bapak akan saya tuntut ke pengadilan." Sang intel Bakorstanas lalu pergi.

Keesokan harinya datang satu orang yang mengaku dari Kodam, malam hari ke rumah. Rosa, adik saya yang sedang dirawat akibat paru-paru basah menghadapinya di pintu gerbang. Ia membantah, "Teman Bapak sudah datang kemarin, sana tanya sama dia. Wilson tidak ada di sini." Sang intel kaget. Rosa membanting pintu dan menguncinya. Sang intel lalu pergi.

Keesokan harinya, 2 Agustus, satu regu intel dari Resmob Polda Metro Jaya datang ke rumah untuk melakukan penyitaan. Setelah menunjukkan surat tugas mereka masuk ke kamar saya, mengambil fotonya, merekam seluruh keluarga saya dengan video handy-cam. Empat orang menyeleksi buku-buku saya dan menyita kurang lebih 30 buku, puluhan majalah Prisma, fotokopi buku dan artikel. Setelah penyitaan itu, Mayor Budi yang menjadi pimpinan berkata, "Ibu harus menyerahkan anak ibu bila dia pulang. Ia harus ditahan. Anak ibu kelewat banyak baca buku, pasti dia terpelajar."

Kejutan dari penguasa belum selesai. Pada 10 September 1996, saya dan Anom tertangkap di Ungaran, Jawa Tengah, dijebak oleh informan yang menyusup ke PDI, namanya Rudi.

Dari Semarang, saya dan Anom dibawa ke Polda dengan pesawat pada 12 September 1996. Pada 14 September, ibu saya didatangi orang LBH, mengabarkan bahwa Wilson sudah tertangkap. "Tapi kami tidak tahu ia akan ditahan di mana, kemungkinan dibawa ke Polda, Kejagung atau BIA," ujar orang LBH tersebut. Ibu saya langsung membuat surat kuasa hukum pada TPHKI.

Keesokan harinya, TPHKI, ibu Anom dan ibu saya, berusaha mencari informasi tempat penahanan. Kejagung dan Polda sama-sama menyatakan tidak tahu, padahal mereka tahu saya ditahan di divisi Resmob Polda. Di sana saya baru tahu bahwa Wignyo juga ditahan. Akhirnya pada tanggal 16 September, kami ditemukan di Polda. Ibu saya cukup tegar. Ia tidak menangis atau gugup, malah terlihat tenang dan pasrah. Ia menanyakan kesehatan, pakaian dan makanan selama ditahan.

Saya tahu, intimidasi dan teror yang sudah berulangkali atas ibu saya, telah membuat ia sangat tegar dan kuat, tanpa mengurangi kelembutan dan kepolosannya atas politik. Setelah bertemu kurang lebih 15 menit, kami dipisahkan kembali. Tanggal17 September sore, kami dipindah ke Rutan Kejagung RI. Pada 19 September 1996, kembali saya bertemu dengan ibu saya.

Belakangan, Ester, pengacara saya mengatakan bahwa ibuku sempat gugup sebentar dan berupaya untuk tampil tegar. Ia menangis di depan Ester, tapi tidak di depan saya. Kesedihannya membatu, pasrah dan merelakan semuanya. Rejim ini telah membuatnya menjadi keras hati.

Setelah pertemuan pertama, saya berpikir sendiri di dalam sel. Adil kah penderitaan ini harus dipikul ibu dan keluarga saya? Apakah pergerakan selalu akan jatuh pada kisah tragis kehancuran keluarga? Saya mencoba menjawab bahwa keduanya adalah penting, tapi dalam syarat-syarat kekuasaan yang represif politik dan keluarga menghadapi resiko yang sama.

Pukulan pada gerakan demokrasi, penangkapan atas saya, telah membuat ambruk bangunan lainnya, yaitu keluarga. Sebab-sebab asalnya adalah kekuasaan yang menindas. Bila dicari kambing hitamnya, rejim Orba-lah dalangnya.

Kekerasan saya untuk tetap tabah, tidak dapat menghilangkan kesan bahwa ibu saya yang paling berat bebannya. Untung lah saya mendapat jawaban yang lebih aspiratif dari buku Nelson Mandela. Ternyata orang sehebat Mandela, yang ditahan 27 tahun di penjara, dan tetap optimis dengan keyakinan politiknya, tidak dapat menanggung beban psikologis atas ibu kandungnya. Meski pun rakyat Afsel telah bebas di bawah pimpinannya, tetap saja ia merenungkan ketidak hadiran ibunya, sebagai bagian yang belum terjamah pesta rakyat menyambut kebebasan.

Nelson Mandela orang yang hebat dan luar biasa itu, ternyata mengalami kontradiksi terberatnya di penjara, bukan dengan penguasa apartheid, tapi mendengar penderitaan yang harus dipanggul ibunya. Ia menulis dalam Perjalanan Panjang Menuju Kebebasan:

"Saya merenungkan _ bukan untuk pertama kalinya _ apakah seorang bertindak benar dengan mengabaikan kebahagiaan keluarganya sendiri demi memperjuangkan kebahagiaan orang lain. Apakah ada yang lebih penting daripada merawat ibu sendiri yang semakin tua? Apakah politik merupakan alasan belaka untuk mengabaikan tanggung jawab sendiri, alasan yang disebabkan ketidakmampuan memberi sesuai keinginan? Tapi saya tidak meragukan bahwa pikiran saya benar.

Saya bukan mengatakan bahwa perjuangan kebebasan lebih bermoral daripada memenuhi kebutuhan keluarga sendiri. Bukan seperti itu kedua tujuan itu hanya berbeda."

Yang mencemaskan saya adalah lebih pada aspek ekonomis. Keluarga saya dari kelas menengah rendahan yang cukup terbiasa hidup sederhana dan pas-pasan. Dengan suami yang lumpuh dan anak perempuan yang sedang menjalani perawatan akibat penyakit paru- paru basah yang diidapnya, ibu saya tentulah seorang yang sungguh luar biasa dapat bertahan hingga saat ini. Ia berkata pada saya, "Bila orang lain mungkin sudah menjadi gila." Tapi ia yakin, Tuhan, rakyat dan kebenaran ada di pihak anaknya. Itu saja yang membuatnya mampu terus bertahan.

Aku sendiri berpikir, begitu banyak intimidasi dan teror yang dialami ibu saya, dan ia selalu sanggup menghadapinya, dan ini berarti ia telah terus tumbuh menjadi "kualitas manusia baru". Kualitas manusia di atas rata-rata. Untuk itu aku boleh bangga. Namun langkah-langkah sulitnya di luar sana pastilah tetap berat, dan itu tidak dapat membuat tenang sentimental saya pada ibuku.

Kembali buku Nelson Mandela aku baca dan kembali ditemukan kalimat-kalimat yang aku pikir makin menunjukkan bahwa Mandela adalah manusia biasa di hadapan ibunya, meskipun "orang hebat" bagi dunia. Ia menulis untuk mengenang ibunya dari penjara. Saat itu 1968, sebuah telegram sampai ke penjara Robben Island. Isinya singkat: "Ibu telah meninggal dunia." Mandela mencatat rasa bersalahnya,

"Kehidupannya sangat sulit. Saya mampu ikut menyokong kehidupannya ketika saya bekerja sebagai pengacara, tetapi setelah saya masuk penjara saya tidak bisa menolong ia lagi. Saya tidak pernah memberikan perhatian yang cukup memadai kepada ibu saya... Masalah-masalah yang dihadapinya, kemiskinannya, membuat saya kembali mempertanyakan apakah saya telah mengambil jalan yang benar. Teka-teki yang sava hadapi selalu begini: Apakah saya telah mengambil pilihan yang benar dengan mengangkat kesejah- teraan rakyat saya di atas kesejahteraan keluarga saya sendiri? Ibu saya lama sekali tidak mampu memahami komitmen saya kepada perjuangan kami. Keluarga saya tidak pernah meminta dan tidak pernah ingin terlibat dalam perjuangan tetapi keterlibatan saya telah menghukum mereka."

Dengan Wignyo, saya berdiskusi kecil tentang beban psikologis dan ekonomis dari keluarga kami. Dan meskipun hanya diskusi untuk mengakali "rasa bersalah" kami dan mengutuknya pada rejim, tetapi kami merasa bahwa tepat untuk mengisolasi kontradiksi ini dan mengecohnya dengan "dogma" perjuangan. Menjadi "pesakitan borjuis kecil" adalah jauh lebih berbahaya ketimbang "pesakitan politik", apalagi di penjara.

Di sini hanya kami sendiri yang harus memilih, kadang-kadang kita memang "terpaksa" untuk menjadi "lebih keras", tanpa menutupi sisi lain yang lebih sentimentil. Dan ini berarti kita telah mengalahkan "kemauan" rejim atas beban-psikologis yang ia timpakan. Jangan sampai kita dikalahkan berlipat ganda oleh penguasa.

Secara fisik kami telah ditundukkan, secara psikologis kami tidak biarkan mereka juga menjamah perasaan kami. Kemenangan atas "diri sendiri" serasa seperti kemenangan besar di sini. Demoralisasi harus dihindari dan arena main demoralisasi adalah pada soal emosional. Ini bukan berarti harus jadi "sekeras batu", bukan itu maksudnya. Kami hanya membatasi ruang geraknya, karena permainan emosi agak "vivere pericoloso" bagi semangat kami. Membatasinya adalah jalan terbaik. Bukankah Mandela "anak emas sejarah" itu telah menentukan pilihannya (tanpa menuntaskan segi sentimentilnya). Tentu saja, ia orang besar, kualitasnya pastilah di atas rata-rata manusia lainnya. Tapi tidak dalam soal ibunya, ia tak lebih dari orang biasa. Pembebasan rakyatnya semakin membuatnya emosionil,

"Tetapi saya selalu kembali pada jawaban yang sama. Di Afrika Selatan sulit bagi seseorang untuk mengabaikan kebutuhan rakyat, walaupun itu akan mengorbankan keluarganya sendiri. Saya telah mengambil pilihan, dan pada akhirnya ibu mendukung saya. Tetapi kenyataan itu tidak mengurangi kesedihan saya, karena saya tidak mampu membuat kehidupannya lebih nyaman."

Dari penjara aku semakin menyimpulkan sesuatu tentang rejim Orba. Bahwa kekuasaan yang despotik tidak hanya menghancurkan kedaulatan rakyat, tapi lebih ekstrim lagi ia telah mengganggu simbiosis emosionil antara keluarga, antara ibu dan anak. Dan untuk itu tidak ada obatnya yang paling manjur selain memperbaiki sistem yang menindas ini terlebih dahulu. Demokrasi bukan hanya sekedar bangunan politik, demokrasi juga menjadi syarat-syarat afeksi dan ketentraman keluarga. Totaliter adalah lawannya, totaliterianisme adalah musuh semua keluarga.

Pada 22 Desember, ibu-ibu Darma Wanita Kejagung R1 merayakannya dengan pesta drumband dan pameran baju kebaya. Kue dan makanan dibagi-bagikan pada para sipir dan Polisi Militer, tidak untuk tahanan politik. Untuk menambah semarak "Hari Ibu" aku berteriak di depan sel pada tiap-tiap ibu yang liwat. "Hidup Hari Ibu! Viva Ibu-Ibu!" Bukan kue yang didapat, ibu-ibu itu pada kaget dan melengos ketakutan (Dasar nasib!). Inilah nasib ibu-ibu di bawah kekuasaan Orba (baca:Orsoe).

Tanpa mengurangi rasa hormat pada mereka dan maklum atas kepolosannya, mereka telah menjadi perkakas ideologi negara. Ibu- ibu ini mungkin adalah ratu rumah tangga yang baik, pandai, berkebaya atau pintar buat kue. Tapi mereka sebetulnya telah dibutakan oleh para "monster kekuasaan" yang mengasuhnya. Jaksa Agung dan pejabat yang berpidato memuji-muji kaum ibu hari itu, adalah pejabat yang sama yang telah menjerat "anak-anak" PRD dari kasih sayang ibunya. Sungguh kemunafikan yang menjijikkan, membuat upacara "pemujaan" pada kaum ibu, pada saat yang sama merampas secara paksa kasih-sayang ibu dan anak-anaknya. Kejahatan dan kepalsuan telah dimainkan dengan norak dan tanpa malu.

Penyidikan kami selesai, kejaksaan dalam proses pemberkasan dan penyusunan Surat Dakwaan. Ibuku kini menjadi pengamat politik yang teliti. Pertemuan 30 menit tiap hari Kamis dipenuhi dengan berita politik versi ibu-ibu dari tv dan koran-koran. Menurut ibuku, pemilu hanya pesta buang uang, penguasa sudah menang sebelum bertanding dengan cara-cara yang curang. Menurut ibuku, Syarwan Hamid adalah tukang fitnah belaka yang harus mempertanggungjawabkan semua ucapannya.

Menurut ibuku, hukum telah dimanipulasi untuk kepentingan kekuasaan politik. Menurut ibuku, Pancasila dan UUD '45 telah banyak diselewengkan. Menurut ibuku, penguasa takut pada PRD, karena PRD menyatakan suara rakyat. Menurut ibuku, para koruptor harus dijerat pasal subversi. Menurut ibuku, kerusuhan di Situ- bondo adalah akibat kesenjangan sosial. Menurut ibuku, para tetangga tidak peduli dengan propaganda rejim.

Saya sendiri sebetulnya sudah tahu berita politik versi ibu- ibu tersebut melalui para pengacara. Tapi daya tariknya lain dengan versi ibu-ibu PRD. Aku baru sadar, persidangan kami, perlakuan penguasa atas anak-anaknya, telah menumbuhkan kesadaran politik baru, yang tanpa disadari telah dididik oleh situasi represi.

Penguasa tampaknya guru yang baik, buat kaum ibu. Ketelitian seorang ibu, dengan kepolosannya, telah menangkap borok-borok penguasa dengan caranya sendiri. Aku tahu tidak ada motif politik dari semua berita yang disampaikan. Ibu-ibu tetap ibu-ibu di tengah cerita politik mereka masih sempat bertanya, "Sehari sikat gigi berapa kali? Itu baju kotor sekali," atau "Sudah mandi belum?"

Wajah panik dan kuatir belum lenyap dari sorot mata ibuku setiap jam bezuk berakhir. Selalu ia menasehati, "tetap tabah dan rajin shalat dan jaga kesehatan." Seolah bebannya jauh lebih ringan di dunia luar sana. Kenangan wajah ibu di setiap akhir bezuk membuat kemarahan pada para penguasa semakin berlipat- lipat. Belum pernah kebencianku pada penguasa mencapai puncaknya, tidak pada demonstrasi atau statement, tapi pada menit terakhir ketika sipir menegur ibuku, "jam berkunjung sudah habis."

Bulan Januari nanti adalah bulan ke empat aku ditahan. Musim hujan bulan Desember seperti perwujudan perasaan ibu-ibu PRD. Kekuasaan Orba masih tetap bercokol dengan segala kesewenangannya. Dan ibu-ibu PRD tetap tak bergeming membela anak-anaknya.

Sejarah ibu-ibu PRD adalah sangat luar biasa, adalah sebuah energi yang tak mungkin dapat berkurang dan dikalahkan, bahkan oleh Orba sekali pun. Ibu-ibu kaum tertindas telah menyumbangkan banyak kehidupan anaknya untuk melawan penindasan. Peran mereka sering tidak tercatat, perlawanan mereka mengambil bentuknya sendiri.

Di sini, di bawah kekuasaan Orba, cepat atau lambat, bila penindasan tak juga dihentikan, jutaan kaum ibu akan berlomba "melahirkan" janin-janin perlawanan dan untuk itu penjara tidak akan pernah cukup untuk menampungnya. Orde Baru harus hati-hati karenanya. Pengalaman ibu-ibu PRD mengingatkanku pada sebuah kisah:

Seorang pendeta di pedesaan mengunjungi rumah seorang ibu anggota jemaatnya. Sambil minum kopi ia menjawab beberapa pertanyaan yang diajukan oleh si ibu itu.

"Mengapa Tuhan sering mengirimkan wabah kepada kita?" tanya si ibu.

"Ya, ya, ya..." jawab pendeta, "kadang-kadang orang menjadi begitu jahat, hingga perlu disingkirkan. Maka Tuhan mengijinkan datangnya wabah."

"Tetapi," tukas si ibu, "mengapa begitu banyak orang baik juga disingkirkan bersama yang jahat, salah satunya adalah anak saya?" 

Akhir kata, Selamat Hari Ibu! Salam buat semua ibu-ibu PRD. ###

Tidak ada komentar:

Posting Komentar