Oleh Adrian Danar W
Mahasiswa FT UI
Pembicaraan soal isu migas seringkali mentok di isu
kenaikkan harga BBM. Entah karena memang cenderung lebih mudah untuk disikapi
(cukup menyatakan setuju atau tidak), atau mungkin karena efeknya sangat mudah
dirasakan oleh semua orang. Begitu kabarnya sudah dikunyah oleh waktu, maka
berakhir juga perhatian kita terhadapnya. Lupa sudah semuanya. Apa kita ingat
salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi? Ya, konsumsi yang
melebihi batas yang dapat ditanggung oleh APBN. Sekarang harga BBM bersubsidi
benar-benar sudah naik. Waktu berlalu, dan ketika semua orang lupa, pemerintah
lalu membuat kebijakan untuk memfasilitasi penjualan mobil murah. Kalau mobil
murah itu bahan bakarnya air mungkin tidak masalah, tapi kenyataannya mobil
murah ini juga berbahan bakar BBM bersubsidi.
Saya masih ingat waktu itu harus memberi saran mengenai
sikap yang harus diambil BEM FTUI, apakah harus setuju atau tidak dengan
kenaikkan harga BBM. Pertimbangan menitik beratkan pada 2 hal paling mendasar.
Hal paling mendasar pertama adalah potensi minyak di Indonesia itu sendiri.
Data menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk sebagai 30 negara dengan
cadangan minyak terbesar, Indonesia juga sudah menjadi net importer atau melakukan impor minyak pada tahun 2004 dan melalukan
impor minyak mentah atau crude oil
pada awal tahun 2013. Pertimbangan kedua waktu itu adalah APBN yang harus
memikul subsidi BBM, yang porsinya bahkan sudah lebih besar daripada alokasi
untuk sektor pendidikan sebesar 20%. Dengan kata lain, subsidi BBM dalam porsi
APBN memang harus dikurangi, namun apakah harus dengan menaikkan harganya?
Karena tulisan ini tidak berkonsentrasi pada persoalan
kenaikkan harga BBM, maka singkat cerita, akhirnya sikap yang saya sarankan
adalah menolak harga BBM naik namun membuat peraturan yang melarang mobil
pribadi mengkonsumsi BBM bersubsidi, kemudian anggaran yang dapat dihemat
digunakan untuk melakukan investasi pada sektor-sektor yang mendukung
pengembangan energi yang dapat menggantukan BBM seperti pembangunan
infrastruktur gas serta pengembangan energi baru & terbarukan. Mengapa hal
ini penting? Sebab jika kita sudah siap menggunakan gas atau energi lain yang
lebih murah dari minyak sehingga dapat digunakan secara massal, maka pengaruh
dari mahalnya harga BBM tidak akan terlalu besar seperti sekarang ini.
Mudahnya, kita mempersiapkan diri menggunakan energi yang lebih murah dari
minyak sehingga masyarakat bisa mendapatkan energi murah serta APBN tidak
terbebani. Betapa idealnya keadaan itu.
Kemudian, beberapa hari menjelang keputusan kenaikkan harga
BBM, BEM se-UI mendatangi fraksi-fraksi di DPR untuk menyampaikan sikap
mengenai isu ini. Di sela-sela perdebatan retorika yang terjadi, ada satu hal
penting yang saya simpulkan: Anggaran yang dihemat saat menaikkan harga BBM
seluruhnya akan digunakan untuk “meredam kemarahan masyarakat” dengan
memberikan BLSM dan sejenisnya. Tidak ada sepeser pun dari anggaran itu yang
digunakan untuk berinvestasi di sektor energi alternatif. Akhirnya BBM sekarang
benar-benar naik. Mereka yang pro merasa memang itulah yang harus terjadi.
Mereka yang kontra dengan mensyaratkan “bantalan sosial” bagi masyarakat kecil agar
puas. Berhasilah pemerintah membuat semua merasa tidak keberatan. Tapi, apa
masalah migas di negeri ini sudah selesai? Jangankan selesai, masalah justru
semakin buruk. Karena sejak awal niat melakukan pengurangan subsidi BBM bukan
untuk membenahi sektor energi, maka tidak heran sesat berpikir terjadi. Hanya
beberapa bulan kemudian mobil yang akan menambah konsumsi minyak, yang katanya
membebani subsidi BBM, dijual murah.
Lantas bagaimana cara menyelesaikan persoalan migas? Sebagai
bangsa yang pelupa, banyak hal yang harus diluruskan dari pandangan kita
terhadap isu migas. Ini adalah pelurusan logika yang pertama: jangan pernah
berpikir bahwa klausula “sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat” pada pasal 33
UUD 1945 sama artinya dengan “membagi-bagikan energi semurah mungkin kepada
masyarakat, tidak peduli digunakan untuk apa dan seberapa besar anggaran negara
yang harus dikeluarkan untuk membuatnya murah”. Migas itu harus kita kuasai
bukan untuk dibagi-bagikan agar bisa digunakan secara boros, bukan juga
dijadikan komoditas dan diekspor agar mendapatkan pemasukan, melainkan sebagai
barang strategis yang akan memajukan perekonomian. Perekonomian yang maju
kemudian akan mengembangkan industri di dan dari Indonesia dan memperbesar
pendapatan negara. Pendapatan negara inilah yang kelak akan digunakan untuk
membiayai infrastruktur dasar, pendidikan, dan kesehatan secara gratis.
Ingat persoalan UU Pendidikan Tinggi yang berusaha
melepaskan tanggung jawab pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi? Pihak
yang pro beralasan bahwa APBN memang tidak akan cukup memikul seluruh biaya
pendidikan tinggi. Memang betul, jika dihitung-hitung APBN kita memang tidak
akan sanggup melakukan hal itu. Tapi pertanyaannya, bagaimana bisa APBN kita
begitu kecil sehingga kita tidak sanggup menggratiskan biaya pendidikan dan
kesehatan? Salah satu jawabannya adalah kesalahan logika yang pertama ini,
menganggap migas sebagai barang komoditi, bukan barang strategis.
Pelurusan atas sesat logika yang kedua: pengelolaan migas
yang baik bukan diukur dari seberapa banyak migas yang diproduksi, melainkan
seberapa besar dan kuat perusahaan negara di sektor migas. Kita bisa jadikan
isu perpanjangan kontrak blok Mahakam sebagai contoh. Pemerintah selalu
mengatakan bahwa blok Mahakam lebih baik tetap dipegang oleh Total dan memperpanjang kontraknya
daripada memberikan kesempatan kepada Pertamina untuk mengelolanya. Alasannya,
pemerintah khawatir jika Pertamina yang mengelola maka produksi minyak di blok
Mahakam akan turun. Hal sebaliknya terjadi di perusahaan minyak di negara
tetangga Malaysia, yaitu Petronas. Petronas sebenarnya banyak belajar dari
Pertamina di tahun 70an.
Namun sekarang, baik dari segi jumlah minyak yang di-lifting maupun pendapatan, Petronas
lebih unggul dari Pertamina. Bagaimana bisa? Sebab mereka mengukur keberhasilan
pengelolaan migas dari seberapa besar perusahaan minyak nasional, bukan dari
jumlah minyak yang diproduksi. Jika Pertamina mendapatkan blok Mahakam, maka
peringkat Pertamina sebagai perusahaan minyak akan meningkat. Pemerintah yang
memiliki kesalahan logika kedua ini akan terus ragu menyerahkan blok Mahakam ke
Pertamina. Padahal tujuan kita seharusnya cukup jelas: memperkuat Pertamina!
Masih ada satu lagi sesat logika yang harus diluruskan:
regulasi mengenai migas tidak boleh berpandangan seolah-olah kita negara dengan
cadangan minyak yang tiada habisnya sehingga cenderung hanya bersifat defensif.
Sejak kecil kita diajarkan bahwa Indonesia itu negara yang kaya akan sumber
daya alam termasuk migas. Namun kenyatannya, minyak kita jumlahnya sangat
terbatas, sementara gas jika tidak dikelola dengan baik juga akan habis hanya
untuk diekspor untuk negara lain. Regulasi yang ada tidak boleh hanya mengatur
tentang bagaimana prosedur melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas,
melainkan juga harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkuat perusahaan
nasional di bidang migas.
Lalu bagaimana cara meluruskan logika tersebut agar
pengelolaa migas di Indonesia menjadi lebih baik? Apakah cukup belajar dengan
tekun karena tugas kita adalah belajar? Naif sekali jika masih ada yang
berpikir seperti itu. Advokasi tidak seperti ujian di kampus, begitu jawaban
anda benar semua makan otomatis mendapat nilai A. Ada sekat politik kepentingan
di lingkungan pemangku kebijakan yang harus ditembus. Terdapat satu peluang
yang bisa diperjuangkan. Dalam kurun waktu 2013-2014 ini RUU Migas yang baru
untuk menggantikan UU No 22 tahun 2001 tentang Migas sedang disusun dan akan
segera disahkan oleh DPR RI. Salah satu pasal yang mengatur tentang
perpanjangan kontrak migas masih memperbolehkan perusahaan asing untuk
memperpanjang kontrak. Belajar dari lepasnya perpanjangan kontrak blok Cepu ke tangan Exxon dan persoalan perpanjangan kontrak blok Mahakam yang
diinginkan oleh Total, maka sudah
jelas bahwa UU Migas yang baru harus melarang adanya perpanjangan kontrak. Jika
memang pemerintah tidak memiliki 3 sesat logika seperti yang sudah dijelaskan,
maka UU Migas yang baru harus mengatur bahwa kontrak migas yang sudah habis
harus diberikan kepada Pertamina untuk mengelolanya.
Terakhir, saya berpendapat bahwa kita harus bergerak bukan
karena kita mahasiswa, tapi karena kita secara sadar merasa gelisah jika ada
ketidakberesan dan ketidakadilan sehingga merasa bertanggung jawab jika tidak
turun tangan menyelesaikannya.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar