Selasa, 17 Desember 2013

Meluruskan Sesat Logika Pengelolaan Migas : RUU Migas (se)Harus(nya) Jadi Harapan

Oleh Adrian Danar W
Mahasiswa FT UI

Pembicaraan soal isu migas seringkali mentok di isu kenaikkan harga BBM. Entah karena memang cenderung lebih mudah untuk disikapi (cukup menyatakan setuju atau tidak), atau mungkin karena efeknya sangat mudah dirasakan oleh semua orang. Begitu kabarnya sudah dikunyah oleh waktu, maka berakhir juga perhatian kita terhadapnya. Lupa sudah semuanya. Apa kita ingat salah satu alasan pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi? Ya, konsumsi yang melebihi batas yang dapat ditanggung oleh APBN. Sekarang harga BBM bersubsidi benar-benar sudah naik. Waktu berlalu, dan ketika semua orang lupa, pemerintah lalu membuat kebijakan untuk memfasilitasi penjualan mobil murah. Kalau mobil murah itu bahan bakarnya air mungkin tidak masalah, tapi kenyataannya mobil murah ini juga berbahan bakar BBM bersubsidi.


Saya masih ingat waktu itu harus memberi saran mengenai sikap yang harus diambil BEM FTUI, apakah harus setuju atau tidak dengan kenaikkan harga BBM. Pertimbangan menitik beratkan pada 2 hal paling mendasar. Hal paling mendasar pertama adalah potensi minyak di Indonesia itu sendiri. Data menunjukkan bahwa Indonesia tidak termasuk sebagai 30 negara dengan cadangan minyak terbesar, Indonesia juga sudah menjadi net importer atau melakukan impor minyak pada tahun 2004 dan melalukan impor minyak mentah atau crude oil pada awal tahun 2013. Pertimbangan kedua waktu itu adalah APBN yang harus memikul subsidi BBM, yang porsinya bahkan sudah lebih besar daripada alokasi untuk sektor pendidikan sebesar 20%. Dengan kata lain, subsidi BBM dalam porsi APBN memang harus dikurangi, namun apakah harus dengan menaikkan harganya?

Karena tulisan ini tidak berkonsentrasi pada persoalan kenaikkan harga BBM, maka singkat cerita, akhirnya sikap yang saya sarankan adalah menolak harga BBM naik namun membuat peraturan yang melarang mobil pribadi mengkonsumsi BBM bersubsidi, kemudian anggaran yang dapat dihemat digunakan untuk melakukan investasi pada sektor-sektor yang mendukung pengembangan energi yang dapat menggantukan BBM seperti pembangunan infrastruktur gas serta pengembangan energi baru & terbarukan. Mengapa hal ini penting? Sebab jika kita sudah siap menggunakan gas atau energi lain yang lebih murah dari minyak sehingga dapat digunakan secara massal, maka pengaruh dari mahalnya harga BBM tidak akan terlalu besar seperti sekarang ini. Mudahnya, kita mempersiapkan diri menggunakan energi yang lebih murah dari minyak sehingga masyarakat bisa mendapatkan energi murah serta APBN tidak terbebani. Betapa idealnya keadaan itu.

Kemudian, beberapa hari menjelang keputusan kenaikkan harga BBM, BEM se-UI mendatangi fraksi-fraksi di DPR untuk menyampaikan sikap mengenai isu ini. Di sela-sela perdebatan retorika yang terjadi, ada satu hal penting yang saya simpulkan: Anggaran yang dihemat saat menaikkan harga BBM seluruhnya akan digunakan untuk “meredam kemarahan masyarakat” dengan memberikan BLSM dan sejenisnya. Tidak ada sepeser pun dari anggaran itu yang digunakan untuk berinvestasi di sektor energi alternatif. Akhirnya BBM sekarang benar-benar naik. Mereka yang pro merasa memang itulah yang harus terjadi. Mereka yang kontra dengan mensyaratkan “bantalan sosial” bagi masyarakat kecil agar puas. Berhasilah pemerintah membuat semua merasa tidak keberatan. Tapi, apa masalah migas di negeri ini sudah selesai? Jangankan selesai, masalah justru semakin buruk. Karena sejak awal niat melakukan pengurangan subsidi BBM bukan untuk membenahi sektor energi, maka tidak heran sesat berpikir terjadi. Hanya beberapa bulan kemudian mobil yang akan menambah konsumsi minyak, yang katanya membebani subsidi BBM, dijual murah.

Lantas bagaimana cara menyelesaikan persoalan migas? Sebagai bangsa yang pelupa, banyak hal yang harus diluruskan dari pandangan kita terhadap isu migas. Ini adalah pelurusan logika yang pertama: jangan pernah berpikir bahwa klausula “sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat” pada pasal 33 UUD 1945 sama artinya dengan “membagi-bagikan energi semurah mungkin kepada masyarakat, tidak peduli digunakan untuk apa dan seberapa besar anggaran negara yang harus dikeluarkan untuk membuatnya murah”. Migas itu harus kita kuasai bukan untuk dibagi-bagikan agar bisa digunakan secara boros, bukan juga dijadikan komoditas dan diekspor agar mendapatkan pemasukan, melainkan sebagai barang strategis yang akan memajukan perekonomian. Perekonomian yang maju kemudian akan mengembangkan industri di dan dari Indonesia dan memperbesar pendapatan negara. Pendapatan negara inilah yang kelak akan digunakan untuk membiayai infrastruktur dasar, pendidikan, dan kesehatan secara gratis.

Ingat persoalan UU Pendidikan Tinggi yang berusaha melepaskan tanggung jawab pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi? Pihak yang pro beralasan bahwa APBN memang tidak akan cukup memikul seluruh biaya pendidikan tinggi. Memang betul, jika dihitung-hitung APBN kita memang tidak akan sanggup melakukan hal itu. Tapi pertanyaannya, bagaimana bisa APBN kita begitu kecil sehingga kita tidak sanggup menggratiskan biaya pendidikan dan kesehatan? Salah satu jawabannya adalah kesalahan logika yang pertama ini, menganggap migas sebagai barang komoditi, bukan barang strategis.

Pelurusan atas sesat logika yang kedua: pengelolaan migas yang baik bukan diukur dari seberapa banyak migas yang diproduksi, melainkan seberapa besar dan kuat perusahaan negara di sektor migas. Kita bisa jadikan isu perpanjangan kontrak blok Mahakam sebagai contoh. Pemerintah selalu mengatakan bahwa blok Mahakam lebih baik tetap dipegang oleh Total dan memperpanjang kontraknya daripada memberikan kesempatan kepada Pertamina untuk mengelolanya. Alasannya, pemerintah khawatir jika Pertamina yang mengelola maka produksi minyak di blok Mahakam akan turun. Hal sebaliknya terjadi di perusahaan minyak di negara tetangga Malaysia, yaitu Petronas. Petronas sebenarnya banyak belajar dari Pertamina di tahun 70an.

Namun sekarang, baik dari segi jumlah minyak yang di-lifting maupun pendapatan, Petronas lebih unggul dari Pertamina. Bagaimana bisa? Sebab mereka mengukur keberhasilan pengelolaan migas dari seberapa besar perusahaan minyak nasional, bukan dari jumlah minyak yang diproduksi. Jika Pertamina mendapatkan blok Mahakam, maka peringkat Pertamina sebagai perusahaan minyak akan meningkat. Pemerintah yang memiliki kesalahan logika kedua ini akan terus ragu menyerahkan blok Mahakam ke Pertamina. Padahal tujuan kita seharusnya cukup jelas: memperkuat Pertamina!

Masih ada satu lagi sesat logika yang harus diluruskan: regulasi mengenai migas tidak boleh berpandangan seolah-olah kita negara dengan cadangan minyak yang tiada habisnya sehingga cenderung hanya bersifat defensif. Sejak kecil kita diajarkan bahwa Indonesia itu negara yang kaya akan sumber daya alam termasuk migas. Namun kenyatannya, minyak kita jumlahnya sangat terbatas, sementara gas jika tidak dikelola dengan baik juga akan habis hanya untuk diekspor untuk negara lain. Regulasi yang ada tidak boleh hanya mengatur tentang bagaimana prosedur melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi migas, melainkan juga harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkuat perusahaan nasional di bidang migas.

Lalu bagaimana cara meluruskan logika tersebut agar pengelolaa migas di Indonesia menjadi lebih baik? Apakah cukup belajar dengan tekun karena tugas kita adalah belajar? Naif sekali jika masih ada yang berpikir seperti itu. Advokasi tidak seperti ujian di kampus, begitu jawaban anda benar semua makan otomatis mendapat nilai A. Ada sekat politik kepentingan di lingkungan pemangku kebijakan yang harus ditembus. Terdapat satu peluang yang bisa diperjuangkan. Dalam kurun waktu 2013-2014 ini RUU Migas yang baru untuk menggantikan UU No 22 tahun 2001 tentang Migas sedang disusun dan akan segera disahkan oleh DPR RI. Salah satu pasal yang mengatur tentang perpanjangan kontrak migas masih memperbolehkan perusahaan asing untuk memperpanjang kontrak. Belajar dari lepasnya perpanjangan kontrak blok Cepu ke tangan Exxon dan persoalan perpanjangan kontrak blok Mahakam yang diinginkan oleh Total, maka sudah jelas bahwa UU Migas yang baru harus melarang adanya perpanjangan kontrak. Jika memang pemerintah tidak memiliki 3 sesat logika seperti yang sudah dijelaskan, maka UU Migas yang baru harus mengatur bahwa kontrak migas yang sudah habis harus diberikan kepada Pertamina untuk mengelolanya.

Terakhir, saya berpendapat bahwa kita harus bergerak bukan karena kita mahasiswa, tapi karena kita secara sadar merasa gelisah jika ada ketidakberesan dan ketidakadilan sehingga merasa bertanggung jawab jika tidak turun tangan menyelesaikannya.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar