Oleh Angin Timur
Anggota SEMAR UI
PADA
rangkaian akhir kampanye calon ketua dan wakil ketua Badan Eksekutif Mahasiswa
Universita Indonesia (BEM UI) 2014 yang dilaksanakan pada 30 November 2013 di
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), pasangan kandidat nomor
urut 3, Ivan Riansa (Ivan) dari Fakultas Teknik (FT) dan Ahmad Mujahid (Aid)
dari FMIPA mengeluarkan sebuah pernyataan bodoh. Pernyataan tersebut adalah “Kami sepakat Soeharto jadi Pahlawan
Nasional, karena melihat melihat kriterianya. Kasusnya seharusnya sudah
selesai, tapi ada pihak yang membuatya berlarut-larut”. Pernyataan ini
sesuai dengan salah satu kicauan yang dikeluarkan oleh akun twitter Pemira IKM
UI 2014 (@pemiraUI) pada sabtu malam tanggal 30/11/13 pukul 23.09 WIB.
Saya
sebenarnya malas untuk mengomentari hal ini. Karena, bagi saya pemira hanyalah
ajang regularitas. Tetapi, karena satu kicauan bodoh ini membuat saya
termotivasi untuk buat tulisan ini. Hal ini karena menyangkut persoalan yang
tidak hanya lips service aja, tetapi menyangkut hal yang sangat besar dan
substansial. Pada posisi ini, saya bukanlah tim sukses manapun dari ketiga
calon ketua dan wakil ketua BEM UI 2014. Saya juga tidak bertendensi mendukung
salah satu calon dalam tulisan ini. Mengapa saya mengomentari dan menuliskan
tulisan ini, lebih pada keprihatinan atas esensi pernyataan calon ketua BEM UI
yang mendukung Soeharto sebagai pahlawan. Sebagai studi kasus, dalam hal ini
adalah Ivan dan Aid. Dalam tulisan ini pun diakui bahwa penulis tidak berada
dalam acara debat tersebut, namun penulis memiliki bukti otentik yang jelas dan
tertera dalam akun PEMIRA UI di atas bahwa salah satu calon ketua BEM UI
sepakat pada pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Dan, oleh karena
itu di sini saya tidak mengomentari kedua calon lainnya. Bukan masalah
dukung-mendukung, tetapi pada persoalan bukti otentik tadi. Jika ada pembaca
lainnya yang merasa bahwa kedua calon lainnya ternyata juga sepakat dengan
pengangkatan Soeharto sebagai pahlawan, misal dengan melihatnya di acara debat
tersebut secara langsung, maka mari kita “bantai” bersama-sama.
Kicauan
ini membuat saya bertanya-tanya, Apakah Ivan dan Aid mengetahui apa saja yang
telah dilakukan oleh Soeharto semasa dia menjabat?  Bagi saya, apapun alasannya, Suharto tidak
akan pernah pantas menjadi pahlawan nasional. Mengapa? Dari pertanyaan inilah
mau tidak mau kita harus menelusuri kembali buku-buku sejarah (yang kritis
terhadap orba, tentu) yang telah lama kita lupakan dan berdebu di rak buku.
Sebagaimana kita ketahui, mantan Presiden Republik Indonesia yang ke-2 ini
telah melakukan banyak kejahatan HAM ketika dia menjabat. Yang
harus kita ingat, ia melakukan pembunuhan masal orang-orang PKI, simpatisannya,
dan yang tertuduh pada awal masa pemerintahannya melalui tangan Sarwo Edhi
Wibowo terkait dengan kasus 65 untuk menegakan sebuah rejim yang bernama Orde
Baru. Dengan demikian, Orde Baru dibangun di atas mayat jutaan orang-orang
tersebut. John Roosa dalam bukunya “Dalih Pembunuhan Massal” memperkirakan
sekitar 500.000 sampai 3 juta nyawa harus mati sia-sia karena sebuah keyakinan
politik. Sebuah pembantaian terbesar kedua di dunia pasca Perang Dunia kedua,
di bawah kekejaman Hitler dan dan hanya satu tangga dibawah rejim Pol Pot.
Kemudian, juga melakukan pengurungan, penculikan, pembunuhan, dan pembuangan
terhadap para aktivis yang mengkritisi kebijakannya. Yang bisa kita lihat pada
kasus, Pembunuhan misterius ("Petrus") tahun 1980-an, kasus Tanjung
Priok, Talangsari Lampung,  kasus 27 Juli
1996, Penculikan aktivis 1997-1998, dan pelanggaran HAM 1998. Belum lagi
operasi militer yang terjadi di Aceh, Papua, dan Timor-Leste (yang ketika
dijajah RI-nya Soeharto dan Orba menyandang nama "Timor Timur.
Selanjutnya, seperti yang kita ketahui, beberapa aktivis dari kalangan
mahasiswa yang menjadi korban kejahatan Soeharto berasal dari kampus kita
sendiri, Universitas Indonesia. Salah satunya adalah mahasiswa dari FT jurusan
Teknik Elektro angkatan 96, yaitu Yap Yun Hap. Maka dari itu, sangat miris
sekali jika ketua dan wakil ketua BEM UI 2014 nanti malah sepakat setuju
terhadap mengangkatan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional. Apalagi calon ketua
dari kandidat tersebut berasal dari Fakultas yang sama, namun malah pro
terhadap pengangkatan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional.
Sekarang
kita merasakan sendiri, Indonesia kini tidak memiliki kedaulatan atas bumi dan
airnya. Sebagian besar bumi dan air kita dieksploitasi oleh
perusahaan-perusahaan asing, dan kita hanya merasakan sedikit keuntungan dari
itu. Kita bisa lihat di Papua, khususnya di Mimika, PT. Freeport bebas
melakukan kegiatan pertambangan di gunung Eastberg dan Gastberg. Tetapi, hanya
sedikit konpensasi yang diberikan untuk masyarakat, hanya sebesar 1%. Padahal,
eksploitasi yang dilakukan sangat parah. Dari pembuangan limbah tailing yang
merusak lingkungan, dan juga merusak nilai-nilai luhur kehidupan suku-suku asli
penduduk Mimika. Hal ini, tidak terlepas dari UU yang pertama kali dikeluarkan
oleh Soeharto, yaitu UU No 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan
UU tersebut, rejim Orde Baru membangun sebuah paradigma perekonomian yang
berbasiskan modal asing, di atas modal dalam negeri. Masuknya PT. Freeport, dan
perusahaan asing lainnya yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dimungkinkan
dari peraturan tersebut. Akibatnya, bisa kita lihat sendiri saat ini. Selain
hal tersebut, pembangunan ekonomi yang dilakukan Orba sangatlah rapuh. Bertumpu
pada pertumbuhan ekonomi dan sangat percaya pada asas trickling down. Pola
pembangunan dilakukan dengan cara-cara yang mengakomodir peminggiran dan pemiskinan
secara struktural terhadap kaum marjinal. Ini yang menjadikannya pembangunan
melesat cepat, tetapi juga sekaligus menciptakan bubble. Dan, terbukti hal itu
kemudian “meledak” dengan  ditandai
krisis ekonomi pada1997-1998.  Banyak
orang yang mengkritisi itu sebelumnya, namun pengurungan, penculikan,
pembuangan, dan pembunuhan yang mereka dapatkan. Hal itu tentu karena kita
ingat, bahwa strategi pembangunan era Orde Baru menempatkan ekonomi sebagai
panglima, khususnya pertumbuhan ekonomi. Konsekuensinya, ia harus
menstabilisasi politik dan gerakan rakyat dengan pembungkaman, pembredelan, dan
depolitisasi rakyat secara luas. Tak ada kebebasan dan demokrasi di era Orde
Baru. Benar-benar sistem yang otoriter. Dan perjuangan mendapatkan itu bukanlah
hal yang main-main seperti anda dengan mudah melemparkan kicauan di twitter,
sebagaimana “aktivis klik” era sekarang. Tetapi penuh dengan ancaman, kecaman,
dan teror yang bermacam-macam. Tentu, pembaca sedikit banyak sudah tahu.
Melihat hal demikian, apakah para calon ketua BEM itu tidak pernah belajar
sejarah?
Saya
merasa heran, kasus mana yang selesai dari semua kasus yang melibatkan
Soeharto. Sejak Soeharto turun dan berlangsung era reformasi hingga sekarang,
Soeharto tidak pernah diadili. Semua kasus yang dilakukan terkait dengan
kejahatan HAM yang dilakukan olehnya tidak pernah diadili. Semua kasus
dibiarkan mengendap dan kita dibuat lupa atas semua kejahatan HAM yang
dilakukan oleh Soeharto. Malah, kini dengan mudah bertebaran poster-poster muka
Suharto yang sedang tersenyum sambil berkata “Piye kabare? enakan jamanku tho?”
Seharusnya,
jika Ivan dan Aid ingin menjadi ketua dan wakil ketua BEM UI 2014 lakukan dan
dukunglah gerakan #melawanlupa yang telah dilakukan oleh beberapa orang. Bukan
sepakat dengan pengangkatannya menjadi Pahlawan Nasional. Karena
pengangkatannya sebagai Pahlawan Nasional sama saja membuat orang-orang di
generasi sekarang dan berikutnya, lupa atas semua kejahatan HAM yang
dilakukannya, dan kita hanya mengingat jasa-jasanya yang tidak sebanding atas
kejahatan yang dilakukannya. Ataukah memang Ivan Aid memang berencana untuk
menghilangkan memori kolektif, setidaknya dikalangan mahasiswa UI ini?
Saran
saya kepada Ivan dan Aid, lebih banyak lagi mebaca buku-buku sejarah yang
kritis terhadap orde baru. Karena, sejarah orde baru yang kita ketahui sekarang
adalah buatan dari orde baru itu sendiri. Ya pastilah semua berisi
kepentingan-kepentingan dari orde baru, yaitu pembersihan nama dari sang
diktator Soeharto. Atau, ikut aksi kamisan di depan Istana Merdeka yang
dilakukan oleh jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Dari itu,
saya berharap calon ketua BEM UI 2014 dapat peka terhadap kondisi korban
kejahatan Orde Baru yang memang harusnya diselesaikan, tetapi dengan cara yang
sesuai dengan transisional justice,
yang tidak pernah ada di Indonesia. Sebagai tambahan informasi saja, terutama
bagi calon ketua BEM UI, perjuangan menegakan keadilan bagi pelanggaran HAM
masa lalu tidaklah mudah. Kadang harus melewati masa yang panjang dan melelahkan,
misalnya, Argentina yang membutuhkan waktu hingga 35 tahun sampai semua pelaku
dapat diadili. Perjuangan itu tentu mensyaratkan adanya perjuangan yang kuat
dan tanpa lelah dari masyarakat dan dukungan dari Negara. Pada posisi ini,
bukankah tindakan dari calon ketua BEM UI 2014 ini justru kontraproduktif atas
perjuangan kawan-kawan di luar yang menuntut kasus itu diselesaikan? Janganlah
menjadi generasi yang amnesia, kawan.
TAMBAHAN:
Setelah
tulisan ini di post dan disebarluaskan, muncul beberapa tanggapan. Sebagaimana
sebuah opini, ada yang pro juga tak sedikit yang kontra. Pihak yang kontra
terhadap tulisan ini menyarankan penulis untuk menyelidiki lebih jauh (karena
memang penulis tidak ada di tempat ketika statement ini dibuat) dengan cara
menanyakan pihak yang ada di TKP atau dengan cara lainnya. Sebelum penulis
mempublish tulisan ini, penulis telah menanyakan kebenarannya kepada pihak yang
ada di lokasi. Benar saja, Kandidat Ivan-Aid memang mengungkapkan kesetujuannya
jika Suharto, sang Jendral Pelanggar HAM, dinobatkan oleh negara yang pelupa
ini sebagai Pahlawan. Statement ini diperkuat dengan temuan notulensi Debat
Kandidat yang dibuat oleh panitia Pemira UI. Yang berkaitan dengan kasus
Suharto adalah sebagai berikut:
Usulan
Partai Golkar agar  pemerintah  meanugerahkan 
gelar Pahlawan  Nasional
kepada  presiden  Soeharto sebaiknya disetujui.
Ivan-Aid :  Pahlawan itu memiliki  kontribusi 
besar  dalam  pengembangan 
dan  kemajuan.  32
tahun yang  dilakukan beliau  memberikan 
bentuk sumbangsih  untuk  kemajuan 
Indonesia  sendiri.  Coba 
kita  lihat  apa 
yang  diberikan, khususnya  bidang 
pembangunan.  Perlu dibuat  parameter 
definisi  pahlawan  nasional 
itu  sendiri. Kami  merasa  32 tahun beliau  memimpin, itu 
sebuah  hal  yang 
layak Pak  Harto  dianugerahi 
itu. Kami  setuju.
Kevin-Wieldan  : (Wieldan): Secara  pribadi 
saya  menolak  karena 
banyak  kasus HAM  yang belum 
selesai  oleh  beliau. Setelah  selesai 
kasusnya  baru  mengingat 
apa  yang  dilakukan 
beliau. Kevin : kalau  kita  lihat 
pembangunannya, iya. Permasalahannya 
apakah  kita berani  memberitahu 
keluarga  korban HAM  kalau 
Pak Harto  jadi  pahlawan atau tidak. Saya  juga 
tidak  setuju kalau  kasusnya 
belum  selesai.
Adnan-Wize :
Beliau  punya  banyak 
kenangan  yang  cukup 
bermasalah, bisa  dikatakan  sebagai 
pahlawan  pembangunan nasional.
Tapi  jika  pahlawan 
nasional  ketika  masih 
ada  kasus  yang belum selesai itu  belum sesuai. Ketika  nanti 
Indonesia  tahu  bahwa 
Pak  Harto jadi  pahlawan 
nasional, mereka  tahu  apa 
yang  harus  dan 
tidak  dilakukan. Enak  zaman 
Pak  Harto, program  pembangunan 5 tahunnya  berjalan 
lancar. Perlu  dikritisi  lagi 
saat  di zaman orde  baru. Bagaimana  dikekangnya 
kebebasan  politik,
mengemukakan  pendapat. Ketika  dikatakan 
pahlawan, kami belum sepakat, harus 
diselesaikan dulu kasus-kasusnya.
Dari
notulensi ini, maka apa yang penulis buat, adalah benar adanya. Penulis kemudian mengusulkan kepada pasangan Ivan-Aid
untuk membuat tulisan tandingan yang berisi argumentasi lebih lanjut mengapa
mereka menyetujui Suharto, Sang Jendral Pelanggar HAM, sebagai Pahlawan
Nasional. Terimakasih.
*Notulensi
lengkap Debat Kandidat dapat dilihat melalui link berikut:
https://docs.google.com/document/d/16bamYMs0hTAez7k4ol0HSAKFAok2XCG37PQ4AxPDTYk/edit

hahaha, inilah jadinya kalau mahasiswa malas melirik sejarah.
BalasHapusSemoga admin twitternya tidak salah menafsirkan kalimat si kandidat itu. Kalau misalnya admin akun Pemira IKM UI 2013 salah menafsirkan, dan membuat twit demikian, masalah ini menjadi lebih parah lagi. Dan teruntuk si kandidat, jika memang benar mereka menyatakan kalimat itu, wah.... betapa mirisnya... begitu buruknya kualitas calon pemimpin lembaga mahasiswa di UI.
BalasHapusSilakan lihat tulisan tambahan dari kami bung.. dari notulensinya jelas Ivan-Aid memang setuju Suharto sbg pelanghar HAM tanpa embel2 apapun..
HapusWah, cukup mengejutkan... dan mengecewakan... lagi-lagi di dunia ini memang tidak ada yang bisa dipercaya 100% :)
BalasHapusdan sekarang? Ivan dan Aid jadi Ketua dan Wakil BEM UI 2014. Gimana tuh?
BalasHapusSerius ini?
HapusBagus tulisannya bung.
BalasHapusMari kita lebih semangat dan progresif lagi. (Y)
# Izin share yah bung :D
Udah terlambat. Hahahahaha
BalasHapus