Oleh Wisnu Suryapratama, Solidaritas FIB UI
Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan
Goenawan Mohamad berjudul “Racun” . Dimuat pertama kali dalam Kompasiana. Dimuat ulang disini untuk tujuan propaganda dan pendidikan
Bahasa
datang lalu Tuan meradang. Kata-kata menghujam dari mulut banyak orang dan Tuan
anggap itu penghancuran. Segala percakapan dan cacian terlontar dan Tuan lihat
kami mengancam. Lupakah Tuan bahwa caci maki dan celotehan itu bahasa purba?
Tuan salahkan generasi kami yang kau anggap tak matang dan cuma gagah-gagahan
anak muda saja tapi lupakah Tuan caci maki kami itu tak seujung kuku
dibandingkan kata-kata yang terlontar dari mulut generasi Tuan? Racun seperti
apakah yang Tuan takutkan? Racun kami tak mungkin membawa rezim penguasa baru
mengokang senjata dan menembak berjuta orang komunis di negeri ini. Racun kami
tak bakal melegitimasi kekuasaan untuk membuang orang-orang ke sebuah pulau,
hidup dalam kamp konsentrasi.
Siapakah
Racun ini Tuan? Kami? Generasi jujur yang melontarkan kata-kata ke muka anda?
Lupakah Tuan bahwa generasi kami hidup dalam dialog massal yang terlalu jujur
bernama social media? Lupakah Tuan kalau media ini adalah sebuah percakaan
sebagaimana pasar tradisional? Saya Tuan, dibesarkan di sebuah desa di kaki
Gunung Raung. Rumah saya terletak di sebelah sebuah pasar tradisional. Setiap
hari saya terbangun pukul 4 pagi karena berisik celoteh orang-orang di pasar.
Bising sekali tuan. Bahkan sampai saat ini saya selalu terbangun pukul 4 pagi
karena kebisingan pasar itu terekam dalam otak saya seumur hidup. Dalam
kebisingan itu Tuan, tercampur aduk beribu dialog. Ada caci, ada tawa, ada
rayu, bahkan sesekali ada tangis dan baku hantam. Saya tak punya pilihan Tuan,
kecuali harus mendengar segala kebisingan ini. Dan lalu anda mengeluh? Anda
mengeluh karena caci maki dan bahasa yang anda tuduhkan sebagai kalimat benci
dan brutal? Dalam dunia sekarang ini Tuan, dalam dunia yang anda keluhkan anda
punya pilihan Tuan, sebuah pilihan yang sangat berkuasa. Sebuah pilihan yang
diciptakan oleh generasi kami yang brutal dan penuh kebencian ini. Pilihan itu
bernama “tak pedulikan”. Sebuah pilihan privasi dalam setiap aplikasi untuk
memilih tidak mendapat informasi dari orang tertentu. Caci maki itu menguap
dalam dunia kami Tuan. Dia tidak mengendap menjadi dendam. Caci maki kami tak
kekal Tuan, dia tidak mengubur sebuah paham. Caci maki kami tidak mengendap di
otak Tuan, tak seperti kebisingan pasar tradisional yang membuat saya bangun
pukul 4 setiap pagi seumur hidup.
Racun itu
bukan kami yang tanam tuan. Racun itu tidak muncul dalam caci maki kami. Kami
generasi instan tuan, bukan penghukum. Kami generasi terbuka Tuan, bukan fasis.
Bukan Tuan. Generasi kami bukanlah pembalik logika yang mengubur sebuah paham
menjadi durjana. Bukan kami Tuan. Ingatkah tuan kata-kata dan tipu daya yang
mengubur komunis dan melahirkan diktator lintah penghisap darah bernama Orde
Baru, generasi siapakah itu Tuan? Bukankah itu generasi Anda? Lalu anda kuliahi
kami tentang bahasa beracun? Taik lah kau Tuan.
Marpuah
dalam sebuah ungkapan yang belum
diterbitkan pernah berujar Tuan, sebuah generasi yang melahirkan rezim
pembunuh dan membiarkannya berkuasa bertahun-tahun adalah generasi somplak.
Penulis yang masih bisa makan enak tidur nyenyak beranak pinak ketika penulis
lain tersiksa di Pulau Buru adalah penulis Racun. Anda tak kenal Marpuah Tuan?
Tak adakah dia dalam literatur yang anda baca? Tak munculkah dia dalam
buku-buku yang anda pelajari? Marpuah itu seorang perempuan Tuan yang sudah
diperkosa oleh penyair dari sebuah pusat kebudayaan adiluhung di sebuah kota
kecil di negeri Sontoloyo.
Marpuah ini
mengadu Tuan bahwa dia telah diperkosa oleh Sunarto, Sunar kang Nyoto. Lalu
sesaat setelah sang cantrik Sunarto diketahui banyak orang memperkosa Marpuah
tersebarlah sebuah pesan berantai dari Begawan di padepokan tempat Sunarto ini
“nyantrik” ke semua sanak kadang, handai taulan. Isi pesan itu meminta
mendukung Sunarto yang sedang terkena musibah. Tak lama kemudian Tuan padepokan
tersebut mengeluarkan maklumat jikalau tingkah laku Sunarto tak ada kaitannya
dengan Padepokan Sarihala tempat sang Begawan disembah dan di agung-agungkan.
Lalu alkisah banyak orang lontarkan umpatan sampai terkuak masa lalu Begawan
yang disinyalir doyan lecehkan perempuan. Begawan pun meradang, seribu
kata-kata dilontarkan, mereka yang melawan sang begawan dituduh tak ubahnya
rezim totaliter. Begawan terhenyak cacian tak semakin berkurang. Begawan
kemudian menulis sebuah tulisan berjudul Racun, jurus yang dipakai adalah kutip
kata-kata Begawan lain. Mainkan sedikit permainan kata-kata seolah korban dan
para pencaci adalah generasi bengis yang akan bahaya bila berkuasa.
Sekian Tuan…
Tak pandai saya merangkai kata-kata mencari pembenaran tingkah laku saya yang bejat
karena sejujurnya tak pernah saya bejat. Generasi saya bisanya cuma mencaci.
Kata-kata kami Tuan, bukanlah Racun seperti yang anda tuduhkan. Akan tetapi,
kata-kata kami adalah Hantu, Memedi, yang akan membuat tidur anda tak nyenyak
dan terbangun setiap pukul 4 pagi oleh mimpi buruk yang anda tanam sendiri.
Tabik Tuan…
Taik lah kau!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar