Pernah dimuat di jurnal IndoPROGRESS rubrik Left Book Review(LBR). Dimuat disini untuk tujuan pendidikan
Judul Buku : Rebel Cities: From the Right to the City to Urban Revolution
Penulis : David Harvey
Penerbit : Verso, 2012
Tebal : 206 Halaman
Pendahuluan
BEBERAPA bulan lalu, saya dan kawan-kawan terlibat dalam advokasi
penggusuran pegiat usaha stasiun di Jabodetabek. Sebagaimana tulisan
saya sebelumnya, Merebut Hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri[1], sedikit
banyak disampaikan bagaimana pegiat usaha yang ada di Stasiun
se-Jabodetabek digusur tanpa adanya kompensasi maupun relokasi oleh PT.
Kereta Api Indonesia (PT. KAI) dari tempat usaha mereka yang telah sah
dibeli secara hukum. Tak adanya tawaran solusi dari PT. KAI itu membuat
pegiat usaha membentuk barisan untuk melawan bentuk peminggiran dan
pemiskinan atas kehidupan mereka. Dalam perjuangannya tersebut, pegiat
usaha melakukan berbagai metode perlawanan, baik diplomasi ke pihak
pemerintah hingga aksi demonstrasi di lapangan. Meskipun akhirnya
tergusur, tetapi pengalaman bersama para pegiat usaha dalam usaha
melawan penggusuran tersebut, membuka tabir bagaimana kehidupan kota
saat ini sebenarnya ditata. Bahwa kehidupan kota menjadi titik sentral
dari akumulasi kapital yang mengondisikan usaha pengelolaannya.
Beberapa hari lalu, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ) juga
mengundang kami, SEMAR UI, untuk berkonsolidasi mengenai kondisi di
Jakarta yang semakin tidak ramah pada kaum urban. Dalam pertemuan itu,
dipaparkan bahwa saat ini terdapat 131 titik lokasi yang berpotensi akan
digusur di tahun 2014 ini. Dari rencana tersebut, Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta telah menyiapkan dana sebesar 5 sampai 6 Triliun rupiah
untuk pembebasan lahan. Jumlah meningkat sekitar 5 kali dari anggaran
tahun sebelumnya. Tentu kita harus ingat bahwa pada tahun sebelumnya,
hanya sekitar 12 persen penggusuran yang terselesaikan dimana warga yang
digusur tidak terlantar. Sedangkan sisanya, belum jelas bagaimana
nasibnya.[2]
Untuk mengantisipasi itu, konsolidasi dari warga diharapkan semakin
kuat sehingga dampak terburuk dari penggusuran dapat dihindari. Dari
kasus-kasus penggusuran tersebut, warga kota[3]
sebenarnya menjadi pihak yang paling dirugikan. Terlepas untuk apa
lahan setelah digusur, tapi hal itu selalu menyisakan masalah, minimal
pada degradasi kualitas kehidupan warga kota. Seperti yang terjadi di
Stasiun Duri, dimana setidaknya 176 pegiat usaha kehilangan tempat
berdagang dan 48 warga harus terusir dari tempat tinggalnya.[4] Selain itu, juga membawa tekanan psikis, dimana setidaknya terdapat dua orang yang kemudian mengalami stress berat.[5]
Dengan semakin menguatnya proyek-proyek penggusuran, yang sebenarnya telah terjadi secara menyejarah dalam kehidupan perkotaan,[6]
menjadi tantangan baru bagi generasi saat ini untuk membuka jalan
pikiran alternatif bagaimana seharusnya kehidupan kota ditata dan
dikelola. Sekaligus, memberikan kedaulatan warga kota untuk menentukan
sendiri kehidupannya. Tentu, dengan asumsi, agar warga kota dapat
semakin independen dari kekuatan kapital yang mencengkeram dan
mengondisikan mereka dalam kualitas kehidupan yang semakin menurun.
Namun demikian, hal tersebut tentu tidak datang dengan sendirinya. Harus
direbut dan diusahakan! Dalam kerangka pemikiran itu, review buku David
Harvey yang berjudul Rebel Cities: From Right to the City to Urban Revolution menjadi
relevan. Dalam buku ini, Harvey menjelaskan bahwa kehidupan kota pada
hakikatnya berposisi sentral dalam proses akumulasi kapital. Oleh karena
itu, perkembangan kota selalu berbanding lurus dan dikondisikan oleh
akumulasi kapital yang terjadi di dalamnya. Dengan itu pula, sebagai
konsekuensi imanen dalam kapitalisme, krisis muncul dari perkembangan
kehidupan kota. Kemudian, Harvey menawarkan pelampauan atas kondisi
tersebut dengan merebut hak atas kota dan reclaiming wilayah kota sebagai agenda dari perjuangan kelas. Dengan itu, kehidupan kota yang demokratis dan adil dapat dinikmati.
Akumulasi Kapital dan Perkembangan Kota
Menurut David Harvey, sejak dari dulu kota muncul melalui konsentrasi
geografis dan sosial dari suatu surplus produksi (h. 15). Di bawah
kapitalisme, perkembangan kota tergantung pada mobilisasi surplus
produksi tersebut. Maka, kemudian timbul koneksi intim antara
perkembangan kapitalisme dan kota. Itu berawal dari hakikat kapitalisme
yang bersandar pada kebutuhan abadi untuk mengakumulasikan profit secara
terus menerus tanpa terinterupsi. Dalam proses sirkulasi kapital ini,
kota dan perkembangannya menjadi situs yang sangat penting. Hasil
kelindan antara keduanya dapat dipahami dari kurva pertumbuhan logistik
(uang, output dan populasi) yang melekat pada sejarah akumulasi kapital,
yang selalu sejajar dengan jalur pertumbuhan urbanisasi di bawah
kapitalisme. Oleh karena itu, Harvey beragumen bahwa perkembangan kota
selalu merupakan fenomena kelas, karena surplus diambil dari suatu
tempat dan dari seseorang, sedangkan kontrol atas itu biasanya
terkonsentrasi pada beberapa gelintir orang.
Kebutuhan abadi dari kapitalisme untuk mengakumulasi profit tanpa
batas ini, membuat mereka harus selalu kreatif mengatasi hambatan yang
merintanginya. Karena itu pula, mereka selalu mencari (atau menciptakan)
medan atau wilayah yang menguntungkan bagi akumulasi kapital dan
penyerapannya. Hal itu menjadi penting karena menjadi syarat agar
akumulasi kapital dapat terus berjalan, dan sistem kapitalisme bisa
terus hidup. Usaha untuk meraih itu dilakukan dengan menciptakan pekerja
yang terdisiplin, atau menciptakan tenaga kerja baru, misal dengan
proletarisasi, ekspor modal, dan imigrasi bila tenaga kerja yang
tersedia langka dan mahal. Selain itu, kapitalis juga harus menemukan
cara produksi baru yang efektif untuk mendapatkan sumber daya alam yang
diperlukan sebagai bahan mentah dalam proses produksi. Oleh karena itu
dalam perkembangannya kemudian mereka perlu membuka medan untuk
ekstraksi bahan baku baru, yang sering kita sebut dengan imperialisme
dan neo-kolonialisme.
Selain kondisi di atas, hukum persaingan juga memaksa kapitalis harus
memacu inovasi diantara mereka. Inovasi ini kemudian mendefinisikan
keinginan dan kebutuhan, mengurangi waktu perputaran modal dan
mengurangi kesenjangan jarak yang membatasi rentang geografis di mana
kapitalis dapat mencari pasokan tenaga kerja, materi baku, dan
sebagainya. Jika tidak ada daya beli yang cukup di pasar, maka pasar
baru harus ditemukan dengan memperluas perdagangan luar negeri, promosi
produk baru dan gaya hidup, menciptakan instrumen kredit baru, dan utang
negara dan pengeluaran pribadi. Jika, akhirnya, tingkat keuntungan
terlalu rendah, maka regulasi pemerintah dalam bentuk fasilitas monopoli
(merger dan akuisisi) dan ekspor modal memberikan jalan keluar.
Dorongan untuk mencari tempat yang kondusif bagi akumulasi kapital ini
yang membuat kapitalis selalu menciptakan pasar yang kondusif di seluruh
dunia. Kondisi bahwa kapitalis harus mencari pasar baru itu dengan apik
digambarkan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels dalam Manifesto Partai Komunis bahwa,
“…Kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya mengejar borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, bertempat di mana-mana, mengadakan hubungan-hubungan di mana-mana.”[7]
Inti dari argumen di atas bahwa proses sirkulasi kapital harus tetap
berjalan agar proses penciptaan nilai-lebih dan realisasi nilai lebih
dalam bentuk profit tidak terganggu.
Namun, salah satu masalah yang mengiringi kapitalisme, dan menjadi sumber krisis yang inheren adalah adanya akumulasi berlebih (over accumulation),
yaitu suatu keadaan dimana terjadi surplus kapital (berupa berlimpahnya
komoditi di pasar yang tak bisa dijual tanpa merugi, kapasitas produksi
yang menganggur dan atau surplus uang yang tak memiliki saluran
investasi produktif dan menguntungkan) dan surplus tenaga kerja
(meningkatnya pengangguran).[8]
Akumulasi berlebih ini menyebabkan tingkat keuntungan yang diraih oleh
kapitalis menjadi berkurang dan atau berhenti, sehingga membuat mereka
keluar dari pasar. Akibat selanjutnya, perputaran roda ekonomi menjadi
mandeg dan kapitalisme terseret dalam krisis. Dalam posisi demikian,
Harvey menyatakan bahwa urbanisasi atau perkembangan kota telah
memainkan peran yang sangat aktif untuk menyerap surplus produksi
kapitalis tersebut. Di sinilah peran penting dari proses urbanisasi
dalam kapitalisme.
Menanggapi hal demikian, cara untuk mengatasinya terletak pada
kapital. Jika hal tersebut ingin dihindari, maka harus ditemukan
cara-cara untuk menyerap surplus kapital. Pada posisi demikian, salah
satu cara yang bisa dilakukan oleh kapitalis adalah ekspansi secara
geografis dan reorganisasi spasial untuk dapat berinvestasi kembali
sehingga akumulasi kapital dapat berlanjut. Ini yang dinamakan dengan
konsep spatial fix atau lebih tepatnya spatio-temporal fix. Harvey menjelaskan dalam bukunya yang lain yang berjudul, Imperialisme Baru (terj.) berkaitan dengan itu,
Saya telah mengusulkan suatu teori mengenai “spatial fix” (atau lebih tepatnya spatio-temporal fix) terhadap kontradiksi-kontradiksi internal yang rentan kiris dalam akumulasi kapital. Inti utama dari argumen ini terkait dengan tendensi kronis dalam kapitalisme- dan secara teoritis berangkat dari refromulasi teori Marx menegnai tendensi kejatruhan tingkat alab- untuk menciptakan krisis akumulasi. Krisis semacam ini biasanya ditandai dengan terjadinya surplus kapital (dalam bentuk komoditi, uang, atau kapasitas produksi) dan surplus kekuatan tenaga kerja yang mengiringi, dibarengi dengan ketiadaan cara-cara untuk menggunakan surplus-surplus itu secara menguntungkan.[9]
Namun opsi tersebut tak bisa dipisahkan dari proses pergeseran
temporal dimana surplus kapital dialihkan ke proyek-proyek jangka
panjang agar nilai mereka dapat kembali bersirkulasi lewat aktivitas
produktif. Karena ekspansi geografis tersebut menghasilkan investasi
dalam infrastruktur-infrastruktur fisik dan sosial yang bertahan lama,
maka penciptaan dan rekonfigurasi keruangan dapat menunda krisis
kapitalisme.
Oleh karena itu, surplus kapital dan tenaga kerja yang terjadi,
menurut Harvey, secara potensial dapat diserap melalui (a) pengalihan
temporal dalam bentuk investasi dalam proyek-proyek kapital jangka
panjang yang akan menunda masuknya kembali nilai-nilai kapital dalam
sirkulasi kapital; (b) pengalihan spasial melalui pembukaan pasar baru,
kapasitas produksi yang baru, peluang-peluang sosial, dan tenaga kerja
baru, dan (c) gabungan antara keduanya.[10] Namun demikian, serangkaian spatio temporal fix
ini bersifat temporer dan dalam jangka menengah gagal untuk mengatasi
problem akumulasi berlebih. Karena akumulasi berlebih pada sirkuit
sekunder (pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan tersier (belanja
sosial, riset dan pengembangan) akan menyebabkan terjadinya akumulasi
berlebih baru bila tidak produktif pada masa depan dengan durasi yang
panjang. Akumulasi berlebih ini yang menjadi penyebab krisis baru dalam
jangka menengah. Inti dari skema tersebut adalah mengalihkan arus
kapital dari sirkulasi primer (produksi-konsumsi langsung) ke sirkulasi
sekunder (berupa pembentukan kapital dan konsumsi tetap) dan sirkulasi
tersier (belanja-belanja sosial). Dari situlah surplus kapital terserap
dan disirkulasikan secara temporal. Pembangunan kota, dalam hal ini,
adalah bentuk ekspansi geografis dan reorganisasi spasial dengan
investasi pada proyek infrastuktur dan sosial sebagai jalan untuk
mengatasi problem akumulasi berlebih.
Skema di atas dapat dibaca dari pembangunan kota Paris di bawah
arsitek kota Georges-Eugène Haussmann untuk mengambil alih pekerjaan
umum kota Paris pada tahun 1853. Jelas dipahami bahwa misinya adalah
untuk membantu memecahkan surplus kapital dan masalah pengangguran
melalui perkembangan kota dengan membangun infrastruktur berukuran
besar. Membangun kembali kota Paris untuk menyerap sejumlah besar tenaga
kerja dan kapital menurut standar waktu dan, ditambah dengan menekan
aspirasi pekerja Paris, adalah kendaraan utama stabilisasi sosial. Untuk
melakukan hal itu, Haussmann memerlukan lembaga keuangan baru dan
instrumen utang, Crédit Mobilier dan Crédit Immobilier, yang dibangun
pada jalur Saint-Simonian. Dengan itu, ia membantu menyelesaikan masalah
pembuangan surplus kapital dengan menyiapkan sistem proto-Keynesian
yang didanai utang perbaikan infrastruktur perkotaan.
Pembangunan kota, dengan demikian tidak hanya melibatkan transformasi
infrastruktur perkotaan, tetapi juga rekonstruksi cara hidup masyarakat
perkotaan. Paris dijadikan ‘kota cahaya’ pusat pariwisata dan hiburan,
kafe, department store, industri fashion dan pameran besar. Semua itu
mengubah cara hidup masyarakat perkotaan sehingga bisa menyerap surplus
produksi melalui konsumerisme. Tapi sistem keuangan yang berlebih dan
struktur kredit yang semakin spekulatif, akhirnya jatuh pada tahun 1868.
Periode berikutnya muncul Komune Paris, yang menjadi salah satu episode
revolusioner terbesar dalam sejarah perkotaan kapitalis,
Hal serupa juga terjadi di Amerika Serikat pasca perang Dunia Kedua.
Setelah sebelum perang dapat menyerap surplus kapital dan tenaga kerja
akibat depresi besar tahun 1930-an, pasca perang muncul masalah
bagaimana surplus kapital itu harus diserap. Untuk mengatasinya,
dimulailah pembangunan kota New York dengan sistem jalan raya dan
transformasi infrastruktur, suburbanisasi dan rekayasa ulang secara
total tidak hanya di kota tapi juga daerah metropolitan. Usaha ini
membantu menyelesaikan masalah penyerapan surplus kapital. Sama dengan
pembangunan kota Paris, pembangunan kota New York ini juga mensyaratkan
transformasi gaya hidup secara radikal, dimana pola hidup konsumtif
semakin dominan. Bersamaan dengannya, terjadi juga perubahan dalam
lanskap politik, seperti subsidi kepemilikan rumah untuk kelas menengah,
mengubah fokus masyarakat terhadap nilai properti dan identitas
individu, dan mengubah suara pinggiran kota menuju republikanisme
konservatif. Proyek ini berhasil menyerap surplus dan meyakinkan
stabilitas sosial. Namun demikian, sebagai obat yang sifatnya sementara,
pembangunan kota ini tetap tak bisa menyelesaikan krisis dalam
kapitalisme. Bahkan, perkembangan kota juga ikut menyumbang timbulnya
krisis. Di AS hal itu ditandai dengan timbul krisis pada tahun 1960-an
yang dikenal dengan ‘krisis perkotaan’.
Dengan demikian, upaya spatial temporal fix, melalui
pembangunan kota selalu menemui jalan buntu, sehingga krisis kapitalisme
tetap tak terhindarkan, sebagaimana dicontohkan dalam kasus Paris dan
New York. Lantas bagaimana krisis kapitalisme kontemprer selalu muncul
dan berkaitan dengan proses perubahan perkotaan tersebut?
Krisis Kapitalisme dan Perkotaan
Pembangunan kota selalu beriringan dengan komodifikasi ruang yang ada
dalam wilayah perkotaan tersebut. Komodifikasi ini membuat tanah
menjadi komoditas yang memiliki nilai tukar, sehingga dapat
dipertukarkan di pasar. Dengan kian hegemoniknya neoliberalime, dimana
negara semakin diekslusi dari regulasi atas tanah dan pasar property,
sehingga mengurangi intervensinya atas perencanaan kota, regional dan
spasial. Di sisi lain, pembangunan kota ‘diserahkan’ pada pengembang dan
spekulan financial yang diyakini akan membawa kota semakin tumbuh
berkembang sebagaimana layaknya kota-kota megapolitan dunia lainnya.
Kenyataannya, tanah bukanlah komoditas biasa, ia merupakan bentuk
kapital fiktif (fictious capital) yang berasal dari ekspektasi
harga sewa di masa depan. Oleh karena itu, tanah di wilayah perkotaan
semakin lama semakin memiliki nilai yang tinggi (mahal) karena permainan
pengembang dan spekulan finansial tersebut. padahal sifat dan bentuknya
tetap. Proses pengejaran nilai yang tinggi dan spekulasi tersebut,
menyebabkan banyak penduduk yang digusur untuk memaksimalkan penggunaan
tanah dan menciptakan ketimpangan yang semakin menganga. Di sisi lain,
proses marjinalisasi masyarakat semakin menjadi-jadi.
Dengan adanya deregulasi sistem finansial, pembiayaan perumahan berbasis pasar semakin meningkat. Data dari World Development Report 2009
menunjukan bahwa pasar hipotek perumahan sejak paruh akhir periode
1980-an, semakin meningkat hingga sama dengan lebih dari 40 persen Gross Domestic Product (GDP) pada negara maju, dan sekitar 10 persen GDP pada negara berkembang (h. 29). Hal itu pada akhirnya memicu terjadinya boom property. Namun, boom property ini
akhirnya tak dapat diserap pasar karena harga yang semakin tinggi.
Karena itu, sistem kredit digunakan agar pasar dapat menyerap kembali surplus produksi itu.
Kemudahan kredit rumah, dan kredit dengan jaminan rumah ini membuat
kredit rumah menjadi bahan spekulasi. Begitu menjadi bahan spekulasi,
hal itu kemudian berlangsung dengan tak terkendali. Apalagi, dalam pasar
keuangan, ada mekanisme ‘derivatif’ di mana resiko kredit bisa
diasuransikan, lalu direasuransi, dan seterusnya. Melalui surat hutang
terkolateralisasi (Collateralized Debt Obligation–CDO), bank kreditor
dapat ‘menjual’ resikonya pada bank lain, kemudian CDO ini
dikolateralisasi lagi sampai CDO tingkat ketiga. CDO ini masih bisa
diasuransikan lagi dengan mekanisme yang disebut jaminan kredit jatuh
tempo (Credit Default Swap–CDS). Dengan CDS, surat hutang dijaminkan ke
bank lain tanpa sepengetahuan si penghutang. Nilai transaksi CDS di AS
tahun 2008 mencapai USD 42,6 triliun, setara dengan nilai kekayaan
seluruh rumah tangga di seantero Amerika Serikat.[11]
Permainan lempar-lemparan resiko inilah yang membuat pasar menjadi
rentan–dan, yang jelas, tidak ada satu pelaku pasar pun yang sanggup
menanggung resiko ketika pasar terguncang. Dengan begitu, booming pasar
perumahan ini selalu jatuh dan menyebabkan krisis secara sistemik. Hal
itu terjadi pada tahun 1923, 1973, 1987, dan 2000. Jelas, booming
pasar properti yang saling terkait dengan arus spekulatif keuangan,
memiliki konsekuensi serius pada makroekonomi secara umum, serta segala
macam efek eksternalitas pada penipisan sumber daya dan degradasi
lingkungan. Pengalaman Amerika pada krisis tahun 2008 merupakan contoh
sangat mudah untuk menunjukkan bagaimana fenomena perkotaan bisa menjadi
akar krisis secara sistemik.
Memahami situasi di atas harus ditempatkan dalam pemahaman mengenai
sirkulasi kapital produktif dan fiktif yang berkombinasi dengan sistem
kredit dalam konteks pasar property. Dengan demikian, memahami proses
sistem kredit ini tidak dapat dilepaskan dari gerak umum kapital. Dalam
pandangan Marxis, sistem kredit merupakan pengiring dari sistem
distribusi yang belum siap. Selain itu, dalam gerak umum kapital,
terutama berhubungan dengan sirkulasi modal tetap dan periode kerja,
periode produksi, dan waktu sirkulasi, memang membutuhkan sistem kredit.
Dengan itu, sistem kredit menjadi syarat mutlak bagi sirkulasi kapital.
Namun, banyak kegiatan kredit justru berbasis pada spekulasi.
Marx menjelaskan bahwa kredit menggantikan posisi uang; kapital
lama-kelamaan menjelma sebagai bentuk-bentuk duplikat dari 2 tipe
internalnya, yakni kapital riil (real capital—stok dari pabrik, peralatan, serta barang yang dihasilkan dari produksi) dan kapital fiktif (fictitious capital—struktur
dari klaim-klaim finansial yang diproduksi oleh lembaran
kertas-berharga yang berhak atas kapital riil). Marx menuturkan bahwa
sejauh kegiatan ekonomi diarahkan menuju pengapresiasian kapital fiktif
yang berada dalam dunia keuangan ketimbang akumulasi dari kapital riil
yang berada dalam dunia produksi, maka kapital itu sendiri telah
bermetaformose menjadi bentuk yang murni bersifat spekulatif. Sifat
spekulatif dari kapital fiktif sendiri merupakan konsep yang didasarkan
pada fetisisme komoditas, sehingga nilainya bisa semakin tinggi meskipun
sifat dan bentuk bendanya tetap.
Perkembangan pasar properti, disertai sistem kredit dan
finansialisasi ini, dalam perkembangann perkotaan kemudian membawa
konsekuensi krisis dalam kapitalisme. Sehingga pembangunan kota yang
sebelumnya menjadi penangkal krisis secara sementara, justru membawa
krisis baru. Itu berhubungan dengan sifat spatio-temporal fix
yang akan menghasilkan krisis kembali dalam periode yang akan datang.
Dengan demikian, krisis selalu menjadi imanen dalam kapitalisme.
Hak Atas Kota dan Perjuangan Kelas
Karena perkembangan kota selalu berada di bawah logika kapital, maka
restrukturisasi perkotaan, menurut David Harvey, selalu melewati fase ‘creative destruction’. Fase
ini berada di dalam sirkulasi kapital, yang merupakan artikulasi
kebutuhan kapitalis untuk menjamin agar proses akumulasi kapital dapat
terus berlanjut dengan cara terus-menerus menciptakan inovasi. Maka dari
itu, kapitalis akan selalu mencoba segala kemungkinan untuk mendapatkan
profit dengan menciptakan produk-produk baru, berikut dengan penciptaan
kebutuhan dan keinginan baru masyarakat, misal melalui iklan. Selain
itu, pembukaan ruang (spatial) baru menjadi sebuah keharusan bagi kapitalis untuk mendapatkan pasar baru, bahan mentah, tenaga kerja yang fresh, dan situs yang lebih menguntungkan untuk operasi produksi.[12]
Pada masa inilah peminggiran orang miskin, dan mereka yang
terpinggirkan dari kekuasaan politik terjadi. Dengan itu, mereka menjadi
kelompok yang paling pertama menderita dari proses tersebut.
Peminggiran biasanya dilakukan melalui proses perampasan lahan yang
dimiliki atau ditempati mereka. Inilah yang dinamakan dengan ‘akumulasi
melalui penjarahan’ (Accumulation by Dispossesion).[13]
Akumulasi kapital melalui penjarahan ini berjalan tidak hanya dalam
bentuk perampasan fisik secara langsung saja, melainkan juga dalam skema
yang predatoris, dimana seseorang bisa kehilangan tempat tinggalnya
karena kredit yang tak terbayarkan. Sehingga perampasan dilakukan atas
aset yang dimiliki sebagai konsekuensi. Hal itu yang menurut Harvey
menjadi inti dari urbanisasi di bawah kapitalisme. Akumulasi dengan
perampasan adalah cermin dari penyerapan modal melalui pembangunan
kembali kota, yang kemudian menimbulkan berbagai konflik atas perampasan
tanah dari penduduk berpenghasilan rendah yang mungkin telah tinggal di
sana selama bertahun-tahun. Hal demikian yang kemudian menjadi sebab
dari timbulnya pemberontakan di kota-kota, yang terjadi hampir di
seluruh dunia.
Konsep hak atas kota sendiri merupakan konsep hak yang dikembangkan
Harvey untuk menjadi pelampauan atas fenomena peminggiran masyarakat
dari kotanya karena perkembangan kapitalisme. Konsep tersebut sebenarnya
berasal dari filsuf-cum sosiolog Henry Lefebvre, yang juga menggunakan
terminologi hak atas kota. Namun demikian, Harvey menggunakan dalam
kerangka untuk merebut kontrol kota sebagai bagian dari perjuangan kelas
yang revolusioner.
Hak atas kota didasari dari hak untuk merebut the commons
dalam kehidupan kota. Menurutnya, pola pembangunan kota seperti sekarang
berakar dari kepemilikan privat sehingga menyebabkan terjadinya proses
peminggiran pada kelas yang tidak memiliki alat produksi. Karena itu,
hak untuk merebut kota sebagai the commons pada dasarnya menuntut
untuk ikut memiliki bagian dari hasil yang telah diproduksi. Dengan
begitu, perjuangan hak atas kota adalah melawan kekuatan modal yang
kejam, yang menarik pajak dari kehidupan bersama. Hal ini mengingatkan
kita bahwa masalah sebenarnya terletak pada karakter hak kepemilikan
privat. Oleh karenanya, hak atas kota adalah hak menuntut kepemilikan
kolektif atas alat produksi, sehingga hasil produksi itu dapat dinikmati
secara kolektif pula.
Bagi Harvey, jawaban yang paling menjelaskan atas apa yang dilakukan
para ‘pemberontak’ tersebut adalah kontrol demokratis yang lebih besar
atas produksi dan pemanfaatan surplus kapital. Hal ini berdasarkan
sebuah asumsi bahwa proses perkotaan merupakan saluran utama dari
penggunaan surplus produksi, maka membangun manajemen demokratis atas
penyebaran surplus produksi di perkotaan merupakan hak atas kota. Ini
yang disebut sebagai, ‘hak untuk mengubah diri kita sendiri dengan
mengubah kota’ (h. 4). Demokratisasi yang benar dan pembangunan sebuah
gerakan sosial yang luas adalah penting untuk mengambil kembali kendali
yang mereka miliki, yang telah begitu lama lepas, dan melembagakan
model baru atas kehidupan kota. Hak ini memberi perspektif baru bahwa
pengambil kebijakan tertinggi atas perubahan kota adalah stake holder
kota itu sendiri, yang dengan aktif berpartisipasi secara kolektif.
Titik tolak dari hak atas kota, adalah partisipasi rakyat terhadap
pembangunan kotanya. Dengan demikian, ia merupakan sebuah perspektif
politik baru untuk melawan sebuah proses pembangunan perkotaan ala neoliberalisme,
seperti privatisasi ruang perkotaan, komersialisasi penggunaan kota,
mendominasinya kawasan-kawasan industri dan perdagangan yang tidak
pernah melibatkan proses demokratis dari stake holder kota.[14]
Dengan demikian, usaha merebut hak atas kota merupakan bagian dari
perjuangan kelas. Harvey meyakini bahwa perjuangan untuk mengakhiri
kapitalisme tidak bisa mengabaikan lokus perkotaan sebagai basis
produksi nilai-lebih. Dengan itu, ia memberikan petunjuk bahwa usaha reclaiming perkotaan dari kontrol kapital, merupakan bagian dari usaha melawan kapitalisme secara langsung.
Penutup
Dalam kehidupan kapitalisme kontempoorer, perkembangan kota menjadi
bagian dari proses akumulasi kapital. Dengan demikian, perkembangan kota
sebenarnya didorong oleh kebutuhan akumulasi tersebut. Perkembangan
kota dalam hal ini menjadi cara untuk mengobati krisis secara temporal
yang, dalam kenyataannya, justru menjadi sumber krisis baru. Alternatif
untuk itu, dimana perkembangan kota semakin meminggirkan warganya dengan
mekanisme akumulasi melalui perampasan (accumulation by dispossession),
maka usaha merebut kontrol demokratis dalam perkotaan menjadi sebuah
kebutuhan. Usaha tersebut harus diartikulasikan sebagai bagain dari
perjuangan kelas, sehingga dapat menjadikan kota sebagai milik bersama.
Pelajaran dari pembacaan buku Harvey tersebut membawa kita untuk
menjadikan imajinasi pengelolaan kota di luar logika kapital memang
perlu diwujudkan. Namun demikian, hal itu tidak dilakukan dengan
bersandar di atas meja sambil merenung, tetapi dalam aksi-aksi reclaiming kota dari kekuatan kapital. Karena bagaimanapun, kapitalis tak akan mudah menyerahkan kekuasaannya!
Daftar Pustaka
Castree, Noel and Derek Gregory (ed). A Critical Reader David Harvey. Cambridge and Oxfeord: Blackwell Publishers. 2006.
Harvey, David. The Condition of Postmodernity: An Enqury into the Cultural Change. Cambridge and Oxford: Blackwell Publishers. 1989.
____________. “The Right to The City”. New Left Review. Edition 53. September 2008.
____________. Imperialisme Baru: Genealogi dan Logika Kapitalisme Kontemporer terj.. Yogyakarta: Resist Book. 2012.
Ananta, Dicky Dwi. “Merebut hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/02/merebut-hak-atas-kota/ diakses pada 3 Maret 2014 pukul 16. 30 WIB
Izzati, Fathimah Fildzah. “Pembangunan dan Perebutan Ruang Kota” diunduh dari http://indoprogress.com/2013/06/pembangunan-dan-perebutan-ruang-kota/ diakses pada 2 Maret 2014 pukul 18.30 WIB.
Marx, Karl dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/ch01.htm#bab1 diakses pada 2 Maret 2014 pukul 23.00 WIB
Ma’ruf, Anwar. “Anwar Ma’ruf: Kapitalisme adalah Sistem yang Kontradiktif dan Selalu Sakit”, diunduh dari http://indoprogress.blogspot.com/2010/02/anwar-maruf-kapitalisme-adalah-sistem.html diakses pada 3 Maret 2014 pukul 12.00 WIB
Pontoh, Coen Husain. “Hak Atas Kota”, diunduh dari http://indoprogress.com/hak-atas-kota-2/ diakses pada 20 Oktober 2013 pukul 11.10 WIB
“LBH Jakarta: 131 Lokasi di Jakarta Berpotensi Digusur”, diunduh dari http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/03/02/lbh-jakarta-131-lokasi-di-jakarta-berpotensi-digusur diakses pada 2 Maret 2014 pukul 22.33 WIB.
“Pegiat Usaha Tolak Penggusuran di Stasiun Pos Duri” diunduh dari http://megapolitan.kompas.com/read/2013/05/27/07081594/PegiatUsaha.Tolak.Penggusuran.di.Stasiun.Duri diakses pada 17 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB
[1] Dicky Dwi Ananta, “Merebut hak Atas Kota: Catatan Perlawanan Pegiat Usaha Stasiun Pos Duri”, diunduh dari http://indoprogress.com/2014/02/merebut-hak-atas-kota/ diakses pada 3 Maret 2014 pukul 16. 30 WIB
[2] “LBH Jakarta: 131 Lokasi di Jakarta Berpotensi Digusur”, diunduh dari http://www.tribunnews.com/metropolitan/2014/03/02/lbh-jakarta-131-lokasi-di-jakarta-berpotensi-digusur diakses pada 2 Maret 2014 pukul 22.33 WIB.
[3] Warga kota didefinisikan sebagai penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan, tanpa membedakan posisi legal dan illegal.
[4] “Pegiat Usaha Tolak Penggusuran di Stasiun Pos Duri” diunduh dari http://megapolitan.kompas.com/read/2013/05/27/07081594/Pegiat Usaha.Tolak.Penggusuran.di.Stasiun.Duri diakses pada 17 Oktober 2013 pukul 14.30 WIB
[5] Wawancara dengan Pak Hamzah, Koordinator Perpustabek Stasiun Pos Duri, 5 Desember 2013.
[6] Fathimah Fildzah Izzati, “Pembangunan dan Perebutan Ruang Kota” diunduh dari http://indoprogress.com/2013/06/pembangunan-dan-perebutan-ruang-kota/ diakses pada 2 Maret 2014 pukul 18.30 WIB.
[7] Karl Marx dan Friedrich Engels, Manifesto Partai Komunis, diunduh dari http://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1848/manifesto/ch01.htm#bab1 diakses pada 2 Maret 2014 pukul 23.00 WIB
[8] David Harvey, “Imperialisme Baru, terj.” (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. 121
[9] David Harvey, Imperialisme Baru, op.cit. hlm. 98
[10] Ibid. hlm. 121
[11]Anwar Ma’ruf, “Anwar Ma’ruf: Kapitalisme adalah Sistem yang Kontradiktif dan Selalu Sakit”, diunduh dari http://indoprogress.blogspot.com/2010/02/anwar-maruf-kapitalisme-adalah-sistem.html diakses pada 3 Maret 2014 pukul 12.00 WIB
[12] David Harvey, “The Condition of Postmodernity: An Enquiry into the Origins of Cultural Change”, (Cambridge and Oxford: Blackwell Publishers, 1989), p. 106.
[13] David Harvey, “Rights to The City”, New Left Review, Edition 53, September 2008. hlm. 34
[14] Coen Husain Pontoh, “Hak Atas Kota”, diunduh dari http://indoprogress.com/hak-atas-kota-2/ diakses pada 20 Oktober 2013 pukul 11.10 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar