Oleh Hilmar Farid*
Sejarawan
Pernah dimuat di
link http://www.scribd.com/doc/42568791/Masalah-Kelas-Dalam-Ilmu-Sosial.
Dimuat ulang disini dengan persetujuan penulis dan untuk tujuan pendidikan.
Pengantar
Setiap orang yang ingin menulis tentang masalah kelas di
Indonesia tentu akan segera menyadari betapa langkanya literatur mengenai topik
tersebut. Kelangkaan itu begitu hebat sehingga seorang mahasiswa undergraduate
yang baru mulai belajar tentang Indonesia pun dengan mudah dapat menyorotinya
(Levine 1969). Ia menilai para sarjana di zaman itu hanya sibuk dengan
perkembangan politik harian di parlemen, partai politik dan birokrasi pemerintah.
Buruh, petani, pengangguran, kelas menengah perkotaan dan pedagang atau tuan
tanah kecil hanya sesekali tampil dalam tulisan mereka sebagai ‘massa’. Walau
hanya berbicara tentang dunia akademik di Amerika dan Australia, kritik itu
jelas berlaku untuk ilmu sosial di Indonesia sendiri. Beberapa tahun kemudian
Benedict Anderson – seorang sarjana terkemuka dalam studi Indonesia – sambil
lalu mengatakan bahwa ada beberapa karya “yang menunjukkan bahwa seruan Levine
(untuk memperhatikan kelas) tidak sepenuhnya diabaikan (Anderson 1982: 89).
Tidak jelas karya dan penulis mana yang dimaksud, tapi pencarian sederhana
dalam database elektronik atau katalog perpustakaan saya kira membuktikan bahwa
tak seorang pun yang dibayangkan Anderson dalam komentar pendek itu adalah
ilmuwan Indonesia.
Bagi mereka yang mengamati sejarah politik Indonesia
modern, menghilangnya konsep dan diskursus kelas dalam ilmu sosial ini akan
cepat dikaitkan dengan munculnya Orde Baru. Seperti halnya penghancuran
berbasis kelas ‘membersihkan lahan’ bagi pembangunan (Hilmar Farid 2000),
represi dalam dunia keilmuan ‘membersihkan pikiran’ dan diiringi oleh apa yang
oleh seorang penulis disebut ‘de-edukasi’ (Ward 1973: 75). Orde Baru memastikan
bahwa konsep kelas menghilang dari diskursus politik dan keilmuan dengan
menyingkirkan semua intelektual yang mengusung perspektif semacam itu dan
mengganti semua istilah yang lazim mereka gunakan dengan bermacam istilah baru
yang dianggap lebih sesuai oleh rezim. Akibat dari represi semacam ini sangat dalam
dan mungkin melebihi apa yang dibayangkan oleh penguasa sendiri. Penulis dan
ilmuwan sosial selalu berkompromi sejak dalam pikiran, menghindari istilah dan
topik yang sensitif, dan akhirnya seringkali seperti kehilangan daya untuk
menerangkan maksud mereka sesungguhnya.
Bagian awal tulisan ini akan membahas berbagai perubahan
dan discursive practices setelah peristiwa 1965-66 yang turut membentuk
ilmu sosial di Indonesia. Sikap anti-komunis dan doktrin pembangunan melalui
pertumbuhan dan stabilitas, praktek ‘massa mengambang’, peran Amerika Serikat
dan gagasan modernisasi yang lahir dalam Perang Dingin, adalah unsur-unsur
penting untuk memahami discursive formation ilmu sosial di Indonesia
semasa Orde Baru. Banyak masalah yang kemudian dikeluhkan para ilmuwan sendiri,
seperti rendahnya kualitas penelitian, mentalitas proyek, kelangkaan kritik
teori serta menghilangnya berbagai konsep penting seperti kelas dan gender
dalam ilmu sosial, sangat dipengaruhi masalah ini.[1]
Sejumlah intelektual sejak 1970-an mulai mengkritik paham liberal yang dominan
dalam ilmu sosial di Indonesia dan menawarkan ‘ilmu sosial historis’ sebagai
alternatifnya, yang antara lain memperkenalkan kembali konsep kelas. Usaha itu
cukup berhasil menantang paradigma dominan itu dengan membongkar bias ideologi
dan politik yang terkandung di dalamnya, tapi gagal melakukan pembalikan
radikal terhadap apa yang mereka kritik.
Dari pengamatan terhadap beberapa studi dan tulisan dalam
langgam ‘ilmu sosial historis’ dan perbandingannya dengan analisis kelas dalam
doktrin ortodoksi Marxis, saya berusaha merumuskan sebuah kerangka analisis
kelas yang berguna untuk menjangkau “lebih dari apa yang nampak di permukaan”
(Levine 1969: 5). Berkebalikan dengan anggapan bahwa masalah kelas tidak
relevan lagi dalam ‘dunia serba-pasca’ sekarang ini, saya ingin menunjukkan
bahwa analisis mengenai kapitalisme dan kelas tetap berperan penting: bukan
hanya untuk memahami realitas sosial, tapi juga untuk mengubahnya.
Orde Baru dan Menghilangnya Kelas
Mobilisasi anti-komunis yang dikobarkan penguasa Orde Baru
mencapai puncaknya pada pembubaran PKI dan pelarangan Marxisme melalui
ketetapan lembaga tertinggi negara. Untuk memastikan bahwa semua jargon politik
radikal tersingkir dari diskursus publik maupun dunia akademik, penguasa
menciptakan dan memaksakan penggunaan berbagai istilah baru sebagai gantinya.
Istilah ‘buruh’ misalnya dilarang dan diganti dengan ‘karyawan’ atau ‘pekerja’,
sementara istilah ‘Tionghoa’ diganti menjadi ‘Cina’.[2]
Dalam ilmu sosial pengaruhnya kemudian terlihat dengan munculnya konsep-konsep
generik seperti ‘golongan miskin’ atau ‘golongan berpenghasilan rendah’ sebagai
pengganti konsep kelas pekerja atau proletariat. Jika dalam diskursus publik
kemunculan istilah ini biasanya ditafsirkan semata sebagai eufemisme, maka
dalam ilmu sosial pengaruhnya jauh lebih mendalam. Rangkaian konsep generik ini
tidak memiliki kekuatan analitik, hampa secara politik, dan dengan begitu
memperkuat watak a-politis ilmu sosial masa Orde Baru. Sepintas lalu perubahan
ini adalah gema dari mitos “mencairnya batas-batas kelas” yang sangat kuat
dalam ilmu sosial liberal di Amerika Serikat awal 1950-an (Westergaard 1972).
Namun, sementara di Amerika dan Eropa mitos itu berkembang dalam perdebatan
panjang dengan analisis kelas yang bersumber dari Marxisme, di Indonesia
kalangan intelektual menelan mitos tersebut dalam kehampaan akibat represi.
Sampai saat ini belum jelas berapa sarjana, pengajar,
peneliti dan mahasiswa dalam bidang ilmu sosial yang dibunuh, ditahan, diasingkan
atau tidak dapat kembali ke Indonesia sejak Oktober 1965. Tapi melihat skala
represi yang begitu luas dan pengawasan ketat terhadap dunia akademik, dapat
dipasikan bahwa hampir semua intelektual yang mengusung perspektif kesetaraan
yang radikal tersingkir dari arena itu. Di beberapa kampus bahkan terjadi
kekurangan tenaga pengajar akibat represi ini (Danandjaja 1989: 390). Mereka
yang kembali dari tahanan umumnya tidak diperkenankan mengajar atau meneruskan
kegiatan mereka di bidang keilmuan. Sebagian lain, yang saat pembasmian sedang
berada di luar negeri, karena berbagai alasan tidak pernah kembali maupun
terlibat dalam pembentukan wacana ilmu sosial di Indonesia.
Perkembangan ini membuat kehidupan akademik sesudah 1965
didominasi oleh kalangan intelektual yang baik karena orientasi ideologi dan
politiknya, maupun karena alasan keselamatan pribadi, mendukung Orde Baru.
Mereka umumnya berasal dari keluarga aristokrat, pedagang kecil dan pegawai
negeri, yang lulus dari sekolah Belanda dan mengikuti pendidikan tinggi setelah
kemerdekaan (MacDougall 1975). Sebagian bagian dari elite yang tengah menanjak
di masa kemerdekaan dan karena ikatan keluarga aristokrasi, mereka jelas tidak
berminat pada perubahan tatanan sosial secara radikal, apalagi yang akan
mengancam posisi mereka sendiri (McVey 1969: 10). Pertentangan tajam mengenai
arah pembangunan Indonesia sejak kemerdekaan yang diperkuat oleh Perang Dingin,
mendorong kalangan ini masuk ke dalam kubu anti-komunis yang dengan gigih
mencari jalan mencegah Indonesia jatuh ke tangan komunis. Sebagian dari mereka
telah menjalin hubungan kuat dengan militer sejak awal 1960-an, yang kemudian
menjadi poros utama dalam aliansi militer-sipil untuk menggulingkan Soekarno
dan membentuk Orde Baru.[3]
Bagi penguasa militer keberadaan mereka tidak hanya memperkuat legitimasi
dengan memberi wajah sipil pada rezim militer, tapi juga berguna untuk mengisi
pengambilalihan kekuaaan dengan rencana yang konkret. Dengan rencana
pembangunan yang bersandar pada ekonomi pasar dan gagasan modernisasi, mereka
memberi ‘landasan ilmiah’ pada sikap anti-komunis penguasa Orde Baru (Salim
1991; Sumawinata 1992).
Dalam ilmu sosial yang baru mulai diperkenalkan di
perguruan tinggi secara luas pada awal 1960-an, proses itu berjalan lebih lamban.
Pada tahun-tahun pertama setelah represi kalangan ilmuwan sosial hanya sibuk
membenahi masalah teknis, seperti kekurangan tenaga pengajar, pembukaan
fakultas dan program studi ilmu sosial di berbagai perguruan tinggi. Hanya ada
beberapa sarjana yang memiliki pengetahuan dan keyakinan cukup untuk memompa
semangat anti-komunis dan sekaligus anti-politik dalam bidang studinya. Di sisi
lain situasi itu membuat teori modernisasi bukan sekadar satu dari sekian
kemungkinan untuk memahami masyarakat, tapi satu-satunya teori atau
dengan kata lain menjadi ilmu sosial itu sendiri. Bayangan akan masa depan
Indonesia yang modern, rasional dan maju dalam bidang ekonomi melalui sistem
pasar dan ingatan mengenai masa lalu yang penuh kekacauan dan bahaya
radikalisme politik yang ditanamkan penguasa Orde Baru, secara perlahan
menumbuhkan keyakinan akan kebenaran ‘teori’ itu
Konsep kelas tentu saja berada di luar orbit keyakinan
ini, terlebih lagi karena “ada prasangka budaya sosial atau budaya
politik, yang menduga bahwa masyarakat kita sangat egaliter.” (Tjondronegoro
1997: 83). Masyarakat digambarkan sebagai kesatuan yang utuh, di mana pemisahan
antara elite atau pemipin dan massa tidak ada kaitannya dengan struktur sosial
yang timpang, melainkan karena kharisma atau ascribed status yang seolah
melintasi sejarah.[4] Tidak
adanya konflik tajam di daerah pedesaan – setelah pembunuhan massal mereda
pertengahan 1960-an – memperkuat keyakinan bahwa masyarakat Indonesia dalam
keadaan ‘normal’ pada dasarnya hidup rukun sekalipun ada perbedaan dalam
penghasilan, etos kerja dan nasib. Ilmu sosial dalam konteks ini tidak sekadar
memberi konfirmasi ilmiah pada kebijakan pemerintah, tapi bahkan menjadi bagian
integral dari kebijakan itu sendiri.
Kegamangan mulai nampak ketika pembangunan yang
berorientasi pada pertumbuhan memperkuat pemisahan sosial dalam masyarakat.
Rezim Orde Baru dan intelektual pendukungnya terus menghadapi dilema karena di
satu sisi berpegang pada organic state discourse yang mengingkari
perbedaan, tapi di sisi lain harus mengakui terjadinya pemisahan untuk menjaga
kontrolnya. Dalam dunia industri misalnya, doktrin kemitraan (partnership)
antara buruh dan pengusaha bertabrakan dengan upaya rezim menerapkan
undang-undang perburuhan yang mempertegas perbedaan antara buruh dan majikan
untuk melindungi kepentingan yang disebut belakangan. Ketika gejolak perburuhan
muncul pada 1980-an, rezim tetap bersikukuh pada konsep kemitraan dan
mengatakan bahwa gerakan buruh ditunggangi oleh kelompok radikal yang ingin
menjatuhkan pemerintah. Kekacauan dalam negara organik selalu disebabkan oleh
kelompok lain yang datang dari ‘luar’ (yang selalu digambarkan sebagai kekuatan
yang ‘asing’ [alien] dalam sejarah maupun kebudayaan Indonesia). Perbedaan
dalam masyarakat sendiri, antara buruh dan majikan misalnya, tidak mungkin
mengarah konflik karena “tidak sesuai dengan dasar negara Pancasila.” (Moertopo
1980: 33-34). Pandangan ini mengarah pada logical fallacy yang parah.
Kenyataan sosial menjadi ada atau sebaliknya tidak ada semata-mata karena
ideologi negara, penguasa dan intelektual pendukungnya menghendakinya demikian.[5]
Dalam konteks ini penggantian istilah ‘kelas’ menjadi ‘golongan’ – yang
bertolak dari argumen bahwa masyarakat Indonesia yang egaliter tidak mengenal
perbedaan kelas seperti dalam masyarakat Barat – lebih dari sekadar eufemisme,
tapi penanaman logika ad baculum yang terus mengendap dalam diskursus
publik maupun ilmu sosial.
Untuk memahami pemikiran yang mengalir dari arsitektur discursive
formation ini lebih jauh, apa yang dikatakan oleh kalangan ilmuwan sama
pentingnya dengan apa yang tidak dikatakan. Studi tentang industrialisasi yang
dilakukan oleh intelektual Orde Baru umumnya terarah pada masalah pasar dan
kesempatan kerja, investasi dan pertumbuhan serta kesiapan dan mental
masyarakat untuk memasuki era industri. Studi seperti ini biasanya dikerjakan
dalam rangka memberikan nasehat atau masukan bagi para penentu kebijakan dan
proyek pembangunan yang diselenggarakan pemerintah.[6]
Penyerobotan tanah, kerja paksa, diskriminasi terhadap perempuan, kekerasan dan
represi yang menjadi unsur penting dalam proses industrialisasi sementara itu
tidak pernah dibahas, dan bahkan dihindari. Penguasa Orde Baru secara agresif
menunjukkan keberatan mereka terhadap studi semacam itu dan kalangan
intelektual membenarkan sikap tersebut dengan menganggap gejala-gejala ini
sebagai ‘insiden’ yang berada di luar ranah keilmuan.
Krisis dan Ilmu Sosial Kritis
Keresahan dan ketidakpuasan terhadap pembangunan Orde Baru
sudah mulai tumbuh sejak awal 1970-an. Kalangan elite, intelektual dan aktivis
mahasiswa yang semula mendukung Orde Baru mulai gamang karena proyek
modernisasi yang semula nampak begitu solid ternyata tidak berjalan mulus.
Strategi technological diffusion, investasi dan kepemimpinan yang kuat
ternyata tidak dengan sendirinya melahirkan masyarakat modern dan demokrasi.
Justru sebaliknya pembukaan ekonomi bagi modal dan perdagangan internasional
cenderung melahirkan oligarki militer yang korup dan otoriter. Ada dua reaksi
berbeda di dalam orthodoxy ilmu sosial. Sebagian besar mengikuti conservative
turn dalam paham modernisasi yang menekankan perhatian pada tertib politik
sebagai pendamping pertumbuhan ekonomi.[7]
Masyarakat yang belum modern dalam pandangan ini tidak dapat dipercaya untuk
menerima distribusi kekuasaan. Studi mereka umumnya berusaha membuktikan
argumen itu dengan memperlihatkan lemahnya kepemimpinan sosial dan lembaga desa
atau adat, dan di sisi lain menekankan pentingnya militer dalam akselerasi
modernisasi di Indonesia (Moertopo 1974). Sebagian lain melontarkan
‘kritik’ bahwa modernisasi yang dijalankan selama ini hanya mengacu pada
nilai-nilai Barat, padahal menurut mereka, banyak nilai tradisi yang
sesungguhnya positif dan perlu mendapat perhatian pemerintah dalam rangka
mendorong modernisasi (Amman 1971; Mattulada 1979).
Kritik yang lebih tajam muncul dari luar ortodoksi,
terutama dari kalangan intelektual dan mahasiswa yang sejak awal 1970-an
memprotes berbagai proyek pembangunan dan kebijakan pemerintah (Budiman 1978;
Akhmadi 1981).[8] Mereka
lebih jauh mengkritik ortodoksi yang melihat kemiskinan dan beragam masalah
sosial sebagai akibat dari kemalasan dan keterbelakangan budaya (Sujatmoko
1980; Siahaan 1980; Alfian et.al. 1980). Ketimpangan dan kemiskinan, termasuk
pemisahan sosial dalam masyarakat, menurut mereka adalah warisan kolonialisme
yang tidak mengalami perubahan selama kemerdekaan, dan membuat Indonesia
menjadi negeri terbelakang dan tergantung pada modal internasional (Sasono dan
Arief 1981). Sebagai kritik terhadap ortodoksi yang a-historis, beberapa
penulis kemudian mencanangkan perlunya ‘ilmu sosial historis’ atau ‘ilmu sosial
kritis’ (Budiman 1983; Bulkin 1984).
Kerangka pemikiran ini bagaimanapun lebih dipersatukan
oleh kritik terhadap ortodoksi, khususnya paradigma modernisasi, ketimbang
agenda riset atau kerangka teoretik yang koheren. Analisis tentang basis sosial
otoriterianisme Orde Baru membawa para penganjur ilmu sosial historis ini
bersentuhan dengan teori ketergantungan dan neo-Marxis. Beberapa penggal
pemikiran seperti debat Miliband-Poulantzas tentang negara dan debat cara
produksi di Dunia Ketiga turut mewarnai diskusi yang juga melibatkan
kelompok-kelompok mahasiswa di berbagai kota. Konsep kelas menyembul dalam
diskusi ini dengan rujukan pada literatur yang sangat beragam, mulai dari
Barrington Moore, Anthony Giddens, sampai Louis Althusser dan Mao Zedong.
Beberapa inisiatif seperti Forum Ilmu Sosial Transformatif (FIST) yang berusaha
mempertemukan berbagai kecenderungan baru ini hanya berusia pendek dan lebih
merupakan upaya menggalang kekuatan oposisi di kalangan intelektual ketimbang
proyek intelektual yang koheren dan sistematis. Para penulis secara sporadik
menggarap tema-tema tertentu yang dianggap penting dan hampir tidak pernah synthesize
argumentasi teoretik maupun temuan empiriknya sehingga menjadi body of
literature yang signifikan.
Salah satu ‘proyek’ terpenting dari langgam ini adalah
studi tentang kelas menengah dan perannya dalam proses demokratisasi. Kalangan
intelektual kritis melihat bahwa gerakan mahasiswa, kegiatan LSM dan kritik
sosial dalam media massa serta ekspresi artistik adalah tanda-tanda kebangkitan
kelas menengah dan karena itu merasa perlu membekali diri dengan perangkat
teoretik agar dapat memahami dan mendorong gerakan kelas menengah itu lebih
lanjut. Sebagian besar studi dicurahkan untuk mengenali sosok kelas menengah
melalui pendapatan, gaya hidup, bahasa dan perilaku sosialnya. Hanya sedikit
yang bergerak lebih jauh menuju analisis yang lebih sistematis dan ketat untuk
merumuskan keberadaan kelas menengah dalam sistem kapitalis di Indonesia
(Bulkin 1983, 1984; Kuntowidjojo 1985; Muhaimin 1985; Mahasin 1990; Heryanto
1990). Dalam studi yang lebih sistematis mengenai kelas ini pun dorongan untuk
membicarakan kelas menengah sebagai agen perubahan nampak jauh lebih kuat,
sehingga sekalipun menyadari bahwa secara konseptual istilah ‘kelas menengah’
sangat bermasalah, tidak banyak yang tergerak untuk menelaahnya lebih mendalam.
Gairah mencari agen perubahan ini mendapat dorongan baru
dengan munculnya konsep civil society (Budiman, ed. 1990). Diskusi
tentang kelas menengah pun surut karena dalam konsep ini – memelintir sedikit
perkataan Hegel – “semua sapi dibiarkan abu-abu”. Perbedaan kelas dan
masalah serta ketegangan yang ditimbulkan perbedaan itu praktis tidak banyak
dibicarakan lagi.[9]
Konsep civil society menjadi perangkat ampuh untuk menekankan
ketimpangan dalam hubungan negara dan masyarakat, dan sekaligus memberi
landasan ilmiah bagi sentimen anti-otoriterianisme. Namun keyakinan ini pun
tidak bertahan lama. Terguncangnya kekuasaan otoriter yang terpusat kemudian
terbukti memberi jalan pada banyak kecenderungan baru yang tak pernah
dibayangkan sebelumnya: tumbuhnya kelompok-kelompok militan berbasis agama dan
etnik, dominasi preman dalam politik, kerusuhan dan kekerasan komunal.
Menghadapi kenyataan ini sebagian intelektual dan aktivis berpaling kembali
pada berbagai aksioma teori modernisasi dan mulai berbicara tentang ‘civilized
society’, pluralisme, kesantunan politik modern dan good governance,
yang diperjuangkan oleh sebuah ‘persekutuan aneh’ yang melibatkan intelektual
publik, civil society organizations, lembaga keuangan internasional dan
kalangan bisnis.
Gerakan LSM, aktivis mahasiswa dan sebagian intelektual
publik mendorong valorization of civil society ini ke arah berbeda.
Mereka umumnya sangat kritis terhadap globalisasi neoliberal, utang luar
negeri, lembaga keuangan internasional serta militerisme. Gerakan civil
society menurut pandangan ini adalah alternatif untuk membangun ‘dunia yang
lebih baik’ dengan menekankan partisipasi, penghargaan terhadap otonomi
komunitas dan perekonomian yang berorientasi pada kesejahteraan. Sumber
inspirasi utamanya adalah new social movements yang melintasi perbedaan
kelas, tidak dogmatik dan menjunjung perspektif kerakyatan (populisme). Aksi
politik yang dominan dalam gerakan ini adalah advokasi dan kampanye untuk
‘meningkatkan kesadaran’ orang yang dibela maupun sebagian elite yang memiliki concern
terhadap masalah-masalah yang mereka persoalkan.
Sekalipun memiliki perbedaan mendasar baik dalam hal
pijakan teoretik maupun orientasi politik, kedua arus gerakan civil society
ini menganggap kelas tidak lagi menempati peran penting dalam analisis sosial
maupun diskursus politik. Bagi mereka yang memegang paham liberal (dan
neoliberal) diskusi tentang kelas dan pertengangan kelas dalam masyarakat
adalah sebuah anathema. Sementara kalangan yang lebih kritis menganggap
analisis dan praktek politik berbasis kelas sudah ketinggalan zaman dan tidak
relevan di hadapan kenyataan sosial yang semakin kompleks. Kedua cara pandang
ini, dengan aksentuasi berbeda-beda, melihat pentingnya masyarakat membuat
kontrak sosial baru dengan penguasa untuk mengurangi (bukan menghapus) ketimpangan,
mendorong electoral politics yang bersih dan berwibawa dan
memperjuangkan reformasi lembaga-lembaga politik. Dalam arus pikiran ini
perspektif yang menekankan perbedaan kelas bukan hanya ketinggalan zaman tapi
bahkan mengganggu tercapainya persatuan yang mutlak diperlukan untuk menghadapi
otoriterianisme.
Saya berpendapat sebaiknya. Dalam situasi sosial yang
semakin ‘kompleks’ sekarang ini analisis kelas justru semakin relevan dan dapat
membantu mencari jalan keluar dari kebuntuan teoretik dan politik yang dihadapi
gerakan demokrasi. Langkah awal yang penting untuk mengembangkan analisis dan
diskursus kelas adalah membongkar bermacam mitos dan doktrin yang menyertainya.
Ilmu sosial historis dalam hal ini relatif berhasil membongkar muatan ideologis
dari teori modernisasi dan paham liberal, tapi tidak mencapai kemajuan berarti
dalam dialognya dengan tradisi Marxis.
Perang Dingin, Kelas dan Marxisme
Istilah ‘kelas’ mulai menjadi bagian dari kosakata gerakan
nasionalis sejak awal abad ke-20 saat ketika para pemimpin gerakan
bersinggungan dengan gagasan sosialis yang dibawa oleh aktivis sosialis
Belanda. Ketimpangan yang tajam antara penduduk bumiputra dan Eropa, kehadiran
perkebunan dan negara kolonial membuat diskursus kelas bertumpang-tindih dengan
rangkaian konsep yang lahir dari perlawanan terhadap kekuasaan asing, seperti
bangsa dan rakyat.[10]
Analisis kelas yang lebih sistematis mulai dilakukan oleh PKI dan serikat buruh
yang mulai menyerap Marxisme – lebih tepatnya garis politik Komintern – ke dalam
diskursus gerakannya (McVey 1965; Shiraishi 1990). Kedekatan pada analisis
kelas dari Komintern, dan kecenderungan mem-proletar-kan gerakan nasionalis
menjadi masalah serius dan merangsang serangkaian perdebatan yang kadang
mengarah pada perpecahan dalam gerakan (Hilmar Farid 1993). Penumpasan
pemberontakan 1926-27 oleh penguasa kolonial mengakhiri proses pergulatan itu
dan sekaligus mengubah arena gerakan nasionalis.
Diskursus kelas di Indonesia sejak awal sangat dipengaruhi
oleh ortodoksi Marxis yang dicanangkan oleh Uni Soviet di bawah Stalin.[11]
Ortodoksi ini mengubah pikiran Marx dari analisis teoretik mengenai konflik
antagonistik antara eksploitasi kapitalis dan perjuangan pekerja untuk
pembebasan menjadi pembenaran teoretik bagi akumulasi sosialis dan kekuasaan
yang terpusat. Pada jantung analisis ortodoksi ini terletak pemikiran
teleologis mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat yang linear. Semua
masyarakat di dunia dibayangkan bergerak melalui tahap perkembangan dari
komunisme primitif, perbudakan sampai pada feodalisme dan kapitalisme. Dorongan
tanpa henti dari kekuatan produktif membuat hubungan yang mengatur produksi
senantiasa perlu diperbarui. Dalam masyarakat kapitalis ini berarti mendobrak
hubungan buruh-kapitalis yang membelenggu kekuatan produktif untuk menuju
tatanan masyarakat yang lebih maju, yakni sosialisme.
Walau sudah bersinggungan sejak 1920-an, pengaruh
ortodoksi dalam diskursus kelas di Indonesia baru mulai menguat pada awal
1950-an. Usaha pertama yang menggunakan pemikiran ortodoksi ini untuk
menganalisis situasi kelas di Indonesia secara menyeluruh adalah Masyarakat
Indonesia dan Revolusi Indonesia, karya pemimpin PKI, D.N. Aidit (1957).[12]
Mengikuti historiografi ortodoks mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat, Aidit
menggambarkan perjalanan Indonesia melalui komunisme primitif, perbudakan dan
feodalisme. Kekuasaan kolonial menghalangi tahap selanjutnya menuju kapitalisme
dengan tetap mempertahankan kekuatan feodal, yang menjadikan Indonesia sebagai
negeri ‘semi-kolonial dan semi-feodal’.[13]
Perkembangan ini membuat Indonesia seperti negeri bekas jajahan lainnya
memiliki struktur kelas yang berbeda dari negeri kapitalis di Eropa. Ia membagi
masyarakat ke dalam enam kelas utama yang sepenuhnya ditentukan oleh posisi mereka
secara ekonomi maupun sosial: tuan tanah feodal, kapitalis komprador,
borjuasi nasional, borjuis kecil perkotaan, petani dan proletariat. Analisis
selanjutnya lebih terarah pada potensi maupun impotensi masing-masing kelas
sebagai kekuatan revolusi. Dinamika pertentangan kelas nyaris absen dalam
tulisan itu karena, seperti tercermin dari politik PKI, tidak bisa menjadi
prioritas dalam tahap perjuangan nasional-demokratik.
Jika diikuti secara seksama, diskursus kelas PKI lebih
terkait dengan situasi politik ketimbang bertolak dari analisis mengenai
kapitalisme. ‘Borjuasi komprador’ misalnya secara eksklusif digunakan untuk
mengkategorikan kekuatan politik anti-komunis, terutama Masyumi dan PSI.
Setelah kedua partai itu dilarang karena terlibat pemberontakan PRRI – yang
bagi PKI merupakan wujud persekutuan kekuatan imperialis dan kaki-tangan
kompradornya – kategori itu pun menghilang dari diskursus PKI dan diganti oleh
istilah ‘kapitalis birokrat’, yang terutama berlaku bagi para pejabat yang
memusuhi partai. Pendekatan serupa dapat dilihat dalam analisis partai mengenai
pembagian kelas di pedesaan (Aidit 1964). Laporan berdasarkan penelitian di
beberapa desa Jawa Barat itu membuat kategorisasi kelas tidak semata-mata
berdasarkan kriteria sosial dan ekonomi, tapi juga sikap politik sehingga
melahirkan kategori seperti ‘tuan tanah baik’ dan ‘tuan tanah jahat’.[14]
Dalam banyak hal, analisis PKI mengenai susunan kelas lebih terlihat seperti
tafsir politik yang menggunakan jargon kelas ketimbang analisis kelas terhadap
situasi politik.
Situasi perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua
kubu dan memperkuat statism yang mengaburkan perbedaan kelas dalam
masyarakat, turut mempengaruhi diskursus kelas yang dikembangkan PKI dan
organisasi radikal lainnya. Sebagai bagian dari front melawan imperialisme,
para pemimpin PKI lebih sering mengobarkan nasionalisme radikal ketimbang
perjuangan kelas, di mana rakyat yang revolusioner tampil sebagai
kesatuan melawan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme. Masyarakat Indonesia
dalam kerangka ini terbelah antara mereka yang setuju pada politik pemerintah
yang menentang dua ‘kekuatan jahat’ ini (dan dengan begitu menjadi bagian dari
rakyat, terlepas dari asal-usul dan kepentingan kelasnya) dan mereka yang
menentangnya. Pergeseran ini tentu
menimbulkan ketegangan di kalangan pemimpin partai, terutama ketika Aidit
mengumumkan bahwa tugas-tugas perjuangan kelas harus tunduk pada kepentingan
nasional (Mortimer 1975: 160-163). Ketegangan ini baru muncul dalam bentuk
kritik yang sistematis setelah Oktober 1965, ketika sebagian pemimpin partai
yang selamat membuat self-criticism dan menyoroti watak ‘borjuis’ para
pemimpin partai lainnya serta kesalahan PKI dalam memahami dinamika perjuangan
kelas.
Sepanjang pengetahuan saya, tidak satu pun ilmuwan sosial
kritis di Indonesia yang pernah menulis uraian menyeluruh tentang analisis
kelas yang dikembangkan PKI. Tapi menariknya hampir semua penulis – baik karena
alasan keamanan maupun academic respectability – ingin menekankan
perbedaannya dengan apa yang mereka bayangkan sebagai ‘Marxisme ortodoks’
(Bulkin 1983, 1984; Rahardjo 1985).[15]
Pengamatan yang sedikit teliti menunjukkan bahwa perbedaan ini lebih terletak
pada penggunaan istilah dan jargon teoretik-politik ketimbang substansi. Ortodoksi
Marxis baik versi Soviet, Tiongkok maupun PKI, dan ilmu sosial historis yang
berusaha menolak semua itu memiliki kesamaan yang sangat mendasar, yakni
kecenderungan membuat klasifikasi yang membagi masyarakat ke dalam
kotak-kotak yang disebut ‘kelas’. Upaya itu dimulai dengan membuat abstraksi
dari kenyataan dengan terlebih dulu mengisolasi subyeknya untuk dianalisis
bentuk dan isinya secara teliti, untuk selanjutnya dirumuskan sebagai ‘kelas’
yang dilengkapi sekian kriteria. Perbedaannya lebih terletak pada cara dan
kriteria yang digunakan serta skema kelas yang lahir dari upaya klasifikasi
tersebut; sementara Marxisme-Leninisme mengatakan pertentangan kelas inheren
dalam skema tersebut dan merupakan sebuah kontradiksi pokok yang menggerakkan
sejarah, analisis liberal maupun ilmu sosial historis melihat pertentangan
tidak hanya bersumber pada perbedaan kelas, tapi juga karena masalah etnik,
kebangsaan, agama, atau ras.
Persamaan antara analisis kelas PKI dan ilmu sosial
historis dapat dilihat misalnya dalam perlakuan masing-masing terhadap ‘kelas
menengah’. Bagi Bulkin, kelas menengah adalah “kelompok sosial dalam masyarakat
yang terdiri dari kaum intelektual, mahasiswa, pemimpin suratkabar, kaum
pengusaha dan pedagang pribumi, ahli hukum dan kelompok-kelompok
profesional lainnya.” (Bulkin 1984: 6). Mahasin sementara itu menetapkan
kriteria kelas menengah pada asal-usul sosialnya dalam keluarga priyayi, petani
kaya dan pedagang kecil, dan terutama pada kebudayaan dan gaya hidup yang
berbeda (Mahasin 1990: 91). Pemikiran ini tidak berbeda jauh dari Aidit yang
juga menggunakan kriteria pengaruh politik dan otoritas sosial dalam
analisisnya mengenai kelas di daerah pedesaan (Aidit 1964). Penetapan kaum
cendekiawan sebagai bagian dari kelas menengah perkotaan dalam ilmu sosial
historis karena pemikiran mereka yang terbuka (Bulkin 1983; Mahasin 1990) tidak
banyak bedanya dari kategori ‘intelektual progresif’ yang digambarkan Aidit
sebagai bagian dari borjuis kecil perkotaan. Usaha klasifikasi semacam ini
akhirnya seringkali terjerembab ke dalam pemberhalaan kategori yang bukan hanya
lemah secara teoretik tapi juga bermasalah secara politik.
Pada aras teoretik, kategorisasi kelas seperti ini
biasanya digunakan untuk menempelkan label pada seseorang atau kumpulan orang
yang dianggap memiliki karakteristik serupa. Masalah sangat mendasar akan
segera terlihat ketika konsep semacam ini menemui kenyataan sosial yang begitu
dinamis. Ketika krisis mulai melanda Indonesia, ribuan ‘tenaga profesional’
yang biasanya disebut kelas menengah kehilangan pekerjaan. Sebagian dari
mereka, jika mengikuti logika kategorisasi itu, untuk sementara waktu menjadi
orang ‘tanpa kelas’ karena tidak punya pekerjaan, menjadi bagian dari ‘kelas
pekerja’ dengan menjadi supir taksi, atau kembali menjadi ‘borjuis kecil
perkotaan’ dengan membuka toko setelah mendapat suntikan modal dari orang
tuanya yang kapitalis. Sama halnya dengan ratusan ribu buruh yang dipecat dan –
mengikuti kategorisasi kelas dari Aidit – menjadi ‘borjuis kecil’ karena tidak
lagi bekerja di pabrik dan menyambung hidup dengan menjadi perantara dalam
ekonomi obyekan di kota-kota besar. Upaya menetapkan batas-batas kelas
dengan cara seperti ini senantiasa menghadapi kesulitan ketika melihat
kenyataan sosial yang konkret, kecuali dengan cara mengubah kriteria dan
kategori itu terus-menerus sampai akhirnya kehilangan arti sebagai kategori. Di
samping tidak banyak membantu memahami dinamika masyarakat, kecenderungan ini
juga rentan terhadap kritik dari pandangan mainstream yang ingin
ditantang.
Skema kelas kapitalis di Indonesia yang dibuat Robison
(1986) tidak luput dari masalah seperti ini (Glassburner 1987). Sekalipun cukup
canggih dibandingkan kebanyakan skema kelas dalam ilmu sosial historis di
Indonesia dan bermanfaat untuk mengenali who is who dalam lingkungan
elite Orde Baru, analisisnya akan menemui masalah serupa seperti di atas ketika
misalnya membahas industri film dan sinetron yang dikuasai ‘kapitalis India’,
yang tidak termasuk dalam skema kelasnya. Dalam studi tentang wilayah lain ada
banyak penulis yang membentangkan skema kelas yang jauh lebih koheren, kompleks
dan terlihat meyakinkan (Portes 1985, 2003; de Little 1992, Wright 1997) jika
dibandingkan analisis kelas tentang Indonesia atau Asia Tenggara. Bagaimanapun,
semuanya masih bekerja dalam kerangka pemikiran yang sama dan akhirnya
terbentur pada persoalan teoretik yang sama. Dengan kata lain, masalahnya bukan
terletak pada ketepatan menentukan kategori dan menggambarkan skema kelas yang
canggih, tapi justru pada upaya membuat klasifikasi itu sendiri.
Secara politik, upaya menetapkan perbedaan kelas yang tepat
dan pasti dengan menggunakan bermacam kriteria bisa berakibat sangat
serius. Di Uni Soviet misalnya, Stalin menggunakannya sebagai dasar untuk
menindas ‘kelas kulak’ atau petani kaya yang menghambat revolusi. Di
Tiongkok pikiran Mao Zedong mengenai kelas menjadi dasar untuk menetapkan
‘musuh rakyat’ yang kemudian mendapat ganjaran atas watak kelasnya yang
anti-revolusi saat berlangsungnya Revolusi Kebudayaan.[16]
Kelas yang disimpulkan dari agregat sosial tertentu dalam konteks ini menjadi
berbahaya dan mematikan. Sebagai analisis untuk mendukung gerakan perubahan pun
kategorisasi kelas seperti ini bisa menjadi sangat menyesatkan. Gerakan buruh
di Indonesia misalnya saat ini menghadapi gelombang pemecatan massal yang
membuat ratusan ribu orang, termasuk sejumlah besar aktivis serikat buruh yang
militan, kehilangan pekerjaan. Jika menggunakan kategorisasi kelas yang ketat
maka saat dipecat mereka pun tidak lagi menjadi bagian dari kelas pekerja dan
karena itu tidak dapat (dan tidak perlu) diperjuangkan lagi oleh serikat buruh.
Skema labour flexibilization saat ini membuat organisasi buruh akan
kesulitan menetapkan strategi pengorganisasian dan perjuangan jika masih bersandar
pada konsepsi kaku mengenai kelas. Aktivis dan pemimpin serikat yang sekarang
memperjuangkan kepastian kerja dan tidak bersuara menentang sistem kontrak dan
skema flexibilization lainnya, bahkan bisa menjadi kekuatan konservatif
seperti yang menghambat berkembangnya gerakan buruh.
Menuju Analisis Kelas tentang Indonesia
Jalan buntu analisis kelas yang selama ini coba
dikembangkan di Indonesia menurut saya berakar pada dua masalah. Pertama,
kegagalan menempatkan keseluruhan diskursusnya dalam analisis mengenai sistem
kapitalis. Sekalipun mengklaim menekankan pentingnya sejarah, ilmu sosial
historis dalam banyak hal juga bersifat a-historis. Pandangan teleologis yang
menempatkan kapitalisme yang berkembang penuh atau matang sebagai titik tolak membuat
analisis mereka lebih terarah pada kegagalan atau hambatan yang dihadapi
masyarakat untuk menuju ke bentuk ideal tersebut, ketimbang memperhatikan
secara teliti bagaimana sistem kapitalis tumbuh dan berkembang dalam kenyataan.[17]
Masalah kedua adalah pemahaman yang keliru mengenai sistem kapitalis itu
sendiri. Baik PKI maupun ilmu sosial historis dalam hal ini tidak bergerak jauh
dari analisis ekonomi politik neoklasik, seperti halnya karya Walt Rostow hanya
menjadi mirror-image dari analisis Marxisme Soviet mengenai tahap-tahap
perkembangan masyarakat.
Dalam uraiannya tentang proses produksi kapitalis, Marx
(1867) menunjukkan kekeliruan ekonomi klasik yang mempertukarkan penampakan
dengan substansi, dan melihat hubungan antarmanusia yang kompleks sebagai thing.
Seluruh penjelasannya bertolak dari upaya membongkar reifikasi ini dengan
menelaah sistem kapitalis itu unsur demi unsur, dimulai dari komoditi sebagai
bentuk paling elementer dari kemakmuran dalam masyarakat kapitalis. Komoditi
dalam analisisnya bukan sekadar barang yang diperjual-belikan, tapi sebagai
perwujudan dari pertentangan labour and capital, dan karena itu lebih tepat
dilihat sebagai sebuah hubungan sosial. Bagi Marx, persoalan terpenting
kemudian adalah memahami bagaimana perwujudan itu (dan hubungan yang
melandasinya) tumbuh dan meluas dalam masyarakat. Ia menunjukkan bahwa sistem
itu hanya mungkin berjalan dengan adanya imposition of work, di mana
orang dipaksa untuk bekerja dan menjual tenaganya sebagai komoditi. Pemaksaan
itu inheren dalam kapital, dan sepanjang sejarah yang terjadi adalah pergulatan
antara labour and capital untuk menentukan (a) apakah kerja dapat dipaksakan
atau tidak, (b) intensitas kerja yang dipaksakan dan (c) harga dari kerja yang
dipaksakan. Hal yang membedakan produksi komoditi dalam sistem kapitalis dan
produksi komoditi pra-kapitalis adalah sifat terus-menerus dan tanpa batas (boundless).
Hanya dengan memaksakan kerja melalui bentuk komoditi kapital dapat bertahan
dan pemisahan kelas dapat dipelihara.
Dengan demikian, kapital bukan sekadar thing, tapi
keseluruhan proses yang dijabarkan Marx dalam skema M-C-M’, atau dengan kata
lain sebuah hubungan sosial yang bergerak. Kritik yang sangat elementer tapi
sering diabaikan dalam diskusi tentang kapital, termasuk oleh ortodoksi Marxis
dan ilmu sosial kritis di Indonesia. Dalam pandangan mereka, mengikuti ekonomi
klasik dan vulgar yang justru dikritik Marx, kapital adalah uang, barang, mesin
atau alat kerja yang digunakan dalam produksi komoditi. Kelas-kelas muncul di
sekitar pemilikan terhadap alat produksi dan memasuki pertentangan atau konflik
ketika ada ketidakadilan dalam menentukan ‘siapa mendapat apa’. Bagi Marx,
kapital itu sendiri adalah hubungan sosial yang mengandung kontradiksi dan
hanya dapat bertahan dengan mengatur semua segi kehidupan manusia ke dalam
kerja untuk menghasilkan komoditi. Sementara analisis ekonomi politik merasa
cukup valid menggunakan angka pertumbuhan ekonomi atau arus modal ke dalam
perekonomian tertentu, untuk mengukur perkembangan kapital, Marx menekankan
pentingnya memeriksa bagaimana produksi dan pengambilalihan surplus berlangsung
dalam kenyataan. ‘Kapital’ yang dimengerti sebagai uang, barang, mesin atau
alat kerja, dalam pandangannya tidak akan menjadi kapital tanpa adanya
kerja yang menciptakan nilai.[18]
Konsep kelas dalam kerangka ini digunakan untuk memahami
hubungan antagonistik dalam kapital sebagai hubungan sosial. Pemisahan
dalam masyarakat menjadi kelas-kelas merupakan prasyarat bagi produksi
kapitalis, yang dicapai melalui pemaksaan terutama dengan memisahkan orang dari
alat produksi dan reproduksi sosial, sehingga harus menjual tenaga kerjanya
untuk bertahan hidup. Proses ini di banyak tempat – Marx sendiri mengambil
contoh Inggris di mana kapitalisme telah mencapai bentuk yang lebih solid –
memakan waktu sangat panjang. Kelas dalam situasi ini tidak muncul seperti
“terbitnya matahari di ufuk timur”, seperti yang biasanya dibayangkan dalam
metode klasifikasi yang diuraikan di atas. Kelas juga bukan sebuah kategori
abstrak yang berlaku lintas-sejarah, tapi sebuah pengertian kunci untuk
memahami dinamika kapitalisme. Pikiran Marx dan banyak penulis Marxis lain di
luar ortodoksi Soviet dan Tiongkok, yang menolak pemberhalaan kategori dan
kembali menempatkan kelas dalam analisis tentang sistem kapitalis adalah titik
tolak penting untuk mengembangkan analisis kelas mengenai Indonesia. Uraian
lengkap dan menyeluruh tentang metode yang diperlukan berada di luar jangkauan
tulisan ini. Dalam uraian berikuat saya memusatkan perhatian pada persoalan
krusial dalam analisis kelas, yakni class formation, yang sangat langka
dalam literatur ilmu sosial kritis di Indonesia. Uraian itu akan merujuk pada
beberapa studi yang baik karena kekurangan maupun adequacy-nya dapat
membantu mengembangkan titik tolak tersebut.
The rise of capital oleh Richard Robison (1986) sering disebut sebagai usaha
pertama untuk mengembangkan analisis kelas mengenai politik kontemporer
Indonesia. Buku itu memberikan informasi cukup rinci mengenai kelas kapitalis
yang dibaginya menjadi empat kategori berdasarkan hubungan masing-masing dengan
kekuasaan negara. Kritik terhadap karya ini biasanya berkisar pada kelemahan
bukti-bukti empirik yang menunjang bangunan argumentasinya, atau rumusannya
mengenai faksi-faksi kelas kapitalis yang meragukan serta kegunaan analisis
kelas-nya untuk memahami perubahan kebijakan ekonomi (Glassburner 1987; Basri
1992).[19]
Padahal masalah utama dengan karya ini terletak pada pemahamannya mengenai
kelas dan kapitalisme. Robison mencurahkan perhatiannya pada ‘revolusi
kapitalis’ yang dibawa oleh Orde Baru, yang menurutnya melahirkan kelas-kelas
baru, termasuk kelas kapitalis domestik. Perbedaan kepentingan, orientasi
politik dan hubungan dengan birokrasi membuat kelas kapitalis ini tidak pernah
tampil sebagai kesatuan dan tetap lemah di hadapan negara, yang menjadi fokus
utama dalam tulisannya. Asal-usul kelemahan ini ditelusurinya dalam sejarah
kolonial yang gagal memberikan pondasi cukup bagi tumbuhnya kelas kapitalis
yang kuat. Dengan menyeleksi fakta-fakta historis yang menunjang argumentasinya
ia cukup berhasil menggambarkan tumbuhnya kelas kapitalis di Indonesia dan
menjelaskan mengapa kelas ini tidak berperan besar seperti ‘layaknya’ borjuasi
dalam sistem kapitalis. Tapi kerangka itu pada saat bersamaan menghalangi
penglihatannya mengenai proses ekspansi kapital dan dinamika sistem kapitalis
di Indonesia.
Pembahasan mengenai faksi-faksi kelas kapitalis dengan
menonjolkan perbedaan di antara mereka membuat ketegangan dan pertentangan
antara kelas kapitalis ini sebagai kesatuan dengan kelas pekerja tidak
tersentuh sama sekali. Hal ini terjadi karena pandangannya mengenai akumulasi
kapital adalah semacam pengumpulan kekayaan, terutama uang, yang ditanamkan
dalam sektor ekonomi tertentu. Masalah yang paling penting dengan begitu adalah
sumber daya, hubungan dan pengaruh politik (clientelism) dari
faksi-faksi kelas kapitalis dan akses masing-masing pada sumber keuangan. Cara
‘kapital’ direalisasikan menjadi kapital yang sebenarnya menjadi jantung
dari analisis mengenai sistem kapitalis, sepertinya merupakan sesuatu yang
tidak problematik. Dari uraiannya mengenai angka pertumbuhan, arus masuk modal
internasional, meningkatnya ekspor dan sektor industri manufaktur
memperlihatkan bahwa Robison – seperti banyak penulis lain dalam ilmu sosial
kritis Indonesia – masih melihat kapital sebagai aset atau benda dan
terperangkap dalam Verdinglichung (Marx 1867: 76-89). Pembentukan kelas
baginya lebih merupakan konsolidasi orang atau kelompok tertentu dalam berbagai
‘kategori’ yang disusunnya berdasarkan bebagai kriteria yang tidak ada
kaitannya dengan hubungan antagonistik yang inheren dalam kapital. Analisisnya
mengenai ‘revolusi kapitalis’ sepenuhnya terarah pada perubahan kebijakan di
masa Orde Baru yang membuka jalan bagi kembalinya modal asing dan bantuan untuk
mendorong pertumbuhan, sementara tatanan sosial yang memaksa orang menjadi
“angkatan kerja siap pakai” sebelum ‘kapital’ mengalir masuk dan sesudah
direalisasi menjadi kapital (yang membuat tatanan itu semakin kuat)
tidak tersentuh.
Analisis kelas yang berpijak pada pemahaman mengenai kapital
sebagai hubungan sosial memiliki penglihatan berbeda. Akumulasi kapital di
satu sisi memang merupakan pengumpulan uang dan aset di tangan kapitalis, tapi
di sisi lain juga merupakan akumulasi tenaga kerja, dan lebih penting lagi,
penguatan tatanan yang bersandar pada kerja melalui bentuk komoditi (commodity
form). Apa yang disebut Robison sebagai ‘revolusi kapitalis’ pada saat
bersamaan adalah ‘revolusi’ dalam kehidupan banyak orang yang dipaksa bekerja
melalui bentuk komoditi. ‘Bab yang hilang’ dalam tulisan Robison ini kemudian
diisi oleh beberapa studi tentang kelas pekerja di Indonesia pada masa Orde
Baru (Bourchier, ed. 1994; Hadiz 1997). Sementara Robison menggambarkan the
rise of capital, para penulis tentang buruh industri ini berbicara tentang the
other side of the rise of capital, tanpa melihat ketegangan dan konflik
laten di antara keduanya. Seperti Robison yang menjelaskan kemunculan kelas
kapitalis akibat mengalirnya bantuan asing dan modal ke Indonesia, Hadiz
mengatakan “[the] new industrial working class is largely the product of
Indonesia’s increasingly important manufacturing sector.” (Hadiz 1997:
111).Tapi keduanya tidak menjelaskan bahwa ‘kapital’ tu hanya dapat direalisasi
dengan menghancurkan bentuk produksi non-kapitalis dan memaksa orang bekerja
dalam logika kapitalis. Beberapa petunjuk yang tersebar dalam tulisan mereka,
sayangnya tidak dikembangkan lebih lanjut dan membiarkan masalah class
formation pun terbengkalai. Kehadiran “cheap and docile labour force” (Deyo
1986; Hadiz 1997) diterima sebagai kenyataan dalam late industrialised
countries tanpa memeriksa lebih jauh proses yang membuat orang ‘bersedia’
bekerja dalam situasi begitu buruk dan dengan upah sangat rendah. Pemisahan
orang dari alat produksi, komodifikasi dan akumulasi tenaga kerja dalam
produksi kapitalis absen dari penjelasan mereka, sehingga analisis mereka
mengarah pada pandangan mekanistik mengenai kelas buruh sebagai by-product
industrialisasi.
Pembahasan Marx mengenai ursrprungliche akkumulation
(original accumulation) dan perluasan kapital sebagai hubungan sosial
sangat penting untuk mengatasi kelemahan teoretik ini (dengan segala
implikasi politiknya). Dengan konsep ini Marx berusaha menjelaskan basis
historis bagi produksi kapitalis yang memisahkan produsen langsung dari alat
produksi, dan dengan begitu mengubah means of subsistence and production
menjadi kapital sementara para produsen menjadi pekerja-upahan (Marx 1867:
753). Keseluruhan proses itu memperlihatkan bahwa produksi kapitalis – yang
saat ini nampak sebagai sesuatu yang wajar – muncul dan menjadi dominan dalam
sejarah melalui paksaan, kadang bahkan dengan cara yang sangat brutal. Ursrprungliche
akkumulation ini adalah proses yang tidak hanya terjadi sekali dalam
sejarah. Dalam kata-kata Marx, “once this separation is given, the production
process can only produce it anew, reproduce it, and reproduce it on an expanded
scale (Marx 1858: 462). Perlawanan terhadap proses itu dan disruption
dalam produksi kapitalis selalu mendorong kapital untuk menjaga
keberlanjutannya dengan memperkuat dan memperbarui metode penaklukan.
Sejarah industri gula, tembakau dan karet di Jawa dan
Sumatra memperlihatkan proses ursrprungliche akkumulation ini dengan
jelas (Stoler 1985; Elson 1986; Knight 1989, 1992; Breman 1996). Sistem tanam
paksa di Jawa, pemberlakuan koelie ordonnantie dan poenale sanctie di
Sumatera yang mengikat pekerja dalam kontrak dengan hukuman berat jika mereka
melanggarnya, dan masuknya ekonomi uang adalah strategi yang diterapkan
penguasa kolonial untuk memastikan adanya tenaga kerja siap pakai yang dapat
menggerakkan ‘kapital’ menjadi kapital. Hal terpenting bukanlah nilai
yang diciptakan dalam proses ini dan banyak studi menunjukkan bahwa uang yang
dihasilkan dalam masa awal ini tidak banyak artinya bagi pembentukan ‘kapital’
di Belanda (Maddison 1989; van der Eng 1998). Masalah yang lebih penting adalah
pemisahan produsen dari means of subsistence dan alat produksi, atau
dengan kata lain penghancuran cara produksi non-kapitalis yang memaksa orang
bekerja melalui bentuk komoditi untuk menyambung hidup. Pemisahan yang
berulangkali terjadi dalam periode yang panjang adalah landasan bagi
perkembangan kapital di masa selanjutnya.
Peristiwa kekerasan 1956-66 di seluruh Indonesia di
samping merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, dalam konteks ini juga
merupakan momen ursprungliche akkumulation (Hilmar Farid 2001) yang
dapat memperjelas dimensi lain dari ‘revolusi kapitalis’ yang dibicarakan
Robison. Pembunuhan massal di banyak tempat diikuti perampasan tanah dan harta
milik lainnya, dan mencampakkan keluarga yang selamat sebagai ‘tenaga kerja
bebas’ (karena kehilangan tanah dan means of subsistence mereka).[20]
Stigma ‘PKI’ membuat para korban ini dan keluarga mereka bergentayangan mencari
kerja dengan kondisi yang sangat buruk sekalipun (sebagai ganti keselamatan
rahasia sebagai ‘eks-tapol’ atau ‘keluarga PKI’) dan berdesak-desakan membentuk
‘cheap and docile labour force’ di Indonesia. Penguasa Orde Baru pun secara
sistematis menggunakan ‘masalah komunis’ ini sebagai alat untuk memperketat
kontrol dalam hubungan industrial (Tanter 1988, 1990) dan mengatasi perlawanan
terhadap ekspansi kapital di pedesaan (Fauzi 1997). Di masa ini pula Orde Baru
memperkenalkan kembali kerja paksa dan represi fisik terhadap pekerja yang di
beberapa tempat berperan cukup penting bagi pertumbuhan ekonomi dan perluasan
kapital.
Seperti halnya ursprungliche akkumulation di masa
kolonial tidak berperan penting dalam pengumpulan kekayaan dan pembentukan
‘kapital’, kekerasan 1965-66 pun tidak menghasilkan surplus value yang berarti
bagi pembentukan ‘kapital’ di masa Orde Baru. Seperti ditunjukkan Robison,
‘kapital’ di masa Orde Baru dibawa masuk oleh bantuan dan pinjaman dari luar
negeri. Bagaimanapun, mengikuti pemikiran tentang kapital sebagai hubungan
sosial yang dikemukakan Marx, peristiwa kekerasan itu berperan penting
memisahkan tenaga kerja dan means of subsistence dan alat produksi dan
merupakan prasyarat bagi realisasi ‘kapital’ menjadi kapital. Hubungan
industrial yang diatur dan dipelihara dengan kekerasan menjadi landasan yang
memungkinkan perluasan dan intensifikasi kapital di masa selanjutnya. Tentu
saja ini tidak berarti bahwa Orde Baru mengandalkan perbudakan untuk
melancarkan akumulasi kapital, tapi praktek semacam itu juga tidak sepenuhnya
absen dari sejarah sistem kapitalis semasa Orde Baru.[21]
Pembentukan kelas di masa Orde Baru juga bukan proses ‘sekali jadi’, tapi
proses yang sangat kompleks yang hanya dapat dipahami secara penuh melalui
pengamatan historis yang cermat.
Pembahasan ini lebih jauh akan menuju pada pengertian
kelas pekerja yang selama ini dianggap identik dengan buruh (lebih khusus lagi industrial
labour) yang bekerja untuk mendapatkan upah. Analisis mengenai kapital
sebagai hubungan sosial memperlihatkan bahwa masalah terpenting dalam
pembentukan kelas bukanlah status resmi seseorang, tapi imposition of
work yang membelah masyarakat ke dalam kelas yang terpaksa bekerja dalam
bentuk komoditi dan mereka yang menarik keuntungan dan mengelola proses itu.
Tentu saja dalam kenyataan proses itu sangat rumit. Dalam produksi perkebunan
misalnya kebanyakan tenaga kerja pada musim tebang dan pengolahan adalah petani
yang direkrut untuk jangka waktu tertentu saja. Tapi seperti diperlihatkan
Stoler dalam studinya mengenai perkebunan di Sumatera Timur, kehadiran
perkebunan mempengaruhi “the core of community relations and domestic
organization.” (Stoler 1985: 189). Sistem kapitalis dengan begitu adalah sebuah
proses yang terus menerus melakukan pemisahan sosial melalui pemaksaan kerja,
dan mempengaruhi keseluruhan masyarakat dengan terus-menerus menyedot berbagai
aspek kehidupan ke dalam produksi komoditi. Kelas pekerja bukan hanya mereka
yang menjual tenaga kerja untuk mendapat upah tapi semua orang yang menciptakan
nilai atau berperan dalam menghasilkan surplus sekalipun tanpa upah.[22]
Analisis ini sebaliknya juga berpengaruh pada pemikiran
mengenai kelas kapitalis di Indonesia. Robison dalam beberapa tulisannya
mengenai persoalan ini (1982, 1985, 1986) nampak tidak konsisten. Di beberapa
bagian ia berusaha menegaskan keberadaan kelas kapitalis, tapi pada bagian lain
meragukan kesimpulannya sendiri (Winters 1996). Kerancuan ini terutama terjadi
karena Robison, seperti kebanyakan ilmuwan sosial kritis lainnya, mematok
analisis mereka dalam kerangka negara-bangsa (Indonesia) padahal kapital selalu
bersifat global. Alhasil keinginan untuk menemukan ‘kelas kapitalis domestik’
(karena adanya tekanan pada batas-batas negara-bangsa) cenderung mengarah pada
kesimpulan yang absurd, karena mengacaukan basis beroperasinya kapital dengan
identitas kebangsaan. Kategori ‘borjuasi nasional’ yang digunakan Robison saat
ini memerlukan redefinisi yang sangat mendasar mengingat sejumlah tokoh penting
dalam kategori ini sejak 1998 tidak lagi bermukim di Indonesia. Pemisahan
kapital domestik dan asing mungkin berguna untuk mengidentifikasi kepentingan
yang spesifik dari masing-masing dalam kaitannya dengan kebijakan ekonomi, tapi
tidak banyak artinya dalam diskusi tentang dinamika kapital.[23]
Dalam kerangka negara-bangsa militer dan birokrat Orde Baru membentuk ruling
class yang berperan penting dalam pengelolaan tenaga kerja dan produksi
kapitalis, tapi jika ditempatkan dalam konteks internasional, keberadaan mereka
tidak lebih sebagai watchdog dan perpanjangan tangan modal asing. Dalam
globalisasi neoliberal batas-batas negara bangsa tidak banyak artinya bagi
dinamika kapital, walaupun lembaga negara masih berperan penting untuk menjamin
keberlangsungan sistem itu dalam daerah yang dikuasainya.
Kelas, Teori dan Politik
Implikasi teoretik yang paling dasar dari kerangka
analisis kelas di atas adalah pemikiran ulang mengenai disciplinary division
yang dipegang kuat dalam ortodoksi ilmu sosial Indonesia.[24]
Uraian di atas menunjukkan perlunya sumbangan dari berbagai bidang studi mulai
dari ekonomi, sosiologi dan ilmu politik sampai hukum dan kriminologi. Proyek
semacam itu tentu tidak dapat dibayangkan dalam ortodoksi ilmu sosial Indonesia
yang masih terus mempertahankan ‘batas-batas’ ilmu sosial yang jelas dan
pasti. Dengan kata lain hal yang menghalangi berkembangnya analisis
kelas di Indonesia bukan hanya sentimen anti-komunis yang begitu kuat di lingkungan
intelektual Orde Baru, tapi juga pembagian ilmu sosial ke dalam berbagai disiplin
yang berbeda. Karena itu setiap telaah serius mengenai kelas dan kapitalisme di
Indonesia sudah sepatutnya menyeberangi batas-batas artifisial tersebut.
Mengingat kuatnya paham itu dalam ortodoksi ilmu sosial Indonesia, maka mungkin
yang diperlukan bukan hanya pemikiran ulang tapi bahkan unthinking
sebagai landasan paradigma yang baru (Wallerstein 1996).
Masalah lain adalah embedded statism dalam ilmu
sosial yang bermuara pada penetapan negara-bangsa sebagai unit analisis.
Penggunaan batas negara-bangsa tidak hanya mengandung problematik yang
diuraikan di atas, tapi juga cenderung mengarahkan seluruh diskusi di sekitar
kebijakan nasional ketimbang kenyataan sosial yang konkret di mana batas-batas
wilayah administratif tidak terlalu berarti. Analisis tentang kelas dan
kapitalisme di ‘Indonesia’ sejauh ini hanya berkutat pada pengalaman di wilayah
tertentu, terutama Jawa dan Sumatera, sementara sedikit sekali analisis tentang
daerah-daerah lain (yang biasanya menjadi lahan studi antropologi), sehingga
kesimpulan dengan klaim ‘nasional’ dengan sendirinya sangat meragukan.[25]
Indonesia saat ini sulit ditempatkan dalam salah satu kategori yang lahir dari
pemikiran tentang tahap-tahap perkembangan masyarakat seperti merchant
capitalism, agrarian capitalism atau semi-industrialised capitalism,
bukan karena Indonesia adalah negeri yang unik – seperti sering dilontarkan
ilmuwan sosial yang menutupi ketidakmampuan menjelaskan dengan berlindung pada
pernyataan absurd semacam itu – tapi karena kategorisasi semacam itu cenderung
menyesatkan.
Mengikuti kerangka Marx mengenai berbagai ‘fase’ ekspansi
kapitalisme, Indonesia seperti banyak negeri lain di dunia, tengah mengalami
‘fase-fase’ ekspansi kapital yang berbeda pada saat bersamaan. Industri
manufaktur yang merepresentasikan mature capitalism dengan hubungan
industrial yang jelas dan diatur melalui hukum, serta keberadaan free wage
labour dengan standar upah tertentu, hidup berdampingan dan terkait dengan ursprungliche
akkumulation yang melibatkan perampasan tanah dan means of subsistence
lainnya, bentuk kerja yang menyerupai human bondage dan unpaid labour.
Pembahasan yang menggunakan negara bangsa sebagai unit analisis semestinya
memahami saling-hubungan antara ‘fase-fase’ yang berbeda untuk mencapai
kesimpulan yang memuaskan mengenai kelas dan kapitalisme di Indonesia.
Analisis mengenai kelas dalam konteks kapital sebagai
hubungan sosial ini juga memiliki implikasi bagi agenda politik gerakan
yang berbasis kelas. Dalam ortodoksi Marxis, kekuatan utama untuk menghadapi
kapitalisme adalah kelas pekerja, khususnya buruh industri yang dianggap
sebagai unsur yang paling mudah menghimpun diri karena sifat pekerjaannya.
Tugas terpenting dari kelas pekerja ini adalah mengambilalih alat-alat produksi
dari tangan borjuasi sehingga dapat menciptakan tatanan sosial tanpa
eksploitasi. Pengalaman Uni Soviet dan Tiongkok, sebagai dua kekuatan penganut
ortodoksi yang terbesar di dunia, membuktikan bahwa tugas tersebut tidak pernah
dipenuhi. Tatanan sosialis yang didirikan memang berhasil menyingkirkan
borjuasi dari kehidupan politik maupun produksi, tapi tidak dengan sendirinya
menghapus jantung produksi kapitalis: endless imposition of work.
Analisis Marx mengenai kelas dalam kapitalisme memperlihatkan dengan jelas
bahwa masalah terbesar dengan kapitalisme bukan hanya pada cara kerja itu
diatur, tapi justru pengorganisasian seluruh bidang kehidupan di sekitar kerja
melalui bentuk komoditi. Perbedaan kelas tidak berakhir begitu saja dengan
diumumkannya pembentukan negara buruh, karena yang terjadi kemudian adalah
pengaturan kerja (yang sama) oleh kekuatan yang berbeda.
Persoalan terpenting dalam politik kelas karena itu bukan
sekadar memperkuat bargaining power buruh di hadapan kapital, tapi
menghapus hubungan menindas yang memaksa orang bekerja melalui bentuk komoditi.
Pergulatan itu, seperti ditunjukkan Marx, tidak hanya terjadi dalam situasi
‘kapitalisme matang’ seperti dibayangkan oleh ortodoksi Marxis maupun sebagian
ilmuwan sosial kritis Indonesia, tapi pada setiap fase ekspansi kapital.
Perjuangan mempertahankan tanah yang diserobot kapital adalah perlawanan
terhadap ekspansi hubungan yang menindas itu dan sama pentingnya dengan
perjuangan buruh yang menuntut kenaikan upah maupun perhimpunan koperasi yang
mencari jalan alternatif di luar bentuk komoditi untuk memenuhi kebutuhan hidup
komunitasnya. Pengertian kelas yang bertumpu pada analisis tentang kapital
sebagai hubungan sosial dapat membantu mencari titik singgung antara
bentuk-bentuk berbeda dari perlawanan terhadap kapital.[26]
Di Indonesia saat ini perjuangan menantang kekuasaan kapital pada dasarnya
terpecah ke dalam berbagai sektor, yang mencerminkan kuatnya pendekatan yang mengklasifikasi
orang berdasarkan kategori yang kaku. Analisis historis yang dapat mengungkap
dinamika pertentangan kelas dan melampaui upaya kategorisasi semacam itu sangat
diperlukan untuk mengatasi jalan buntu yang dihadapi banyak gerakan sosial dan
politik saat ini.
Penutup
Pasang-surut diskursus kelas di Indonesia menunjukkan
hubungan kuat antara ilmu sosial dan kekuasaan. Kemunculan Orde Baru yang
menentang dan memberantas gerakan berbasis kelas diiringi pembersihan dalam
dunia akademik dan diskursus publik yang kemudian mengharamkan konsep ‘kelas’.
Namun, sungguh keliru jika menganggap represi Orde Baru sebagai satu-satunya
alasan tidak berkembangnya upaya analisis kelas yang serius dalam ilmu sosial
di Indonesia. Seperti di negeri bekas jajahan lainnya, diskursus kelas
menghadapi tantangan kuat dari berbagai konsep lain yang memaknai pertarungan
sosial dalam masyarakat, terutama bangsa dan rakyat. PKI yang merupakan
representasi gerakan berbasis kelas di Indonesia pun sejak 1960 mulai bergeser
dari ortodoksi Marxis mengenai kelas dan mengembangkan diskursus “perjuangan
rakyat melawan imperialisme”. Adalah Orde Baru yang kemudian mendakwa PKI
dengan pretensi “menjunjung perjuangan kelas” yang sudah lama ditinggalkannya
dan menuntut orang menolak analisis kelas atas dasar itu.
Di tengah kebuntuan paradigma modernisasi, sebagian
ilmuwan mengembangkan ilmu sosial yang berwawasan sejarah (ilmu sosial
historis), yang lebih nampak sebagai alternatif karena mengkritik paradigma
dominan ketimbang karena memiliki agenda riset yang jelas. Ilmu sosial historis
ini adalah bagian dari kritik menyeluruh terhadap agenda pembangunan dan
otoriterianisme Orde Baru yang didukung terutama oleh intelektual publik dan
aktivis mahasiswa. Diskusi tentang kelas mulai berkembang saat kalangan ini
mencari ‘agen perubahan’ atau kekuatan yang dapat menghadapi Orde Baru.
Keyakinan akan pentingnya struktur sosial dalam analisis politik, membuat studi
dan diskusi terarah pada “basis sosial demokratisasi”, khususnya kelas menengah
yang mulai tumbuh dan memperlihatkan pengaruh pada 1980-an. Bagaimanapun
diskusi tentang kelas menengah mulai surut ketika konsep ‘civil society’ – yang
mengaburkan batas-batas kelas – mulai mengemuka dalam perjuangan menentang
otoriterianisme.
Seluruh uraian itu memperlihatkan bahwa ilmu sosial pada
dasarnya adalah bagian dari pergulatan sosial dan tidak mungkin sepenuhnya
dilepas dari masalah kepentingan dan bias politik. Masalahnya pihak-pihak yang
bertentangan sudah terlalu lama dipahami dalam kerangka Perang Dingin (kapitalisme
versus sosialisme) yang nyata tidak membawa perdebatan teoretik maupun
perjuangan politik keluar dari jalan buntu yang cenderung apocalyptic.
Dalam paham liberal sekarang berkembang doktrin “tidak ada alternatif”: dunia
tidak mungkin lebih baik dari apa yang dicapai oleh sistem kapitalis sekarang.
Sebaliknya dalam doktrin ortodoksi Marxis dikenal slogan: sosialisme atau
kebiadaban. Diskursus kelas yang berpijak pada analisis historis menunjukkan
bahwa sesungguhnya ada banyak alternatif terhadap ‘takdir’ yang ditetapkan oleh
ortodoksi kiri maupun kanan.
Kepustakaan
Abdullah, Taufik (1983). “Ilmu
sosial dan peranannya di Indonesia,” Prisma, 12(6), Juni.
Aidit, Dipa Nusantara (1957). Masyarakat
Indonesia dan revolusi Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1962a). Marxisme dan
pembinaan nasion Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1962b). Sosialisme
Indonesia dan sjarat-sjarat pelaksanaannja. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1964). Kaum tani
mengganjang setan-setan desa. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Alfian, Mely G. Tan dan Selo Soemardjan, eds (1980). Kemiskinan
struktural : suatu
bunga rampai. Jakarta
: Pulsar
Alisjahbana, Iskandar, et.al.
(1985). Komunikasi dan Pembangunan. Jakarta: Sinar Harapan
Amaluddin, Mohammad (1987). Kemiskinan dan
polarisasi sosial : studi kasus di desa Bulugede, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Amman, Paul (1971). “Tradisi
sebagai dasar modernisasi,” Basis, 20(7), hlm. 194-202.
Anderson, Benedict O’Gorman (1982).
“Perspective and method in American research on Indonesia,” in Benedict
Anderson and Audrey Kahin, eds. Interpreting Indonesian politics: thirteen
contributions to the debate. Ithaca: Cornell Modern Indonesian Project,
Cornell University.
Basri, Muhammad Chatib (1992).
“Catatan dari pergulatan ekonomi di Indonesia: sebuah upaya merambah pemikiran
Richard Robison,” Ekonomi dan Keuangan, 42(3), hlm. 235-262
Bourchier, David, ed. (1994). Indonesia’s
emerging proletariat: workers and their struggles. Indonesia Annual Lecture
Series, Clayton: Centre of Southeast Asian Studies.
Breman, Jan (1989). Taming the
coolie beast: plantation society and the colonial order in Southeast Asia.
Delhi: Oxford University Press.
Budiardjo, Carmel (1996). Surviving
Indonesia’s gulag: a western woman tells her story. London: Cassell.
Budiman, Arief (1978). “The
student movement in Indonesia: a study of the relationship between culture and
structure,” Asian Survey, 18(6), hlm. 609-625.
———————— (1983). “Ilmu-ilmu
sosial a-historis,” wawancara dalam Prisma, 12(6), Juni.
Bulkin, Farchan (1983). “State
and Society: Indonesian Politics Under the New Order, 1966-1978,” PhD
Dissertation, University of Washington.
———————— (1984). “Kapitalisme,
golongan menengah dan negara: sebuah catatan penelitian,” Prisma, 13(2),
hlm. 3-22.
Caffentzis, George (2002). “On
the notion of a crisis of social reproduction: a theoretical review,” The
Commoner, 5.
Cleaver, Harry (1979). Reading
Capital politically. Austin: University of Texas Press.
———————— (1986). “Karl
Marx: Economist or Revolutonary?” in Suzanne W. Helburn and David F.Bramhall,
eds. Marx, Schumpter & Keynes, Armonk: M.E. Sharpe.
———————— (1989). “Work, value and
domination: on the continuing relevance of the Marxian labour theory of value
in the crisis of the Keynesian planner state,” Austin, Texas.
Colleta, Nat J. dan Umar Kayam,
eds. (1987). Kebudayaan dan pembangunan: sebuah pendekatan terhadap
antropologi terapan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Collier, David, ed. (1979). The
new authoritarianism in Latin America. Princeton: Princeton University
Press.
Danandjaja, James (1989).
“Antropologi,” in Manasse Malo, ed. Pengembangan ilmu-ilmu sosial di
Indonesia sampai dekade ’80-an. Jakarta” Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial
UI dan Rajawali Pers.
de Angelis, Massimo (1995).
“Beyond the technological and the social paradigm: a political reading of
abstract labour as substance of value”, Capital and Class, 57.
de Little, Daniel (1992).
“Interest, class and identity: microfoundations for Asian studies,” paper
presented to the Association for Asian Studies, April 3.
Deyo, Frederic (1989). Beneath
the miracle: labour subordination in the new Asian industrialism. Berkeley:
University of California Press.
Elson, Robert E. (1986). “Sugar
factory workers and the emergence of ‘free labour’ in nineteenth century Java,”
Modern Asian Studies, 20(1).
Federici, Silvia (1999).
“Reproduction and feminist struggle in the new international division of
labour,” in M. Dalla Costa and F. Dalla Costa, eds. Women, development and
labor of reproduction: struggles and movements. Trenton: Africa World
Press.
Fine, Ben (2001). “The continuing
imperative of value theory,” Capital & Class, 75.
Glassburner, Bruce (1987). “Book
review: Indonesia, the rise of capital,” Bulletin of Indonesian
Economic Studies, 23(3), December.
Hadiz, Vedi R. (1997). Workers
and the state in Indonesia. London: Routledge
Heri Akhmadi (1981). Breaking
the chains of oppression of the Indonesian people. Ithaca: Cornell Modern
Indonesian Project, Translation Series.
Heryanto, Ariel
(1990). “Kelas menengah Indonesia: tinjauan kepustakaan,” Prisma, 19(4).
Hilmar Farid (1994). “Mencipta
Bahasa, Menemukan Bangsa: Politik, Bahasa dan Nasionalisme,” Kalam, 3
———————— (2000). “Clearing the
ground for pembangunan: the mass extermination in Indonesia, 1965-66,”
paper presented at the conference ‘The Politics of Identity in Contemporary
Indonesia’, University of Tasmania, 8-9 December.
Hindley, Donald (1964). The
communist party of Indonesia 1951-1963. Berkeley: University of California
Press.
Holzner, Brigitte (1992). “Gender
dan kerja rumahan,” Prisma, 21(3).
Huntington, Samuel (1968). Political
order in changing societies. New Haven: Yale University Press.
Kleden, Ignas (1984). “Kritik teori
sebagai masalah ilmu sosial,” dalam Krisis ilmu-ilmu sosial dalam
pembangunan di dunia ketiga, Yogyakarta: Pusat Latihan, Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat.
Knight, G.R. (1989). “Sugar,
peasants and proletarians: colonial Southeastern Asia 1830-1940,” Critique
of Anthropology, 9(2).
———————— (1992). “The Java sugar
industry as a capitalist plantation,” Journal of Peasant Studies,
19(3-4).
Koentjaraningrat (1974). Kebudayaan,
mentalitet dan pembangunan. Jakarta: Gramedia.
————————, ed. (1975, 1979). The
social sciences in Indonesia. 2 vols. Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Kuntowidjojo (1985). “Muslim
kelas menengah Indonesia dalam mencari identitas, 1910-1950,” Prisma,
No. 11.
Leclerc, Jacques (1972). “An
ideological problem of Indonesian trade unionism in the sixties: ‘karyawan’
versus ‘buruh’,” Review of Indonesian and Malaysian Affairs, 6(1).
Levine, David (1969). “History
and social structure in the study of contemporary Indonesia,” Indonesia,
9.
Lukman, M.H. (1960). Tentang
front persatuan nasional. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
MacDougall, John James (1975).
“Technocrats as modernizers: the economists of Indonesia’s new order,” PhD
Dissertation, University of Michigan.
Maddison, Angus (1989). “Dutch
income in and from Indonesia 1700-1938,” Modern Asian Studies, 23(4).
Mahasin, Aswab (1990). “The
santri middle-class,” Prisma: Indonesian indicator, 49.
Mao Tse-tung (1954). “The Chinese
revolution and the Chinese Communist Party,” Selected Works of Mao Tse-tung.
London: Lawrence and Wishart.
Marx, Karl (1851). “The
Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte,” in Marx and Engels Collected Works,
Vol. 11, New York: International Publishers, 1969.
———————— (1867). Das Kapital:
Kritik der Politische Oekonomie. Erster Band. Berlin: Dietz Verlag, 1957.
———————— (1858). Grundrisse
der Kritik der Politische Oekonomie. Berlin: Dietz Verlag, 1953.
Mattulada (1979).
“Pengaruh tradisi dan modernisasi dalam pembangunan masyarakat desa di
Indonesia”, Wawasan 1(2)
McVey, Ruth T. (1965). The
rise of Indonesian communism. Ithaca: Cornell University Press.
———————— (1969). “Introduction,”
in Nationalism, Islam and Marxism. Ithaca: Cornell Modern Indonesia
Project.
Mies, Maria (1986). Patriarchy
and accumulation on a world scale. London: Zed Books.
Morishima, Michio (1973). Marx’s
economics. Cambridge: Cambridge University Press.
Mortimer, Rex (1975). Indonesian
communism under Sukarno: ideology and politics, 1959-1965. Ithaca: Cornell
University Press.
Muhaimin, Yahya (1984). “Politik,
pengusaha nasional dan kelas menengah Indonesia,” Prisma, 3.
Moertopo, Ali (1972). Dasar-dasar
pemahaman tentang akselerasi modernisasi pembangunan 25 tahun. Jakarta:
Center for Strategic and International Studies.
———————— (1980). “Hubungan
perburuhan Pancasila sebagai manifestasi falsafah Pancasila di bidang
perburuhan,” in Suntjono, ed. Hubungan pemerintah, pengusaha dan buruh dalam
era pembangunan. Jakarta: Yayasan Marga Jaya.
Njoto (1962). Marxisme: ilmu
dan amalnja. Djakarta: Jajasan Pembaruan
Notosusanto, Nugroho (1974). “The historical
development of the dual function of the Indonesian armed forces”, Indonesian Quarterly, 3(1).
Offe, Claus, ed. (1985). Disorganized
capitalism. Cambridge: The MIT Press.
Partai Komunis Indonesia (1962). ABC
revolusi Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
———————— (1964). Bagaimana
masjarakat berkembang. Djakarta: Jajasan Pembaruan.
Portes, Alejandro (1985). “Latin
American class structures: the composition and change during the last decades,”
Latin American Research Review, 20(3).
———————— (2003). “Latin American
class structures: their composition and change during the neoliberal era,” Latin
American Research Review, 38(1).
Robison, Richard (1978). “Toward
a class analysis of the Indonesian military bureaucratic state,” Indonesia,
25.
———————— (1986). Indonesia:
the rise of capital. Sydney: Allen and Unwin.
———————— (1990). Power and
economy in Suharto’s Indonesia. Manila: Journal of Contemporary Asia
Publisher
Rosen, George (1985). Western
economists and Eastern societies: agents of social change in South Asia,
1950-1970. Baltimore: John Hopkins University Press
Saad-Filho, Alfredo (2002). “Production, exploitation and control: value
relations in capitalist society,” Working Paper, Department of Development
Studies, University of London.
Sadli, Mohamad (1993).
“Recollections of my career,” Bulletin of Indonesian Economic Studies.
29(1), April.
Salim, Elim (1997).
“Recollections of my career,” Bulletin of Indonesian Economic Studies,
33(1), April.
Sanit, Arbi (1981). Sistem
politik Indonesia: kestabilan, kekuatan politik dan pembangunan. Jakarta:
Rajawali Press.
Sapiie, Soedjana (1974).
“Transfer of technology, a proposed solution for Indonesia”, Indonesian
Quarterly, 3(1)
Sasono, Adi dan Sritua Arief
(1981). Indonesia: ketergantungan dan keterbelakangan. Jakarta: Lembaga
Studi Pembangunan.
Schulte-Nordholt,
Nico dan Leontine Visser, eds. (1997). Ilmu sosial di Asia Tenggara: dari
partikularisme ke universalisme. Jakarta: LP3ES.
Shiraishi, Takashi
(1990). An age in motion: popular radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca:
Cornell University Press.
Siahaan, Hotman M. (1983). “Tekanan struktural dan mobilisasi petani di pedesaan”, Prisma,
12(11-12), hlm. 50-63
Steedman, Ian (1977). Marx
after Sraffa. London: New Left Books.
Stoler, Ann Laura (1985). Capitalism
and confrontation in Sumatra’s plantation belt, 1870-1979. New Haven: Yale
University Press.
Sujatmoko (1980).
“Dimensi-dimensi struktural
kemiskinan”, Prisma, 9(2), hlm. 66-75
Sumawinata, Sarbini (1992).
“Recollections of my career,” Bulletin of Indonesian Economic Studies,
28(2), August.
Sutrisno, Lukman (1980). “The
sugar industry and rural development: the impact of cane cultivation for export
on rural Java, 1830-1934”, PhD Thesis, Cornell University.
Tan, Mely G. (1973). “The role of
sociologists in social development: the Indonesian case”, Masyarakat
Indonesia, 1(1), h. 39-43.
Thompson, Edward P. (1968). The
making of the English working class. London: Penguin Books.
Tjondronegoro, Sediono M.P.
(1997). “Agenda ilmu sosial Indonesia: tinjauan pribadi,” dalam Nico Schulte
Nordholt and Leontine Visser, eds. Ilmu sosial di Asia Tenggara: dari
partikularisme ke universalisme. Jakarta: LP3ES.
van der Eng, Pierre (1998). “Economic benefits from colonial assets: the
case of the Netherlands and Indonesia 1870-1958,” Research Memorandum (GD-39),
June.
van Langenberg, Michael (1986).
“Analysing Indonesia’s New Order state: a keywords approach”, Review of
Indonesian and Malaysian Affairs, 20(2), h. 1-47.
Wallerstein, Immanuel, et.al.
(1996). Open the social sciences: report of the Gulbenkian Commission on the
restructuring of the social sciences. Stanford: Stanford University Press.
Ward, Ken (1973). “Indonesia’s
modernisation: ideology and practice,” in Rex Mortimer, ed. Showcase state:
the illusion of Indonesia’s accelerated modernisation. Sydney: Angus and
Robertson.
Wennerlind, Carl (2002). “The
labour theory of value and the strategic role of alienation,” Capital and
Class, 77
Westergaard, J. H. (1972).
“Sociology: the myth of classlessness,” in Robin Blackburn, ed. Ideology in
Social Science. London: Fontana
Wieringa, Saskia (2003). “The
birth of the New Order state in Indonesia: sexual politics and nationalism,” Journal
of Women’s History, 15(1).
Winters, Jeffrey (1996). Power
in motion: capital mobility and the Indonesian state. Ithaca: Cornell
University Press.
Wood, Ellen Meiksins (1989). “Rational choice Marxism: is the game worth
the candle?” New Left Review, 177.
———————— (1998). The
retreat from class: a new ‘true’ socialism. London: Verso.
Wright, Erik Olin (1997). Class
counts: comparative studies in class analysis. Cambridge: Cambridge
University Press.
* Terima kasih kepada John Roosa,
Razif dan Vedi Hadiz untuk komentar dan kritik mereka terhadap draft awal dari
tulisan ini.
[1] Kabar bohong tentang pengebirian
para jenderal di Lubang Buaya dalam peristiwa 1 Oktober 1965 dan kampanye
fitnah terhadap Gerwani yang dituding sebagai pelakunya menjadi titik pijak
penting bagi Orde Baru untuk menegakkan kontrol terhadap seksualitas dan politik
seksual di masa selanjutnya (Wieringa 2003). Dalam ilmu sosial pengaruhnya
dapat dilihat dalam penolakan, peremehan dan bahkan pelecehan terhadap studi
gender dan seksualitas yang masih dapat dirasakan sampai saat ini.
[2] Penggantian istilah ‘buruh’ menjadi
‘karyawan’ ini terkait dengan pergulatan kuasa antara gerakan buruh kiri yang
bernaung di bawah SOBSI dengan militer yang membentuk SOKSI sebagai
tandingannya (Leclerc 1972). Orde Baru sejak awal menaruh perhatian besar
terhadap politik bahasa dan dalam perjalanannya mencetuskan beberapa keywords
yang berperan penting untuk memperkuat legitimasinya (van Langenberg 1986).
[3] Posisi kalangan intelektual ini
menjadi semakin penting dengan adanya dukungan khusus dari Amerika Serikat.
Sejak 1950-an pemerintah AS memberikan bantuan beasiswa bagi sejumlah besar
sarjana ekonomi dan ilmu sosial Indonesia untuk mengikuti pendidikan
pasca-sarjana di universitas Amerika. Dokumen pemerintah AS secara eksplisit
menyebut program ini sebagai bagian dari “controlled experiment of
modernization”, untuk menciptakan ‘agen modernisasi’ yang dapat mengubah
masyarakat Indonesia menjadi modern dan rasional (Foreign Relations
2001: 549-50). Dikatakan, “moving Indonesians to an outside vantage point is
undoubtedly the best way to show them the deficiencies in their own social
structure and stimulate a desire for this change.”
[4] Pikiran ini sejalan dengan
organic state discourse yang dikembangkan militer Orde Baru dan menjadi titik
pertemuan penting antara ilmu sosial dan kekuasaan. Prinsip floating mass
yang mengalir dari organic state discourse mendapat ‘landasan ilmiah’ dalam social
engineering yang lahir dari teori modernisasi. Tidak ada tokoh lain yang
bisa mewakili persekutuan ilmu dan kekuasaan ini lebih baik dari Ali Moertopo,
seorang perwira intelijen yang berperan penting dalam konsolidasi kekuasaan
militer sejak Oktober 1965 dan sekaligus menduduki tempat terhormat sebagai
pemikir politik di lingkungan intelektual Orde Baru. Tulisannya mengenai
akselerasi modernisasi di Indonesia menjadi salah satu narasi induk dari
organic state discourse dan pembangunan semasa Orde Baru (Moertopo 1974).
[5] Logika ad baculum ini
dengan mudah dapat dijumpai dalam komentar para pejabat maupun tulisan ilmiah
sampai saat ini. Perhatian terhadap ketimpangan dan diskriminasi gender
misalnya ditolak atau bahkan dilecehkan karena pemerintah dan kalangan
intelektual menganggap ketimpangan seperti itu “tidak dikenal dalam budaya
Timur. Pembunuhan di Aceh atau Timor Leste oleh militer dianggap tidak pernah
terjadi karena “berlawanan dengan prinsip yang dipegang oleh militer yang
menjunjung hak asasi manusia.”
[6] Kedekatan ilmu sosial dan policy
making ini lahir dan sekaligus memperkuat persekutuan ilmu sosial dan
kekuasaan yang dijelaskan di atas. Kendali persekutuan ini sepenuhnya berada di
tangan birokrasi pemerintah yang menentukan mulai dari prioritas, jangka waktu
dan biaya penelitian sampai pada tenaga peneliti yang dilibatkan. Lembaga
penelitian yang berbasis di universitas sekalipun independen dari segi
struktur, sangat bergantung pada proyek-proyek pemerintah dan hampir tidak
punya ruang mengembangkan penelitian dasar yang independen (Abdullah 1983).
Keterlibatan ilmuwan sosial dalam penelitian pesanan pemerintah adalah
pencapaian yang dianggap jauh lebih penting (walau tidak prestisius) ketimbang
misalnya menghasilkan karya akademik yang dikenal secara internasional.
[7] Pergeseran ini terjadi dalam
ilmu sosial liberal secara keseluruhan ketika menyaksikan tumbuhnya rezim-rezim
otoriter di Dunia Ketiga. Untuk memberi pembenaran dan sekaligus landasan
ilmiah bagi kebijakan AS yang mendukung kediktatoran Goulart di Brasil, Mobutu
di Zaire, Pinochet di Chile dan Soeharto di Indonesia, para sarjana-birokrat
ini menulis tentang political order sebagai kunci keberhasilan
modernisasi (Huntington 1968).
[8] Diskusi tentang kemiskinan dan
kesenjangan juga terjadi dalam lingkungan establishment, tapi biasanya
sebagai ‘masalah sosial’ yang (a) terjadi secara alamiah karena industrialisasi
dan modernisasi, serta (b) belum adanya kebijakan pemerintah yang menangani
masalah itu. Ada keyakinan kuat bahwa kebijakan penanganan yang tepat adalah
obat bagi semua masalah sosial, dan penelitian sosial bertugas mencari hal-hal
yang perlu diatur melalui kebijakan. Pengembangan teori dan pikiran kritis
tidak pernah terjadi karena sikap a-politis dalam establishment yang
ditanamkan sejak awal Orde Baru menjadi ‘keyakinan tersembunyi’ bahwa
obyektivitas terletak pada sikap netral dengan tidak memilih atau sebaliknya
menolak teori tertentu (Kleden 1984: 141).
[9] Ada anggapan bahwa kelas
menengah – terutama kaum terpelajar seperti mahasiswa dan intelektual publik –
adalah ‘elemen termaju’ dalam civil society, yang dapat mengatasi
perbedaan kepentingan dalam perjuangan menghadapi otoriterianisme. Anggapan ini
lebih jauh memperlihatkan bias gender yang kental, karena kebanyakan kaum
terpelajar sejak zaman kolonial adalah laki-laki. Dengan demikian secara tidak
langsung dikatakan bahwa laki-laki kelas menengah, karena pendidikan dan pengetahuannya,
dapat mewakili kepentingan laki-laki dan perempuan dari kelas-kelas lain.
Masalah ini menurut saya memperlihatkan bahwa dalam banyak hal ‘ilmu sosial
kritis’ belum beranjak jauh dari paradigma dominan yang hendak dikritiknya.
[10] Pada 1870 pendapatan per kapita
orang bumiputra adalah 47,2 guilder sementara pendapat per kapita orang Eropa
adalah 2,163 guilder atau 1:46. Pada 1913 ketika gagasan sosialis mulai
memasuki diskursus gerakan nasionalis perbedaan per kapita ini adalah 1:65
(Maddison 1989: 665). Di kalangan buruh juga ada perbedaan upah yang mencolok
antara orang Eropa dan bumiputra dan menghalangi munculnya gerakan yang dapat
mempertemukan keduanya (Ingleson 1986).
[11] Doktrin ini dikenal sebagai
Marxisme-Leninisme yang mulai dikembangkan pada awal 1920-an dan menjadi acuan
teoretik utama bagi banyak partai komunis di dunia (Fundamentals of
Marxism-Leninism 1952). Di masa Perang Dingin, doktrin ini mendapat
suntikan scientism dalam dosis tinggi yang kemudian ‘mengangkat’
statusnya menjadi ilmu yang holistik dan sumber utama dari semua jenis
pengetahuan.
[12] Tulisan ini awalnya adalah bahan
pendidikan kader PKI. Arti pentingnya terlihat dari fakta bahwa hampir semua
literatur partai, termasuk tulisan para pemimpin partai lainnya, mengacu kepada
karya ini (Partai Komunis Indonesia 1962, 1964). Beberapa karya teoretik dari
pimpinan PKI yang tidak banyak jumlahnya, lebih gamblang menunjukkan kedekatan
pikiran mereka dengan ortodoksi (Aidit 1962, 1964; Njoto 1962).
[13] Argumen ini sejalan dengan pemikiran
Mao Zedong mengenai situasi masyarakat Tiongkok (Mao 1954). Hampir seluruh
pemahamannya mengenai masa pra-kapitalis dan pembagian masyarakat ke dalam
kelas diambil dari karya ini. Beberapa bagian bahkan mengutip tulisan Mao ini
kata demi kata. Dari analisis sejarah seperti ini Aidit menyimpulkan, mengikuti
Mao, bahwa partai tidak dapat langsung memperjuangkan sosialisme, melainkan
harus melalui tahap perjuangan nasional demokratik yang menyingkirkan
imperialisme di satu sisi dan menggerus sisa-sisa feodal di sisi lain. Namun,
berbeda dengan Mao Zedong mengandalkan perjuangan bersenjata dalam tahap
nasional-demokratik, PKI meyakini bahwa perjuangan itu dapat ditempuh melalui
jalan parlementer yang damai. Pendekatan ini yang menjadi ‘landasan ilmiah’
bagi politik front nasional yang dipegang PKI sampai dihancurkan Oktober 1965.
[14] Penelitian ini adalah
satu-satunya upaya yang masif dari PKI untuk memahami dinamika masyarakat kelas
berdasarkan pengamatan empirik. Bagi pemimpin PKI, terutama Aidit, penelitian
ini adalah langkah penting untuk memperkuat pemahaman kader partai mengenai
keadaan di desa sekaligus menantang menantang metode dan hasil riset
“studi-studi borjuis” (Mortimer 1975:
304).
[15] Dalam tradisi Marxis,
kecenderungan membuat skema dan peta kelas yang lebih kompleks bertolak dari
ketidakpuasan pada kerangka bi-polar classes atau tiga kelas utama yang
disebutkan oleh Marx. Kerangka itu menurut mereka tidak dapat diterapkan
untuk melihat pemisahan sosial dalam masyarakat yang semakin kompleks. Dari
sini kemudian berkembang arus pemikiran yang berusaha melampaui Marxisme klasik
dengan analisis yang lebih ‘ilmiah’, kadang dengan perhitungan matematis
mengenai eksploitasi dan lokasi kelas. Ellen Meiksins mengatakan hasrat scientism
yang hendak memberi ‘landasan lebih ilmiah’ bagi Marxisme dari teori kelas
itu lahir sebagai reaksi terhadap ekonomi neoklasik yang menyerang analisis
kelas karena ‘tidak ilmiah’. Para penganjur scientism yang cukup dikenal
di Indonesia seperti Jon Elster dan Erik Olin Wright misalnya, berusaha
‘meluruskan’ pikiran Marx dan teori Marxis – yang dipelintir sedemikian rupa
dan kemudian diluluhlantakkan dalam Perang Dingin seperti yang dilakukan Orde
Baru – agar bisa sejajar dengan teori sosial ‘terhormat’ lainnya (Wood 1989:
75). Namun, alih-alih menghasilkan kerangka pemikiran baru yang lebih tajam,
upaya itu hanya mendekatkan Marxisme kepada paham liberal yang menjadi
bebuyutnya dalam sejarah pemikiran modern.
[16] Film To Live karya Zhang
Zimou (1994) secara komikal menggambarkan kekacauan yang timbul akibat
kategorisasi kelas-kelas semasa Revolusi Kebudayaan. Dalam sebuah adegan,
pasangan suami istri miskin yang menjadi peran utama dalam film itu membahas
prosekusi terhadap tetangga mereka, seorang pemimpin lokal partai komunis, yang
tanpa alasan jelas dituduh sebagai ‘kapitalis’ karena ketahuan menimbun
sejumlah barang berharga di rumahnya. Di tengah kekhawatiran didatangi petugas
partai, mereka berdiskusi tentang ‘kategori kelas’ yang tepat untuk mereka
sendiri, dan akhirnya penuh keyakinan (karena bayangan prosekusi yang
mengerikan) memutuskan bahwa mereka adalah bagian dari proletariat.
[17] Kecenderungan ini terlihat
misalnya dalam tulisan Yoshihara Kunio mengenai ‘kapitalisme semu’ yang cukup
populer di lingkungan ilmu sosial kritis di Indonesia.
[18] Labour theory of value
ini termasuk butir pemikiran Marx yang paling banyak mengundang perdebatan.
Salah satu titik kontroversi terpenting adalah apa yang disebut ‘problem of
transformation’, di mana Marx dianggap gagal – dan juga tidak konsisten – dalam
menjelaskan transformasi nilai lebih yang dihasilkan pekerja menjadi harga dan
profit (Morishima 1973; Steedman 1977). Kritik lain yang lebih canggih
mengatakan kapitalisme kontemporer melahirkan jenis-jenis pekerjaan ‘baru’ dan
heterogenitas kerja yang membuat pemikiran Marx tentang sentralitas kerja yang
menghasilkan surplus dan dengan sendirinya labour theory of value
menjadi usang (Offe 1985). Bagaimanapun, beragam kritik yang umumnya sangat
teknis dan mengandalkan perhitungan matematis ini sesungguhnya lebih banyak
mendorong theoretical refinement ketimbang menggugurkan teori ini
(Cleaver 1989; de Angelis 1995; Fine 2001; Wennerlind 2001; Saad-Filho 2002;
Caffentzis 2002).
[19] Kritik Glassburner dan Basri
bertolak dari paham neoklasik dalam ekonomi, yang tidak banyak disinggung dalam
karya Robison. Menariknya sampai saat ini saya belum menjumpai jawaban dari
Robison sendiri terhadap terhadap bermacam kritik itu, yang sebenarnya dapat
dipatahkan dengan mudah bahkan dari perspektifnya sendiri mengenai kelas dan
kapitalisme.
[20] Jumlah orang yang dibunuh dalam
rangkaian kekerasan ini berkisar antara setengah sampai satu juta orang,
sementara jumlah orang yang ditahan atau dituduh komunis (dan karena itu
menjadi pariah secara sosial maupun politik) mencapai jumlah kurang lebih sama
(Cribb 1990; Budiardjo 1998). Jumlah orang yang terpengaruh oleh peristiwa
kekerasan ini secara langsung maupun tidak, termasuk keluarga para korban atau
orang yang dituduh PKI, mencapai 6 sampai 7 juta jiwa.
[21] Dalam Das Kapital (1867),
Marx berulangkali menunjukkan pentingnya unpaid labour dan bermacam
bentuk kerja paksa bagi proses akumulasi modal. Pandangan bahwa sistem
kapitalis sepenuhnya mengandalkan ‘free wage labour’ sesungguhnya lahir dari
tafsir Stalinis mengenai tahap-tahap perkembangan masyarakat, yang membayangkan
kapitalisme sebagai sistem yang sepenuhnya berbeda dari sistem-sistem
sebelumnya. Industri minyak di Indonesia, yang menjadi salah satu tiang
penyangga terpenting bagi akumulasi kapital di masa Orde Baru, selalu
mengandalkan kekuatan represif negara untuk memelihara ketenangan industrial.
[22] Teoretisi feminis sejak lama
mengangkat masalah unpaid labour dalam sistem produksi kapitalis (Mies
1986; Federici 1999). Di Indonesia studi seperti ini mulai dikembangkan oleh
beberapa peneliti, walau belum sampai pada penjelasan rinci mengenai kontribusi
unpaid labour ini dalam proses akumulasi kapital. Salah satu masalah
mendasar adalah catatan statistik – yang sering menjadi acuan utama dalam studi
tentang kerja – tidak pernah menganggap kerja tanpa upah, yang terutama
dilakukan oleh perempuan dan anak-anak, sebagai kerja (Holzner 1992; Hull
1994).
[23] Secara politik diskusi semacam
itu lebih banyak membantu policy-makers yang mendukung kapital ketimbang
kekuatan sosial yang mencari alternatif terhadap sistem kapitalis. Hal ini
mungkin menjelaskan mengapa tulisan tentang ekonomi politik kontemporer di
Indonesia pada umumnya lebih menarik perhatian para birokrat, pengusaha dan
intelektual kelas menengah daripada aktivis gerakan buruh.
[24] Pemisahan ilmu sosial ke dalam
berbagai disiplin itu sendiri diwarisi dari ilmu sosial liberal yang tumbuh
pesat di Amerika Serikat dan Eropa sejak awal abad ke-20 (Wallerstein 1996).
[25] Studi tentang kapital dan negara
yang menekankan pentingnya konsep ‘otonomi relatif’ dari negara biasanya
menjadikan policy making di tingkat nasional sebagai bahan studinya. Di
tingkat itu, argumen bahwa birokrasi negara bersifat otonom dari pengaruh
faksi-faksi kelas mungkin mengandung kebenaran (sekalipun patut dipertanyakan
juga jika melihat kelas kapitalis sebagai keseluruhan), tapi tentu keliru jika
dianggap berlaku umum. Di Papua dan Kalimantan misalnya, perusahaan tambang dan
perkebunan raksasa tidak hanya mempengaruhi kebijakan pemerintah tapi juga
menguasai dan membiayai alat-alat represif negara seperti polisi dan tentara,
yang setiap saat dapat digalang untuk menghadapi perlawanan terhadap mereka.
[26] Dalam analisisnya mengenai
petani Prancis pada awal abad ke-19 Marx menekankan pentingnya dynamic
collective self-activity dan ikatan komunitas yang kuat dalam proses
pembentukan kelas (Marx 1851: 187). Teori Marxis kontemporer mengembangkan
gagasan ini lebih lanjut ketika berbicara tentang ruling class yang
tidak selalu disatukan oleh kesamaan kepentingan sosial-ekonomi melainkan
orientasi politik untuk menjaga ketimpangan yang diciptakan sistem kapitalis.
Militer Indonesia misalnya, sekalipun memiliki hirarki kepangkatan yang
mencerminkan perbedaan ‘kelas’ (dari segi pendapatan dan pengaruh) adalah
bagian dari ruling class dalam konteks politik domestik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar