Pernah dimuat di jurnal IndoPROGRESS rubrik Left Book Review (LBR). Dimuat disini untuk tujuan pendidikan
Judul Buku: Penghancuran Buku dari Masa ke Masa
Penulis: Fernando Baez
Penerjemah: Lita Soerjadinata
Penerbit: Marjin Kiri, 2013
Tebal: vxiii+373 halaman
‘Dimanapun mereka membakar buku,
pada akhirnya mereka akan membakar manusia.’
-Heinrich Heine
pada akhirnya mereka akan membakar manusia.’
-Heinrich Heine
‘MENGAPA manusia menghancurkan buku?’ Pertanyaan ini adalah
pertanyaan yang selalu hadir dalam setiap zaman, dalam setiap konteks
sosial historis yang pernah ada, semenjak manusia mengenal cara merekam
pengetahuan yang dimilikinya dalam media tertentu. Kini pertanyaan ini
kembali mengemuka ketika beberapa waktu lalu terjadi peristiwa yang
merupakan repetisi dari segala jaman yang merasa terganggu dengan
lahirnya pengetahuan tertentu: pelarangan mendiskusikan buku tentang Tan
Malaka oleh sekelompok ormas yang mengatasnamakan Pancasila dan Islam.
Meskipun pelarangan mendiskusikan buku tersebut tidak diikuti dengan
penghancuran buku dimaksud, tetapi pada akhirnya peristiwa tersebut
adalah suatu contoh bagaimana buku menjadi arena kontestasi antara arus
utama dan the others, antara kelas yang berkuasa dan kelas yang dikuasai, antara keperluan untuk melanggengkan hegemoni dan upaya untuk menggugat status quo.
Dalam sejarahnya, penghancuran buku sama tuanya dengan ditemukannya
buku itu sendiri (tentu bukan dalam bentuk yang kita ketahui sekarang).
Merunut sejarah, penghancuran buku sudah terjadi di Sumeria Kuno,
sekitar 4000 tahun sebelum masehi. Dalam konteks Indonesia, penghancuran
buku telah ada semenjak masa kolonial, dan masih terjadi bahkan hingga
hari ini. Kebencian terhadap buku ini seringkali diekspresikan dalam
beragam bentuk, mulai dari pelarangan dan sensor hingga diekspresikan
dengan cara langsung membakar buku, menghancurkan perpustakaannya,
hingga membakar orang yang membuat buku tersebut bersama karyanya.
Sejarah pembakaran buku dengan berbagai kompleksitasnya ini, yang tidak
lain merupakan sejarah kebencian satu ke kebencian lainnya, direkam
dengan baik dan amat lengkap oleh Fernando Baez, seorang kepala
Perpustakaan Nasional Venezuela dalam bukunya Penghancuran Buku Dari masa Ke Masa.
Buku ini menjadi penting sebab, selain karena merupakan kajian yang
masih sedikit diangkat oleh para peneliti, juga bertentangan dengan
pendapat umum bahwa para pelaku librisida (istilah untuk penghancuran
buku) bukanlah vandalis yang bodoh, melainkan orang-orang terdidik
dengan motif ideologis masing-masing.
Penghancuran Buku di Dunia Kuno
Mengapa orang menghancurkan buku? Jawabannya, demikian Baez, untuk
menghabisi memori penyimpannya, artinya warisan gagasan-gagasan dari
suatu kebudayaan secara keseluruhan. Buku sebagai media penyimpan
gagasan si penulis sendiri pertama kali ditemukan di wilayah Sumeria,
sekarang Irak Selatan, diantara aliran sungai Efrat dan Tigris sekitar
5.300 tahun yang lalu. Buku, dalam konteks ini, berbentuk tanah liat
yang dikeringkan yang disebut ‘Tablet.’ Penghancuran buku pada waktu itu
terjadi pada tahun 4000-an sebelum masehi (SM), yang dibuktikan dengan
temuan arkeologis berupa banyaknya tablet yang ditemukan pecah atau
hancur sama sekali.
Usaha untuk melestarikan ingatan melalui buku, selain mengganti bahan
baku tanah liat menjadi kayu, juga dilakukan melalui merawat dan
menyalin buku-buku oleh golongan tertentu yang disebut ‘para penyalin
kitab,’ yang merupakan golongan fungsionaris istana. Perawatan serta
penyalinan buku ini pada akhirnya menciptakan perpustakaan pertama kali
dalam sejarah umat manusia, yaitu pada tahun 3300 SM dimasa raja Uruk
III dari Sumeria. Buku ini sendiri terdiri dari buku tentang flora,
fauna, mineral, puisi, pepatah, hingga mantra sihir. Pendirian
perpustakaan pertama ini kemudian diikuti oleh pendirian
perpustakaan-perpustakaan ditempat lain, seperti perpustakaan di Lasagh,
Isin, Ur, dan Nippur. Ketika Sumeria runtuh dan digantikan dengan
Babilonia (sekarang Baghdad), Sang penguasa baru, Hammurabi, kemudian
mengambilalih koleksi-koleksi perpustakaan dan dikumpulkan dalam
perpustakaan besar dalam istananya. Perpustakaan ini terkenal dengan
nama Perpustakaan Babilonia.
Perkembangan media penyimpanan memori manusia terus berkembang di Mesir, yaitu melalui media bernama Papirus
yang berasal dari alang-alang dan kemudian dikeringkan. Ketika itu,
papirus hanya bisa dibaca oleh sekelompok pendeta karena dianggap
memiliki kekuatan gaib. Papirus ini juga yang pertama kali menjadi media
penyimpan memori yang dimusnahkan. Adalah Akhenaton, pelopor
monoteisme, yang menjadi salah satu orang pertama yang membakar buku.
Dia membakar naskah-naskah rahasia agar agama yang dianutnya menjadi
unggul.
Papirus juga menjadi media penyimpanan di era Yunani Kuno, terutama
pada abad ke-5 SM, ketika budaya tulisan mendominasi budaya lisan. Hal
ini yang kemudian mendorong perdagangan buku untuk pertama kali.
Meskipun demikian, diperkirakan hingga 75 persen karya sastra, filsafat
dan ilmu pengetahuan Yunani Kuno telah hilang (hlm 40). Adalah
Aristoteles yang memberikan petunjuk pertama mengapa karya-karya,
khususnya sastra, musnah pada zaman itu. Kesaksian yang didapat dari
potongan buku Aristoteles berjudul Tentang Para Penyair, yang
juga hilang, menunjukkan bahwa karya Empedokles yang merupakan penyair
dibakar oleh saudara perempuannya sendiri. Menurut Baez, karya ini
sendiri menyiratkan sentimen religius yang mendalam dan mungkin menjadi
alasan penghancuran buku itu. Selain itu, musnahnya buku-buku Yunani
klasik ini juga kemungkinan diakibatkan oleh kebakaran, gempa bumi serta
mulai digunakannya bahasa latin sebagai teks yang menggeser peran
bahasa Yunani. Adapun Aristoteles sendiri mengalami penghancuran atas
buku-bukunya karena dituduh murtad oleh para pendeta, setelah muridnya
yang sangat berkuasa Iskandar Agung, wafat. Karya Aristoteles
dihancurkan dengan cara dibakar. Beberapa dugaan juga mengatakan bahwa
karya-karya Aristoteles dilarikan jauh dari Athena untuk menghindari
penghancuran yang lebih sadis.
Adalah perpustakaan Alexandria yang berada di Mesir Selatan, yang
menjadi perpustakaan pertama yang penuh dengan tragedi-tragedi
penghancuran akibat berbagai perang. Ketika perang saudara melanda Mesir
akibat dari perebutan kekuasaan, Julius Caesar dari Romawi yang
mendukung kekuasaan Cleopatra, membumihanguskan armada perang Mesir.
Pembumihangusan inilah yang diindikasikan menghancurkan 40.000 buku yang
disimpan dalam gudang pelabuhan. Perpustakaan Alexandria sendiri
akhirnya hancur pada tahun 389 M akibat perang. Meskipun demikian, siapa
dalang yang ada dibelakang penghancuran Perpustakaan Alexandria
tersebut masih belum terpecahkan: antara orang Romawi, Kristen, atau
Islam. Selain itu, ada juga kemungkinan bahwa hancurnya perpustakaan
akibat dari bencana alam ataupun penelantaran karena konflik militer dan
politik yang tak kunjung reda.
Penghancuran buku besar-besaran di era kuno juga dapat kita jumpai
dalam sejarah Cina. Buku-buku yang dianggap mengritik kaisar dan proses
penyatuan Cina pada abad ke-3 SM dibawah Zhao Zheng, pendiri dinasti
Qin, dihancurkan. Selain itu, Zhao Zheng atau yang juga dikenal sebagai
Shih Huang Ti menyetujui pembakaran semua buku, kecuali yang berkaitan
dengan pertanian, kedokteran, dan ilmu nujum. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 213 SM, tahun dimana di Alexandria justru sedang terjadi usaha
pengumpulan semua buku yang ada. Selain karena alasan politik,
penghancuran buku juga terjadi dengan alasan agama, yaitu saat terjadi
penghancuran terhadap teks-teks Buddhisme karena dianggap tidak sesuai
dengan ajaran Konghucu.
Jika di Cina Kuno ada Zhao Zheng, si raja penghancur buku, di Romawi
Kuno kita menemukan nama Kaisar Agustus yang memiliki tabiat yang
serupa. Kaisar Agustus memusnahkan ribuan karya dengan alasan politik
dan stabilitas negara. Diantara buku yang dimusnahkannya adalah Seni Bercinta karya Ovid dan Acta Caesaris Augusti
karya Timagenes dari Alexandria, karena dianggap tidak menunjukkan rasa
hormat yang cukup pada dirinya saat menuliskan karya ini, serta 2000
karya Romawi dan Yunani lain yang tidak dia sukai (hlm 84). Bangsa
Barbar akhirnya menghancurkan Imperium Romawi Barat pada tahun 410.
Bersamaan dengan itu, bangsa Barbar ini juga menghancurkan rekaman
kebudayaan dalam bentuk apapun, termasuk papirus, tanpa ampun.
Kemudian, bersamaan dengan lahir dan berkembangnya Kristen pada abad
ke 2 hingga ke-5, didapati pula motif penghancuran buku atas dasar
agama. Inilah yang menimpa karya-karya para penganut Gnostik, yang
merupakan campuran dari gagasan keagamaan orang Mesir, Hindu, Yunani,
dan Babilonia. Penghancuran besar-besaran atas karya Gnostik dilakukan
kekuasaan Gereja, karena kaum Gnostik ini menyerukan keselamatan akan
hadir melalui pengetahuan (gnosis), bukan melalui iman. Selain
memerangi Gnostik, Gereja juga harus memerangi serangkaian bidah lainnya
yang berujung pada penghancuran buku. Diantara karya yang masuk daftar
penghancuran adalah buku milik Uskup Macedonia, karya milik Eunomius,
dan kitab-kitab sekte Nestorianisme.[1]
Byzantium Hingga Abad Ke-19: Penghancuran Buku Berlanjut
Penghancuran buku di zaman kuno menemui titik balik di era Byzantium,
sebuah kekaisaran yang ibukotanya dibangun pada tahun 330 oleh
Konstantin I dan merupakan kekaisaran yang melestarikan tradisi Yunani
dan Romawi. Melalui kekaisaran yang memiliki ibukota Konstantinopel
inilah kita berhutang. Tanpa kekaisaran ini, kita tidak akan pernah
membaca karya-karya Plato, Aristoteles, Herodotus, Archimides, dan
penulis Yunani Kuno lainnya. Gairah untuk menggali karya-karya kuno ini
disebabkan kegandrungan yang besar akan buku, terutama yang dimotori
oleh kaum terpelajar. Selain itu, media penyimpanan pun mengalami
transformasi menjadi kodeks dan perkamen yang memungkinkan penulisan
dikedua sisi, dan pada akhirnya kertas sebagaimana yang kita kenal
sekarang pada masa pemerintahan Konstantin II.
Pada masa ini ratusan teks sejarah, filsafat, dan hukum disalin.
Selain itu juga mulai dibangun perpustakaan yang merupakan usaha lain
untuk melindungi buku-buku. Tetapi, toh semua peristiwa ini tidak
menghalangi buku-buku hancur. Pada tahun 781, kebakaran hebat melanda
istana yang mengakibatkan 120.00 buku terbakar. Pada masa ini juga
beberapa kali penghancuran buku terjadi, yaitu yang menimpa buku karya
Santo Sirilus karena dianggap mengandung bid’ah. Meskipun demikian,
penghormatan terbesar tetap mereka berikan pada karya-karya para penulis
klasik.
Di belahan dunia lain dimasa yang sama, berdiri juga kekhalifahan
Abbasiyah yang berdasarkan Islam dan berpusat di Baghdad, Irak. Salah
satu peristiwa penting dari kekhalifahan ini adalah penerjemahan
karya-karya penulis Yunani Kuno yang didapat dari Byzantium dan
pendirian perpustakaan terbesar dimasanya yang bernama Darul Hikmah
(Rumah Kebijakan). Penerjemahan ini dimulai ketika Al-Ma’mun, khalifah
keenam, bermimpi bertemu seorang sepuh dengan janggut rapi yang didaku
sebagai Aristoteles dan memintanya untuk menerjemahkan semua karya
Aristoteles agar tak lekang jaman (hlm 117).
Adalah perang salib yang menandai dimulainya kembali penghancuran
atas buku-buku. Pada tahun 1108, pasukan Kristen menghancurkan pusat
belajar di Damaskus dan memusnahkan lebih dari 3 juta buku. Kemudian
pada tahun selanjutnya, pasukan Kristen yang berhasil memasuki Tripoli,
kembali menghancurkan buku lebih dari 100.000 buah. Tahun 1204, dalam
peran salib keempat, pasukan perang salib mencapai Konstantinopel yang
berada di Byzantium dan menghancurkan ribuan manuskrip. Akhirnya,
Konstantinopel benar-benar runtuh pada tahun 1453, setelah pasukan Turki
di bawah komando Sultan Muhammad al-Fatih mengepung kota. Segera
setelah itu seisi kota dihancurkan, termasuk perpustakaan bersama
buku-bukunya. Selain perang salib, salah satu peristiwa yang menandai
penghancuran besar-besaran atas buku, khususnya di Baghdad, adalah
invasi bangsa Mongol yang dilakukan oleh Hulagu Khan, cucu Genghis Khan
pada tahun 1257. Penyerangan yang mengorbankan 500.000 nyawa ini juga
diikuti oleh penghancuran buku melalui metode menghanyutkannya ke Sungai
Tigris.
Selain serangkaian penghancuran buku atas alasan politis sebagaimana
yang telah dijabarkan, ada juga penghancuran buku dengan motif religius,
yang dijumpai terutama pada Abad Pertengahan di Eropa, dimana kekuasaan
Gereja sangat absolut. Beberapa karya yang dihancurkan pada zaman ini
adalah karya Pierre Abelard berjudul Introductio ad Theologiam
pada tahun 1120; Talmud, yang merupakan salah satu buku yang paling
sering diberangus dalam sejarah dan berisi tentang kumpulan penjelasan
dan penafsiran para rabi mengenai Alkitab dan sejarah Yahudi;
karya-karya Musa bin Maimum; Khotbah-khotbah imam Arnaud de Bresse,
pendiri sekte Almaricus;[2] karya guru besar teologi di Universitas Salamanca, Pedromartinez de Osma berjudul De Confessione;
buku karya penyair Enriqe de Villena, dibakar karena tema-temanya
mengandung ajaran pagan; buku karya Reginald Scott, seorang anggota
parlemen Inggris berjudul A Discovery of Withcraft; Kitab
Perjanjian Baru karena menggunakan bahasa lokal Inggris, dan masih
banyak lagi. Sebagai salah satu upaya sistematisasi atas penghancuran
buku, pada tahun 1559 Paus paulus IV menerbitkan Indeks Buku-Buku Terlarang yang
berisi daftar buku yang paling membahayakan iman. Penghancuran buku
dengan motif keagamaan, selain dilakukan oleh Gereja, ternyata juga
dilakukan oleh kekhalifahan Islam. Diantara buku yang dihancurkan adalah
buku-buku diperpustakaan Al-Hakam, Cordoba, Spanyol pada masa Khalifah
Al-Mansur (938-1002), karena tidak dianggap suci dan seluruh karya Ibnu
Hazm, seorang penyair. Selama masa perebutan kembali Spanyol pada tahun
1500-an, penghancuran buku kembali terjadi, kali ini korbannya adalah
Al-Qur’an serta risalah keagamaan lainnya. Pemimpin penghancuran itu
adalah Raja Ferdinand V dan Ratu Isabella I dengan alasan pemurnian
religius.
Ketika Eropa mulai memasuki masa renaisance yang diikuti oleh
Revolusi Prancis, tempat lahirnya paham kebebasan, penghancuran buku
tidak juga berhenti. Justru, di Prancis inilah penghancuran buku
mengalami transformasi metode: sensor. Sebelumnya, menjelang Revolusi
Prancis, beberapa karya dihancurkan oleh Gereja seperti karya Voltaire
berjudul Lettres Philosophiques (1734) karena dianggap menginspirasi kebejatan, berbahaya bagi agama dan tatanan sosial; Karya Denis Diderot Pensees Philosophiques (1746) juga disensor karena mengandung ajaran ateisme; Karya Montesquieu De l’esprit des loi (1748); hingga Emile
(1762) karya Jean-Jacques Rousseau. Di masa Revolusi Perancis (1789),
saat kekerasan menjadi peristiwa sehari-hari, perpustakaan juga terkena
imbasnya. Menurut Baez, di Paris saja pada masa itu 8000 buku rusak,
ditempat lainnya lebih dari 4 juta buku, yang mana 26.000 diantaranya
adalah manuskrip kuno. Pada masa Komune Paris tahun 1871, kehancuran
buku juga tidak terhindarkan dengan terbakarnya Perpustakaan Louvre,
Paris.
Beberapa peristiwa penting lainnya tentang penghancuran buku, yang
juga patut dicatat dipenghujung abad ke-19 ini adalah perang pembebasan
Amerika Latin yang mengakibatkan perpustakaan, arsip, buku, serta
monumen bersejarah lainnya dihancurkan. Salah satu contohnya adalah
kekalahan Simon Bolivar dari Spanyol pada 1817. Karena kekalahan ini,
semua buku yang awalnya dikumpulkan Simon Bolivar untuk perpustakaan
umum di kota Caracas, dihancurkan oleh Spanyol. Selain itu, buku
kontroversial dari Charles Darwin yang berjudul On The Origin of Species yang terbit pertama kali tahun 1859, juga menjadi buku penting yang masuk daftar penghancuran di ufuk barat abad ke-20.
Abad ke-20 Hingga Sekarang
Bab terakhir dari buku ini dimulai Baez dari epoh perang Spanyol,
yang terjadi antara tahun 1936 sampai tahun 1939. Ketika itu, Spanyol
dikuasai oleh Jendral Franco yang Fasis. Pemberontakan yang dilakukan
oleh rakyat dan menghasilkan sebuah komune disalah satu kota di Spanyol
pada Oktober 1934, direspons dengan represi ganas dari Franco dan
pendukungnya. Agen-agen polisi, dalam serangannya, menghancurkan buku
dilebih dari 257 perpustakaan rakyat. Perpustakaan rakyat dimaksud
adalah perpustakaan-perpustakaan yang ada dipemukiman warga dan basis
serikat buruh. Setelah peristiwa ini, peristiwa bibliosida terus
berlangsung. Kekuasaan fasis memberangus semua buku yang dianggap porno,
antipatriotik, sektarian, bid’ah, revolusioner, atau merusak moral
masyarakat. Selain penghancuran buku, kekuasaan fasis Franco juga
melakukan sensor dengan cara membatasi peredaran buku-buku asing dan
memerintahkan para penjual buku membersikan stok buku mereka. Semua ini
dilakukan oleh badan khusus yang dibentuk bernama Badan Propaganda
Nasional.
Setelah itu, Baez beranjak ke pembahasan selanjutnya: bibliocaust
oleh Nazi. Sebagaimana diketahui, ketika Nazi berkuasa, mereka melakukan
pembantaian massal kepada orang-orang Yahudi yang disebut dengan
Holocaust. Sebagaimana yang dituturkan Baez, holocaust ini sebenarnya
dimulai dengan sebuah aksi bibliocaust.[3]
Gunungan buku yang dilalap api mengilhami tungku-tungku krematiorium
kamp konsentrasi (hlm 217). Sebelum 1933, Nazi, yang kekuasaannya baru
menggeliat, sebenarnya telah melakukan upaya-upaya bibliocaust. Mereka
melakukan razia terhadap koleksi yang ada di toko buku dan meneror para
penulisnya. Pada tanggal 30 Januari 1933, ketika Presiden Republik
Weimar mengangkat Hitler sebagai kanselir, strategi intimidatif terhadap
warga Yahudi, serikat buruh, dan anggota partai politik pesaing Hitler
segera dilancarkan. Kantor Partai Komunis dan perpustakaannya
dihancurkan, gedung parlemen Jerman diserang dan arsip-arsip yang ada di
dalamnya dibakar. Bahkan, karena intimidasi dari satuan polisi sepperti
SA, SS, dan Gestapo, pada penulis membakari buku-buku milik mereka
sendiri. Otak dibalik penghancuran memori kolektif itu adalah Joseph
Gobbels, yang merupakan tangan kanan dan pengikut setia Hitler.
Penghancuran buku-buku ini juga mendapat restu serta justifikasi
ideologis dari salah satu filsuf eksistensialis dan fenomenologis
terkenal, Martin Heidegger.
Selain di Jerman, rezim fasis Hitler juga melakukan bibliocaust
terhadap koleksi-koleksi yang berada di negara yang dikuasai Jerman,
seperti Belanda, Belgia, Austria, Ceko. Selain itu, salah satu hal yang
‘menarik’ dari peristiwa bibliocaust oleh Nazi adalah bibliocaust
diselenggarakan melalui upacara resmi yang jadwalnya telah disebarkan
beberapa hari sebelumnya. Total, jutaan buku, perpustakaan, arsip,
museum dan berbagai tempat memori kolektif hancur dan tidak bisa
diselamatkan.
Selain itu, catatan penting tentang penghancuran buku di abad 21 juga
terekam dalam kekuasaan militer di Spanyol, Cile dan Argentina. Di
Spanyol ketika Jendral Franco berkuasa, buku-buku Marx, Engels, dan Mao
dilarang keras selain karya-karya erotika. Di Cile, Jendral Pinochet
yang mengkudeta pemerintaha sosialisme di bawah Salvador Allende,
melakukan kontrol ketat atas terbitan-terbitan yang dalam pemerintahan
sebelumnya mencoba menjangkau massa melalui terbitan-terbitan murah.
Sedangkan di Argentina, penghancuran buku dilakukan dengan sasaran
terbitan-terbitan yang membahas pemikiran seperti Marx, Hegel, Freud,
Sartre, dan Camus. Selain kekuasaan militer, peristiwa penting tentang
penghancuran buku juga terjadi dengan dalil kebencian etnis dan
religius. Beberapa contoh dari kasus ini adalah kasus Bosnia dan
Chechnya.
Beberapa Catatan
Membaca buku ini, bagi saya, adalah membaca kisah pilu sepanjang
zaman yang bertubi-tubi. Baez berhasil membuat bulu kuduk bergidik
membayangkan bagaimana buku-buku, dan dokumen lainnya, dihancurkan
dengan dalih dan cara yang beragam. Tidak terhitung berapa jumlah buku,
dan dengan demikian pengetahuan yang ada di dalamnya, tidak diketahui
oleh generasi masa kini (dan tentu generasi masa mendatang). Ilmu
pengetahuan yang tercipta di zaman Yunani Kuno adalah contoh kecil.
Bagaimana saat ini, seberapapun luhur dan agungnya
pengetahuan-pengetahuan yang tercipta melalui para pemikir yang lahir di
zaman Yunani Kuno tersebut, nyatanya hanya sekitar 25 persen yang kita
ketahui. Sisanya, bahkan tak pernah tersentuh oleh generasi penerus
pertama dari para pemikir tersebut.
Di dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa hancurnya buku-buku adalah
karena banyak hal. Bencana alam, musuh tradisional buku seperti
serangga dan suhu udara, masalah politis, kebencian etnis dan religius
adalah sebagian sebab dari hancurnya buku-buku. Tetapi, tidak diragukan
lagi masalah politis dan religius adalah sebab yang paling dominan yang
mewarnai eksekusi terhadap buku-buku. Masalah ‘politis’ dan ‘religius’
yang dimaksud sebenarnya dapat dikerucutkan kembali dalam terminologi
‘ideologis’ –dalam makna yang negatif, tentu. Dalam buku ini terlihat
jelas bagaimana penghancuran buku bukan semata penghancuran materi,
tetapi kandungan informasi yang ada di dalam buku. Api, yang menjadi
senjata utama dalam menghancurkan buku, menguatkan simbol penghancuran
tanpa sisa dari sisi fisik dan kandungan informasi tersebut.
Topik yang diangkat Baez dalam buku yang penelitiannya memakan waktu
belasan tahun ini, merupakan buku yang penting. Selain karena masih
sedikit yang mengangkat tema yang sama, buku ini juga bisa menjadi
semacam ensiklopedia penghancuran buku sepanjang masa. Tetapi, karena
menjadi semacam ensiklopedia itu pulalah terlihat kekurangan dari buku
ini. Sebagaimana ensiklopedia, informasi yang diberikan sangat beragam
dan dalam jangkauan yang juga sangat luas, tetapi sekaligus juga tidak
mendalam. Begitu pula buku Baez ini, ia memang menjelaskan secara
gamblang sejarah penghancuran buku bahkan semenjak manusia mengenal
peradaban, tetapi karena jangkauan pembahasan yang teramat luas itulah,
buku ini, bagi saya, tidak terlalu mendalam. Hal ini terlihat melalui
beberapa pembahasan tentang penghancuran buku dalam konteks waktu
tertentu, tetapi tidak dijelaskan mengapa dalam konteks waktu tersebut
buku-buku dihancurkan. Mungkin, hal ini terjadi karena keterbatasan
informasi yang didapatkan, dan itu adalah hal yang wajar dan justru
seharusnya mendorong penelitian yang lebih spesifik baik dalam segi
konteks waktu ataupun hal spesifik lainnya.
Dalam konteks Indonesia, buku Baez ini tidak akan cukup memuaskan
untuk menjawab problem penghancuran buku yang pernah terjadi di
Indonesia. Dalam buku ini, Baez hanya membahas bahwa pernah terjadi
sensor terhadap buku-buku pelajaran yang tidak mencantumkan nama ‘PKI’
setelah kata ‘G30S’ dan pelarangan terhadap buku-buku yang
menyebarluaskan gagasan marxisme-leninisme dalam beberapa kalimat saja.
Padahal, sejarah penghancuran buku di Indonesia memiliki sejarah yang
juga panjang, yaitu telah terjadi pada zaman kerajaan-kerajaan
nusantara. Sebagaimana menurut Minanuddin (1992), sensor atau pelarangan
buku lazimnya dilakukan dibawah perintah atau kuasa raja yang tercatat
pertama kali pada abad ke 17, yang dilakukan oleh kerajaan Aceh atas
karya Hamzah Fansuri, seorang ulama mistik.[4]
Pelarangan, atau penghancuran, atau sensor terhadap buku terus terjadi
seiring dengan pergantian corak pemerintahan: dari masa kerajaan, masa
kolonialisme Belanda, masa pendudukan Jepang, Orde Lama, dan Orde Baru.
Selain penelitian Minanuddin, penghancuran/pelarangan/sensor terhadap
buku di Indonesia juga dibukukan melalui hasil penelitian Iwan Awaluddin
Yusuf (et al) berjudul Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, yang
selain membahas sejarah pelarangan buku sejak zaman kerajaan hingga
pasca orde baru, juga membahas bagaimana gerakan melawan pelarangan buku
tersebut, baik dari jalur litigasi maupun non-litigasi. Kedua hasil
penelitian ini dapat menjadi bacaan tambahan setelah membaca karya Baez.
Menanggapi kasus penghancuran buku sendiri, saya berpendapat bahwa,
dengan alasan apapun, penghancuran buku merupakan hal yang tidak
seharusnya dilakukan. Dalam konteks kapitalisme saat ini, misalnya,
apakah salah satu bentuk perlawanan terhadap kapitalisme adalah
menghancurkan buku-buku yang menjustifikasi kapitalisme? Tentu tidak.
Yang perlu dilakukan, meminjam istilah Gramsci, adalah melakukan counter-hegemony
dengan cara mengeluarkan buku-buku yang melawan dan membuktikan bahwa
kapitalisme adalah bermasalah (sehingga ia jahat) dan memberikan
perspektif baru bahwa ada alternatif lain di luar kapitalisme. Tentu hal ini adalah salah satu contoh kecil disamping hal-hal lain yang bisa diimajinasikan dan dilakukan secara kolektif.
Bacaan Tambahan
Minanuddin. (1992). Pelarangan Buku di Indonesia: disertai Bibliografi Beranotasi Buku Terlarang di Indonesia tahun 1966-1992. Skripsi Sarjana, Universitas Indonesia.
Iwan Awaluddin Yusuf. et al. (2010). Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi. Yogyakarta: PR2Media dan Friedrich Ebert Stiftung.
[1]
Penganut Nestorianisme mempercayai Tuhan ganda dalam satu sosok yang
ilahi dan satu sosok yang insani. Bagi mereka pemanggilan Maria, Ibu
Yesus, sebagai ‘Bunda Tuhan’ sebagai sesuatu yang absurd. Mereka juga
tidak mengakui supremasi Uskup Roma dan menganjurkan hidup sederhana
sebagaimana yang dijalankan oleh para Rasul.
[2]
Sekte Almaricus menganggap bahwa Tuhan dan segenap mahluk hanyalah
strategi dari kemanunggalan Tuhan sebagai segala dan segalanya sebagai
Tuhan.
[3] Istilah bibliocaus merujuk pada penghancuran buku –melalui berbagai cara, yang dilakukan oleh rezim Fasis Hitler.
[4] Minanuddin. (1992). Pelarangan Buku di Indonesia: disertai Bibliografi Beranotasi Buku Terlarang di Indonesia tahun 1966-1992. Skripsi Sarjana, Universitas Indonesia. Hlm 52-53.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar