“If
the structure does not permit dialogue the structure must be changed” –
Paulo Freire
Pelarangan
berbagai diskusi yang bersifat akademis semakin menjadi tren akhir-akhir ini.
Lebih miris lagi, bila hal itu dilakukan di institusi akademik. Hal ini yang membuat
kita perlu bertanya, apakah ada kebebasan akademis untuk menciptakan lingkungan
intelektual yang sehat di kampus? Dengan adanya tren tersebut menunjukkan tendensi
hilangnya kebebasan akademik di dalam institusi pendidikan. Hal itu dapat
dilihat dari beberapa kasus, seperti pelarangan diskusi buku Irshad Mandji hingga
pembatalan kelas filsafat Atheisme di UGM, pembatalan diskusi di UIN Pekanbaru,
bahkan baru-baru ini ada indikasi bahwa Universitas Indonesia membatalkan
diskusi liberalisme yang digagas oleh UI Liberal & Democratic Study Club
(UI LDSC). Kebebasan akademis juga dipertanyakan dengan adanya kampus-kampus
swasta yang tidak membenarkan mahasiswanya untuk mengkritik, menyampaikan
aspirasi secara terbuka dan demonstrasi sebagai bentuk kebebasan menyampaikan
pendapat. Dengan itu, terdapat kecenderungan bahwa kebebasan akademik mulai
tergerus di dalam rumahnya sendiri.
Bagaimana pun
juga, kampus merupakan institusi yang harusnya menjamin kebebasan akademik
diantara civitas-nya. Kampus sejatinya harus memfasilitasi berbagai macam
pilihan ideologi dan paham yang dianut warganya. Kampus harusnya menyediakan
ruang diskusi yang sehat. Juga, kampus harusnya menjamin setiap warganya untuk
berkumpul, berserikat dan menyampaikan pendapatnya secara terbuka. Lalu kampus
macam apa yang rupanya membatasi diskusi berdasarkan topiknya? Melarang kritik
dan penyampaian aspirasi secara terbuka? Diskusi adalah corong intelektual di
kampus! Mulai dari dalam ruang kelas, hingga sekedar duduk-duduk di kantin,
diskusi adalah sebuah kehidupan, kebiasaan, dan sudah menjadi identitas dari
kampus itu sendiri. Bila di kampus saja telah dilarang, atau minimal
dihalang-halangi, maka bagaimana mungkin kebebasan berserikat dan menyampaikan
pendapat di luar kampus dapat dijamin.
Dengan melihat
kasus-kasus di atas, maka premis kebebasan akademis yang lahir karena kebebasan
non-akademik, seperti yang dijanjikan di dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi
(UU PT) dipatahkan oleh dirinya sendiri. Pada kenyataannya otonomi non-akademik
tidak menjamin adanya kebebasan akademik di dalam suatu institusi pendidikan. Kampus
yang memiliki otonomi non-akademik, yaitu yang berupaya menjadi semakin
independen dari Negara dalam arti pendanaan dan pengelolaannya, ternyata tidak
otomatis menjamin ada kebebasan akademik di dalamnya. Karena sejatinya hal itu
memang tidak ada hubungannya. Kebebasan akademik adalah syarat utama sebuah
institusi pendidikan lahir, karena dengannya sebuah kebenaran bisa diuji.
Dengan itu, maka argumen UU Pendidikan Tinggi mematahkan argumennya sendiri
melalui kontradiksi tersebut.
Oleh karena itu
kami dari SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF UI mengadakan #AksiKamisanUI sebagai
upaya untuk mengingatkan publik secara luas, dan khususnya warga UI, bahwa
kebebasan akademik haruslah ditegakan di dalam institusi pendidikan, tanpa
kompromi. Dan, hal itu tidak ada hubungannya dengan otonomi non-akademik
seperti yang digembor-gemborkan sebelumnya. Dengan itu, maka kami menyerukan
kepada publik untuk:
Mendukung upaya pembebasan akademis, dengan cara:
Mengecam segala bentuk pelarangan yang mengancam kebebasan akademis di
dalam kampus.
Menyadari bahwa kebebasan akademis tidak ada hubungannya dengan otonomi
non-akademik.
Terlibat untuk menciptakan iklim kampus yang berwatak ilmiah, akademis,
demokratis, dan bervisi untuk menciptakan tatanan masyarakat yang adil dan
setara.
Contact Person:
Rio Apinino: 083876871328
Dicky: 085790499259
Tidak ada komentar:
Posting Komentar