Rabu, 16 April 2014

Kaoem Boeroe Tempo Doeloe

Oleh Ari Kurniawan, anggota Semar UI & Sastra Indonesia 2012

Pengantar

Pada abad ke-21 ini, kelas buruh atau yang dalam termin kiri juga disebut sebagai proletariat tetap menjadi kelas yang berada dalam strata sosial yang rendah dalam masyarakat. Proletariat dalam Marxisme dipahami sebagai kelas sosial di dalam masyarakat yang tidak memiliki alat-alat produksi, yaitu berbagai macam sarana yang digunakan untuk menciptakan komoditas dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, proletariat hanya dapat mengandalkan “tenaga kerjanya”, satu-satunya yang mereka miliki untuk bertahan hidup. Tenaga kerja inilah yang kemudian dijual proletariat kepada kelas yang memiliki alat-alat produksi, yaitu kelas borjuasi. Dari hasil penjualan “tenaga kerja” inilah proletariat mendapat upah yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Disisi lain, satu-satunya motif borjuasi dalam melakukan produksi adalah pengerukan keuntungan terus-menerus. Konsekuensinya, kedua kelas ini akan selalu memiliki kepentingan mendasar yang berbeda. Dua kepentingan inilah yang disebut dengan “pertentangan kelas”.

Dalam tulisan ini, saya akan mencoba memaparkan bagaimana keadaan kaum buruh di Indonesia pada masa kolonial yang dapat dilihat dari karya sastra yang berjudul “Nasibnja Kaoem Boroe  Bangsa Tionghoa” (Kwan Ir.,Bidara Tjina, Keng Po, No. 61, 1 Maret 1930, hlm. 16) dan membandingkannya dengan keadaan kaum buruh pada masa sekarang.

Nasib Kaum Buruh

Dalam prosa “Nasibnja Kaoem Boroe  Bangsa Tionghoa” diceritakan bagaimana menderitanya menjadi seorang buruh. “Marika tiada pikir, brapa besar kaum buru menanggung susa,” potongan sajak di atas menceritakan bagaimana seorang Tawke  tidak pernah memikirkan bagaimana beratnya bekerja sebagai buruh. Tawke sendiri merupakan kelas pemilik modal memiliki orientasi laba atau untung sebesar-besarnya dan terus menerus. Dengan karakteristik yang sama sebagaimana kelas kapitalis lainnya, yang para Tawke utamakan adalah produktivitas para buruh dalam berproduksi. Keadaan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan buruh pada masa sekarang. Saat ini, kaum buruh semakin tereksploitasi dan tertindas dalam sistem kapitalis dunia yang semakin menjadi dan menjalar.

Kemudian, problem upah rendah dan jam kerja yang panjang menjadi salah satu persoalan besar dan menjadi isu utama yang terus menerus diperjuangkan oleh gerakan buruh hari ini. Dalam sejarahnya pun, hari buruh se-dunia atau yang lebih dikenal dengan sebutan May Day bermula dari protes buruh terhadap waktu kerja yang tidak manusiawi. Bermula dari aksi demonstrasi besar-besaran di Amerika pada tanggal 1 Mei 1886, meskipun demonstrasi tersebut menghasilkan banyak korban jiwa, tetapi gerakan tersebut berhasil menghasilkan resolusi jam kerja buruh dikurangi menjadi 8 jam sehari. Karena gerakan yang berhasil inilah 1 Mei ditetapkan sebagai “harinya buruh sedunia”.

Persoalan upah yang rendah juga direkam dengan sangat baik dalam “Nasibnja Kaoem Boroe  Bangsa Tionghoa”. “Suda umumnya tawke Tionghoa suka pake kuli yang mura”. Potongan sajak tersebut membuktikan bahwa memang persoalan upah menjadi permasalahan buruh dari masa ke masa. Pada masa sekarang tak jarang kita melihat atau mendengar berita tentang buruh yang mogok atau berdemonstrasi demi menuntut kenaikan upah kerja mereka. Memang, sajak di atas hanya menyebutkan kaum Tionghoa. Namun, jika melihat keadaan buruh secara universal permasalahan ini terjadi hampir pada setiap buruh. Dalam buku berjudul “Tangan dan Kaki Terikat” misalnya, bahkan, gaji buruh Tinghoa yang didaku sangat rendah tersebut lebih besar dibanding buruh-buruh pribumi yang bekerja di perkebunan-perkebunan Kolonial.

Pada bait terakhir prosa, “Jadi Cuma kaum Tawke Tionghoa saja yang paling seraka; kalau untung makan sendiri, ta perduliken idup cilaka.” Pada kenyataannya, hampir semua Tawke atau pemilik modal memiliki sifat serakah untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Tetapi yang harus diingat adalah, keserakahan para pemilik modal tidak bisa dianalisis melalui sentimen moral. Hal ini tidak lain karena problem keserakahan itu sendiri bukanah problem moral melainkan struktural. Dalam kapitalisme, jika si pemilik modal tidak serakah dan tidak memiliki kehendak untuk selalu mengakumulasi modalnya, niscaya mereka akan dengan mudah kalah dalam persaingan antarkapitalis.

Bisa jadi penulis mengatakan “Jadi Cuma kaum Tawke Tionghoa saja yang paling seraka” karena yang ia lihat hanya kehidupan buruh dan Takwe Tionghoa saja tanpa pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada buruh-buruh dan kelas kapitalis lainnya.

Prosa  “Nasibnja Kaoem Boroe  Bangsa Tionghoa” ditulis pada tahun 1930 dimana para buruh di Indonesia sudah mulai membentuk serikat dan persatuan. Pada Juli 1927 buruh kereta-api membentuk sebuah perserikatan, Perhimpunan Beambte Spoor dan Tram (PBST). Periode tahun 1930 merupakan suatu periode yang stabil. Namun pada masa itu, orang yang dicurigai sebagai komunis dan revolusioner pada umumnya, ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, tanpa diadili (Iskandar Tedjasukmana, 2008). Wajar rasanya pada periode ini karya sastra yang dihasilkan tidak berisi tentang pemikiran revolusioner, tetapi lebih berisi keluhan. Jika dibandingkan dengan keadaan buruh saat ini, maka sudah banyak sekali perserikatan-perserikatan buruh yang muncul di Indonesia dan dengan demikian memiliki potensi untuk berkembang menjadi gerakan yang lebih besar.

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedaan buruh dari zaman dahulu sampai saat ini tidak banyak berubah. Buruh tetap menjadi kelas kedua di bawah para borjuis, buruh masih terjebak dalam sistem ekonomi kapitalis, dan masalah upah serta kesejahteraan masih menjadi masalah pokok buruh. Dalam Marxisme, karena problem dasar kapitalisme adalah terkonsentrasinya alat-alat produksi ditangan segelintir orang (kapitalis), maka solusi dari hal tersebut adalah sosialisasi atau kepemilikan bersama atas alat-alat produksi. Sistem ekonomi dimana alat produksi dimiliki bersama tersebutlah yang jamak dikenal sebaga sosialisme. Hanya dengan sistem sosialisme lah buruh (dan rakyat pada umumnya) akan sejahtera secara penuh.

Dalam perjalanan pergerakan buruh, pengalaman kekalahan-kekalahan serikat-serikat menjadi salah satu usaha untuk memperkuat kekuatan dalam melawan kebijakan-kebijakan kapitalis yang merugikan. Bisa kita lihat dalam kesaharian dimana semakin banyak serikat, federasi serta konfederasi buruh yang berdiri. Tapi, sangat disayangkan dalam prosa yang saya bahas ini tidak menuliskan tentang bagaimana buruh Tionghoa berserikat. Mungkin ini karena pengaruh kebijakan kolonial pada masa itu sehingga karya sastra yang dihasilkan hanya berupa keluhan-keluhan.


Daftar Pustaka

Ingleson, John. Tangan dan Kaki Terikat : Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial. Trans. Iskandar P. Nugraha. Jakarta : Komunitas Bambu, 2004.
Tedjasukmana, Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC.
Tim Sejarah Sastra Indonesia. 2009. Meneer Parlente Antologi Puisi Indonesia Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa



Tidak ada komentar:

Posting Komentar