Oleh Ari Kurniawan, anggota Semar UI & Sastra Indonesia 2012
Pengantar
Pada abad
ke-21 ini, kelas buruh atau yang dalam termin kiri juga disebut sebagai
proletariat tetap menjadi kelas yang berada dalam strata sosial yang rendah
dalam masyarakat. Proletariat dalam Marxisme dipahami sebagai kelas sosial di
dalam masyarakat yang tidak memiliki alat-alat produksi, yaitu berbagai macam
sarana yang digunakan untuk menciptakan komoditas dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari,
proletariat hanya dapat mengandalkan “tenaga kerjanya”, satu-satunya yang
mereka miliki untuk bertahan hidup. Tenaga kerja inilah yang kemudian dijual
proletariat kepada kelas yang memiliki alat-alat produksi, yaitu kelas
borjuasi. Dari hasil penjualan “tenaga kerja” inilah proletariat mendapat upah
yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Disisi lain,
satu-satunya motif borjuasi dalam melakukan produksi adalah pengerukan
keuntungan terus-menerus. Konsekuensinya, kedua kelas ini akan selalu memiliki
kepentingan mendasar yang berbeda. Dua kepentingan inilah yang disebut dengan
“pertentangan kelas”.
Dalam
tulisan ini, saya akan mencoba memaparkan bagaimana keadaan kaum buruh di
Indonesia pada masa kolonial yang dapat dilihat dari karya sastra yang berjudul
“Nasibnja Kaoem Boroe Bangsa Tionghoa” (Kwan Ir.,Bidara Tjina,
Keng Po, No. 61, 1 Maret 1930, hlm. 16) dan membandingkannya dengan keadaan
kaum buruh pada masa sekarang.
Nasib Kaum Buruh
Dalam prosa
“Nasibnja Kaoem Boroe Bangsa Tionghoa”
diceritakan bagaimana menderitanya menjadi seorang buruh. “Marika tiada pikir, brapa besar kaum buru menanggung susa,”
potongan sajak di atas menceritakan bagaimana seorang Tawke tidak pernah memikirkan bagaimana beratnya
bekerja sebagai buruh. Tawke sendiri merupakan kelas pemilik modal memiliki
orientasi laba atau untung sebesar-besarnya dan terus menerus. Dengan
karakteristik yang sama sebagaimana kelas kapitalis lainnya, yang para Tawke
utamakan adalah produktivitas para buruh dalam berproduksi. Keadaan ini tidak
jauh berbeda dengan keadaan buruh pada masa sekarang. Saat ini, kaum buruh
semakin tereksploitasi dan tertindas dalam sistem kapitalis dunia yang semakin
menjadi dan menjalar.
Kemudian,
problem upah rendah dan jam kerja yang panjang menjadi salah satu persoalan
besar dan menjadi isu utama yang terus menerus diperjuangkan oleh gerakan buruh
hari ini. Dalam sejarahnya pun, hari buruh se-dunia atau yang lebih dikenal
dengan sebutan May Day bermula dari protes buruh terhadap waktu kerja yang
tidak manusiawi. Bermula dari aksi demonstrasi besar-besaran di Amerika pada
tanggal 1 Mei 1886, meskipun demonstrasi tersebut menghasilkan banyak korban
jiwa, tetapi gerakan tersebut berhasil menghasilkan resolusi jam kerja buruh
dikurangi menjadi 8 jam sehari. Karena gerakan yang berhasil inilah 1 Mei
ditetapkan sebagai “harinya buruh sedunia”.
Persoalan
upah yang rendah juga direkam dengan sangat baik dalam “Nasibnja Kaoem
Boroe Bangsa Tionghoa”. “Suda umumnya tawke Tionghoa suka pake kuli
yang mura”. Potongan sajak tersebut membuktikan bahwa memang persoalan upah
menjadi permasalahan buruh dari masa ke masa. Pada masa sekarang tak jarang
kita melihat atau mendengar berita tentang buruh yang mogok atau berdemonstrasi
demi menuntut kenaikan upah kerja mereka. Memang, sajak di atas hanya
menyebutkan kaum Tionghoa. Namun, jika melihat keadaan buruh secara universal
permasalahan ini terjadi hampir pada setiap buruh. Dalam buku berjudul “Tangan
dan Kaki Terikat” misalnya, bahkan, gaji buruh Tinghoa yang didaku sangat
rendah tersebut lebih besar dibanding buruh-buruh pribumi yang bekerja di
perkebunan-perkebunan Kolonial.
Pada bait
terakhir prosa, “Jadi Cuma kaum Tawke
Tionghoa saja yang paling seraka; kalau untung makan sendiri, ta perduliken
idup cilaka.” Pada kenyataannya, hampir semua Tawke atau pemilik modal
memiliki sifat serakah untuk memperoleh untung sebesar-besarnya. Tetapi yang
harus diingat adalah, keserakahan para pemilik modal tidak bisa dianalisis
melalui sentimen moral. Hal ini tidak lain karena problem keserakahan itu
sendiri bukanah problem moral melainkan struktural. Dalam kapitalisme, jika si
pemilik modal tidak serakah dan tidak memiliki kehendak untuk selalu
mengakumulasi modalnya, niscaya mereka akan dengan mudah kalah dalam persaingan
antarkapitalis.
Bisa jadi
penulis mengatakan “Jadi Cuma kaum Tawke Tionghoa saja yang paling seraka”
karena yang ia lihat hanya kehidupan buruh dan Takwe Tionghoa saja tanpa pernah
tahu apa yang sebenarnya terjadi pada buruh-buruh dan kelas kapitalis lainnya.
Prosa “Nasibnja Kaoem Boroe Bangsa Tionghoa” ditulis pada tahun 1930
dimana para buruh di Indonesia sudah mulai membentuk serikat dan persatuan.
Pada Juli 1927 buruh kereta-api membentuk sebuah perserikatan, Perhimpunan
Beambte Spoor dan Tram (PBST). Periode tahun 1930 merupakan suatu periode yang
stabil. Namun pada masa itu, orang yang dicurigai sebagai komunis dan
revolusioner pada umumnya, ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, tanpa diadili
(Iskandar Tedjasukmana, 2008). Wajar rasanya pada periode ini karya sastra yang
dihasilkan tidak berisi tentang pemikiran revolusioner, tetapi lebih berisi
keluhan. Jika dibandingkan dengan keadaan buruh saat ini, maka sudah banyak
sekali perserikatan-perserikatan buruh yang muncul di Indonesia dan dengan
demikian memiliki potensi untuk berkembang menjadi gerakan yang lebih besar.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedaan buruh dari zaman dahulu
sampai saat ini tidak banyak berubah. Buruh tetap menjadi kelas kedua di bawah
para borjuis, buruh masih terjebak dalam sistem ekonomi kapitalis, dan masalah
upah serta kesejahteraan masih menjadi masalah pokok buruh. Dalam Marxisme,
karena problem dasar kapitalisme adalah terkonsentrasinya alat-alat produksi
ditangan segelintir orang (kapitalis), maka solusi dari hal tersebut adalah
sosialisasi atau kepemilikan bersama atas alat-alat produksi. Sistem ekonomi
dimana alat produksi dimiliki bersama tersebutlah yang jamak dikenal sebaga
sosialisme. Hanya dengan sistem sosialisme lah buruh (dan rakyat pada umumnya)
akan sejahtera secara penuh.
Dalam
perjalanan pergerakan buruh, pengalaman kekalahan-kekalahan serikat-serikat
menjadi salah satu usaha untuk memperkuat kekuatan dalam melawan
kebijakan-kebijakan kapitalis yang merugikan. Bisa kita lihat dalam kesaharian
dimana semakin banyak serikat, federasi serta konfederasi buruh yang berdiri.
Tapi, sangat disayangkan dalam prosa yang saya bahas ini tidak menuliskan
tentang bagaimana buruh Tionghoa berserikat. Mungkin ini karena pengaruh
kebijakan kolonial pada masa itu sehingga karya sastra yang dihasilkan hanya
berupa keluhan-keluhan.
Daftar Pustaka
Ingleson, John. Tangan dan Kaki Terikat : Dinamika Buruh,
Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial. Trans. Iskandar P. Nugraha.
Jakarta : Komunitas Bambu, 2004.
Tedjasukmana,
Iskandar. 2008. Watak Politik Gerakan
Serikat Buruh Indonesia. Jakarta: TURC.
Tim Sejarah
Sastra Indonesia. 2009. Meneer Parlente
Antologi Puisi Indonesia Periode Awal. Jakarta: Pusat Bahasa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar