Oleh Dwiki Dimas, anggota SEMAR UI, Fakultas Hukum 2013
Sejarah kita pernah berbicara tentang
manusia yang berpuluh tahun berkuasa, tangannya besi, kata yang keluar adalah
titah, dan lakunya membikin rakyatnya sengsara. Pada masanya pula, isi kepala
setiap manusia Indonesia diborgol bahkan dibelenggu untuk tak bisa berpikir apa-apa.
Dan bila cara itu gagal, masih ada tubuh
yang bisa Ia siksa dan lucuti hak-hak dasarnya. Segalanya dilakukan demi
melenggangkan kekuasaan, demi kepentingan dia dan orang-orang yang menjilatnya.
Masa itu kita kenal dengan Orde Baru. Zaman
dimana generasi saat ini begitu merindukannya akibat dari buaian ilusi yang
dipropagandakan secara massif. Gembar-gembor akan kemajuan negeri yang
signifikan begitu saja ditelan mentah-mentah manusia yang hidup di Indonesia
hari ini. Namun, tentu kita tak bisa menyalahkan mereka. Sekali lagi, ini adalah
bentuk kebiadaban Orde Baru yang
membunuh memori kolektif kita dan menghidupkan kembali dengan rupa yang telah
dimanipulasi: enakkan zamanku, tho?
Motif terbesar dibalik kebiadaban rezim
Orde Baru adalah motif ekonomi. Cendana, mungkin adalah tempat paling sakral
bagi para pengusaha hitam dalam usaha menguasai pasar, dalam usaha mengeruk
keuntungan, dalam usaha menjadikan dirinya penguasa-penguasa kecil. Tentu dalam
penghambaan ini, akan ada mereka yang tersisihkan dan termarjinalkan akibat kebijakan
penguasa yang hanya berpihak pada mereka yang memiliki nilai tawar ekonomi yang
tinggi. Kesepakatan politik guna memuluskan kepentingan ekonomi adalah sesuatu
yang sangat wajar di masa itu (dan tentu hingga saat ini).
Kekuasaan yang langgeng takkan lepas
dari keberadaan militer yang mendukung di belakangnya. Tentu, pihak militer
dalam mendukung kekuasaan ini tidaklah cuma-cuma. Tak ada makan siang yang gratis. Ada banyak kepentingan yang
menggerakkkan di belakang mereka, mulai dari motif kekuasaan hingga ekonomi.
Sama dengan para penguasa hitam, motif yang paling nampak adalah motif ekonomi,
mengingat pada masa itu ABRI memiliki peran yang memiliki akses yang luas
terhadap penguasaan sumber daya alam.
Pada akhirnya, jika kekuasaan didasarkan
pada bagaimana berkuasa dan menjadi penguasa bukanlah demi kepentingan rakyat, kekuasaan
tersebut tentu takkan bertahan lama. Ketika rakyat semakin sengsara dengan
permainan penguasa, aksi massa adalah jalan untuk menggugat keadilan. Ketika
bobroknya negeri ini dibawah Orde Baru begitu nyata, tak ada lagi alasan untuk
tak menggulingkan kekuasaan. Rakyat membuat sejarah.
Kebenaran tak dapat disembunyikan, ilusi
itu mulai terkuak, rakyat juga muak. Reformasi 1998 adalah akhir dari Orde Baru,
kuburan bagi kekejaman dan kebiadan penguasa berserta kroninya. Mereka telah
mati dan perjuangan rakyat untuk menuju kehidupan yang lebih demokratis telah
sampai pada titik baru, titik yang penuh harapan akan perubahan besar pada
sistem kekuasaan yang ada.
Reformasi merupakan potensi untuk
manusia Indonesia bisa hidup dengan utuh dan tak lagi menjadi permainan para
penguasa. Tapi apa yang kita temui kini? oligarki yang seharusnya mati malah
kembali dan menghantui bangsa ini. Mereka membentuk kembali dirinya dengan pakaian
berbeda. Dari mereka yang awalnya berpatron langsung kepada sang penguasa, kini mereka menjadi aktor langsung dalam sistem
demokrasi pasca reformasi. Sistem yang seharusnya kita miliki, bukan mereka.
Jamak kita temui para bekas pengusaha
hitam di masa Orde Baru yang melakukan infiltrasi kepada partai tertentu dan
langsung menduduki jabatan strategis pada suatu partai. Otonomi Daerah, juga
tak luput mereka manfaatkan untuk menghidupkan diri mereka kembali. Biasanya, modus
operandi mereka adalah menjadi pemodal bagi calon-calon kepala daerah dan
bahkan tak sedikit dari mereka yang menjadi calon kepala daerah dalam pemilihan.
Keberadaan mereka tak lagi terpusat dan berpatron pada Jendral Fasis Suharto seperti yang dilakukan mereka pada masa
Orde Baru. Kini, mereka berdiaspora, membajak demokrasi untuk kepentingan
mereka sendiri. Tujuan mereka tak beda dengan masa lalu, ya oleh karena itulah mereka pantas kita sebut zombie. Mereka yang
mati kini hidup kembali dan siap menggerogoti kembali negeri ini dan membuat
sengsara rakyat pekerja Indonesia.
Zombie ini bukan hanya para pengusaha
gelap, pihak militer pun tak mau kehilangan tajinya. Meski kekuasaan militer
tak lagi sebebas dulu, nyatanya militer masih mempunyai peranan penting dalam
menjaga stabilitas. Maka tak heran, butuh restu dari militer untuk seseorang
menjadi penguasa di negeri ini. Akibatnya, setelah seseorang berkuasa berkat
restu militer maka kompensasi politik atau ekonomi akan mereka berikan pada
pihak militer. Sekali lagi, pola-pola kekuasaan di Orde Baru berulang. Selain
itu, zombie-zombie militer ini mewujud juga dalam diri para pensiunan militer
yang berkontestasi dalam Pemilu Presiden nanti. Sebut saja zombie Prabowo,
zombie Wiranto, dan zombie-zombie lainnya adalah beberapa contohnya.
Kebangkitan zombie-zombie ini juga
diperparah dengan semakin gencarnya konstruksi pemikiran di masyarakat yang
menyatakan bahwa zaman Orde Baru yang otoritarian itu lebih baik dari masa
sekarang. Orang-orang yang termakan ilusi tersebut (atau memang dengan sadar
menceburkan diri dalam ilusi tersebut?) lupa dibalik “kenyamanan” Orde Baru ada
siksa yang begitu nyata. Tentu, sekali lagi, kita tidak bisa menyalahkan
sepenuhnya mereka yang termakan ilusi tersebut, toh kekecewaan mereka juga tak lepas dari kinerja pemerintah yang
tak memberi hasil yang cukup nyata. Wajar saja, dibalik pemerintah kita masa
bersemayam zombie dari masa lalu. Oleh karena itu, mari kita lupakan Orde Baru
dan mengepalkan tangan untuk melawan kembalinya zombie-zombie ini dari
kuburannya sambil terus menerus melawan ilusi bahwa Orde Baru lebih baik dari
hari ini.
Tak ada yang perlu dirindukan dari Orde
Baru, sebab setiap kenyamanannya adalah ilusi dan dibaliknya ada zombie yang
siap menggeroti serta membuat bangsa kita tersiksa kembali. Maka, jangan bunuh
imajinasi kita dengan pesimisme dan ilusi dari Orde Baru. Mari kita curahkan pikiran
dan kerja-kerja kita seutuhnya untuk kehidupan yang lebih baik dan benar-benar
baru di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar