Oleh Mugiyanto
Catatan Redaksi:
Tulisan ini merupakan kesaksian dari
salah satu korban penculikan oleh militer di tahun 1997-1998. Dimuat di sini
untuk menolak lupa diantara generasi muda sekarang yang banyak dijejali dengan
“lupakan masa lalu, dan tataplah masa depan” yang sangat menyesatkan itu.
Sehingga, membuat generasi muda saat ini tidak peduli pada apa yang terjadi di
masa lalu dan siapa aktor-aktornya. Dan, hal yang lebih penting, tulisan ini
untuk mengingatkan kita agar kondisi politik ke depan tidak menjadi masa kelam kembali,
yaitu masa otoritarianisme Orde Baru.
Tendensi naiknya
kekuatan-kekuatan politik yang dibesarkan atau menjadi bagian dari Orde Baru,
bahkan juga terlibat secara langsung dalam penculikan ini, harus diwaspadai.
Tulisan ini dimaksudkan untuk mengingatkan kita semua, agar hal ini tidak
terulang kembali di masa depan. Masa Orde Baru bukanlah masa yang meng-enak-kan,
namun justru sebaliknya, merupakan salah satu masa kelam dalam sejarah negara
kita. Bacalah, renungi, kemudian tentukan sikap: kembali ke masa seperti Orde
Baru, tentu dengan otoritarianisme ditambah Neoliberalisme, atau melangkah ke
depan dengan kemungkinan demokrasi yang lebih substansial!
Tulisan ini diambil dari http://peace.home.xs4all.nl/pubeng/mov/movto/kemu.html
Pengantar
Saya akan menyampaikan sebuah kesaksian atas apa yang terjadi pada diri
saya bersama Nezar Patria dan Aan Rusdianto pada hari Jumat malam tanggal 13
Maret 1998. Peristiwa ini ternyata menjadi bagian dari sebuah rangkaian panjang
peristiwa penculikan dan penghilangan aktivis-aktivis politik, yang membuat
wajah rejim orde baru semakin tidak populer di mata rakyat dan dunia
internasional. Hal ini merupakan sebuah bukti bahwa negara tidak lagi mampu
menjamin keselamatan warganya, yang pada akhirnya semakin mempertebal rasa
ketidakpercayaan rakyat pada pemerintah yang berkuasa hingga menyebabkan
keruntuhannya.
Nama saya Mugiyanto. Saya lahir pada tanggal 2 November 1973 di Jepara.
Saat ini saya adalah mahasiswa Fakultas Sastra Inggris UGM Yogyakarta. Sejak
masuk kuliah di UGM pada tahun 1992 kesadaran politik saya mulai tumbuh. Hal
ini memang tak lepas dari lingkungan saya di kampus, di mana mahasiswa sering
melakukan diskusi-diskusi kritis baik masalah ekonomi, sosial, maupun politik.
Aksi-aksi demonstrasi juga sering dilakukan dengan isu-isu serupa. Akses untuk
membaca buku-buku baru dan kritis juga terbuka lebar bagi saya. Di samping itu
kadang-kadang saya juga melakukan eksposure.
Mulai dari situlah kepala saya seolah dibenturkan, mata dan telinga saya
dibukakan pada realita-realita kehidupan sosial, ekonomi dan politik yang
timpang yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Hingga akhirnya saya
terpanggil, hati nurani saya terdorong untuk melakukan suatu tindakan. Dan
akhirnya saya bergabung dengan kawan-kawan SMID di Yogyakarta. Namun untuk itu
semua, saya harus mengalami suatu peristiwa sebagai sebuah resiko yang tak akan
pernah bisa saya lupakan dalam hidup saya. Berikut inilah kesaksian saya atas
peristiwa tersebut.
Di Rumah; Terjebak
Pada hari Rabu, 13 Maret 1998, sekitar pukul 19.00 dari Gramedia Matraman
saya menghubungi rumah kontrakan (saat diculik saya bersama Nezar Patria, Aan
Rusdianto dan Bimo Petrus tinggal di Rusun Klender Blok 37 No. 7 lantai II,
Jakarta Timur) melalui telepon dan diterima Nezar Patria. Setelah tahu bahwa Ia
ada di rumah, saya bilang pada Nezar untuk menunggu di rumah karena saya
membawa makan malam dan kebetulan ia belum makan. Saya bilang pada Nezar bahwa
dalam satu jam saya akan sampai di rumah.
Pukul 20.15 saya turun dari kendaraan angkutan umum kemudian berjalan
menuju rumah. Di sekitar rumah tak ada yang mencurigakan, kecuali adanya
sekelompok ibu-ibu yang duduk-duduk di tangga naik ke kontrakan. Saya minta
permisi pada ibu-ibu ini untuk lewat. Sesampai di depan pintu, saya ketok pintu
berkali-kali, namun tak ada jawaban dari dalam. Saya tengok ke arah ibu-ibu
tadi, namun mereka kemudian bubar secara serempak. Kemudian saya ketok pintu
beberapa kali lagi dan yang keluar adalah tetangga, yang tinggal tepat
berhadapan dengan kontrakan kami. Ia (seorang perempuan masih muda) bilang pada
saya, "Orangnya sedang keluar, Mas. Sebentar lagi katanya akan balik."
Kemudian saya cari kunci di kantong celana, dan menemukannya. Begitu saya buka
pintu, ruangan gelap. Semua lampu padam kecuali lampu kamar. Lampu saya
nyalakan dan saya melihat banyak keanehan. Pertama, saya lihat komputer laptop
tidak ada, juga beberapa tas berisi buku-buku dan barang cetakan lain yang
biasanya berserakan di lantai. Gagang telepon juga tidak berada di tempatnya.
Di dapur saya juga dapatkan seplastik buah jeruk untuk minuman, dan tuangan air
dalam gelas yang masih hangat. Saya jadi penasaran dan agak panik.
Saya memastikan sesuatu telah terjadi. Kemudian memikirkan beberapa
kemungkinan; pertama, Nezar sedang melakukan evakuasi karena sesuatu terjadi
pada kawan yang lain sebagaimana pengalaman-pengalaman sebelumnya. Kedua, Nezar
diculik dari rumah. Karena menganggap kemungkinan pertama lebih besar
--berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya-- saya pager Nezar untuk menghubungi
rumah. Setelah beberapa saat saya menunggu, telepon berdering tiga kali, namun
dari kawan yang lain. Kepada mereka saya jelaskan apa yang terjadi. Telepon
dari Nezar yang saya tunggu-tunggu tidak datang juga. Akhirnya saya segera
masukkan catatan-catatan penting ke dalam tas untuk pergi. Kemudian saya tengok
ke luar melalui jendela. Di sana ada beberapa orang berbadan besar mengawasi
saya. Saya jadi panik. Sesaat setelah itu, sebelum saya keluar, pintu sudah
diketuk. Karena tak ada alternatif untuk lolos, saya buka pintu dan ada sekitar
10 orang masuk. Empat orang diantaranya berpakaian seragan hijau dan membawa
HT, dan yang lainnya berpakaian preman termasuk dua orang tua berpeci yang saya
kira adalah perangkat kelurahan. Setelah memeriksa saya, mereka (4 orang
berpakaian termasuk bapak tua berpeci) menuntun saya keluar menuju kendaraan
L300 yang disediakannya. Saya duduk di belakang sopir diapit oleh mereka.
Sekitar 15 menit kemudian sampai di Koramil Duren Sawit.
Di Koramil; Seseorang Menangkapkan Diri
Ada satu kejadian janggal saat saya berada di Koramil ini. Saat itu saya
sedang ditanyai (bukan interogasi). Namun tiba-tiba saja ada orang lain yang
juga ditanyai oleh mereka. Ia mengaku bernama Jaka, memakai topi dan badannya
tidak terlalu besar namun kekar. Tingginya sekitar 165 cm. Ia mengaku tinggal
di dekat LP Cipinang dan ikut ditangkap bersama saya saat sedang main di tempat
kawannya di dekat rumah kontrakan saya. Mendengar jawabannya itu, saya heran
karena setahu saya yang ditangkap dari rumah saat itu cuma saya.
Ia lebih banyak ditanya dari pada saya. Kemudian dia bilang pada para
tentara ini bahwa Ia tidak berhak ditangkap karena sedang main dan tidak kenal
dengan saya. Dan kalau tetap ditangkap Ia akan mendatangkan kakaknya yang
perwira tinggi ABRI. Mereka malah marah dan menendangi si Jaka ini. Pada saat
yang sama si Jaka menerima telepon melalui mobile phone dari kakaknya yang
pimpinan ABRI tersebut dan Ia berbicara di depan para tentara ini. Di Koramil
ini hanya makan waktu sekitar 15 menit. Kami kemudian dinaikkan kendaraan bak
terbuka Patroli Polisi Militer. Duduk di kursi bak mobil tersebut dengan
diborgol. Empat orang Polisi Militer berseragam lengkap mengapit kami
masing-masing disebelah kiri dan kanan.
Di Kodim; Saya Direbut
Sekitar 20 menit kemudian kami sampai di Kodim Jakarta Timur. Di depan
tangga pintu Kodim tampak mobil mewah BMW (saya lupa warnanya) parkir dan di
sampingnya ada seorang yang berpakaian batik, berbadan tegap dan sangat gagah,
kulit putih berdiri ditemani 2 orang berpakaian dinas militer. Orang-orang ini
nampak sedang menunggu kami, sehingga begitu kami sampai, seorang yang
berpakaian batik berteriak pada anggota PM yang membawa kami, "Cepat
turunkan mereka!" Namun anggota PM yang membawa kami tak juga menuruti perintahnya.
Kami masih tetap di atas kendaraan bak terbuka tersebut. Orang berbaju batik
ini berteriak lagi, "Kalian menghormati saya tidak! Ayo segera turunkan
mereka!" Baru setelah berulang kali orang berbaju batik berteriak
demikian, borgol kami dibuka dan kami diturunkan dari kendaraan. Kami lalu
dibawa ke ruang tamu Kodim. Kami tidak sempat ditanyai apa-apa. Sekitar lima
menit kemudian, kami disuruh keluar. Saat keluar ini si Jaka menggandeng saya
sambil membisiki saya, "Mugi, kamu selamat. Kamu selamat. Kita pulang ke
rumahku". Saya sempat berharap apa yang dikatakan si Jaka benar walau saya
yakin hal itu nggak mungkin. Kemudian
saya disuruh masuk ke dalam mobil BMW yang sudah menunggu. Di dalamnya saya
sempat melihat banyak map berserakan. Sepuluh detik di dalam BMW tadi, lalu
saya di suruh keluar lagi untuk pindah ke kendaraan lain. Saya dituntun menuju
ke mobil kijang yang parkir di agak jauh dari BMW tadi. Saya disuruh masuk ke
dalam mobil kijang tersebur kemudian masuk juga lima orang yang duduk mengapit
saya. Mulai saat inilah saya sadar sepenuh-penuhnya bahwa jiwa saya benar-benar
terancam.
Sebelum kendaraan dijalankan, mereka menyuruh saya buka baju, kemudian
mereka menutupkannya pada mata saya. Di dalam kendaraan mereka tidak banyak
tanya tentang aktifitas saya, namun mereka lebih banyak berbicara tentang
mereka sendiri. Mereka bilang bahwa mereka adalah kelompok mafia yang bisa
melakukan apa saja, pada siapa, dan untuk siapa saja asalkan ada uang. Mereka
memegang pistol yang kadang mengancamkannya pada saya dan HT yang selalu
digunakannya untuk berkomunikasi dengan yang lain. Sandi-sandi yang mereka
sebut adalah Elang, Harimau dan Rajawali. Perjalanan yang kami lalui sepertinya
cukup jauh, namun nampaknya tidak melewati jalan tol. Mereka kelihatannya juga
tidak hafal dengan betul rute ke tujuan sehingga kadang mereka berdebat. Bahkan
sempat balik lagi karena nyasar. Kadang juga terjebak kemacetan. Musik dalam
kendaraan tidak dibunyikan dengan keras, hingga saya sempat dengar suara lalu
lintas yang cukup padat.
Di Tempat "X" (Penyiksaan)
Sekitar satu jam kemudian kendaraan berhenti. Saya disuruh turun dan
berjalan dituntun oleh mereka. Sekitar 10 meter kemudian saya disuruh berhenti.
Kemudian saya disuruh buka sepatu dan celana, hingga tinggal celana dalam yang
saya pakai. Udaranya sangat dingin seperti di luar ruangan dan sampai saat itu
saya memang belum merasa telah memasuki ruangan. Kemudian saya mulai mendengan
suara orang berbisik-bisik diselingi suara-suara seperti cambuk dan raungan
alarm seperti alarm mobil. Kemudian saya dipukul di perut berkali-kali dan pada
muka sampai saya terjatuh. Kemudian ditidurkan telentang di atas tempat tidur
lipat dari terpal. Ke dua kaki dan tangan saya diikatkan pada tempat tidur.
Saat itulah saya mulai diinterogasi dengan cara disetrum dengan alat setrum
yang suaranya seperti cambuk. Penyetruman ini dilakukan pada seluruh bagian
kaki saya, terutama pada bagian sendi lutut. Interogasi pertama yang mereka
ajukan adalah mengenai identitas Nezar, kemudian mengenai Aan. Setelah itu
mereka berganti menginterogasi Nezar dan kemudian Aan. Saat itulah, ketika saya
mendengat jeritan dan suara Nezar dan Aan yang disetrum dan dipukul, saya baru
tahu bahwa di situ sudah ada Nezar dan Aan.
Pertanyaan-pertanyaan selanjutnya adalah mengenai keterlibatan saya dalam
kerja dan struktur organisasi PRD, nama Mirah Mahardika sebagai koordinator
KPP-PRD, dan terutama tentang posisi Andi Arief. Setelah disetrum berkali-kali
saya menjawabnya dengan jawaban bahwa saya baru saja di Jakarta sehingga saya
tidak tahu banyak tentang hal-hal tersebut. Juga bahwa selama ini kalau ketemu
yang lain kami melalui seorang kawan yaitu Bimo Petrus jadi saya tidak tahu
nama dan posisi kawan-kawan yang lain. Kemudian mereka mengejar saya dengan
pertanyaan-pertanyaan tentang Andi Arief dan Bimo Petrus, lagi; dengan setruman
berkali-kali. Mengenai Andi Arief, saya menjawab bahwa setelah 27 Juli 1996 dan
Ia lulus dari UGM saya jarang ketemu dia. Namun karena rumahnya di Lampung,
saya bilang bahwa ia di Lampung sebagaimana kawan-kawan bilang pada saya. Namun
mereka tidak percaya dengan berkata, "Dia tidak ada di sana. Berapa sih
luasnya Lampung. Saya telah mencarinya di setiap jengkal tanah di Lampung."
Mereka terus dan tetap memaksa saya untuk mengatakan tentang dimana dan
bagaimana menangkap Andi Arief, namun saya menjawabnya dengan jawaban yang
sama.
Untuk hal itu mereka menggunakan cara-cara kekerasan dengan cara menyetrum
dan juga dengan cara halus dengan merayu saya. Jawaban saya tetap sama.
Pertanyaan tentang hal ini terus diberikannya sampai hari ke dua. Merekapun
akhirnya menyerah --mungkin percaya. Kemudian dengan passport saya yang mereka
dapatkan, mereka memaksa saya untuk mengakui bahwa saya adalah pengurus PRD,
lalu mereka bertanya tentang kerja internasional PRD dan donator-donatornya.
Pada hari kedua sore hari, saya mendengar mereka terburu-buru memindahkan kursi-kursi yang ada di ruangan tersebut. Nampaknya mereka merapikan ruangan. Beberapa saat lama setelah itu datang beberapa orang yang kemudian berbicara dengan kami. Tepatnya diskusi masalah program-program PRD khususnya masalah Timor Timur, Aceh dan Irian Barat, serta situasi politik sekarang. Hari kedua ini, penyiksaan fisik pada saya sudah tidak banyak, namun mereka hanya menakut-nakuti.
Selama dua hari di tempat ini saya sempat keluar 3 kali, yaitu 2 kali
kencing dan sekali saat difoto. Tempat kencing (toilet --saya tahu karena
sempat meraba-raba saat ambil air) jauhnya kira-kira 25 meter dari tempat
interogasi. Untuk menuju ke tempat ini saya harus berjalan dituntun oleh dua
orang melalui koridor berlantai halus. Saat difoto dengan polaroid, tempat yang
dipakai adalah juga di WC yang saya pakai untuk kencing berdasarkan arah dan
jarak yang saya tempuh. Saat diambil foto saya ini, tutup mata saya dibuka,
namun seorang yang mengambil photo saya memakai penutup kepala.
Posisi saya juga selalu berada di atas tempat tidur lipat ini namun siang
hari pertama saya boleh ganti posisi miring dan ikatan hanya tinggal pada
tangan kiri saja. Sehingga kadang-kadang mereka membolehkan saya mengambil
posisi duduk, terutama saat makan pada pagi, siang dan malam hari. Mengenai
makan yang saya dapatkan, memang cukup enak dan bergizi (nasi padang) namun
saya tidak pernah habis karena bibir saya yang pecah karena pukulan mereka.
Selama dua hari dua malam itu pula, saya merasa bahwa saya tidak pernah
dipindahkan dari tempat ini. Dan saya selalu berada satu tempat dengan Aan dan
Nezar karena saya selalu bisa mendengar suara mereka di sebelah saya. Namun
kadang-kadang mereka menjauhkan posisi diantara kami. Suara semacam alarm juga
selalu meraung-raung di dalam ruangan bersama suara alat setrum yang seperti
suara cambuk dan getaran-getaran kuat. Suara tersebut berhenti hanya pada saat
tak ada interogasi pada kami, yang saya rasa waktunya adalah setelah tengah
malam setelah mereka menyuruh kami tidur untuk beristirahat.
Di Sebuah Tempat di Lantai 2; Tutup mata saya dibuka untuk interogasi sekitar
pukul 13.00 hari Minggu, 15 Maret 1998 saya disuruh pakai baju dan sepatu lalu
diborgol lagi. Dengan mata tetap tertutup, saya kemudian dibawa naik kendaraan.
Satu jam kemudian kendaraan berhenti, dan saya disuruh turun. Lalu dituntun
memasuki sebuah gedung. Di dalam gedung saat menaiki tangga, saya sempat
mendengar suara perempuan yang sepertinya ibu yang suka kerja di dapur.
Kemudian berhenti, tutup mata saya dibuka, dan ternyata saya berada di sebuah
ruangan di lantai dua. Saya lihat-lihat ruangan itu cukup luas dan
disekat-sekat. Ruangan di lantai dua tersebut menghadap halaman yang cukup luas
dan sekitar 300 meter di kejauhan terdapat jalan raya. Dalam ruangan itu
tergantung sebuah kalender UKI Jakarta. Sebelum diinterogasi, saya disuruh
makan dulu dan borgol saya dilepas. Interogator berjumlah dua orang yang
didampingi sekitar 5 orang. Juga difoto dan di shoot dengan kamera video. Semua interogator tidak ada yang mukanya
tertutup kecuali seorang yang membawa handycam
yang menutup mukanya dengan koran. Interogasi ini berjalan sekitar 30 menit.
Di Polda Metro Jaya: Diisolasi
Setelah interogasi selesai, mata saya ditutup lagi. Kemudian dibawa turun
dan diborgol bersama orang lain yang ternyata adalah Aan. Kemudian naik
kendaraan bersama Aan dan Nezar. Dari suaranya, di dalam kendaraan terdengar
ada sekitar 5 orang. Dalam kendaraan tersebut mereka menteror kami dengan
bilang pada kami untuk berjanji tidak berbohong kalau diinterogasi nanti dengan
ancaman pistol yang ditempelkan di kepala saya. Mereka juga menyuruh kami agar
berdoa dan meninggalkan pesan terakhir untuk orang tua kami. Sekitar satu jam
kemudian kendaraan berhenti. Lalu turun, tutup mata dan borgol dibuka, dan
ternyata kami sudah berada di Polda Metro Jaya. Saat itu waktu menunjukkan
sekitar pukul empat. Kemudian kami langsung diperiksa sampai pukul sembilan
malam, tanpa pengacara. Dari pemeriksaan tersebut saya tahu bahwa saya diduga
melakukan tindak pidana subversi. Setelah pemeriksaan selesai kami langsung
dimasukkan ke dalam sel isolasi masing-masing satu orang. Pada dua bulan
pertama kami bahkan tak diperbolehkan mengikuti kegiatan senam tiap hari Rabu
dan Jumat, demikian juga Sholat Jumat. Baru satu bulan terakhir kami sudah
diijinkan mengikuti kegiatan-kegiatan tersebut. Pada hari Minggu tanggal 17 Mei
1998 saya bersama Nezar dan Aan diperiksa oleh Puspom ABRI sebagai saksi atas
kasus penculikan yang terjadi pada kami. Setelah delapan puluh tiga hari
mendekam di tahanan isolasi ini, saat kami bersiap-siap untuk menghadapi sidang
pengadilan kasus politik pertama "Era Reformasi", tiba-tiba pada hari
Jumat tanggal 5 Juni 1998 kami disuruh menandatangani Surat Perintah
Penangguhan Penahanan dari Polda Metro Jaya. Mulai saat itulah, kira-kira pukul
14.00 kami kembali menghirup udara "kebebasan." Namun saat menulis
kesaksian ini saya masih ragu akan "kebebasan" tersebut mengingat
perkembangan kehidupan politik nasional yang masih belum menentu, khususnya
pengalaman pribadi saya dan juga kawan-kawan korban penculikan yang lain.
Jakarta, 8 Juni 1998
Penyaksi,
Mugiyanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar