Oleh : Muhammad
Ridwan Bukhari, anggota SEMAR UI dan
(kebetulan juga) menjadi anggota BEM UI
Sebentar lagi kita akan menyelenggarakan
pesta demokrasi 5 tahunan yang bernama Pemilihan Presiden atau biasa disebut
dengan Pilpres. Pemilihan Presiden adalah salah satu cara untuk mendapatkan
pemimpin negara yang lahir dari proses demokrasi. Meskipun terkadang memang
Pemilihan Presiden kita sering dinodai dengan sistem pemihan yang tidak lagi
demokratis, misalnya, dengan adanya aksi coblos massal, penggelembungan suara,
hingga yang paling marak terjadi adalah adanya money politics.
Persoalan Pilpres ini, bagi saya, tidak
bisa dilihat dengan sebelah mata . Maksudnya adalah, kita tidak bisa melihat
Pilpres sebagai satu proses tunggal, atau dengan kata lain melihat Pilpres
sebagai sesuatu yang prosedural: sebatas pada mekanisme pemilihan yang
diselenggarakan KPU sehingga yang kita awasi, sebagai mahasiswa, adalah pada
batas prosedural semata. Kita juga perlu
melihat kenyataan yang berada didunia sekitar bahwa Presiden adalah orang yang paling
bertanggung jawab terhadap masa depan suatu bangsa, terlebih, jika presiden itu
lahir dari sebuah proses yang bernama demokrasi. Maka dengan demikian, yang
perlu diperhatikan juga adalah akan dibawa kemana Indonesia oleh
Presiden yang kelak terpilih nanti. Dengan melihat hal tersebut, maka arah
gerakan pun akan menjadi tepat dan tidak asal bergerak saja, atau dengan kata
lain, tidak sebatas seremonial namun memiliki arah dan tujuan yang jelas.
Dalam konteks ini, saya ingin menuliskan
beberapa pandangan saya pribadi terhadap sikap salah satu lembaga mahasiswa di
UI, yaitu BEM UI. BEM UI sebagai lembaga kampus yang formal
dan legal dan dianggap mewakili seluruh mahasiswa dengan
membawa nama Ikatan Keluarga Mahasiswa UI dalam menghadapi
Pilpres kali ini mengambil sikap netral. Sikap netral tersebut dirumuskan dalam
arah gerak yang tidak ditujukan untuk condong kepada salah satu calon, entah
itu mendukung atau bahkan menolak. Sikap netral tersebut, jika diturunkan
menjadi gerakan-gerakan yang konkret, diantaranya adalah mengundang kedua calon
untuk “dieksplorasi” di dalam lingkungan kampus dan dituntut untuk
menandatangani kontrak politik yang terdiri dari beberapa tuntutan yang telah
dirumuskan sebelumnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menggungat sikap tersebut.
Bahaya di Depan Mata!
Bagi saya, netral bukanlah sikap yang
tepat untuk saat ini.Netral bukanlah sesuatu yang bagus di dalam alam
demokrasi seperti saat ini, apalagi dalam menghadapi momen Pilpres.Mengapa
demikian? Hal ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah karena kita memiliki
ancaman yang nyata dan jelas dalam pribadi salah satu calon Presiden, yaitu
Prabowo Subianto. Saya akan menjelaskan terlebih dahulu bahaya apa yang saya
maksud.
Bahaya tersebut saya analisa dari
manifesto Partai Gerindra itu sendiri, berikut analisa saya terhadap
manifestonya .
Pertama, kestabilan politik menjadi syarat bagi pertumbuhan
ekonomi.Dua frasa tersebut adalah ciri khas politik Orde Baru yang coba
dibangkitkan lagi oleh Prabowo. Coba kawan-kawan membaca secara penuh Manifesto
Gerindra, maka kawan-kawan akan menemukan bahwa dua hal tersebutlah yang
menjadi inti manifesto. Kawan-kawan akan dibatasi, bahkan mungkin akan
dihalangi, misalnya dalam berdemonstrasi (kalaupun masih ingat metode
perjuangan ini) ketika penguasa sudah menganggap bahwa demonstrasi kawan-kawan
sudah dianggap mengganggu kestabilan. Mungkin juga Pusgiwa sebagai pusat para
aktivis formal dan legal kampus akan diberikan jam malam, karena semakin
dibatasi ruangnya, itu semakin bagus bagi rezim. Dua contoh tersebut bukanlah
ketakutan yang berlebihan, karena nyata pernah terjadi di zaman Suharto.
Kedua, militer akan semakin dalam mengurusi urusan sipil. Hal
ini yang akan timbul melalui usaha Gerindra dan Prabowo untuk
mendalamkan praktik SistemPertahanan dan Keamanan rakyat semesta
(Sishankamrata) yang juga dilakukan Suharto. Sebagaimana yang tertulis
dalam Manifesto,
“Sistem pertahanan dan keamanan rakyat
semesta (Sishankamrata) yang telah terbukti keampuhannya harus lebih
dioperasionalkan yang didukung dengan peningkatan profesionalisme Tentara
Nasional Indonesia (TNI) dan modernisasi infrastruktur Alutsista (alat utama sistem
senjata) TNI serta profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (Polri).”
(hlm. 36)
Sekali lagi, ini bukanlah ketakutan yang
berlebihan. Lihatlah jaringan Prabowo ke ormas-ormas preman dan anti-demokrasi
seperti GRIB/Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu pimpinan Hercules, FAKI/Front
anti Komunis Indonesia, FPI/Front Pembela Islam, PP/Pemuda Pancasila, dan
kelompok Tidar jaringan DO Akmil Magelang. Apa artinya? Artinya, kekerasan akan
semakin sering terjadi baik oleh militer ataupun ormas-ormas yang telah
disebutkan itu. Apa mau kalau suatu saat sedang memprotes pemerintah dan
kemudian direpresi oleh ormas-ormas itu?
Ketiga, tidak adanya masa depan bagi penegakkan
HAM. Hal ini terbukti dengan apa yang tertulis dalam manifesto,
“...adanya Pengadilan HAM merupakan
sesuatu yang over bodie (berlebihan).” (hlm. 34)
Argumentasi yang mengatakan
bahwa pengadilan HAM adalah sesuatu yang berlebihan tidak
lain justru merupakan salah satu bentuk ketakutan terhadap adanya upaya
penegakan HAM. Sebagaimana kita tahu, Prabowo, si calon Presiden
itu, terindikasi kuat terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran HAM
seperti kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998
dan kasus Timor Leste. Untuk apa mengatakan bahwa pengadilan HAM
adalah sesuatu yang berlebihan jika bukan karena mereka sendirilah yang
terlibat pelanggaran HAM tersebut?
Masih soal HAM, kita
harus mengingat kembali bahwa kasus pelangggaran HAM pernah menimpa salah
satu senior kita, Yap Yun Hap yang kebetulan satu fakultas dengan ketua BEM UI
saat ini (yang sekali lagi, memilih netral). Yun Hap menjadi
korban kebringasan militer dalam tragedi semanggi 2. Saat
itu militer-militer yang bringas mengarahkan senjata dan menembaki
massa secara membabi buta dan mengakibatkan 11 orang tewas dan
ratusan orang terluka. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika
Prabowo yang menjadi presiden? Akankah menjadi jelas nasib kasus pelangggaran
HAM yang menimpa Yun Hap?
Keempat , semakin kuatnya fasisme
religius/fundamentalisme agama. Hal ini jelas tertuang dalam manifesto,
“...pemerintah/negara wajib mengatur
kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut
untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala
bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.” (hlm 40)
Dengan adanya frasa kemurnian
agama, maka negara di bawah Prabowo akan mengatur bahkan urusan terprivat warga
negara, yaitu keyakinan beragama. Dan konsekuensi frasa tersebut juga adalah,
akan sering munculnya intimidasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas,
apalagi yang dianggap “sesat” seperti Ahmadiyah dan Syiah. Jelas, bahwa hal
tersebut akan menjadi ancaman serius bagi individu dalam
berkeyakinan dan jelas juga bahwa hal tersebut merupakan salah satu
bentuk pengkhianatan terhadap HAM .
Lalu, Bagaimana Seharusnya?
Dengan kenyataan bahwa adanya bahaya di
depan mata dari salah satu capres sebagaimana yangg saya jelaskan, bagaimana
seharusnya kita bergerak? Bagi saya,sederhana, lebih baik memilih
pilihan yang lebih sedikit mudharatnya.
Dalam konteks ini, netral adalah satu
sikap yang lucu, terutama bagi mereka yang terjebak mitos bahwa mahasiswa
adalah “agent of change.” Bagi saya, perubahan tidak akan
terjadi apabila kita hanya bersikap netral dalam menghadapi sebuah keadaan,
khususnya dalam Pilpres ini. Justru, bukannya perubahan yang didapat,
malah ada kemungkinan untuk mundur satu zaman: kembali ke Orde Baru.
Netral terkadang perlu dimaknai khusus.
Bersikap netral, bagi saya, sama artinya dengan tidak mau mengambil pilihan,
padahal pilihan tersebut ada di depan mata dan tersedia untuk dipilih kapan
saja. Netral sama artinya dengan penakut. Dan yang terparah, netral bisa saja
menjadikan seseorang menjadi apatis dan tidak kritis dalam melihat fenomena.
Disisi yang lain, netral dapat menjadi sebuah keuntungan bagi para penguasa.
Contohnya bisa kita lihat di zaman Orde Baru. Di zaman Orde Baru, kita kenal
dengan sistem politik massa mengambang (floating mass) yang
pada dasarnya adalah konstruksi agar masyarakat menjadi tidak peduli terhadap
politik/apolitis, dan netral.
Sebaiknya tidak perlu bersikap netral
dalam Pilpres.Kita harus berani mengambil sikap dengan menolak salah satu
capres karena bahaya yang inheren dalam dirinya sendiri. Kita tidak
bisa bersikap netral dalam Pilpres kali ini karena jika
Prabowo menang Orde Baru akan kembali. Sebuah rezim yang
jelas-jelas tidak demokratis dan tidak menghormati HAM warga
negaranya.Sebuah rezim yang ditumbangkan dengan air mata dan darah oleh
senior-senior kita.
Bersikap netral dalam Pilpres kali ini,
bukannya membawa perubahan, justru merupakan sebuah masalah baru. Desmond Tutu
menjelaskannya dengan baik, bahwa “If you are neutral in situations of
Injustice, you have chosen the side of the Opressor.“Sebuah kutipan yang
mungkin dapat menyentil mereka, kaum intelektual muda yang bersikap netral.
Andaikata kaki seekor gajah menginjak buntut seekor tikus, dan anda yang
melihatnya mengatakan bahwa anda netral terhadap keduanya, maka tikus tersebut
tidak akan menghargai sikap netral anda. Begitu pula dengan rakyat kita. Rakyat
akan kecewa ketika ada ancaman di depan mata dan kita hanya bilang “kami
netral.”
Singkatnya, bagi saya, seorang
intelektual harus memiliki keberpihakan yang jelas dan tidak terombang
ambing.Tidak patut seorang Intelektual bersikap abu abu aliasplentat plentot.
Kembali ke problem “apa yang harus
dilakukan,” bagi saya, yang tepat saat ini adalah mempertahankan demokrasi
yang telah kita rebut dengan menggunakan berbagai cara agar Orde
Baru tidak bangkit lagi. Memang, saat ini keadaan negara kita tidaksedang baik-baik
saja. Tetapi tentu, kondisi yang saat ini adalah lebih baik
daripadaOrde Baru yang fasis itu.
Kesimpulan saya dalam tulisan ini, tidak
lain dan tidak bukan, adalah untuk mengingatkan
kembali, khususnya kepada BEM UI (yang sekali lagi,
mengatasnamakan IKM UI) bahwa kita harus mengambil
sikap dan tidak netral. Sekali lagi, karena bahaya fasisme
militerisme Orde Baru nyata adanya dalam diri salah satu
capres. Anggaplah ini sebagai tulisan otokritik, dan jangan anggap tulisan
ini bertujuan menjatuhkan.Kalaupun tidak sepakat dengan opini dari seorang
Mahasiswa Tingkat Pertama ini, kawan-kawan dapat membalasnya dengan tulisan
juga.
Untuk kawan-kawan yang sepakat dengan
gagasan dalam tulisan ini, mari kita rapatkan barisan untuk cegah
kekuatan Orde Baru bangkit kembali. Ingat baik-baiklah
ucapan Bung Karno ini,
“…djiwa fasisme tidak sesuai
dengan djiwa Indonesia! Djiwa Indonesia adalah djiwa demokrasi, djiwa
kerakyatan, dan djiwa fasisme adalah djiwa anti demokrasi, djiwa anti
kerakjatan.’ (Bung Karno, 1965, dalam ‘Indonesia Versus
Fasisme’, hal. 457-473).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar