Kamis, 05 Juni 2014

Menggugat Netralitas BEM UI dalam Pemilihan Presiden 2014

Oleh : Muhammad  Ridwan  Bukhari, anggota SEMAR UI dan (kebetulan juga) menjadi anggota BEM UI

Sebentar lagi kita akan menyelenggarakan pesta demokrasi 5 tahunan yang bernama Pemilihan Presiden atau biasa disebut dengan Pilpres. Pemilihan Presiden adalah salah satu cara untuk mendapatkan pemimpin negara yang lahir dari proses demokrasi. Meskipun terkadang memang Pemilihan Presiden kita sering dinodai dengan sistem pemihan yang tidak lagi demokratis, misalnya, dengan adanya aksi coblos massal, penggelembungan suara, hingga yang paling marak terjadi adalah adanya money politics.
 
Persoalan Pilpres ini, bagi saya, tidak bisa dilihat dengan sebelah mata . Maksudnya adalah, kita tidak bisa melihat Pilpres sebagai satu proses tunggal, atau dengan kata lain melihat Pilpres sebagai sesuatu yang prosedural: sebatas pada mekanisme pemilihan yang diselenggarakan KPU sehingga yang kita awasi, sebagai mahasiswa, adalah pada batas  prosedural semata. Kita juga perlu melihat kenyataan yang berada didunia sekitar  bahwa Presiden adalah orang yang paling bertanggung jawab terhadap masa depan suatu bangsa, terlebih, jika presiden itu lahir dari sebuah proses yang bernama demokrasi. Maka dengan demikian, yang perlu diperhatikan juga adalah akan dibawa kemana Indonesia oleh Presiden yang kelak terpilih nanti. Dengan melihat hal tersebut, maka arah gerakan pun akan menjadi tepat dan tidak asal bergerak saja, atau dengan kata lain, tidak sebatas seremonial namun memiliki arah dan tujuan yang jelas.

Dalam konteks ini, saya ingin menuliskan beberapa pandangan saya pribadi terhadap sikap salah satu lembaga mahasiswa di UI, yaitu BEM UI. BEM UI  sebagai lembaga kampus yang formal dan legal dan dianggap mewakili seluruh mahasiswa dengan membawa nama Ikatan Keluarga Mahasiswa UI dalam menghadapi Pilpres kali ini mengambil sikap netral. Sikap netral tersebut dirumuskan dalam arah gerak yang tidak ditujukan untuk condong kepada salah satu calon, entah itu mendukung atau bahkan menolak. Sikap netral tersebut, jika diturunkan menjadi gerakan-gerakan yang konkret, diantaranya adalah mengundang kedua calon untuk “dieksplorasi” di dalam lingkungan kampus dan dituntut untuk menandatangani kontrak politik yang terdiri dari beberapa tuntutan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tulisan ini dimaksudkan untuk menggungat sikap tersebut.

Bahaya di Depan Mata!

Bagi saya, netral bukanlah sikap yang tepat untuk saat ini.Netral bukanlah sesuatu yang bagus di dalam alam demokrasi seperti saat ini, apalagi dalam menghadapi momen Pilpres.Mengapa demikian? Hal ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah karena kita memiliki ancaman yang nyata dan jelas dalam pribadi salah satu calon Presiden, yaitu Prabowo Subianto. Saya akan menjelaskan terlebih dahulu bahaya apa yang saya maksud.
Bahaya tersebut saya analisa dari manifesto Partai Gerindra itu sendiri, berikut analisa saya terhadap manifestonya .

Pertama, kestabilan politik menjadi syarat bagi pertumbuhan ekonomi.Dua frasa tersebut adalah ciri khas politik Orde Baru yang coba dibangkitkan lagi oleh Prabowo. Coba kawan-kawan membaca secara penuh Manifesto Gerindra, maka kawan-kawan akan menemukan bahwa dua hal tersebutlah yang menjadi inti manifesto. Kawan-kawan akan dibatasi, bahkan mungkin akan dihalangi, misalnya dalam berdemonstrasi (kalaupun masih ingat metode perjuangan ini) ketika penguasa sudah menganggap bahwa demonstrasi kawan-kawan sudah dianggap mengganggu kestabilan. Mungkin juga Pusgiwa sebagai pusat para aktivis formal dan legal kampus akan diberikan jam malam, karena semakin dibatasi ruangnya, itu semakin bagus bagi rezim. Dua contoh tersebut bukanlah ketakutan yang berlebihan, karena nyata pernah terjadi di zaman Suharto.

Kedua, militer akan semakin dalam mengurusi urusan sipil. Hal ini yang akan timbul melalui usaha Gerindra dan Prabowo untuk mendalamkan praktik SistemPertahanan dan Keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang juga dilakukan Suharto. Sebagaimana yang tertulis dalam Manifesto,

“Sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata) yang telah terbukti keampuhannya harus lebih dioperasionalkan yang didukung dengan peningkatan profesionalisme Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan modernisasi infrastruktur Alutsista (alat utama sistem senjata) TNI serta profesionalisme Kepolisian Republik Indonesia (Polri).” (hlm. 36)

Sekali lagi, ini bukanlah ketakutan yang berlebihan. Lihatlah jaringan Prabowo ke ormas-ormas preman dan anti-demokrasi seperti GRIB/Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu pimpinan Hercules, FAKI/Front anti Komunis Indonesia, FPI/Front Pembela Islam, PP/Pemuda Pancasila, dan kelompok Tidar jaringan DO Akmil Magelang. Apa artinya? Artinya, kekerasan akan semakin sering terjadi baik oleh militer ataupun ormas-ormas yang telah disebutkan itu. Apa mau kalau suatu saat sedang memprotes pemerintah dan kemudian direpresi oleh ormas-ormas itu?

Ketiga, tidak adanya masa depan bagi penegakkan HAM. Hal ini terbukti dengan apa yang tertulis dalam manifesto,

“...adanya Pengadilan HAM merupakan sesuatu yang over bodie (berlebihan).” (hlm. 34)

Argumentasi yang mengatakan bahwa pengadilan HAM adalah sesuatu yang berlebihan tidak lain justru merupakan salah satu bentuk ketakutan terhadap adanya upaya penegakan HAM. Sebagaimana kita tahu, Prabowo, si calon Presiden itu, terindikasi kuat terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran HAM seperti kasus penculikan aktivis tahun 1997-1998 dan kasus Timor Leste. Untuk apa mengatakan bahwa pengadilan HAM adalah sesuatu yang berlebihan jika bukan karena mereka sendirilah yang terlibat pelanggaran HAM tersebut?

Masih soal HAM, kita harus mengingat kembali bahwa kasus pelangggaran HAM pernah menimpa salah satu senior kita, Yap Yun Hap yang kebetulan satu fakultas dengan ketua BEM UI saat ini (yang sekali lagi, memilih netral). Yun Hap menjadi korban kebringasan militer dalam tragedi semanggi 2. Saat itu militer-militer yang bringas mengarahkan senjata dan menembaki massa secara membabi buta dan mengakibatkan 11 orang tewas dan ratusan orang terluka. Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi jika Prabowo yang menjadi presiden? Akankah menjadi jelas nasib kasus pelangggaran HAM yang menimpa Yun Hap?

Keempat , semakin kuatnya fasisme religius/fundamentalisme agama. Hal ini jelas tertuang dalam manifesto,

“...pemerintah/negara wajib mengatur kebebasan di dalam menjalankan agama atau kepercayaan. Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama.” (hlm 40)

Dengan adanya frasa kemurnian agama, maka negara di bawah Prabowo akan mengatur bahkan urusan terprivat warga negara, yaitu keyakinan beragama. Dan konsekuensi frasa tersebut juga adalah, akan sering munculnya intimidasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas, apalagi yang dianggap “sesat” seperti Ahmadiyah dan Syiah. Jelas, bahwa hal tersebut akan menjadi ancaman serius bagi individu dalam berkeyakinan dan jelas juga bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk pengkhianatan terhadap HAM .

Lalu, Bagaimana Seharusnya?

Dengan kenyataan bahwa adanya bahaya di depan mata dari salah satu capres sebagaimana yangg saya jelaskan, bagaimana seharusnya kita bergerak? Bagi saya,sederhana, lebih baik memilih pilihan yang lebih sedikit mudharatnya.

Dalam konteks ini, netral adalah satu sikap yang lucu, terutama bagi mereka yang terjebak mitos bahwa mahasiswa adalah “agent of change.” Bagi saya, perubahan tidak akan terjadi apabila kita hanya bersikap netral dalam menghadapi sebuah keadaan, khususnya dalam Pilpres ini. Justru, bukannya perubahan yang didapat, malah ada kemungkinan untuk mundur satu zaman: kembali ke Orde Baru.

Netral terkadang perlu dimaknai khusus. Bersikap netral, bagi saya, sama artinya dengan tidak mau mengambil pilihan, padahal pilihan tersebut ada di depan mata dan tersedia untuk dipilih kapan saja. Netral sama artinya dengan penakut. Dan yang terparah, netral bisa saja menjadikan seseorang menjadi apatis dan tidak kritis dalam melihat fenomena. Disisi yang lain, netral dapat menjadi sebuah keuntungan bagi para penguasa. Contohnya bisa kita lihat di zaman Orde Baru. Di zaman Orde Baru, kita kenal dengan sistem politik massa mengambang (floating mass) yang pada dasarnya adalah konstruksi agar masyarakat menjadi tidak peduli terhadap politik/apolitis, dan netral.

Sebaiknya tidak perlu bersikap netral dalam Pilpres.Kita harus berani mengambil sikap dengan menolak salah satu capres karena bahaya yang inheren dalam dirinya sendiri. Kita tidak bisa bersikap netral dalam Pilpres kali ini karena jika Prabowo menang Orde Baru akan kembali. Sebuah rezim yang jelas-jelas tidak demokratis dan tidak menghormati HAM warga negaranya.Sebuah rezim yang ditumbangkan dengan air mata dan darah oleh senior-senior kita.

Bersikap netral dalam Pilpres kali ini, bukannya membawa perubahan, justru merupakan sebuah masalah baru. Desmond Tutu menjelaskannya dengan baik, bahwa “If you are neutral in situations of Injustice, you have chosen the side of the Opressor.“Sebuah kutipan yang mungkin dapat menyentil mereka, kaum intelektual muda yang bersikap netral. Andaikata kaki seekor gajah menginjak buntut seekor tikus, dan anda yang melihatnya mengatakan bahwa anda netral terhadap keduanya, maka tikus tersebut tidak akan menghargai sikap netral anda. Begitu pula dengan rakyat kita. Rakyat akan kecewa ketika ada ancaman di depan mata dan kita hanya bilang “kami netral.”

Singkatnya, bagi saya, seorang intelektual harus memiliki keberpihakan yang jelas dan tidak terombang ambing.Tidak patut seorang Intelektual bersikap abu abu aliasplentat plentot.

Kembali ke problem “apa yang harus dilakukan,” bagi saya, yang tepat saat ini adalah mempertahankan demokrasi yang telah kita rebut dengan menggunakan berbagai cara agar Orde Baru tidak bangkit lagi. Memang, saat ini keadaan negara kita tidaksedang baik-baik saja. Tetapi tentu, kondisi yang saat ini adalah lebih baik daripadaOrde Baru yang fasis itu.

Kesimpulan saya dalam tulisan ini, tidak lain dan tidak bukan, adalah untuk mengingatkan kembali, khususnya kepada BEM UI (yang sekali lagi, mengatasnamakan IKM UI) bahwa kita harus mengambil sikap dan tidak netral. Sekali lagi, karena bahaya fasisme militerisme Orde Baru nyata adanya dalam diri salah satu capres. Anggaplah ini sebagai tulisan otokritik, dan jangan anggap tulisan ini bertujuan menjatuhkan.Kalaupun tidak sepakat dengan opini dari seorang Mahasiswa Tingkat Pertama ini, kawan-kawan dapat membalasnya dengan tulisan juga.

Untuk kawan-kawan yang sepakat dengan gagasan dalam tulisan ini, mari kita rapatkan barisan untuk cegah kekuatan Orde Baru bangkit kembali. Ingat baik-baiklah ucapan Bung Karno ini,

 “…djiwa fasisme tidak sesuai dengan djiwa Indonesia! Djiwa Indonesia adalah djiwa demokrasi, djiwa kerakyatan, dan djiwa fasisme adalah djiwa anti demokrasi, djiwa anti kerakjatan.’ (Bung Karno, 1965, dalam ‘Indonesia Versus Fasisme’, hal. 457-473).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar