Oleh Fathimah Fildzah Izzati, anggota redaksi Left Book Review Indoprogress.
Dimuat pertama kali dalam rubrik Left Book Review IndoPROGRESS. Dimuat ulang disini untuk tujuan pendidikan dan propaganda
Judul buku: Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia
Penulis: Vedi Hadiz dan Daniel Dakhidae (editor)
Penerbit: PT. Equinox Publishing Indonesia
Tahun: 2006
Jumlah halaman: 308 halaman
‘…Kita ini dididik untuk memihak yang mana?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan?’
-W.S. Rendra, Sajak Pertemuan Mahasiswa-
PEMILIHAN Presiden (Pilpres) 2014 akan segera dihelat 9 Juli mendatang. Hampir semua orang-setidaknya yang saya temui di media sosial dalam dunia maya-ramai mengomentari politik seputar Pilpres. Dengan terang dan jelas, mereka semua mengemukakan pilihan politik dan menyatakan sikap politiknya. Mulai dari buruh, petani, siswa-siswi SMA, para tukang becak, pedagang kecil, seniman, artis, hingga para pemuka agama. Ironisnya, banyak dari mereka yang disebut sebagai para sarjana ilmu-ilmu sosial, justru malah memilih ‘netral’ dalam menyikapi momen Pilpres yang sangat krusial ini.[1] ‘Netral’ dalam arti bahkan menghindari kenyataan politik yang tengah berlangsung, disaat pendapat mereka sebagai ilmuwan sosial dibutuhkan.
Sikap ‘netral’ para ilmuwan sosial dalam Pilpres kali ini pun acapkali diartikulasikan dengan cara yang sangat menyedihkan, seperti ‘biarkan saja masing-masing orang menentukan pilihan dan sikap politiknya, kita tidak usah campuri urusan orang lain’. Pertanyaannya, jika begitu lalu dimana peran dan tanggung jawab sebagai ilmuwan sosial? Kecenderungan bersikap ‘netral’ bahkan dalam situasi politik yang nyata memang perlu didalami lebih lanjut, mengapa dan apa konsekuensinya. Padahal, para sarjana ilmu-ilmu sosial itu jugalah yang paling banyak menduduki posisi-posisi penting di lembaga-lembaga negara yang dari sana berbagai kebijakan (juga ketidakbijakan) dihasilkan.
Saya jadi teringat masa-masa awal saya berkuliah di Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, dimana penekanan kuat pada positivisme yang dicirikan netralitas dan objektivitas (tentunya ala positivis) itu dapat terlihat jelas dalam kebanyakan makalah mahasiswanya. Sayangnya, tak hanya sampai makalah, paradigma itupun masih juga berlaku dalam kehidupan keseharian. Kuatnya positivisme, ditambah sistem pendidikan tinggi saat ini yang hanya sanggup diakses oleh sebagian kecil masyarakat, telah menghilangkan tradisi berpikir kritis serta menghilangkan esensi dari mempelajari ilmu-ilmu sosial itu sendiri. Apa sumbangan yang dapat diberikan ilmu sosial masa kini, jika untuk bersikap dalam situasi politik yang nyata pun para ilmuwan selalu berlindung di balik kata ‘netralitas’?
Hal-hal itu tentunya tidak datang begitu saja atau serta merta turun dari langit. Buku karya ilmuwan sosial Indonesia yang terbit pada 2006 ini menggambarkan dengan jelas apa yang telah terjadi pada ilmu sosial di Indonesia. Mengapa positivisme begitu kuat dalam ilmu sosial, mengapa ilmu sosial berperspektif kritis dilarang keberadaannya, dan bagaimana sejarah perkembangan ilmu sosial dalam kaitannya dengan kekuasaan, dibahas dengan sangat lugas dan menarik.
Ilmu Sosial dan Pembangunanisme Orde Baru
Buku yang terdiri atas 10 bab ini mengulas perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia, khususnya semenjak Orde Baru, yang menjadi benchmark tradisi ilmu-ilmu sosial Indonesia hingga saat ini dan sekaligus juga dasar dari ‘kebangkitan’ ilmu sosial itu sendiri. Dengan sangat baik, para penulis dalam buku ini mengungkapkan bahwa perkembangan ilmu sosial tidak dapat dilepaskan kaitannya dari kekuasaan yang melingkupinya. Para penulis secara menyatakan betapa besarnya pengaruh kekuasaan rezim Orde Baru dalam mempengaruhi perkembangan ilmu sosial hingga saat ini, meskipun ada juga beberapa penulis yang membahas pengaruh masa sebelum Orde Baru. Dalam review ini, saya akan memfokuskan perhatian saya pada tulisan-tulisan yang menggambarkan ilmu sosial pada masa Orde Baru dan setelahnya.
Pada masa Orde Baru, paradigma Pembangunanisme yang sangat kuat dalam ilmu-ilmu sosial merupakan sumber legitimasi dalam menjalankan berbagai kebijakan ekonomi politiknya. Para ilmuwan sosial di era itu pun berkerja dan meneliti dalam kerangka bagaimana menjadikan ilmu-ilmu sosial relevan bagi pembangunan Orde Baru. Mereka yang ‘patuh’ dijadikan penyokong Orde Baru dan karir akademis para ilmuwan sosial pun ditentukan berdasarkan kadar kepatuhan mereka pada rezim saat itu. Rezim Orde Baru yang otoritarian itu pun mengatur sedemikian rupa sehingga ilmu-ilmu sosial yang berkembang pada masa itu ialah ilmu-ilmu sosial dengan perspektif yang bersifat suportif terhadap keberlangsungan rezim. Sementara ilmu-ilmu sosial dengan perspektif kritis yang dianggap mengancam keberlangsungan rezim disingkirkan dari dunia akademis. Berbagai cara dilakukan Orde Baru dalam mengondisikan hal tersebut. Berbagai asosiasi ilmu-ilmu sosial yang bersifat sangat korporatis didirikan. Perkembangan teoritis dalam ilmu sosial pun tidak begitu dihiraukan. Sejauh dapat mendukung rezim dengan segala kelengkapan teknis yang dimiliki, maka teori sistem politik ala David Easton dan Almond-Verba pun sudah lebih dari cukup. Positivisme pun berkembang pesat seiring dengan dimajukannya metode kuantitatif dalam ilmu sosial. Sebagaimana dinyatakan para penulis dalam buku ini, tokoh penting dalam antropologi seperti Koentjaraningrat pun bahkan membuat buku khusus mengenai metode kuantitatif.[2] Yang menarik, pengaruh Orde Baru ini masih begitu kuat hingga saat ini, dimana para mahasiswa ilmu sosial di Universitas Indonesia, misalnya, masih akan mendapati teori David Easton ini sebagai teori utama yang dipelajari sebagai Pengantar Ilmu Politik, meskipun teori ini sudah sangat usang.
Pengabdian terhadap rezim Orde Baru adalah acuan jika para ilmuwan sosial pada masa itu ingin melakukan sebuah penelitian. Secara sistematis, Orde Baru menentukan apa yang boleh diteliti dan apa yang tidak boleh diteliti oleh para ilmuwan sosial. Pada masa itu, seorang peneliti tidak dapat melakukan penelitiannya apabila tidak mendapatkan surat persetujuan/surat izin tertulis dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Badan Keamanan Intelejen Negara (BAKIN) atau Komando Operasi Permulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB).[3] Perkembangan ilmu sosial pun menjadi kian terbatas, selain secara teoritis, maupun dalam fungsinya sebagai alat untuk menjawab problem-problem masyarakat manusia.
Tindakan penyingkiran secara sistematis ilmu-ilmu sosial yang berperspektif kritis, terutama yang berbau Marxisme, dilakukan dengan berbagai cara. Meskipun ada saja ilmuwan pada masa itu, seperti Ignas Kleden, yang berhasil ‘menyelundupkan’ warna Marxisme melalui Mahzab Frankfurt pada ahkir tahun 1970an. Penyingkiran ilmu sosial berperspektif kritis ini di antaranya dilakukan secara sistematis melalui universitas-universitas tempat dimana ilmu-ilmu sosial diproduksi. Universitas dijadikan tempat untuk mencetak sarjana-sarjana pendukung dan penyokong rezim Orde Baru. Gelar Profesor pun datang dari Presiden Soeharto. Di luar universitas, Orde Baru menjadikan asosiasi para ilmuwan seperti Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) sebagai sumber semua acuan utama dalam pembangunan Orde Baru yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik sebagai kunci utamanya.[4] Meskipun tidak sama persis, baik dari segi pendirian maupun tujuannya, berdiri juga asosiasi-asosiasi ilmuwan sosial lainnya selain ISEI, dan Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial (HIPIIS).[5]
Penyingkiran beberapa cabang ilmu sosial juga dilakukan rezim Orde Baru dalam bentuk tidak melibatkan semua ilmu sosial dalam pengambilan kebijakan publik. Dalam hal ini, kita bisa melihat hubungan kekuasaan dan ilmu sosial, di mana negara dan agenda-agenda yang dibawa dapat mempengaruhi perkembangan ilmu sosial. Orde Baru merekayasa sedemikian rupa ilmu sosial dan bahkan dunia akademis itu sendiri agar cocok dipakai sebagai alat dalam pelaksanaan kekuasaan negara. Konsekuensinya, akademisi yang berada di puncak karir pada masa Orde Baru juga bukanlah mereka yang benar-benar memiliki karya penelitian yang berkualitas, melainkan mereka yang bersetia pada rezim.[6] Terkait dengan itu, kesetiaan pada rezim Orde Baru pun memang terus-menerus ditanamkan, salah satunya melalui pembuatan sejarah ‘resmi’ versi Orde Baru.
Pembuatan sejarah ‘resmi’ versi Orde Baru ini melibatkan para ilmuwan yang bersetia kepada rezim, sekaligus mengafirmasi ungkapan terkenal: ‘sejarah ditentukan oleh pihak yang berkuasa’. Atas nama stabilitas politik, sejarah pun dibuat sedemikian rupa sesuai kehendak dan kepentingan Orde Baru. Sejarawan pengabdi Orde Baru seperti Nugroho Notosusanto ,menjadi salah satu aktor penting dalam proyek ini. Dalam sejarah ‘resmi’ Orde Baru, Indonesia digambarkan dalam sebuah tahapan linear mulai sejak kerajaan Hindu Budha, penyebaran agama Islam, kedatangan kolonialisme Belanda, hingga mencapai puncak kemerdekaan. Dalam sejarah yang linear ini, tentara digambarkan sebagai pihak yang paling memiliki peranan penting bagi kemerdekaan bangsa Indonesia dan Soeharto digambarkan sebagai Bapak Pembangunan. Hebatnya, sejarah versi Orde Baru ini menjadi sejarah versi resmi yang diajarkan Orde Baru kepada semua anak sekolah dari tingkat SD hingga SMA dan bahkan Perguruan Tinggi. Rezim Orde baru memang termasuk rezim yang berhasil menggunakan sejarah demi mempertahankan kepentingan politik mereka. Mereka menciptakan sejarah resmi versi mereka dengan memanfaatkan berbagai media termasuk film, museum dan bahkan monumen.[7]
Hilangnya Analisis Kelas dalam Ilmu Sosial
Dengan diberangusnya ilmu-ilmu sosial berperspektif kritis, maka apa yang Orde Baru lakukan pada dasarnya adalah menjadikan pengetahuan netral dari politik. Pengetahuan, terutama ilmu sosial, seakan menjadi ‘hakim’ yang melayang-layang di atas masyarakat dan ‘diharamkan’ ikut campur, apalagi memilih keberpihakannya sendiri. Salah satu konsekuensi atas pemisahan antara pengetahuan dengan politik ialah dihilangkannya analisis kelas dalam ilmu sosial Indonesia. Pada bab 7 buku ini, Hilmar Farid menguraikan ulasannya mengenai hal tersebut. Hilangnya analisis kelas dalam ilmu sosial di Indonesia, telah memberikan dampak yang sangat besar bagi perkembangan ilmu sosial baik secara teortik maupun dalam fungsinya menjawab persoalan-persoalan masyarakat-manusia. Dalam hal ini, keberadaan analisis kelas sangat signifikan bukan hanya untuk memahami realitas tapi juga untuk mengubahnya.[8]
Hilangnya analisis kelas dalam ilmu sosial ini merupakan salah satu agenda terpenting Orde Baru yang (sayangnya) pengaruhnya masih juga kita rasakan hingga saat ini. Hilangnya (atau lebih tepat dihilangkannya) analisis kelas dalam ilmu sosial tidak dapat dilepaskan kaitannya dari upaya Orde Baru yang ingin melakukan pembersihan terhadap semua hal yang berkaitan dengan PKI dan komunisme. Pembersihan segala unsur-unsur yang berkaitan dengan PKI dan komunisme ini juga dilakukan dalam dunia akademis yang tujuannya untuk memastikan tidak ada lagi yang tersisa dari PKI dan komunisme.
Pertama, Orde Baru mengeluarkan peraturan/regulasi mengenai pelarangan ideologi Marxisme-Leninisme.[9] Alasannya tidak lain karena Marxisme-Leninisme merupakan ideologi PKI yang merupakan organisasi terlarang. Dampak dari kebijakan ini masih terasa hingga kini, misalnya, di almamater saya, Universitas Indonesia, yang masih men-tabu-kan dan menyembunyikan Marxisme dari khazanah akademik ilmu-ilmu sosial. Memang ada beberapa dosen/pengajar yang ‘keluar’ dari kebiasaan tersebut, hanya saja jumlahnya sangat sedikit dibandingkan dengan dosen/pengajar yang mengikuti alur pen-tabu-an Marxisme dalam dunia akademik. Para dosen/pengajar yang ‘Marxis’ pun biasanya cenderung relatif tersingkir dalam karir akademiknya. Selain dosen/pengajar, para mahasiswa yang mempelajari Marxisme pun cenderung lebih sering mengalami banyak hambatan dalam studi, terutama ketika mengerjakan karya tulis akhir seperti skripsi.[10]
Kedua, Orde Baru juga melancarkan agenda de-edukasi ini melalui penghapusan konsep kelas dan konflik kelas. Penghapusan konsep kelas dilakukan dengan beberapa cara, dimana salah satunya dengan mengganti istilah ‘kelas’ menjadi ‘golongan’. Penggantian istilah ini memiliki dampak yang besar karena istilah golongan tidak memiliki makna politik apapun dan oleh karenanya juga membantu Orde Baru untuk melancarkan hegemoni lainnya. Hegemoni lain yang dimaksud -yang juga (sayangnya) masih cukup kuat hingga saat ini- adalah penggambaran masyarakat Indonesia yang ‘egaliter’. Penggambaran ini merupakan upaya hegemoni Orde Baru yang bertujuan untuk meminimalisir (dan bahkan menghapuskan) konflik kelas di masyarakat. Konsep masyarakat yang ‘egaliter’ atau tidak memiliki pertentangan ini diindoktrinasi melalui pendidikan P4 (Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila) yang sangat terkenal itu. Di tingkat praktik, penghilangan konflik kelas juga dilancarkan Orde Baru melalui, misalnya, doktrin Hubungan Industrial Pancasila yang di dalamnya menekankan hubungan mitra atau kekeluargaan antara buruh dan pengusaha.
Ketiga, operasi ideologis melalui bahasa sebagai bagian dari agenda de-edukasi juga dilakukan dengan melakukan penggantian terhadap istilah-istilah sosial lainnya. Istilah ‘Buruh’ yang dianggap sebagai istilah bertendensi Marxis, diganti dengan istilah yang lebih ‘netral’, seperti ‘Karyawan’, ‘Pegawai’, atau ‘Pekerja’; istilah ‘demonstrasi’ diganti menjadi ‘unjuk rasa’; atau istilah ‘ditangkap/diinterogasi militer/ditahan’ diluar prosedur hukum diganti dengan istilah ‘diamankan’.[11] Begitupun dengan istilah Marxis lainnya seperti kaum proletariat, diganti dengan istilah lain yang lebih ‘netral’ seperti ‘golongan miskin’ atau ‘golongan masyarakat berpenghasilan rendah’. Menurut saya, penggantian istilah-istilah sosial Marxis menjadi istilah yang bersifat lebih ‘netral’ ini merupakan salah satu bentuk hegemoni Orde Baru yang pengaruhnya masih bertahan hingga saat ini. Hal ini dapat kita jumpai dengan mudah di masa sekarang, misalnya dalam kesadaran sebagian ‘kaum terpelajar’ yang berprofesi sebagai buruh tetapi tidak mau dan merasa sangat terhina jika dirinya dipanggil atau disebut ‘buruh’.[12]
Dalam dunia akademis, agenda de-edukasi ini secara otomatis mengakibatkan tersingkirnya para intelektual kritis dari arena akademis. Debat akademis pun menghilang karena represi yang dilancarkan Orde Baru dalam kehidupan akademis. Terkait dengan itu, dalam tulisannya, Hilmar Farid mengungkapkan bahwa banyak sarjana, pengajar, peneliti, dan mahasiswa ilmu sosial yang dibunuh, ditahan, dan diasingkan atau dihilangpaksakan sejak Oktober 1965.[13] Kehidupan akademis pada masa Orde Baru pun sangat ‘kering’ karena Orde Baru menentukan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh diteliti, penelitian apa yang layak dan apa yang tidak layak dikerjakan. Studi-studi yang dikerjakan para ilmuwan semasa Orde Baru pun pada umumnya berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, investasi, dan permasalahan mengenai kesempatan kerja. Sementara itu, studi-studi mengenai perampasan tanah, kerja paksa, diskriminasi terhadap perempuan, merupakan studi-studi yang dianggap berada di luar ranah keilmuan.[14]
Hal ini kemudian juga menunjukkan watak penguasa Orde Baru yang tidak benar-benar membutuhkan kemajuan teoritis dalam ilmu sosial. Mereka hanya membutuhkan ilmu sosial sebatas sebagai penyokong teknis kebijakan Orde Baru. Selain itu, kualitas penelitian yang dihasilkan pada masa Orde Baru pun dapat dikatakan rendah karena hanya berorientasi pada proyek dan tidak memberikan sumbangan yang berarti dalam hal kritik terhadap teori. Hal ini disebabkan karena pada masa Orde Baru, banyaknya penelitian (tentunya yang sesuai dengan ideologi pembangunanisme Orde Baru) adalah lebih penting daripada isi penelitian itu sendiri.[15] Namun demikian, hegemoni Orde Baru sebagaimana yang dipaparkan di atas, tidak mutlak keberadaannya. Terdapat juga perlawanan dilakukan oleh mereka para ilmuwan sosial/intelektual kritis yang tidak setuju/tidak bersepakat dengan Orde Baru. Perlawanan ini ditunjukkan dengan usaha membangun ilmu sosial di luar lingkup universitas dan birokrasi. Beberapa lembaga penelitian dan penerbitan ‘alternatif’ didirikan, seperti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang memproduksi majalah Prismadan buku-buku teks ilmu ekonomi dan ilmu sosial dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial (YIIS) yang menjadi pelopor penerjemahan buku yang menandai perkembangan penting dalam ilmu sosial di Indonesia.[16] Meskipun tidak bertahan lama dan benar-benar berhasil ‘mengalahkan’ Orde Baru, menurut saya, LP3ES merupakan contoh lembaga penelitian yang konsisten menandingi hegemoni yang dilancarkan rezim Orde Baru dalam dunia akademis pada saat itu.
Privatisasi Pendidikan Tinggi dan Pudarnya Tradisi Berpikir Kritis
Pasca reformasi, hegemoni yang dilancarkan Orde Baru dalam ilmu sosial sebagaimana diuraikan di atas, tidak juga memudar apalagi menghilang begitu saja. Paradigma positivisme masih kuat dalam khazanah ilmu sosial di Indonesia. Sebabnya adalah, paradigma positivis dan menghindari perpektif kritis tersebut masih dilanggengkan dalam institusi pendidikan seperti universitas. Di sini, posisi universitas adalah sebagai aparatus ideologis yang berfungsi untuk melanggengkan apa yang telah dibangun Orde Baru. Misalnya saja, apa yang Hilmar Farid katakan bahwa analisis kelas dihilangkan, diejawantahkan dengan dihilangkannya pendekatan Marxian dalam pendidikan dasar ilmu sosial di universitas dan hanya menyisakan pendekatan Weber, Durkheim, dan Parson. Mengapa demikian?
Tak dapat dipungkiri, hantaman kuat privatisasi pendidikan tinggi sebagai konsekuensi menguatnya neoliberalisme di Indonesia, menjadi salah satu penyebab utamanya. Seperti diketahui, sejak tahun 2000 digulirkan berbagai regulasi yang bertujuan memprivatisasi pendidikan tinggi Indonesia. Mulai dari Undang-Undang Badan Hukum Milik Negara (UU BHMN) hingga Undang-Undang Badan Pendidikan Tinggi (UU BHP) dan terakhir yang terbaru Undang-Undang Pendidikan Tinggi (UU Dikti). Melalui berbagai regulasi tersebut, pendidikan tinggi yang telah terlebih dulu diprivatisasi, mendapat legitimasi secara hukum. Praktik privatisasi pendidikan tinggi yang nyata dapat dilihat melalui biaya pendidikan tinggi yang menjulang tinggi. Akibatnya pendidikan tinggi hanya diisi oleh mereka yang berasal dari kelas borjuasi, sementara mereka yang berasal dari keluarga kelas pekerja yang miskin tak dapat menikmati pendidikan tinggi.
Selain itu, otonomi pendidikan yang selalu diwacanakan oleh mereka yang pro privatisasi nyatanya hanya beroperasi di wilayah administratif dan jauh dari apa yang mereka sebut sebagai ‘otonomi akademik.’ Orientasi mendanai universitas secara mandiri pun membuat pengelola universitas menerapkan kebijakan yang justru jauh dari nuansa akademik. Universitas dijadikan pusat perbelanjaan dan bukannya pusat penelitian. Di sisi lain, privatisasi pendidikan tinggi juga memberikan ketidakpastian status kerja bagi para pengajar/dosen dan sebagian besar pekerja universitas.[17] Kehidupan akademik pun berubah menjadi seperti pabrik. Ada pengusaha yang menindas dan ada pekerja yang ditindas. Dalam keadaan seperti itu, posisi mahasiswa tetaplah di persimpangan jalan: terhegemoni positivisme serta tak memiliki jejak tradisi berpikir secara kritis.
Epilog
Para filsuf hanya menggambarkan dunia dari berbagai sudut pandang, tetapi problem sebenarnya adalah bagaimana mengubahnya. Demikian ujar Marx dalam Tesis tentang Feuerbach. Dalam hal ini, tesis Marx dapat kita sadur menjadi ‘para ilmuwan sosial hanyalah menggambarkan dunia dari berbagai sudut pandang, tetapi problem utamanya adalah mengubahnya.’ Dengan ilmu sosoal yang masih sangat kuat warisan Orde Baru-nya, apa yang dikatakan para ilmuwan sosial akan menjadi tidak lebih sebagai justifikasi teoritis atas apa yang dilakukan penguasa yang menindas. Saat ini, yang kita butuhkan adalah menciptakan ilmu sosial tandingan, yang terlepas sama sekali dari hegemoni Orde Baru, agar ‘mengubah dunia’ menjadi mungkin. Karena tanpa teori revolusioner, tidak akan ada gerakan yang revolusioner.
Penulis adalah anggota redaksi Left Book Review (LBR) Indoprogress, anggota Partai Rakyat Pekerja (PRP), beredar di twitterland dengan ID @ffildzahizz
[1]Contohnya dapat kita lihat dari sikap Ikatan Alumni Universitas Indonesia (ILUNI) yang ‘netral’ dalam Pilpres 2014.
[2]Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae “Kata Pengantar” dalam Vedi Hadiz dan Daniel Dakhidae (editor), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, hlm.13.
[3]Ibid., hlm. 11.
[4]Ibid., hlm. 2.
[5]P.M.Laksono “Asosiasi Ilmu-Ilmu Sosial” dalam Vedi Hadiz dan Daniel Dakhidae (editor), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, hlm.255.
[6]Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae “Kata Pengantar”, Op.Cit., hlm.8.
[7]Asvi Warman Adam “Sejarah, Nasionalisme, dan Kekuasaan” dalam Vedi Hadiz dan Daniel Dakhidae (editor), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia, hlm.282.
[8]Hilmar Farid “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi Hadiz dan Daniel Dakhidae (editor), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia.,hlm. 189.
[9]Ibid.,hlm.189.
[10]Pengalaman seorang kawan saya, ia bahkan diminta “menyesuaikan” skripsinya yang dianggap ‘Marxis’ menjadi skripsi yang objektif (baca : netral) jika ia ingin lulus.
[11]Ariel Heriyanto “Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indonesia” dalam Vedi Hadiz dan Daniel Dakhidae (editor), Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia.,hlm.74.
[12]Kesadaran semacam ini mengemuka (dicerminkan secara eksplisit melalui berbagai opini di berbagai media sosial) terutama ketika para buruh (manufaktur) melakukan aksi demonstrasi menuntut kenaikan upah.
[13]Hilmar Farid “Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia”, Op.Cit.,hlm. 189.
[14]Ibid., hlm.192.
[15]Ariel Heriyanto “Kiblat dan Beban Ideologis Ilmu Sosial Indonesia”, Op.Cit., hlm. 94.
[16]Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae “Kata Pengantar”, Op.Cit., hlm.9.
[17]Hal ini terjadi misalnya di Universitas Indonesia, dimana para pekerja universitas yang tergabung dalam Paguyuban Pekerja Universitas Indonesia (PPUI) memperjuangkan kepastian status kerja sejak tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar