Oleh Rizal Assalam, mahasiswa
Ilmu Politik UI
Judul Buku : Sosialisme Sekarang Juga
Penulis : Michael A. Lebowitz
Penerbit : Resist Book
Tahun : 2009
Tebal : 247 halaman
Imagine no possessions
I wonder if you can
No need for greed or
hunger
A brotherhood of man
Imagine all the people
Sharing all the world...
(John Lennon - Imagine)
Apa Yang Terjadi Saat Ini
Sebagai mahasiswa yang sedang berjuang menuju kelulusan, saya membayangkan
betapa beratnya kehidupan kelak setelah lulus nanti dalam menjalani rutinitas
sebagai pekerja. Membayangkan betapa menyebalkannya jalanan yang serba macet,
entah itu berangkat ke kantor atau pulang. Hasrat untuk beristirahat ketika
sampai di rumah melebihi keinginan untuk melakukan kegiatan yang lain: sekedar
membaca buku, berekreasi, bercengkerama dengan kerabat atau menelpon pacar misalnya.
Sementara waktu yang tersisa untuk melakukan kegiatan di luar pekerjaan
hanyalah Sabtu-Minggu. Itu pun tidak kita nikmati sendirian. Melainkan juga
harus berbagi ruang dengan sesama pekerja lainnya—sebagaimana yang terlihat
pada jalanan Sabtu-Minggu yang (tetap) macet atau berbagai mall yang penuh dengan Rakyat Pekerja.
Kiranya saya mulai mengerti apa yang dirasakan oleh buruh ketika menyerukan
berbagai tuntutannya, misalnya soal pengurangan jam kerja. Bahwa apa yang
terjadi pada diri segenap rakyat pekerja adalah suatu keterasingan (alienasi).
Keterasingan dalam hakikat kita sebagai manusia yang kaya. ‘Kaya’ yang dimaksud
di sini bukan dalam pengertian berkelimpahan materi, melainkan merujuk pada segenap
potensi-potensi yang ada dalam diri manusia. Potensi yang dimaksud sesederhana
yang dijelaskan diawal, yaitu misalnya untuk mengembangkan kapasitas diri
melalui beragam bentuk edukasi.[1]
Bukankah kita sering mengeluhkan “ah gue
nggak punya waktu. Besok gue kerja”?
Pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak kita adalah, mengapa
keterasingan itu bisa terjadi? Bagaimana solusi untuk keluar dari keterasingan
itu? Dalam konteks pertanyaan inilah
uraian Michael A. Lebowitz mengenai sosialisme dalam buku ‘Sosialisme Sekarang Juga’ menjadi relevan untuk dipelajari.[2]
Uraian Lebowitz dapat menjawab pertanyaan soal keterasingan tersebut, bahwa
pada dasarnya keterasingan terjadi sebagai konsekuensi logis dari kapitalisme—sistem
produksi dengan orientasi pada akumulasi kekayaan individu-individu (dalam kata
lain, laba) yang mengabaikan
kebutuhan-kebutuhan manusia. Sementara jawaban atas permasalahan tersebut tidak
lain adalah pelampauan terhadap kapitalisme: sosialisme.
Dalam pembacaan saya, poin utama yang menarik dalam uraian Lebowitz
mengenai sosialisme adalah bahwa ia menunjukkan—meskipun tidak menyatakan secara
langsung—bahwa sejatinya sosialisme merupakan perwujudan dari tatanan
masyarakat yang demokratis, atau dalam kata lain, sosialisme adalah demokrasi
itu sendiri. Tatanan masyarakat yang demokratis yang dimaksud disini
sesederhana pada pengertian yang kita pahami pada umumnya, yaitu demokrasi dari
rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Dalam hal ini, premis-premis umum
mengenai demokrasi seperti keterlibatan dan partisipasi rakyat dalam proses
pengambilan keputusan, prinsip kesetaraan, dan kehidupan sosial yang egaliter. Dalam
demokrasi yang kita pahami dalam bahasa sehari-hari, rakyat tidak hanya menjadi
objek kekuasaan, melainkan juga sebagai subjek atau pelaku aktif kekuasaan. Gambaran
umum mengenai aspek normatif demokrasi tersebut akan terlihat ketika masuk pada
pembahasan Lebowitz mengenai visi sosialisme dan juga perwujudannya—dengan
merujuk pada studi kasus Venezuela.[3]
Hasil pembacaan saya terhadap uraian Lebowitz mengenai sosialisme yang demikian
mengantarkan saya untuk menunjukkan bagaimana sosialisme berjalan dalam praktek
yang demokratis pada tinjauan buku ‘Sosialisme
Sekarang Juga’ dalam
esay ini. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh Lebowitz dalam bukunya bahwa
sosialisme pada dasarnya hadir dalam praktek kehidupan demokratis yang paling
sederhana. Dengan mengacu pada praktek di Venezuela, ia menyimpulkan bahwa
sosialisme merupakan suatu keniscayaan ketika kita menengok kembali pada hakikat
manusia sebagai makhluk sosial, yaitu makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri
melainkan membutuhkan segenap lingkungan sosialnya untuk dapat bertahan hidup.
Sesederhana itulah sosialisme dalam pembacaan atas Lebowitz.
Kapitalisme Sebagai Konteks
Kemunculan Sosialisme
Apabila pendukung neoliberalisme—bentuk transformasi kapitalisme dalam
konteks globalisasi—mengajukan premis ‘There is
No Alternative’ atau dalam arti lain bahwa neoliberalisme merupakan satu-satunya pilihan,
pesan utama Lebowitz yang tersirat dalam bukunya adalah ‘There is alternative beyond neoliberalism, that is
socialism’ (Ada alternative yang melampaui
neoliberalisme, hal itu adalah sosialisme, red). Untuk sampai pada gagasan tersebut, Lebowitz memulai uraiannya pada
pembahasan mengenai kapitalisme. Garis besar pembahasan mengenai kapitalisme
ini berkisar pada soal apa itu kapitalisme
dan juga kritik terhadap kapitalisme. Hal yang disebut terakhir ini menjadi
dasar argumentasi kenapa sosialisme merupakan konsekuensi yang logis dari
kapitalisme, bahwa kapitalisme mengandung kontradiksi-kontradiksi yang tidak
terpecahkan selain melampaui kapitalisme itu sendiri
Pada bagian pertama bukunya, Lebowitz menjelaskan kapitalisme sebagai
sistem produksi yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan manusia dengan lebih
berorientasi pada pertumbuhan kekayaan individu-individu.[4]
Hal ini ditunjukkan oleh berbagai usaha-usaha kapital dalam mewujudkan
orientasinya tersebut. Dalam aspek produksi misalnya, usaha-usaha yang dimaksud
seperti memperpanjang atau mengintensifkan jam kerja, merendahkan upah riil,
pemindahan pabrik ke tempat di mana buruh-buruh bersedia diberi upah rendah,[5]
dan penggunaan teknologi atau mesin.[6]
Selain dalam aspek produksi, kapital juga melakukan usaha-usaha dalam aspek
konsumsi. Untuk merealisasikan laba dari
komoditas yang diciptakan dalam produksi, selanjutnya kapital bergerak pada
ranah perdagangan. Usaha-usaha yang dilakukan adalah seperti perluasan pasar
dan menciptakan kebutuhan-kebutuhan artifisial.[7]
Apa yang kemudian mengiringi dari usaha-usaha kapital tersebut adalah produksi-lebih (overproduction). Produksi-lebih ini muncul
karena tidak terjadinya korespondensi antara konsumsi buruh dengan
produktivitas kerja.[8]
Artinya, terjadi kesenjangan antara tingkat kemampuan buruh untuk membeli hasil
kerjanya—yaitu
komoditas yang Ia produksi—dengan sejumlah komoditi yang tersedia.[9]
Sebagai contoh, bagaimana bisa buruh di pabrik Nike membeli sepatu Nike dengan
harga sekitar 500ribu-an sementara gaji buruh itu sendiri setara dengan UMR? Meskipun
kesenjangan ini diantisipasi melalui perluasan pasar, misalnya dengan mengimpor
komoditas tersebut melalui pasar global, namun di akhir hasilnya akan tetap
terjadi overproduksi.[10]
Overproduksi merupakan konsekuensi dari logika kapitalisme yang berproduksi
dalam anarki. Dalam penjelasan Coen Husain Pontoh, anarki produksi ini terjadi
karena dalam kapitalisme produksi komoditi tidak ditujukan untuk konsumsi
sendiri melainkan untuk dijual di pasar.[11]
Hal ini ditegaskan oleh Lebowitz dengan mengutip Marx yaitu, bahwa ‘produksi
kapitalis berjalan tanpa mempertimbangkan batas-batas aktual dari pasar atau kebutuhan-kebutuhan yang bisa ditopang oleh kemampuan untuk
membayar”.[12]
Ilustrasi sederhana dari overproduksi ini adalah, misalnya banjir produk-produk
impor dari China di pasar Indonesia.
Dengan demikian, sampai di sini kiranya cukup jelas dari apa yang dimaksud dari kapitalisme sebagai
sistem produksi yang berorientasi pada pertumbuhan kekayaan individu-individu
yang mengabaikan kebutuhan-kebutuhan manusia. Logika kapitalisme ini akan
terlihat kontras ketika memperbandingkannya dengan visi sosialisme. Untuk
menutup bagian ini, berikut kutipan yang dapat menyimpulkan uraian singkat
mengenai kapitalisme:
“laba-lah—bukan kebutuhan-kebutuhan dari
orang-orang sebagai manusia yang mengembangkan dirinya secara sosial—yang
menentukan watak produksi dalam kapitalisme.... Sistem ekonomi apalagi yang
menurut anda bisa menghasilkan pada saat yang bersamaan sumber-sumber daya yang
menganggur, orang-orang-orang yang menganggur, dan orang-orang yang tak
terpenuhi kebutuhannya karena apa yang dibutuhkannya tak diproduksi? Sistem
ekonomi apalagi yang membiarkan orang-orang kelaparan di satu bagian dunia
sementara di tempat lain terdapat keberlimpahan bahan pangan dan di mana muncul
keluhan ‘terlalu banyak makanan yang diproduksi’”?[13]
Visi
Sosialisme
Kapitalisme dengan segenap logika yang melingkupinya akan selalu
berputar-putar pada persoalan laba. Optimalisasi laba tanpa memperdulikan konsekuensi-konsekuensi
sosial dari bagaimana laba itu dapat
diperoleh, entah melalui penciptaan kebutuhan-kebutuhan artifisial, menekan
upah buruh, merevolusionerkan proses produksinya atau memindahkan pabriknya. Dengan
demikian, usaha untuk memperbaiki tatanan masyarakat yang bergerak dengan
tujuan memanusiakan manusia adalah tidak lain dengan menjadikan masyarakat
dengan visi yang menekankan pada perkembangan secara utuh segenap potensi
manusia.
Hal ini berkaitan dengan kritik Lebowitz terhadap gerakan-gerakan
anti-kapitalisme yang menurutnya hanya sebatas mengubah wajah kapitalisme
menjadi lebih manusiawi, suatu kapitalisme yang lebih ramah, tanpa dapat mengubah kontradiksi-kontradiksi yang inheren dalam
tubuh kapitalisme.[14]
Untuk menuju suatu tatanan masyarakat yang lebih baik tidak bisa hanya dengan melawan
aspek-aspek tertentu dari kapitalisme, melainkan benar-benar melampaui segenap
kapitalisme itu sendiri. Dalam hal ini, melihat kapitalisme tidak dapat hanya pada
bagian-bagian sistem kapitalisme secara terpisah-pisah, melainkan dalam suatu
keutuhan.
Masyarakat sosialis yang diungkapan Marx, sebagaimana dikutip oleh
Lebowitz, merupakan masyarakat yang
tujuan sejatinya adalah perkembangan segenap kekuatan manusia sebagai tujuan
dalam dirinya sendiri. Individu-individu dalam suatu masyarakat dengan tujuan
demikian akan melakukan aktivitas produksi atas dasar kesadaran saling
membutuhkan. Tiap-tiap individu akan merasakan saling-keterikatan, di mana
perasaan kesenangan dan kepuasan akan muncul ketika saling berhubungan dalam
aktivitas produksi.[15]
Perasaan yang muncul karena mengetahui apa yang dikerjakan adalah sesuatu yang
berharga bagi yang lain. Dengan kalimat yang puitis Marx menjelaskan, ‘Kebutuhanmu merupakan
dasar utama dari aktivitasku, dan sebagai imbalannya, aku akan mendapatkan
tempat dalam pemikiran dan cintamu’.[16]
Masyarakat yang demikian mustahil terwujud dalam kapitalisme. Hal tersebut
dikarenakan, ‘sepanjang kita berelasi satu sama lain bukan
sebagai anggota-anggota dari suatu komunitas manusia, namun sebagai
pemilik-pemilik yang mengejar kepentingannya sendiri, demikian simpul Marx,
keterpisahan yang destruktif di antara orang-orang ini akan terus direproduksi’. Hal ini juga sebagaimana kapitalisme akan selalu
membatasi kesempatan buruh untuk dapat memenuhi, tidak hanya kebutuhan
dasarnya, melainkan juga kebutuhan-kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial tersebut
dicontohkan oleh Marx misalnya, kebutuhan ‘untuk berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas
kultural yang lebih tinggi untuk mengejar kepentingan-kepentingan pribadinya
sendiri, untuk berlangganan koran, mengikuti kuliah, mendidik anak-anaknya,
mengembangkan cita rasa, dsb.’[17] Inilah yang dikatakan sebagai potensi-potensi
manusia yang kaya yang tidak mungkin terwujud dalam suatu sistem produksi yang
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Dalam masyarakat kapitalisme, perlu diakui ada kelas tertentu yang memiliki
waktu dan akses untuk mengembangkan potensinya sebagai manusia. Kelas tertentu
yang dimaksud tidak lain adalah kelas kapitalis. Dalam istilah Lebowitz, kelas
kapitalis merupakan ‘sang pendaku yang duduk ongkang-ongkang kaki’ (the residual claimant).[18]
Dikatakan ‘ongkang-ongkang kaki’ di sini sebab semua buah dari aktivitas
produksi yang dijalankan oleh para produsennya (dalam kata lain, buruh) jatuh
ke tangan sang kapitalis. Meskipun muncul bantahan bahwa ‘kelas kapitalis ikut memikirkan resiko
kebangkrutan, krisis, mengatur perusahaan’, namun tetap ‘pertaruhan hidup-mati’ kelas kapitalis dalam suatu aktivitas produksi tidak sebanding dengan para
pekerja.[19]
Lebih fundamentalnya, pada dasarnya ‘kebebasan’ kelas kapitalis dalam
mengembangkan potensinya sebagai manusia berdiri di atas fondasi ketidakbebasan
kelas pekerja.
Apabila ditelisik, maka persoalan yang tampak kiranya hanya sebatas ketersediaan
waktu luang yang berkaitan dengan jam
kerja. Namun, makna waktu tersebut
tidaklah sesederhana yang kita bayangkan pada umumnya.[20]
Keberhasilan tuntutan buruh dalam pengurangan jam kerja memang dapat memberikan
kesempatan yang lebih terbuka bagi buruh untuk mengembangkan dirinya. Hal yang
perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa laba yang menjadi dasar eksistensi kapitalis tercipta dari nilai lebih melalui prasyarat kerja lebih.[21]
Singkatnya, mengurangi jam kerja bagi buruh artinya sama dengan mengurangi
tingkat keuntungan kapitalis.
Tentu kapitalis tidak akan hanya meratapi merosotnya tingkat keuntungan
yang diterimanya. Dijelaskan oleh Lebowitz bahwa dalam setiap keberhasilan
kecil yang diraih oleh buruh, akan selalu diiringi dengan penentangan dari para
kapitalis. Penentangan tersebut dapat dilakukan oleh berbagai usaha-usaha, sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, seperti memindahkan pabrik, merevolusionisasi
proses produksi dan seterusnya. Maka sebagaimana disinggung sebelumnya, upaya
melampaui kapitalisme tidak dapat hanya berhenti pada perjuangan pengurangan
jam kerja atau bagian-bagian tertentu dalam sistem kapitalisme, sebab hal
tersebut hanya satu bagian dari
sistem kapitalisme secara keseluruhan.
Selama sistem produksi kapitalisme masih sedemikian hegemoniknya, perkembangan
diri manusia seutuhnya tidak akan pernah terwujud—alih-alih terjebak pada
rutinitas pekerjaan. Dengan tidak hanya terjebak pada rutinitas pekerjaan, maka
terbuka suatu ruang untuk memiliki waktu yang berguna untuk perkembangan cita
rasa keindahan, keilmuan dan seterusnya. Hal inilah yang menjadi tujuan masyarakat
sosialis: menciptakan suatu masyarakat yang akan memungkinkan perkembangan
secara utuh potensi dan kemampuan manusia.
Dengan demikian, pilihan untuk keluar dari situasi problematik dalam
masyarakat kapitalis adalah dengan menjadikan suatu masyarakat yang di dalamnya
relasi produksi[22]
akan menjadi relasi dari suatu asosiasi produsen-produsen secara bebas. Untuk
mewujudkannya hanyalah dengan merevolusi sistem produksi yang di dalamnya
tercakupi relasi-relasi antar manusia.[23]
Melalui asosiasi-asosiasi inilah kebutuhan-kebutuhan sosial, tidak hanya buruh,
melainkan juga masyarakat secara luas dapat terpenuhi. Hal ini dimungkinkan
sebab logika produksi dalam masyarakat yang demikian menempatkan pembangunan manusia
sebagai tujuan utamanya, sebagaimana terlihat kontras dengan kapitalisme yang menempatkan
manusia-manusia produsen hanya sebagai alat
untuk mencapai tujuan kapital: laba.
Dalam hal ini, pertanyaan Lebowitz menjadi menarik: “adakah cara lain bagi
kita untuk bisa memahami kebutuhan-kebutuhan orang lain selain dengan
mendengarkan suara-suara mereka?”[24]
Bagaimana mungkin suatu produksi dapat mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan sosial
para pelakunya ketika para pelaku itu sendiri tereksklusikan dalam proses pengambilan
keputusan mengenai bagaimana produksi itu dijalankan? Bagaimana mungkin kebutuhan-kebutuhan
manusia ditempatkan sebagai tujuan tertinggi dalam suatu sistem produksi yang
menempatkan buruh hanya sebagai alat pertumbuhan
kapital dan dijalankan secara despotik? Bagaimana mungkin kebutuhan-kebutuhan
manusia dapat terpenuhi ketika para alat-alat produksi harus terpisah dari
produsen-produsen yang menggunakannya, ketika kaum buruh tak memiliki hak milik
dalam produk yang dihasilkan dalam aktivitas mereka, melainkan dimiliki oleh
kapitalis?
Di sinilah unsur demokrasi yang kita pahami sehari-hari terkandung dalam
sosialisme, yaitu partisipasi. Partisipasi yang dimaksud disini tidak hanya
sebatas memberikan suara pada hajatan
demokrasi lima tahunan, melainkan partisipasi yang sejati. Suatu bentuk
partisipasi dimana rakyat tidak hanya sebatas menjadi objek kekuasaan,
melainkan sebagai subjek pelaku aktif.[25] Hal ini merupakan suatu cerminan
masyarakat yang berwatak demokratik, partisipatoris dan protagonistik.[26]
Wajah Demokratis Dari Masyarakat
Sosialis
‘Democracy is a practice, it’s only through your own activity that you can,
in fact, developed’
(Demokrasi adalah sebuah praktek, hanya melalui aktifitasmu sendirilah maka
kamu dapat, pada kenyataannya, mengembangkannya).
(Testimoni Lebowitz dalam film
dokumenter Beyond Elections: Redefining
Democracy in the Americas)
Lalu bagaimana jelasnya yang dimaksud dengan sistem produksi yang
menempatkan manusia sebagai fokus utamanya, sebagai tujuan tertingginya? Dan
apa kaitannya dengan demokrasi yang kita pahami dalam bahasa sehari-hari? Pertanyaan
yang pertama dalam relevansinya dengan uraian Lebowitz merujuk pada pengalaman
praktek sosialisme di Venezuela. Sebagai permulaan, bagian ini akan dimulai
dengan melihat konstitusi Republik Bolivarian Venezuela yang merefleksikan cara
pandang masyarakat Venezuela mengenai relasi-relasi sosial baru, suatu
alternatif terhadap kapitalisme.
Konstitusi Republik Bolivarian Venezuela memuat secara spesifik bagaimana
perkembangan diri manusia dapat terwujud. Pasal 62 misalnya, menekankan bahwa
partisipasi rakyat merupakan jalan yang niscaya untuk merealisasikan
keterlibatan mereka sehingga menjamin perkembangan diri mereka secara lengkap,
baik secara individual maupun kolektif. Jaminan terhadap perkembangan diri
manusia juga tercantum, misalnya dalam pasal 299, ‘menjamin perkembangan diri manusia secara
menyeluruh’.
Nilai-nilai tersebut diwujudkan dalam model sosial, seperti swa-kelola,
pengelolaan bersama-sama, koperasi dalam berbagai bentuknya yang dijalankan
melalui perencanaan demokratis dan penyusunan anggaran secara partisipatoris.[27]
Dalam kaitannya dengan hal ini, Chavez mengungkapkan bahwa, ‘Anda tak aka bisa
mengakhir kemiskinan tanpa memberikan kekuatan
kepada kaum miskin’.[28]
Kita dapat mengimajinasikan masyarakat yang demikian sebagai suatu
masyarakat yang koperatif, suatu masyarakat yang mendasarkan hidupnya pada hak
milik bersama atas alat-alat produksi. Jika pada masyarakat kapitalis kecenderungan
yang terjadi dalam relasi-relasi sosial adalah kompetisi dan individualisme,
maka dalam masyarakat koperatif relasi yang terjadi adalah hubungan solidaritas
dengan penitikberatan pada kepentingan-kepentingan komunitas, saling memenuhi
kebutuhan satu sama lain. Kemudian, jika dalam sistem produksi kapitalisme para
produsen tak memiliki hak milik dalam produk yang dihasilkan dalam
aktivitasnya, maka dalam sistem produksi koperasi para produsen dapat memetik
untung dari hasil kerja karena hak kepemilikan dikelola secara kolektif.
Masyarakat kolektif tersebut bergerak dalam praktek demokrasi. Sebagaimana
banyak ditekankan dalam tulisan ini bahwa dengan tujuannya adalah untuk
perkembangan-diri setiap individu-individu dalam kolektivitas, maka setiap
orang dalam masyarakat tersebut turut terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang memiliki dampak terhadap mereka di setiap tingkat, misal tingkat
pertetanggaan, komunitas atau masyarakat luas. Melalui praktek ini, tujuan yang
dirumuskan dalam proses pengambilan keputusan tersebut adalah tujuannya
orang-orang itu sendiri, atau dalam kata lain menempatkan manusia-nya sebagai tujuan tertinggi. Melalui
praktek demokrasi, maka menjadi jelas siapa yang memutuskan apa yang harus
dikerjakan dan dengan cara bagaimana dikerjakan. Hal ini sebagaimana mengulang kembali
pertanyaan sebelumnya, ‘adakah cara lain bagi kita untuk bisa memahami kebutuhan-kebutuhan orang
lain selain dengan mendengarkan suara-suara mereka?’.
Atas dasar landasan konstitusi dan kerangka pikir itulah masyarakat
sosialisme di Venezuela tengah berjalan. Pembangunan koperasi misalnya,
merupakan langkah konkret dalam mewujudkan suatu asosiasi-asosiasi di bawah
kepemilikan kolektif. Pada tahun-tahun awal Revolusi Bolivarian mulai
dijalankan, pada tahun 1998 hanya ada 762 koperasi yang kemudian berkembang
menjadi 84.000 koperasi pada tahun 2005.
Pada contoh lain, pengelolaan perusahaan-perusahaan yang diambil alih oleh
buruh juga dijalankan secara demokratis. Dalam pengelolaannya, buruh di sini
menjadi bagian dalam menentukan bagaimana produksi dijalankan dan pembagian
hasil kerja. Tidak ada hierarki dalam suatu rantai komando (sebagaimana menjadi
ciri despotisme perusahaan-perusahaan kapitalis), melainkan adanya pembagian
kerja secara horizontal. ‘Laba’ perusahaan yang dihasilkan di sini tidak
diarahkan sebagai kapital untuk ekspansi, melainkan menjadi bagian dari dana
sosial yang akan membantu mengatasi kemiskinan bagi masyarakat secara luas,
penduduk Venezuela.
Beberapa film dokumenter dapat menjadi rujukan untuk memudahkan dalam mengimajinasikan
praktek-praktek demokrasi secara konkret dalam masyarakat sosialisme dan sebagai
pelengkap dari uraian tertulis di sini. Sebagai contoh, film Beyond Elections: Redefining Democracy in
the Americas menggambarkan wajah masyarakat yang demokratik, partisipatoris
dan protagonistik dengan mengambil contoh singkat beberapa negara di benua
Amerika.[29]
Pada film ini terdapat banyak contoh-contoh konkret praktek demokrasi dalam
masyarakat sosialis. Sebagai contoh,
pada bagian pertama membahas soal Penganggaran
Partisipatif (Participatory Budgeting)
yang diterapkan pertama kali di
Brazil pada wilayah Porto Allegre. Setiap pos-pos anggaran dalam rencana
pembangunan pada setiap komunitas-komunitas ditentukan melalui suatu forum di
mana setiap anggota-anggota dari komunitas terlibat di dalamya. Sementara di Venezuela
mengambil pelajaran dari pembentukan dewan-dewan komunal di mana setiap warga
yang terlibat dapat mengajukan rencana pembangunan di lingkungan mereka.
Contoh lainnya adalah film dokumenter The
Take (2004). Film ini mendokumentasikan bagaimana buruh-buruh di Argentina melakukan pengambilalihan
terhadap pabrik-pabrik yang ditinggalkan pemiliknya ketika krisis melanda pada tahun 2001. Gerakan pengambilalihan yang didokumentasikan
dalam film ini memfokuskan pada pengambilalihan pabrik onderdil
otomotif Forja
San Martin dan juga pabrik-pabrik yang telah diambil alih sebelumnya, yaitu
pabrik keramik Zanon dan pabrik garmen Brukman.
Dalam film ini digambarkan bagaimana pabrik-pabrik yang telah diambil alih
oleh pekerja membentuk suatu relasi produksi yang baru, yaitu di mana para
buruh mengontrol secara menyeluruh atas jalannya produksi tanpa campur tangan
para kapitalis pemilik lama. Pendapatan para buruh didistribusikan dengan setara
(berdasarkan hasil produksi, sehingga upah pekerja dapat bervariasi tiap
bulannya). Struktur pembagian kerja horizontal tanpa hierarki untuk menghindari
borjuisasi pekerja dan pemisahan birokratisasi secara terpisah antara sesama
pekerja. Hal ini sebagaimana dikutip dari pernyataan pemimpin gerakan
pengambilalihan pabrik Forja, Freddy Espinosa: ‘i’ll
check on what he does, and he’ll check on me... of course we’re going to have
to be more conscientious, and not be too bourgeois like before under the boss
(saya akan memerikasa apa yang dia lakukan, ia akan
memeriksa saya… tentu saja kita akan menjadi semakin teliti, dan tidak semakin borjuis sebagaimana ketika dibawah si
boss, red).’ Selain itu, setiap proses
pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan produksi dan kehidupan
pekerja itu sendiri dijalankan melalui model demokrasi partisipatoris secara
langsung.
Pengalaman lainnya dapat diambil dari kisah bagaimana kekuatan solidaritas
antar komunitas-komunitas menjadi jalan keluar atas krisis peak oil di Kuba yang didokumentasikan dalam film Power Of Community: How Cuba Survived Peak
Oil (2006). Di dalam dokumentasi tersebut, antisipasi terhadap dampak
krisis dilakukan dengan membentuk komunitas-komunitas yang terdiri dari
beberapa kepala keluarga untuk menjalankan aktivitas produksi. Setiap hasil
aktivitas produksi tersebut dimanfaatkan untuk kepentingan bersama, dalam kata
lain saling memenuhi kebutuhan antar individu dalam suatu komunitas dan juga
antar komunitas. Selain itu, di Indonesia sendiri terdapat model swa-kelola
yang juga dapat menjadi contoh pembelajaran. Model swa-kelola yang melibatkan
partisipasi aktif komunitas ini merujuk pada sekolah alternatif Qaryah
Thayyibah di Kali Bening.[30]
Refleksi
Secara garis besar, pembelajaran yang didapatkan dalam buku Lebowitz adalah
sosialisme tidak hanya sebatas berkaitan dengan kepentingan buruh, melainkan
memiliki tujuan yang lebih besar yaitu untuk membangun suatu masyarakat yang
baru. Masyarakat yang baru ini tidak hanya berdiri di atas persoalan-persoalan
anti-kapitalisme saja, namun juga berkaitan dengan persoalan
penindasan-penindasan lainnya, seperti tradisi patriarki, rasisme, atau
diskriminasi. Pada titik ini sosialisme harus dilihat sebagai suatu proses, yaitu di mana proses konstruksi
dilakukan bersamaan dengan proses dekonstruksi tatanan masyarakat yang lama.[31]
Mengenai sosialisme sebagai proses ini
dapat merujuk pada ungkapan Che Guevara. Dalam pandangan Che Guevara untuk
membangun masyarakat baru adalah perlu berbarengan dengan pembangunan
fondasi-fondasi material yang baru, untuk membangun laki-laki dan perempuan
yang baru.[32]
Sebab tanpa upaya berbarengan ini, mustahil untuk mewujudkan tujuan di mana
suatu masyarakat bergerak atas dasar solidaritas dan cinta kemanusiaan,
sementara wujud penindasan-penindasan yang lainnya masih terjadi. Praktek
demokrasi dalam masyarakat sosialis pun tidak dapat berjalan: as long as exploitation exist, there’s not
gonna be any democracy (sepanjang eksploitasi masih berlangsung, tidak akan pernah ada
demokrasi, red).[33]
Ungkapan yang terakhir tersebut cukup mewakili pandangan bahwa kehidupan
sosial masyarakat dalam sosialis tidak lagi berdiri di atas eksploitasi. Saya
sendiri bersepakat bahwa mewujudkan sosialisme berarti menghapus segala bentuk
penindasan yang ada, entah penindasan berbasis seksisme, rasisme,
ultra-nasionalisme, atau berlandaskan kepercayaan agama. Namun, hal-hal seperti
ini yang tidak terungkap dengan jelas dalam uraian Lebowitz.
Dalam kaitannya dengan hal ini, misalnya kritik Laclau dan Mouffe terhadap
kegagalan Marxisme memunculkan pertanyaan yang pada intinya berkisar pada: ‘bagaimana menempatkan
agen-agen sosial lain diluar kekuatan buruh yang muncul dalam kerangka
kapitalisme kontemporer ke dalam perjuangan mewujudkan visi sosialisme? Siapa
yang bertanggungjawab untuk memainkan peran kepemimpinan sementara kaum buruh
belum mapan dan terfragmentasi?’.[34]
Konteks pertanyaan tersebut berkaitan dengan kompleksitas-kompleksitas sosial
yang muncul seiring dengan penetrasi kapitalisme ke dalam berbagai kehidupan
sosial kita. Artinya, antagonisme-antagonisme, menurut Laclau dan Mouffe, tidak
hanya sebatas antagonisme ‘di dalam pabrik saja’, melainkan terjadi dalam
berbagai ruang sosial yang kompleks.
Lebowitz dalam hal ini telah mengingatkan kepada kita—meskipun tidak menawarkan
solusi langsung—bahwa sosialisme tidak dapat terwujud ketika buruh hanya
berkutat pada kepentingan-diri buruh saja, artinya terdapat keterpisahan antara
buruh dengan masyarakat secara luas. Dengan demikian, maka pertanyaan
selanjutnya yang perlu dijawab—dan tentunya juga dipraktekkan sebagai
perwujudan dari praxis—adalah
bagaimana memperluas wacana sosialisme sehingga tidak sebatas identik dengan
‘kepentingan buruh saja’. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa sosialisme
berarti menciptakan manusia-manusia yang baru. Sosialisme sebagai pelampauan
terhadap kapitalisme juga berarti realisasi atas cita-cita mengakhiri
kemiskinan dari mayoritas penduduk dunia.
Sebagai penutup, kita di sini sekiranya perlu untuk menempatkan diri
sebagai buruh (atau calon buruh), sebagai orang yang terpisahkan dari alat-alat
produksi. Melihat proletarisasi misalnya,
terdapat kecenderungan hampir setiap orang harus
menjual tenaga kerjanya untuk dapat menghidupi diri dan keluarganya dan
melihat kondisi yang serba rentan dengan terbatasnya sarana-sarana penghidupan
(lapangan kerja) dan tekanan biaya hidup yang semakin tinggi. Maka kepentingan
terhadap sosialisme juga adalah kepentingan kita.
Dengan demikian, kita dapat keluar dari persoalan keterasingan dan
mengembangkan potensi-potensi kita sebagai manusia yang kaya.
Referensi
A. Lebowitz, Michael. “Sosialisme
Sekarang Juga”. Yogyakarta: Resist Book, 2009.
Husain Pontoh, Coen.
“Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Proyek Kelas: Sebuah Analisa Marxis”. dalam
Jurnal Indoprogress Vol. I Nomor 01, 2014, Yogyakarta: Resist Book, 2013
Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe.
“Hegemoni dan Strategi Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru”.
Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Sirait, Chrysandi., Erwin Santoso
dan Windu Jusuf dalam “‘Indonesia Belajar’ di Kali Bening’. diakses dari
http://indoprogress.com/2014/05/indonesia-belajar-di-kali-bening-salatiga/
Suryajaya, Martin. “Dilema
Althusser”. diakses dari http://indoprogress.com/2012/02/dilema-althusser/.
Winters, Jeffrey. “Power in Motion:
Capital Mobility and Indonesian State”. Ithaca:
Cornell University Press. 1996.
Zaki Hussein, Mohamad. “Belajar
Demokrasi dari Amerika Latin”. diakses dari
http://www.prp-indonesia.org/2014/belajar-demokrasi-dari-amerika-latin/
Zaki Hussein, Mohamad. “Ideologi dan
Reproduksi Masyarakat Kapitalis”. diakses dari
http://indoprogress.com/2012/01/ideologi-dan-reproduksi-masyarakat-kapitalis/.
Zaki Hussein, Mohamad. “Kontradiksi
Kerja-Upahan dan Kapital”. diakses dari
http://indoprogress.com/2013/03/kontradiksi-kerja-upahan-dan-kapital/
Referensi Tambahan
Film Dokumenter Power Of Community: How Cuba Survived Peak Oil (2006)
Film Dokumenter The Take (2004).
Film Dokumenter Beyond Elections: Redefining Democracy in the Americas (2008)
[1] Edukasi di sini bermakna
luas, namun sesederhana pada pengertian mengembangkan pengetahuan dan wawasan,
seperti membaca buku, menonton film atau teater, berekreasi di alam, menikmati
seni dan seterusnya. Lebih jelasnya mengenai yang dimaksud dari potensi-potensi
akan diuraikan pada bagian mengenai Visi Sosialisme.
[2] Michael A. Lebowitz,
“Sosialisme Sekarang Juga”, Yogyakarta: Resist Book, 2009.
[3] Meskipun Lebowitz banyak
menyiratkan unsur-unsur demokratis dari praktek sosialisme, namun dalam banyak
uraiannya mengenai praktek di Venezuela, ia tidak banyak memberi contoh konkret
praktek-praktek demokratis dalam relasi produksi masyarakat sosialis di
Venezuela. Untuk itu, bentuk konkret praktek-praktek demokratis yang dimaksud
dalam tulisan ini akan ditunjang oleh berbagai referensi tambahan.
[4] Lihat bagian ‘Kebutuhan
Kapital Versus Kebutuhan Manusia’ dalam Ibid.,
hlm 11-50
[5] Ada kecenderungan di mana
kapital selalu bergerak mengikuti wilayah-wilayah dengan potensi keuntungan
yang lebih besar. Misalnya pada aspek kesediaan buruh untuk diupah rendah atau
besaran jumlah penduduk. Lebih lengkapnya lihat uraian Jeffrey Winters dalam “Power
in Motion: Capital Mobility and Indonesian State”, Ithaca: Cornell University Press. 1996.
[6] Penggunaan teknologi ini
tidak hanya sekedar sebagai usaha meningkatkan produktivitas yang lebih efektif
dan efisien, juga sebagai upaya memecah-belah solidaritas buruh dengan
menciptakan apa yang disebut Marx sebagai ‘tentara cadangan tenaga kerja’ (reserve army of labor). Lihat Lebowitz, Ibid., hlm 32. Perpecahan ini tercipta
akibat kelangkaan lapangan pekerjaan sebagaimana teknologi atau mesin dapat
menggantikan tenaga kerja buruh. Konsekuensinya adalah terjadinya persaingan
antar buruh untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang kemudian dapat
memecah-belah solidaritas buruh.
[7] Ibid., hlm 34-41. Penciptaan kebutuhan-kebutuhan artifisial ini menjadi penting
karena bagaimana laba dapat
direalisasikan sementara tidak ada yang membeli komoditi-komoditi yang
dihasilkan? Dikatakan artifisial karena di sini letak peranan, meminjam istilah
Althusser, ‘Aparatus Ideologi Negara’ sebagai usaha kapital dalam mereproduksi
syarat-syarat yang memungkinkan berjalannya kapitalisme. Iklan—yang dipropagandakan lewat media massa—misalnya, berperan
untuk menciptakan kesadaran bahwa kita ‘membutuhkan’ iPhone. Uraian singkat mengenai bagaimana reproduksi syarat-syarat
agar kapitalisme dapat beroperasi lihat tulisan Mohamad Zaki Hussein, “Ideologi
dan Reproduksi Masyarakat Kapitalis”, diakses dari http://indoprogress.com/2012/01/ideologi-dan-reproduksi-masyarakat-kapitalis/,
dan Martin Suryajaya, “Dilema Althusser”, diakses dari http://indoprogress.com/2012/02/dilema-althusser/.
[8] Ibid., hlm 37
[9] Masalah ini juga
mengisyaratkan terjadinya keterasingan dalam hal apa yang diproduksi buruh
tidak secara langsung menjadi hak miliknya.
[10] Dalam kutipan aslinya,
‘kemampuan kapital untuk pindah ke negara-negara dengan upah rendah agar bisa
memproduksi komoditi-komoditi manufaktur yang akan diekspor kembali ke
negara-negara yang lebih maju semakin meningkatkan secara nyata jurang
kesenjangan antara produktivitas dan upah riil. Dan itu berarti meningkatnya tingkat
eksploitasi di dunia’. Lihat Ibid., hlm
38.
[11] Lihat Coen Husain Pontoh,
“Kapitalisme-Neoliberal Sebagai Proyek Kelas: Sebuah Analisa Marxis”, dalam
Jurnal Indoprogress Vol. I Nomor 01, 2014, Yogyakarta: Resist Book, 2013, hlm
13
[12] Lebowitz, Op.cit., hlm 37
[13] Ibid., hlm 39
[14] Dalam ungkapan lainnya,
“... satu-satunya alternatif yang kemudian layak diusulkan bagi barbarisme yang
ada ialah barbarisme dengan wajah manusiawi
”. Lihat Ibid., hlm 78.
[15] Perlu diklarifikasi di
sini, merujuk pada penjelasan Lebowitz, bahwa yang dimaksud dari aktivitas
produksi bukan hanya sebatas sesuatu yang terjadi dalam sebuah pabrik atau
dalam arti produksi merujuk pada sebuah tempat kerja yang pada umumnya kita
pahami. Melainkan, produksi sebagai setiap
aktivitas yang bertujuan untuk menyediakan input bagi perkembangan manusia-manusia. Lihat Ibid., hlm 126.
[16] Ibid., hlm 14
[17] Sebagaimana dikutip dalam
Ibid., hlm 26
[18] Ibid., hlm 21
[19] Sebagaimana kelas pekerja
tidak memiliki pilihan lain selain menjual tenaga kerjanya untuk dapat bertahan
hidup.
[20] Lebih jelasnya Lebowitz
menyitir ungkapan Marx mengenai waktu ialah ‘ruang bagi perkembangan diri
manusia. Seorang manusia yang tak memiliki waktu luang untuk dirinya sendiri,
yang seluruh waktu hidupnya, selain dari saat-saat untuk tidur, makan dan
seterusnya, terserap dalam kerjanya demi kepentingan sang kapitalis, sesungguhnya
tak lebih baik dari seekor binatang pengangkut beban’. Lihat Ibid., hlm 25
[21] Tulisan ini tidak akan
membahas lebih dalam mengenai asal usul penciptaan laba sebagai realisasi nilai
lebih yang didahului oleh prasyarat kerja
lebih. Lebih lanjut lihat Ibid., hlm
22-23; Coen Husain Pontoh, Op.cit.,
hlm 14-15, dan; Mohamad Zaki Hussein, “Kontradiksi Kerja-Upahan dan Kapital”,
diakses dari http://indoprogress.com/2013/03/kontradiksi-kerja-upahan-dan-kapital/
[22] Lihat kembali klarifikasi
term ‘produksi’ pada footnote no. 15.
[23] Lebowitz, Op.cit., hlm 50
[24] Ibid., hlm 92
[25] Kembali merujuk pada
pengertian demokrasi dalam pemahaman yang paling dangkal: demokrasi dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat
[26] Mengutip Konstitusi
Republik Bolivarian Venezuela, suatu konstitusi di mana premisnya ialah bahwa
perkembangan diri manusia secara utuh sebagai subyek-subyek yang didasarkan pada
‘partisipasi aktif, sadar, dan bersama dalam proses transformasi sosial yang
mengejawantahkan nilai-nilai identitas nasional. Lihat Ibid., hlm 177
[27] Ibid., hlm 92
[28] Ibid., hlm 201
[29] Mengenai ulasan lengkap
film ini lihat Mohamad Zaki Hussein, “Belajar Demokrasi dari Amerika Latin”,
diakses dari http://www.prp-indonesia.org/2014/belajar-demokrasi-dari-amerika-latin
[30] Lihat Chrysandi Sirait,
Erwin Santoso dan Windu Jusuf dalam ‘’Indonesia Belajar di Kali Bening’’,
diakses dari http://indoprogress.com/2014/05/indonesia-belajar-di-kali-bening-salatiga/
[31] Lebowitz, Op.cit., hlm 119-122.
[32] Ibid., hlm 123.
[33] sebagaimana menjadi pesan
penutup dalam film dokumenter Beyond
Elections: Redefining Democracy in the Americas.
[34] Lihat Ernesto Laclau dan
Chantal Mouffe, “Hegemoni dan Strategi
Sosialis: Postmarxisme dan Gerakan Sosial Baru”, Yogyakarta: Resist Book, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar