Kamis, 07 Agustus 2014

Mendaras Islam Politik dengan Kerangka Materialisme Sejarah




oleh Dicky Dwi Ananta, Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI
Pernah dimuat di Jurnal IndoPROGRESS rubrik Left Book Review. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.

Judul Buku      : Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis
Penulis             : Deepa Kumar
Penerbit           : Resist Book, 2012
Tebal               : 74 + xx

Tepat beberapa bulan kemarin, kita menyaksikan berbagai organisasi masyarakat yang berbasis islam menyatakan dukungannya pada salah satu Calon Presiden. Bahkan seakan-akan dukungan kalangan islam ini menjadi semacam tuah tersendiri bagi Capres. Sebuah upaya menarik dukungan dari kelompok islam, agar dianggap sebagai calon presiden yang islami, sehingga ujung-ujungnya layak dipilih. Dalam negara yang berpenduduk mayoritas muslim, logika demikian sah-sah saja. Suara umat islam patut diperhitungkan. Tapi, berbagai dukungan itu, sekaligus menunjukan bagi kita, siapa calon presiden itu. Idiom, “kamu adalah teman-temanmu”, menjadi berlaku di sini. Kita bisa dapati, seorang calon presiden dikelilingi oleh berbagai kelompok islam yang dikenal tidak mengenal (ampun) pada perbedaan keyakinan bahkan anti terhadap itu, dan lebih mengutamakan kekerasan daripada proses dialog. Kelompok islam yang sering kita dengar aksi kekerasannya daripada aksi dakwahnya. Ok, di titik ini, kita tidak akan membahas capresnya, melainkan pada kelompok-kelompok islam tersebut.             

Kita dapati pasca Suharto jatuh kran demokratisasi kembali dibuka. Salah satu implikasi dari hal tersebut adalah terbukanya semua kelompok untuk mentransformasikan dirinya menjadi organisasi-organisasi formal dan legal, tidak terkecuali kelompok islam. Dengan begitu, pada masa reformasi, euforia demokrasi juga dirasakan oleh kelompok islam. Berbagai kelompok islam mendeklarasikan dirinya secara publik, seperti Front Pembela Islam, Front Umat Islam, Partai Keadilan, Hizbut Tahrir Indonesia, dan sebagainya. Sehingga pasca Suharto lengser, masyarakat di Indonesia akrab dengan berbagai kelompok islam tersebut, tentu di luar kelompok yang telah lama hadir seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.

Dapat dikatakan pasca 1998, fenomena bangkitnya kelompok-kelompok islam politik semakin marak. Dan, ternyata tren itu tidaklah sendirian di Indonesia saja, melainkan menjadi fenomena global. Lantas, apa itu islam politik? Bagaimana genealogi munculnya di dunia ini (tidak hanya di Indonesia)? Di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini, menjadi kesempatan belajar yang sangat bagus bagi kita untuk mempelajari asal usul tren kebangkitan islam politik tersebut. Dalam rangka demikian, maka review atas buku dari Deepa Kumar yang berjudul, ‘Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis’, menjadi sangat relevan. Dalam buku tersebut, Kumar berusaha mendedah kemunculan islam politik di tingkat global dari sudut pandang Marxis. Dengan demikian,  bisa menjadi semacam pintu pembuka bagi kita untuk melihat islam politik di Indonesia. Semoga bermanfaat.
           
Melihat Islam Politik dengan Materialisme Historis

Sebuah tawaran yang diajukan Deepa Kumar dalam bukunya untuk menjelaskan fenomena muncul dan eksisnya islam politik di berbagai belahan dunia saat ini, adalah dengan kerangka Marxis. Apa maksud dari “Sebuah Analisa Marxis” di atas? Tentu, analisa Marxis yang dimaksud adalah penggunaan metode berpikir Marx dalam menganalisa munculnya fenomena tersebut. Bila kita taat dengan cara yang diajukan oleh Marx dalam melihat sejarah manusia, maka “Sebuah Analisa Marxis” tersebut mengacu pada sebuah metode Histomat (Historical Materialism) atau Materialisme Sejarah. Dengan kerangka itu, Deepa Kumar berusaha melihat hal ihwal kemunculan islam politik di panggung dunia saat ini.

Materialisme sejarah singkatnya adalah penggunaan metode dialektika materialisme pada studi tentang evolusi kehidupan manusia.[1] Pada posisi pemikiran ini, sejarah dilihat tidak hanya sebagai sesuatu yang tiba-tiba ada, melainkan merupakan produk dari kegiatan manusia, sehingga bisa dijelaskan asal usulnya dan dapat dilihat faktor penentuya. Basis yang mengkondisikan adanya perubahan di dalam masyarakat tersebut terletak pada perubahan faktor dan hubungan produksi sosial. Sehingga, dengan adanya perubahan di ranah hubugan produksi sosial tersebut, mau tidak mau, membuat bentuk masyarakat berubah. Acuan umum untuk melihat konsepsi tentang materialisme sejarah ini biasanya didasarkan pada penjelasan Marx pada A Contribution to the Critique of Political Economy,

‘Kesimpulan umum yang saya capai dan berfungsi sebagai garis penuntun dalam studi-studi saya, secara singkat dapat disimpulkan sebagai berikut: Dalam produksi sosial yang dilakukan manusia, mereka mengadakan hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi material mereka. Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat-dasar yang nyata (basis), di atas mana timbul struktur-struktur atas (superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan material menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan kenyataannya, melainkan sebaliknya; kenyataan sosialnya-lah yang menentukan kesadarannya.’[2]

Dengan materialisme sejarah ini, perubahan di dalam masyarakat didasarkan pada kondisi obyektif yang melingkupi masyarakat tersebut dengan konteks yang spesifik. Ia tidak lahir dari gagasan ataupun ide, melainkan oleh prasyarat-prasyarat material yang ada. Gagasan merupakan refleksi dari kondisi obyektif tersebut yang kemudian bertrasformasi menjadi pemikiran. Sehingga praktis, akhir dari hal yang mengkondisikan keadaan adalah kondisi obyektif tersebut. Namun, demikian, bukan berarti manusia kemudian menjadi makhluk yang fatalis, justru sejarah itu diciptakan oleh manusia, tapi bukan semata-mata karena pemikiran dan tindakan manusia, melainkan secara dialektis ditentukan oleh prasyarat material yang berdiri independen dari diri manusia.  

Meskipun tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa ia menggunakan metode Histomat, tetapi hal itu bisa dijumpai dari pengantar di bukunya. Kumar menuliskan,

‘Dalam buku kecil ini, saya coba untuk memposisikan diri untuk melihat secara historis fenomena islam politik dan menjelaskan hal ihwal sampai menjadi demikian. Untuk itu, saya akan memulainya dengan membongkar gagasan atau pendapat bahwa kebangkitan organisasi-organisasi islam adalah perkembangan alami islam, dan sebaliknya akan menunjukan pada pemisahan historis secara de facto antara agama dan politik pada mayoritas masyarakat muslim… Sementara kecenderungan menuju islamisme pada tiga dekade terakhir abad ke-21, adalah hasil dari kondisi politik ekonomi tertentu…’ (hlm. 1-2)

Dari kutipan tersebut, setidaknya kita bisa menangkap maksud Kumar bahwa fenomena islam politik saat ini dapat dijelaskan secara ‘historis’, sehingga bisa ditelusuri asal usulnya supaya menjadi terang. Ia tidak ujug-ujug ada dan telah mengada sejak kelahiran islam. Tentu, kemunculannya ini berdiri pada prasyarat-prasyarat material dalam konteks ruang dan waktu yang spesifik. Sehingga, dalam bukunya ini, Ia menyebutkan bahwa kemunculan islam politik saat ini tidak berhubungan secara langsung dengan islam di awal kemunculannya atau masa abad pertengahan, tetapi ia merupakan ‘hasil dari kondisi-kondisi politik ekonomi tertentu’ yang memungkinkannya muncul.

Kerangka materialisme sejarah dalam buku tipis yang ditulis oleh Kumar ini, disebutkan oleh Coen Husain Pontoh, terdiri dari tiga poin penting, yaitu pertama, Kumar menunjukan bahwa tesis yang menyatukan agama dan politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah adalah tidak benar; kedua, islam politik merupakan akibat dari situasi ekonomi politik kontemporer; dan ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan islam politik.[3] Dari ketiga poin tersebut, inti dari buku Kumar dapat dibaca secara materialis.

Posisi pemikiran ini bukan tanpa konsekuensi, melainkan memberikan sebuah pemahaman baru bagi kita bahwa munculnya islam politik bukan masalah tafsir saja, sebagaimana yang diajukan oleh kalangan pemikir islam liberal. Menurut mereka, islam politik adalah keyakinan yang dianut oleh orang-orang yang mempraktekkan islam dengan tafsir secara literal, saklek, dan mengutamakan dalil naqli daripada rasio. Hal itu tidak memadai. Begitu juga, bahwa islam politik bukan hanya berhubungan dengan urusan ‘muslim baik’ dan ‘muslim buruk’. Kumar memberikan pemahaman lain bahwa kemunculan islam politik lebih ditentukan oleh kondisi obyektif yang melingkupi manusia. Kondisi obyektif ini tidak ditentukan oleh hasil pemikiran, melainkan oleh sebuah kenyataan real yang independen dari kesan indrawi dan berdiri di luar diri manusia. Hal itu mempertegas posisi materialis Kumar bahwa perubahan sosial (baca: kemunculan islam politik) bukanlah produk pemikiran yang independen dari basis materialnya, melainkan sebaliknya, bahwa produk pemikiran tersebut adalah hasil dari refleksi dunia material dalam pikiran manusia. Sehingga, basis yang mengkondisikan munculnya islam politik tersebut bukanlah pemikiran, tetapi kondisi obyektif di luar diri manusia, tepatnya kondisi ekonomi politik. Karena situasi ekonomi-politik tertentu itulah, islam politik bisa dimungkinkan untuk muncul, atau bisa dikatakan ia adalah rangkaian respon dari kalangan islam atas kondisi ekonomi politik yang spesifik. Dengan demikian, Kumar menjangkarkan bahwa perubahan ekonomi-politik tertentu yang mengkondisikan islam politik. Tepat di sini biasanya para pengkaji islam luput.

Kondisi Obyektif Islam Politik

Sebelum jauh melangkah, kita harus jelaskan dulu apa maksud islam politik di sini. Islam politik menurut Kumar, mengacu pada jajaran kelompok yang telah terbentuk berdasarkan sebuah reintepretasi atau penafsiran kembali islam untuk melayani tujuan-tujuan politik secara khusus’ (hlm. 3). Dengan tendensi yang hampir mirip, Vedi R. Hadiz dalam artikelnya yang berjudul, ‘Indonesia Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of Cold War’, mendefinisikan islam politik sebagai, respon atas isu ketidaksetaraan kuasa dan kekayaan di dunia modern yang disampaikan melalui idealita, terminologi, imajinasi, dan simbol agama islam.’[4] Dengan begitu, islam politik meyakini bahwa ‘tidak dipisahkannya agama dan politik’, dan dengan semangat bahwa islam sebagai alternatif dari kondisi ekonomi politik yang berjalan di dunia saat ini. Dalam beberapa slogan bahkan dinyatakan, ‘islam adalah satu-satunya solusi’. Lebih lanjut, Samir Amin menunjukan beberapa ciri khusus, bahwa islam politik dapat didentikan dengan cara pikir yang berusaha kembali dalam tatanan islam asli/awal dalam konteks dunia modern, adanya ketundukan (ketaatan/taqlid) yang kaku, dan berseberangan dengan teologi pembebasan.[5]

Isu mengenai islam politik ini mulai mencuat sejak peristiwa 9/11 di AS. Dalam nalar umum di Barat tercipta sebuah pemahaman bahwa islam politik menjadi hal yang alami di Islam atau sudah dari sananya Islam begitu. Yang tercipta dalam bayangan mereka adalah Islam selalu identik dengan kekerasan dan aksi terror, yang itu merupakan versi radikal dari islam politik. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan studi dari para sarjana orientalis yang melihat Islam sebagai musuh peradaban dari Barat yang anti demokrasi dan anti Barat. Dengan pemahaman seperti itu, tentu, sebuah distorsi terjadi. Bagi sebagian orang Islam, terutama yang bukan bagian dari islam politik, akan tidak setuju bila dikaitkan dengan sembarangan tersebut. Karena realitas di dalam islam sendiri sangat kompleks. Kumar berusaha melihat hal tersebut. Tesis pertama yang ingin dia buktikan berkaitan dengan relasi antara Islam, politik dan islam politik. Kira-kira pertanyaan yang dia ajukan adalah, ‘apakah islam politik merupakan perkembangan alami dari Islam?’

Kumar membantah bahwa islam politik sebagai bagian dari perkembangan Islam secara alami, atau dalam bahasa saya, ‘Islam’ selalu identik dengan ‘islam politik’ sepanjang sejarah. Menurutnya, islam politik lebih tepat dipahami sebagai bentuk dari fenomena kontemporer sebagaimana kebangkitan fundamental Kristen, Yahudi atau Hindu belakangan ini, daripada dipahami sebagai Islam dari sananya. Tentu, ciri penting dari adanya islam politik ini adalah tidak dipisahkannya kekuasaan politik dan agama. Karena berdasarkan ciri tersebut hal sebaliknya justru terjadi. Kumar melihat bahwa secara historis dalam mayoritas masyarakat Islam telah terjadi pemisahan antara agama dan politik sejak kepergian Rasulullah. Meskipun ini bisa menimbulkan perdebatan diantara para sarjana Islam. Tapi, Kumar melihat bahwa kombinasi antara agama dan kekuasaan politik di dalam Islam terjadi dengan masa yang sangat singkat, yaitu hanya di masa Rasulullah saja, tetapi setelah itu secara de facto terjadi pemisahan kekuasaan politik dan agama. Menurutnya,

‘Islam yang dibayangkan Muhammad adalah ajaran yang mengombinasikan spiritualitas dengan politik, ekonomi, dan adat istiadat sosial. Ia memainkan dengan baik sebagai pemimpin politik dan relijius, dan kekuasaannya dalam dua hal tersebut tak terbantahkan. Namun tidak demikian dengan para penggantinya… […] Dalam satu abad setelah meninggalnya Muhammad, tentara Muslim terus bergerak mengalahkan kekaisaran tetangga dan membangun kekaisaran yang kuat. Dalam konteks ini, pemisahan secara de facto antara kekuasaan politik dan relijius mulai mengambil bentuknya. Saat para keturuanan Nabi atau Khalifah memegang jabatan relijius, monarki atau kesultanan memegang kekuasaan politik.’ (hlm. 7-8)

Pemisahan tersebut bersifat de facto karena secara legal dan formal memang tidak terjadi. Tetapi pembagian kerja itu secara nyata terjadi. Menurut Kumar, terjadi pembagian kerja antara mereka yang menulis dan mereka yang menghunus pedang. Kelas yang menulis berposisi di bawah kekuasaan politik penguasa, ditugasi melaksanakan administrasi dan kebijakan. Sedangkan kelas kedua menjadi pemegang kekuasaan politik. Karena itu, pemisahan kekuasaan politik dan agama akhirnya terjadi. Bahkan, setidaknya, dalam dua abad terakhir hingga beberapa dekade di akhir abad ke-20, dalam masyarakat muslim justru menunjukan tren adanya sekularisasi. Hal itu berhubungan dengan adanya modernisasi di kekaisaran islam, seperti yang terjadi di Turki di bawah kepemimpinan Attaturk. Di sisi lain, gerakan Pan-Islamisme (Islam revivalis) mengalami kegagalan. Hal tersebut berhubungan dengan kekecewaan massa yang sedang berada dalam situasi revolusioner kemerdekaaan terhadap tawaran Pan Islamisme. Di samping itu, juga desakan yang kuat dari kelompok kiri dan nasionalis yang membuat tren negara-negara lebih mengacu pada aliansi nasionalis. Sehigga dalam kondisi pasca kolonial, massa secara luas lebih tertarik pada gerakan nasionalis radikal. Bentuk sekularisasi itu berlanjut di bawah kepemimpinan nasionalisme radikal pasca Perang Dunia kedua. Praktis itu membuat panorama islam pasca Rasulullah hingga masa tersebut berada dalam landscape pemisahan kekuasaan politik dan agama.

Hal itu berbalik pada tiga dekade abad ke 21, dimana muncul gerakan islam yang berusaha menuju islamisme. Gerakan islam yang disebut sebagai islam politik ini mengusung agenda penyatuan kembali agama dan politik sebagai sebuah satu sistem yang utuh. Dihadapkan dengan fakta yang diajukan Kumar di atas, dimana pemisahan kekuasaan politik dan agama telah terjadi dengan tradisi yang sangat panjang, maka menjadi lebih tepat bila melihat islam politik ini sebagai sebuah fenomena kontemporer daripada perkembangan islam secara alami. Bahwa kemunculan islam politik ini perlu disandarkan pada kondisi obyektif dengan konteks yang spesifik. Dalam pemeriksaannya ini, Kumar menemukan beberapa kondisi obyektif tersebut yang memungkinkan islam politik tumbuh dan berkembang hingga saat ini. 

Menurut Kumar, islam politik hadir dari bertemunya beberapa kondisi obyektif ini, yaitu kekuatan imperialisme Amerika Serikat dalam usahanya menghadang nasionalisme dan kiri melalui strategi aliansi dengan kelompok islam, kegagalan rejim nasionalisme sekuler dan kiri Stalinis yang membuat kekosongan politik, dan krisis ekonomi akibat ekspansi kapitalisme-neoliberal dan tawaran solusi ‘islami’. Ketiga hal tersebut secara umum menjadi faktor yang mengkondisikan pembentukan islam politik di beberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun dalam setiap negara memiliki faktor spesifiknya masing-masing, namun secara garis besar ketiga hal tersebut cukup menggambarkan demikian.

Selama perang dingin, AS berupaya membatasi meluasnya kekuatan komunisme di dunia dan berusaha membentengi kekuatan nasionalisme sekuler agar tidak tertarik ke blok Timur. Untuk membendung dua kekuatan tersebut, AS menjalankan strategi koalisi dengan kekuatan islam sebagai bentengnya. Dalam buku ini, Kumar banyak memberikan contoh seperti AS dengan Ikhwanul Muslimin untuk membendung Abdul Gamal Nasser di Mesir, AS dengan kelompok islamis Osama Bin Laden di Afganistan untuk membendung Uni Soviet, dan kelompok islam di Iran. Hal demikian juga terjadi di Indonesia. untuk membendung kekuatan komunis, kelompok Islam dilibatkan dalam pembantaian jutaan anggota PKI pada tahun 1965.[6] Itu dilakukan di satu sisi demi kepentingan AS, namun di sisi lain menjadi benih kekuatan islam politik di kemudian hari.

Di sisi lain, pemerintahan nasionalisme sekuler semakin hari mengalami kebangkrutan dalam menghadapi krisis ekonomi. Kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik dan kekecewaan semakin meningkat. Terlebih pemerintah nasionalisme sekuler ini kebanyakan bersifat otoritarian. Dengan begitu, gerakan islam politik semakin terkonsolidasi untuk bergerak di bawah tanah. Hal itu, membuatnya mereka menjadi kekuatan islam politik yang kuat pasca rejim jatuh. Hal yang hampir mirip terjadi dalam kelompok kiri Stalinis yang gagal memanfaatkan peluang karena mengambil posisi politik yang berseberangan dengan massa secara luas, seperti di Mesir dan Syiria. Di lain tempat, seperti Indonesia, kekuatan kiri telah dihancurkan terlebih dahulu dengan bantuan kelompok Islam. Vedi R Hadiz menunjukan bahwa kemunculan islam politik pada beberapa negara, selalu dicirikan dengan hancurnya kelompok kiri dan progresif terlebih dahulu. Indonesia menjadi contoh yang paling pas untuk itu. [7]  

Situasi demikian, kemudian bertemu dengan diskursus ekonomi-politik yang hagemonik di tataran dunia mengenai neoliberalisme. Sebuah program politik untuk restorasi kapitalisme yang baru saja krisis, kemudian membuat ‘krisis’ baru di beberapa negara berkembang karena program penyesuaian strukturalnya. Sejumlah pemotongan subsidi dan biaya sosial membuat ketimpangan semakin melebar dan kemiskinan semakin meluas. Hal tersebut membuat sejumlah program sumbangan islamis menjadi semacam kedok bagi masyarakat kelas bawah. Hal tersebut bersamaan dengan program-program keuangan syariah yang dijanjikan lebih mudah daripada sistem konvensional. Adanya tawaran “solusi” islami ini membuat kelas menengah banyak yang tertarik. Kumar menunjukan bahwa basis kelas dari islam politik ini adalah kelas menengah, atau borjuis kecil.

Ketiga hal di atas yang dimaksudkan dengan faktor obyektif yang membuat islam politik dapat muncul. Adanya ketiga kondisi obyektif tersebut, menciptakan situasi ekonomi-politik yang dirasa tidak menguntungkan bagi kalangan Islam. Sehingga mereka kemudian berusaha untuk mendasarkan diri pada sebuah konsepsi bahwa ‘Islam adalah solusi dari permasalahan sehari-hari mereka’. Karena problem keseharian mereka itu berhubungan dengan persoalan ekonomi-politik, tidak hanya masalah agama, maka membawa pemahaman bahwa Islamtidak memisahkan antara agama dan politik dalam partisi yang berbeda. Dengan demikian, islam politik hadir, baik dalam bentuk pemikiran ataupun praktek politik, merupakan respon dari kalangan islam yang berhadapan dengan ketiga kondisi obyektif di atas.

Melihat munculnya fenomena islam politik itu, Kumar menawarkan sebuah pembacaan untuk kaum Marxian. Menurutnya, kaum Marxian harus melawan sebab-sebab kemunculannya, yaitu imperialisme AS dan ekspansi kapitalisme-neoliberal. Karena kedua hal tersebut, membuat kemiskinan dan ketimpangan muncul, dan menjadikan kaum muslim sebagai salah satu korbannya. Di sisi lain, kaum Kiri juga harus menentang kebangkitan islam politik yang wataknya anti-kiri, anti-demokrasi, dan anti-HAM. Namun demikian, di samping itu kaum Kiri juga harus bersolidaritas atasnya sebagai korban imperialisme dan neoliberalisme. Tren di Timur Tengah (dan belahan dunia lain) yang memaksa orang biasa melawan sistem ini harus dapat digunakan kaum Kiri untuk membangun kembali basisnya. Dengan begitu, kepemimpinan kaum Kiri dapat ditumbuhkan kembali untuk menjadi kekuatan pembebas yang sejati, di atas sentimen agama, ras, etnik dan identitas lainnya.

Penutup

Pembacaan Kumar ini meskipun tidak begitu mendalam dan spesifik, tetapi setidaknya memberikan sebuah cara baca baru dalam melihat fenomena islam politik di dunia saat ini. Menurut saya, menjadi penting dari buku Kumar ini terletak pada kerangka pikirnya yang menggunakan metode materialisme sejarah. Karena dengan itu, sebuah pembacaan yang obyektif bisa dilakukan dengan memeriksa asal usulnya dan bertumpu pada faktor material secara dialektis. Dengan pembacaan tersebut, salah satu pelajaran yang bisa kita ambil bahwa islam politik hadir sebagai konsekuensi atas kondisi obyektif yang melingkupi masyarakat. Artinya, ia adalah produk sejarah manusia. Dengan demikian, karena ia sebagai produk sejarah, maka islam politik harus kita tempatkan sebagai hal yang tidak mustahil untuk bisa berubah. Islam politik bukanlah takdir, tetapi sebagai respon islam terhadap tren ekonomi-politik tertentu.  Cara baca seperti ini berguna bagi kita untuk dapat melihat fenomena serupa, misal kemunculan kelompok islam yang gemar merusak warung makan pada bulan puasa di tanah air, atau semakin banyak kalangan islam yang radikal dan melakukan sejumlah aksi terorisme di tanah air. Itu yang perlu kita lakukan untuk pemeriksaan berikutnya. Semoga ini memberikan pencerahan pikir di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini. Sekian.


Daftar Pustaka

Hadiz, Vedi R. “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold
War”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affair, 30, 1, 2011. p. 3-38.
___________. “Menuju Suatu Pemahaman Sosiologis terhadap Radikalisme Islam di Indonesia”
dalam Jurnal IndoProgress, Edisi I, September 2011. hlm. 1-27  
Kumar, Deepa. Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis. Yogyakarta: Resist Book. 2012.
Marx, Karl. A Contribution to the Critique of Political Economy. Chicago: International Library
Publishing Co. 1904.
Amin, Samir. “Political Islam”, Diunduh dari  http://www.chebayadkard.com/chebayadkard/sokhan/20110206/englisharticle-96.pdf diakses pada 11 Juli 2014.










[1] Coen Husain Pontoh, dalam pengantar pada Deepa Kumar, “Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis”, (Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. vi
[2] Karl Marx, Preface: A Contribution to Critique of Political Economy, (Chicago: International Library Publishing Co., 1904), hlm. 11-12
[3]  Coen Husain Pontoh, ibid. hlm. xiii
[4] Vedi R Hadiz, “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affair, 30, 1, 2011. p. 4
[5] Samir Amin, “Political Islam”, diunduh dari http://www.chebayadkard.com/chebayadkard/sokhan/20110206/englisharticle-96.pdf diakses pada 11 Juli 2014.
[6] Vedi R Hadiz, “Menuju Sebuah Pemahaman Sosiologis terhadap Radikalisme islam di Indonesia”, Jurnal IndoProgress, edisi 1, September 2011. hlm. 6-7
[7] Vedi R Hadiz, “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War”, op.cit. p. 10 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar