oleh Dicky Dwi Ananta, Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI
Pernah dimuat di Jurnal IndoPROGRESS rubrik Left Book Review. Dimuat ulang untuk tujuan pendidikan.
Judul Buku : Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis
Penulis : Deepa Kumar
Penerbit : Resist Book, 2012
Tebal : 74 + xx
Tepat beberapa bulan kemarin,
kita menyaksikan berbagai organisasi masyarakat yang berbasis islam menyatakan
dukungannya pada salah satu Calon Presiden. Bahkan seakan-akan dukungan
kalangan islam ini menjadi semacam tuah tersendiri bagi Capres. Sebuah upaya
menarik dukungan dari kelompok islam, agar dianggap sebagai calon presiden yang
islami, sehingga ujung-ujungnya layak dipilih. Dalam negara yang berpenduduk
mayoritas muslim, logika demikian sah-sah saja. Suara umat islam patut
diperhitungkan. Tapi, berbagai dukungan itu, sekaligus menunjukan bagi kita,
siapa calon presiden itu. Idiom, “kamu adalah teman-temanmu”, menjadi berlaku
di sini. Kita bisa dapati, seorang calon presiden dikelilingi oleh berbagai
kelompok islam yang dikenal tidak mengenal (ampun) pada perbedaan keyakinan
bahkan anti terhadap itu, dan lebih mengutamakan kekerasan daripada proses
dialog. Kelompok islam yang sering kita dengar aksi kekerasannya daripada aksi
dakwahnya. Ok, di titik ini, kita tidak akan membahas capresnya, melainkan pada
kelompok-kelompok islam tersebut.
Kita dapati pasca Suharto jatuh kran
demokratisasi kembali dibuka. Salah satu implikasi dari hal tersebut adalah
terbukanya semua kelompok untuk mentransformasikan dirinya menjadi
organisasi-organisasi formal dan legal, tidak terkecuali kelompok islam. Dengan
begitu, pada masa reformasi, euforia demokrasi juga dirasakan oleh kelompok
islam. Berbagai kelompok islam mendeklarasikan dirinya secara publik, seperti
Front Pembela Islam, Front Umat Islam, Partai Keadilan, Hizbut Tahrir Indonesia,
dan sebagainya. Sehingga pasca Suharto lengser, masyarakat di Indonesia akrab
dengan berbagai kelompok islam tersebut, tentu di luar kelompok yang telah lama
hadir seperti Nahdatul Ulama dan Muhammadiyah.
Dapat dikatakan pasca 1998,
fenomena bangkitnya kelompok-kelompok islam politik semakin marak. Dan,
ternyata tren itu tidaklah sendirian di Indonesia saja, melainkan menjadi
fenomena global. Lantas, apa itu islam politik? Bagaimana genealogi munculnya
di dunia ini (tidak hanya di Indonesia)? Di bulan Ramadhan yang penuh berkah
ini, menjadi kesempatan belajar yang sangat bagus bagi kita untuk mempelajari
asal usul tren kebangkitan islam politik tersebut. Dalam rangka demikian, maka review atas buku dari Deepa Kumar yang
berjudul, ‘Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis’, menjadi sangat relevan. Dalam
buku tersebut, Kumar berusaha mendedah kemunculan islam politik di tingkat
global dari sudut pandang Marxis. Dengan demikian, bisa menjadi semacam pintu pembuka bagi kita
untuk melihat islam politik di Indonesia. Semoga bermanfaat.
Melihat
Islam Politik dengan Materialisme Historis
Sebuah tawaran yang diajukan
Deepa Kumar dalam bukunya untuk menjelaskan fenomena muncul dan eksisnya islam
politik di berbagai belahan dunia saat ini, adalah dengan kerangka Marxis. Apa
maksud dari “Sebuah Analisa Marxis” di atas? Tentu, analisa Marxis yang
dimaksud adalah penggunaan metode berpikir Marx dalam menganalisa munculnya
fenomena tersebut. Bila kita taat dengan cara yang diajukan oleh Marx dalam
melihat sejarah manusia, maka “Sebuah Analisa Marxis” tersebut mengacu pada
sebuah metode Histomat (Historical
Materialism) atau Materialisme Sejarah. Dengan kerangka itu, Deepa Kumar
berusaha melihat hal ihwal kemunculan islam politik di panggung dunia saat ini.
Materialisme sejarah singkatnya
adalah penggunaan metode dialektika materialisme pada studi tentang evolusi
kehidupan manusia.[1]
Pada posisi pemikiran ini, sejarah dilihat tidak hanya sebagai sesuatu yang
tiba-tiba ada, melainkan merupakan produk dari kegiatan manusia, sehingga bisa
dijelaskan asal usulnya dan dapat dilihat faktor penentuya. Basis yang
mengkondisikan adanya perubahan di dalam masyarakat tersebut terletak pada
perubahan faktor dan hubungan produksi sosial. Sehingga, dengan adanya
perubahan di ranah hubugan produksi sosial tersebut, mau tidak mau, membuat
bentuk masyarakat berubah. Acuan umum untuk melihat konsepsi tentang
materialisme sejarah ini biasanya didasarkan pada penjelasan Marx pada A Contribution to the Critique of Political
Economy,
‘Kesimpulan umum yang saya capai dan berfungsi sebagai garis
penuntun dalam studi-studi saya, secara singkat dapat disimpulkan sebagai
berikut: Dalam produksi sosial yang dilakukan manusia, mereka mengadakan
hubungan-hubungan tertentu yang merupakan keharusan dan yang tidak tergantung
dari kehendak mereka; hubungan-hubungan produksi ini sesuai dengan tahap
perkembangan tertentu dari kekuatan-kekuatan produksi material mereka.
Keseluruhan hubungan-hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi
masyarakat-dasar yang nyata (basis), di atas mana timbul struktur-struktur atas
(superstructures) hukum dan politik dan dengan mana cocok pula
bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Cara produksi kehidupan material
menentukan sifat umum dari proses-proses sosial, politik, dan spiritual dari
kehidupan. Bukan kesadaran manusia yang menentukan kenyataannya, melainkan
sebaliknya; kenyataan sosialnya-lah yang menentukan kesadarannya.’[2]
Dengan materialisme sejarah ini,
perubahan di dalam masyarakat didasarkan pada kondisi obyektif yang melingkupi
masyarakat tersebut dengan konteks yang spesifik. Ia tidak lahir dari gagasan
ataupun ide, melainkan oleh prasyarat-prasyarat material yang ada. Gagasan
merupakan refleksi dari kondisi obyektif tersebut yang kemudian bertrasformasi
menjadi pemikiran. Sehingga praktis, akhir dari hal yang mengkondisikan keadaan
adalah kondisi obyektif tersebut. Namun, demikian, bukan berarti manusia
kemudian menjadi makhluk yang fatalis, justru sejarah itu diciptakan oleh
manusia, tapi bukan semata-mata karena pemikiran dan tindakan manusia,
melainkan secara dialektis ditentukan oleh prasyarat material yang berdiri
independen dari diri manusia.
Meskipun tidak secara eksplisit
menyebutkan bahwa ia menggunakan metode Histomat, tetapi hal itu bisa dijumpai
dari pengantar di bukunya. Kumar menuliskan,
‘Dalam buku kecil ini,
saya coba untuk memposisikan diri untuk melihat secara historis fenomena islam
politik dan menjelaskan hal ihwal sampai menjadi demikian. Untuk itu, saya akan
memulainya dengan membongkar gagasan atau pendapat bahwa kebangkitan
organisasi-organisasi islam adalah perkembangan alami islam, dan sebaliknya
akan menunjukan pada pemisahan historis secara de facto antara agama dan politik pada mayoritas masyarakat muslim…
Sementara kecenderungan menuju islamisme pada tiga dekade terakhir abad ke-21,
adalah hasil dari kondisi politik ekonomi tertentu…’ (hlm. 1-2)
Dari kutipan tersebut, setidaknya
kita bisa menangkap maksud Kumar bahwa fenomena islam politik saat ini dapat
dijelaskan secara ‘historis’, sehingga bisa ditelusuri asal usulnya supaya menjadi
terang. Ia tidak ujug-ujug ada dan
telah mengada sejak kelahiran islam. Tentu, kemunculannya ini berdiri pada
prasyarat-prasyarat material dalam konteks ruang dan waktu yang spesifik.
Sehingga, dalam bukunya ini, Ia menyebutkan bahwa kemunculan islam politik saat
ini tidak berhubungan secara langsung dengan islam di awal kemunculannya atau
masa abad pertengahan, tetapi ia merupakan ‘hasil dari kondisi-kondisi politik
ekonomi tertentu’ yang memungkinkannya muncul.
Kerangka materialisme sejarah
dalam buku tipis yang ditulis oleh Kumar ini, disebutkan oleh Coen Husain
Pontoh, terdiri dari tiga poin penting, yaitu pertama, Kumar menunjukan bahwa tesis yang menyatukan agama dan
politik dalam Islam sebagai sesuatu yang alamiah adalah tidak benar; kedua, islam politik merupakan akibat
dari situasi ekonomi politik kontemporer; dan ketiga, kelas menengah sebagai basis utama dari kalangan islam
politik.[3]
Dari ketiga poin tersebut, inti dari buku Kumar dapat dibaca secara materialis.
Posisi pemikiran ini bukan tanpa
konsekuensi, melainkan memberikan sebuah pemahaman baru bagi kita bahwa
munculnya islam politik bukan masalah tafsir saja, sebagaimana yang diajukan
oleh kalangan pemikir islam liberal. Menurut mereka, islam politik adalah keyakinan
yang dianut oleh orang-orang yang mempraktekkan islam dengan tafsir secara
literal, saklek, dan mengutamakan
dalil naqli daripada rasio. Hal itu tidak memadai. Begitu juga, bahwa islam
politik bukan hanya berhubungan dengan urusan ‘muslim baik’ dan ‘muslim buruk’.
Kumar memberikan pemahaman lain bahwa kemunculan islam politik lebih ditentukan
oleh kondisi obyektif yang melingkupi manusia. Kondisi obyektif ini tidak
ditentukan oleh hasil pemikiran, melainkan oleh sebuah kenyataan real yang independen dari kesan indrawi dan
berdiri di luar diri manusia. Hal itu mempertegas posisi materialis Kumar bahwa
perubahan sosial (baca: kemunculan islam politik) bukanlah produk pemikiran
yang independen dari basis materialnya, melainkan sebaliknya, bahwa produk
pemikiran tersebut adalah hasil dari refleksi dunia material dalam pikiran
manusia. Sehingga, basis yang mengkondisikan munculnya islam politik tersebut
bukanlah pemikiran, tetapi kondisi obyektif di luar diri manusia, tepatnya
kondisi ekonomi politik. Karena situasi ekonomi-politik tertentu itulah, islam
politik bisa dimungkinkan untuk muncul, atau bisa dikatakan ia adalah rangkaian
respon dari kalangan islam atas kondisi ekonomi politik yang spesifik. Dengan
demikian, Kumar menjangkarkan bahwa perubahan ekonomi-politik tertentu yang
mengkondisikan islam politik. Tepat di sini biasanya para pengkaji islam luput.
Kondisi
Obyektif Islam Politik
Sebelum jauh melangkah, kita
harus jelaskan dulu apa maksud islam politik di sini. Islam politik menurut
Kumar, ‘mengacu pada jajaran kelompok
yang telah terbentuk berdasarkan sebuah reintepretasi atau penafsiran kembali
islam untuk melayani tujuan-tujuan politik secara khusus’ (hlm. 3). Dengan
tendensi yang hampir mirip, Vedi R. Hadiz dalam artikelnya yang berjudul, ‘Indonesia Political Islam: Capitalist
Development and the Legacies of Cold War’, mendefinisikan islam politik
sebagai, ‘respon atas isu
ketidaksetaraan kuasa dan kekayaan di dunia modern yang disampaikan melalui
idealita, terminologi, imajinasi, dan simbol agama islam.’[4]
Dengan begitu, islam politik meyakini bahwa ‘tidak dipisahkannya agama dan
politik’, dan dengan semangat bahwa islam sebagai alternatif dari kondisi ekonomi
politik yang berjalan di dunia saat ini. Dalam beberapa slogan bahkan dinyatakan,
‘islam adalah satu-satunya solusi’. Lebih lanjut, Samir Amin menunjukan
beberapa ciri khusus, bahwa islam politik dapat didentikan dengan cara pikir
yang berusaha kembali dalam tatanan islam asli/awal dalam konteks dunia modern,
adanya ketundukan (ketaatan/taqlid) yang kaku, dan berseberangan dengan teologi
pembebasan.[5]
Isu mengenai islam politik ini
mulai mencuat sejak peristiwa 9/11 di AS. Dalam nalar umum di Barat tercipta sebuah
pemahaman bahwa islam politik menjadi hal yang alami di Islam atau sudah dari sananya Islam begitu. Yang
tercipta dalam bayangan mereka adalah Islam selalu identik dengan kekerasan dan
aksi terror, yang itu merupakan versi radikal dari islam politik. Pemahaman ini
juga dikuatkan dengan studi dari para sarjana orientalis yang melihat Islam
sebagai musuh peradaban dari Barat yang anti demokrasi dan anti Barat. Dengan
pemahaman seperti itu, tentu, sebuah distorsi terjadi. Bagi sebagian orang Islam,
terutama yang bukan bagian dari islam politik, akan tidak setuju bila dikaitkan
dengan sembarangan tersebut. Karena realitas di dalam islam sendiri sangat
kompleks. Kumar berusaha melihat hal tersebut. Tesis pertama yang ingin dia
buktikan berkaitan dengan relasi antara Islam, politik dan islam politik.
Kira-kira pertanyaan yang dia ajukan adalah, ‘apakah islam politik merupakan
perkembangan alami dari Islam?’
Kumar membantah bahwa islam
politik sebagai bagian dari perkembangan Islam secara alami, atau dalam bahasa
saya, ‘Islam’ selalu identik dengan ‘islam politik’ sepanjang sejarah. Menurutnya,
islam politik lebih tepat dipahami sebagai bentuk dari fenomena kontemporer
sebagaimana kebangkitan fundamental Kristen, Yahudi atau Hindu belakangan ini,
daripada dipahami sebagai Islam dari sananya. Tentu, ciri penting dari adanya
islam politik ini adalah tidak dipisahkannya kekuasaan politik dan agama. Karena
berdasarkan ciri tersebut hal sebaliknya justru terjadi. Kumar melihat bahwa
secara historis dalam mayoritas masyarakat Islam telah terjadi pemisahan antara
agama dan politik sejak kepergian Rasulullah. Meskipun ini bisa menimbulkan perdebatan
diantara para sarjana Islam. Tapi, Kumar melihat bahwa kombinasi antara agama
dan kekuasaan politik di dalam Islam terjadi dengan masa yang sangat singkat,
yaitu hanya di masa Rasulullah saja, tetapi setelah itu secara de facto terjadi pemisahan kekuasaan
politik dan agama. Menurutnya,
‘Islam yang
dibayangkan Muhammad adalah ajaran yang mengombinasikan spiritualitas dengan
politik, ekonomi, dan adat istiadat sosial. Ia memainkan dengan baik sebagai
pemimpin politik dan relijius, dan kekuasaannya dalam dua hal tersebut tak
terbantahkan. Namun tidak demikian dengan para penggantinya… […] Dalam satu
abad setelah meninggalnya Muhammad, tentara Muslim terus bergerak mengalahkan
kekaisaran tetangga dan membangun kekaisaran yang kuat. Dalam konteks ini,
pemisahan secara de facto antara
kekuasaan politik dan relijius mulai mengambil bentuknya. Saat para keturuanan Nabi atau Khalifah memegang jabatan
relijius, monarki atau kesultanan memegang kekuasaan politik.’ (hlm. 7-8)
Pemisahan tersebut bersifat de facto karena secara legal dan formal
memang tidak terjadi. Tetapi pembagian kerja itu secara nyata terjadi. Menurut
Kumar, terjadi pembagian kerja antara mereka yang menulis dan mereka yang
menghunus pedang. Kelas yang menulis berposisi di bawah kekuasaan politik
penguasa, ditugasi melaksanakan administrasi dan kebijakan. Sedangkan kelas
kedua menjadi pemegang kekuasaan politik. Karena itu, pemisahan kekuasaan
politik dan agama akhirnya terjadi. Bahkan, setidaknya, dalam dua abad terakhir
hingga beberapa dekade di akhir abad ke-20, dalam masyarakat muslim justru
menunjukan tren adanya sekularisasi. Hal itu berhubungan dengan adanya
modernisasi di kekaisaran islam, seperti yang terjadi di Turki di bawah kepemimpinan
Attaturk. Di sisi lain, gerakan Pan-Islamisme (Islam revivalis) mengalami
kegagalan. Hal tersebut berhubungan dengan kekecewaan massa yang sedang berada
dalam situasi revolusioner kemerdekaaan terhadap tawaran Pan Islamisme. Di
samping itu, juga desakan yang kuat dari kelompok kiri dan nasionalis yang
membuat tren negara-negara lebih mengacu pada aliansi nasionalis. Sehigga dalam
kondisi pasca kolonial, massa secara luas lebih tertarik pada gerakan
nasionalis radikal. Bentuk sekularisasi itu berlanjut di bawah kepemimpinan
nasionalisme radikal pasca Perang Dunia kedua. Praktis itu membuat panorama islam
pasca Rasulullah hingga masa tersebut berada dalam landscape pemisahan kekuasaan politik dan agama.
Hal itu berbalik pada tiga dekade abad ke 21, dimana muncul gerakan islam yang berusaha menuju islamisme. Gerakan islam yang disebut sebagai islam politik ini mengusung agenda penyatuan kembali agama dan politik sebagai sebuah satu sistem yang utuh. Dihadapkan dengan fakta yang diajukan Kumar di atas, dimana pemisahan kekuasaan politik dan agama telah terjadi dengan tradisi yang sangat panjang, maka menjadi lebih tepat bila melihat islam politik ini sebagai sebuah fenomena kontemporer daripada perkembangan islam secara alami. Bahwa kemunculan islam politik ini perlu disandarkan pada kondisi obyektif dengan konteks yang spesifik. Dalam pemeriksaannya ini, Kumar menemukan beberapa kondisi obyektif tersebut yang memungkinkan islam politik tumbuh dan berkembang hingga saat ini.
Menurut Kumar, islam politik hadir
dari bertemunya beberapa kondisi obyektif ini, yaitu kekuatan imperialisme
Amerika Serikat dalam usahanya menghadang nasionalisme dan kiri melalui
strategi aliansi dengan kelompok islam, kegagalan rejim nasionalisme sekuler
dan kiri Stalinis yang membuat kekosongan politik, dan krisis ekonomi akibat
ekspansi kapitalisme-neoliberal dan tawaran solusi ‘islami’. Ketiga hal
tersebut secara umum menjadi faktor yang mengkondisikan pembentukan islam
politik di beberapa negara, termasuk Indonesia. Meskipun dalam setiap negara
memiliki faktor spesifiknya masing-masing, namun secara garis besar ketiga hal
tersebut cukup menggambarkan demikian.
Selama perang dingin, AS berupaya
membatasi meluasnya kekuatan komunisme di dunia dan berusaha membentengi
kekuatan nasionalisme sekuler agar tidak tertarik ke blok Timur. Untuk
membendung dua kekuatan tersebut, AS menjalankan strategi koalisi dengan
kekuatan islam sebagai bentengnya. Dalam buku ini, Kumar banyak memberikan
contoh seperti AS dengan Ikhwanul Muslimin untuk membendung Abdul Gamal Nasser
di Mesir, AS dengan kelompok islamis Osama Bin Laden di Afganistan untuk
membendung Uni Soviet, dan kelompok islam di Iran. Hal demikian juga terjadi di
Indonesia. untuk membendung kekuatan komunis, kelompok Islam dilibatkan dalam
pembantaian jutaan anggota PKI pada tahun 1965.[6]
Itu dilakukan di satu sisi demi kepentingan AS, namun di sisi lain menjadi
benih kekuatan islam politik di kemudian hari.
Di sisi lain, pemerintahan
nasionalisme sekuler semakin hari mengalami kebangkrutan dalam menghadapi
krisis ekonomi. Kesejahteraan masyarakat tidak kunjung membaik dan kekecewaan
semakin meningkat. Terlebih pemerintah nasionalisme sekuler ini kebanyakan
bersifat otoritarian. Dengan begitu, gerakan islam politik semakin terkonsolidasi
untuk bergerak di bawah tanah. Hal itu, membuatnya mereka menjadi kekuatan
islam politik yang kuat pasca rejim jatuh. Hal yang hampir mirip terjadi dalam
kelompok kiri Stalinis yang gagal memanfaatkan peluang karena mengambil posisi
politik yang berseberangan dengan massa secara luas, seperti di Mesir dan
Syiria. Di lain tempat, seperti Indonesia, kekuatan kiri telah dihancurkan terlebih
dahulu dengan bantuan kelompok Islam. Vedi R Hadiz menunjukan bahwa kemunculan
islam politik pada beberapa negara, selalu dicirikan dengan hancurnya kelompok
kiri dan progresif terlebih dahulu. Indonesia menjadi contoh yang paling pas
untuk itu. [7]
Situasi demikian, kemudian
bertemu dengan diskursus ekonomi-politik yang hagemonik di tataran dunia
mengenai neoliberalisme. Sebuah program politik untuk restorasi kapitalisme
yang baru saja krisis, kemudian membuat ‘krisis’ baru di beberapa negara
berkembang karena program penyesuaian strukturalnya. Sejumlah pemotongan
subsidi dan biaya sosial membuat ketimpangan semakin melebar dan kemiskinan
semakin meluas. Hal tersebut membuat sejumlah program sumbangan islamis menjadi semacam kedok bagi
masyarakat kelas bawah. Hal tersebut bersamaan dengan program-program keuangan
syariah yang dijanjikan lebih mudah daripada sistem konvensional. Adanya
tawaran “solusi” islami ini membuat kelas menengah banyak yang tertarik. Kumar
menunjukan bahwa basis kelas dari islam politik ini adalah kelas menengah, atau
borjuis kecil.
Ketiga hal di atas yang
dimaksudkan dengan faktor obyektif yang membuat islam politik dapat muncul.
Adanya ketiga kondisi obyektif tersebut, menciptakan situasi ekonomi-politik
yang dirasa tidak menguntungkan bagi kalangan Islam. Sehingga mereka kemudian
berusaha untuk mendasarkan diri pada sebuah konsepsi bahwa ‘Islam adalah solusi
dari permasalahan sehari-hari mereka’. Karena problem keseharian mereka itu
berhubungan dengan persoalan ekonomi-politik, tidak hanya masalah agama, maka
membawa pemahaman bahwa Islamtidak memisahkan antara agama dan politik dalam
partisi yang berbeda. Dengan demikian, islam politik hadir, baik dalam bentuk
pemikiran ataupun praktek politik, merupakan respon dari kalangan islam yang
berhadapan dengan ketiga kondisi obyektif di atas.
Melihat munculnya fenomena islam
politik itu, Kumar menawarkan sebuah pembacaan untuk kaum Marxian. Menurutnya,
kaum Marxian harus melawan sebab-sebab kemunculannya, yaitu imperialisme AS dan
ekspansi kapitalisme-neoliberal. Karena kedua hal tersebut, membuat kemiskinan
dan ketimpangan muncul, dan menjadikan kaum muslim sebagai salah satu
korbannya. Di sisi lain, kaum Kiri juga harus menentang kebangkitan islam
politik yang wataknya anti-kiri, anti-demokrasi, dan anti-HAM. Namun demikian,
di samping itu kaum Kiri juga harus bersolidaritas atasnya sebagai korban
imperialisme dan neoliberalisme. Tren di Timur Tengah (dan belahan dunia lain)
yang memaksa orang biasa melawan sistem ini harus dapat digunakan kaum Kiri
untuk membangun kembali basisnya. Dengan begitu, kepemimpinan kaum Kiri dapat
ditumbuhkan kembali untuk menjadi kekuatan pembebas yang sejati, di atas
sentimen agama, ras, etnik dan identitas lainnya.
Penutup
Pembacaan Kumar ini meskipun
tidak begitu mendalam dan spesifik, tetapi setidaknya memberikan sebuah cara
baca baru dalam melihat fenomena islam politik di dunia saat ini. Menurut saya,
menjadi penting dari buku Kumar ini terletak pada kerangka pikirnya yang
menggunakan metode materialisme sejarah. Karena dengan itu, sebuah pembacaan
yang obyektif bisa dilakukan dengan memeriksa asal usulnya dan bertumpu pada
faktor material secara dialektis. Dengan pembacaan tersebut, salah satu
pelajaran yang bisa kita ambil bahwa islam politik hadir sebagai konsekuensi
atas kondisi obyektif yang melingkupi masyarakat. Artinya, ia adalah produk
sejarah manusia. Dengan demikian, karena ia sebagai produk sejarah, maka islam
politik harus kita tempatkan sebagai hal yang tidak mustahil untuk bisa
berubah. Islam politik bukanlah takdir, tetapi sebagai respon islam terhadap
tren ekonomi-politik tertentu. Cara baca
seperti ini berguna bagi kita untuk dapat melihat fenomena serupa, misal
kemunculan kelompok islam yang gemar merusak warung makan pada bulan puasa di
tanah air, atau semakin banyak kalangan islam yang radikal dan melakukan
sejumlah aksi terorisme di tanah air. Itu yang perlu kita lakukan untuk
pemeriksaan berikutnya. Semoga ini memberikan pencerahan pikir di bulan Ramadhan
yang penuh berkah ini. Sekian.
Daftar
Pustaka
Hadiz, Vedi R. “Indonesian
Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold
War”, dalam Journal of Current Southeast Asian Affair, 30,
1, 2011. p. 3-38.
___________. “Menuju Suatu
Pemahaman Sosiologis terhadap Radikalisme Islam di Indonesia”
dalam Jurnal IndoProgress, Edisi I, September
2011. hlm. 1-27
Kumar, Deepa. Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis. Yogyakarta:
Resist Book. 2012.
Marx, Karl. A Contribution to the Critique of Political Economy. Chicago:
International Library
Publishing Co. 1904.
Amin, Samir. “Political Islam”, Diunduh
dari http://www.chebayadkard.com/chebayadkard/sokhan/20110206/englisharticle-96.pdf
diakses pada 11 Juli 2014.
[1] Coen Husain Pontoh,
dalam pengantar pada Deepa Kumar, “Islam Politik: Sebuah Analisa Marxis”,
(Yogyakarta: Resist Book, 2012), hlm. vi
[2] Karl Marx, Preface: A Contribution to Critique of
Political Economy, (Chicago: International Library Publishing Co., 1904),
hlm. 11-12
[3] Coen Husain Pontoh, ibid. hlm. xiii
[4] Vedi
R Hadiz, “Indonesian Political Islam: Capitalist Development and the Legacies
of the Cold War”, dalam Journal of
Current Southeast Asian Affair, 30, 1, 2011. p. 4
[5] Samir Amin,
“Political Islam”, diunduh dari http://www.chebayadkard.com/chebayadkard/sokhan/20110206/englisharticle-96.pdf
diakses pada 11 Juli 2014.
[6] Vedi R Hadiz, “Menuju
Sebuah Pemahaman Sosiologis terhadap Radikalisme islam di Indonesia”, Jurnal IndoProgress, edisi 1, September
2011. hlm. 6-7
[7] Vedi R Hadiz, “Indonesian
Political Islam: Capitalist Development and the Legacies of the Cold War”, op.cit. p. 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar