Kamis, 02 Oktober 2014

Pernyataan Sikap SEMAR UI: Kembalikan Pemilukada Langsung Oleh Rakyat, Wujudkan Demokrasi Yang Sejati!

PERNYATAAN SIKAP SERIKAT MAHASISWA PROGRESIF
UNIVERSITAS INDONESIA
No: 01/PS/X/2014
Kembalikan Pemilukada Langsung Oleh Rakyat, Wujudkan Demokrasi Yang Sejati!

Banyak yang Hilang dengan Berlakunya UU Pilkada

Tanggal 26 September akan dicatat dalam sejarah Indonesia dengan tinta merah. Demokrasi yang susah payah diperjuangkan hingga akhirnya Orde Baru tumbang, kini mundur lagi oleh nafsu politik sekelompok Oligarki bernama Koalisi Merah-Putih (KMP) di DPR RI. Hasrat mereka untuk mempertahankan kekuasaan telah mengebiri hak politik rakyat untuk memilih kepala daerahnya sendiri secara langsung. Dengan disahkannya UU Pilkada oleh Rapat Paripurna DPR kemarin, kini 250 juta jiwa rakyat Indonesia harus merelakan kepala-kepala daerah mereka dipilih oleh DPRD kembali seperti 10 tahun yang lalu. Ini adalah sebuah kemunduran, karena pada dasarnya Pemilukada secara langsung adalah koreksi dari pemilihan melalui DPRD yang telah dipraktekkan sebelumnya.

Jika dibiarkan konsekuensi produk hukum ini benar-benar terlaksana, rakyat Indonesia akan kehilangan banyak hal, seperti: (1) Hilangnya kesempatan bagi orang jujur, bersih, berintegritas, tanpa catatan pelanggaran HAM, dan bukan produk Oligarki, untuk berkontestasi menjadi pemimpin lokal; (2) Hilangnya kesempatan bagi gerakan rakyat yang progresif dari sektor buruh, tani, dll. untuk bereksperimen merebut kekuasaan di tingkat lokal; (3) Hilangnya kesempatan rakyat untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan politik, spesifiknya dalam alokasi dan distribusi sumber daya sebagai elemen dasar demokrasi; (4) Hilangnya keterikatan langsung kepala daerah dengan warga yang memilihnya secara langsung, yang belakangan ini berkontribusi memungkinkan pengawasan ketat oleh rakyat, sehingga kebijakan populis sebagai dampaknya dapat terwujud di berbagai daerah; (5) Hilangnya tren kepala daerah yang demi kepentingan publik berani melawan kepentingan Oligarki karena didukung secara riil oleh warga yang memilihnya secara langsung; (6) Hilanglah tren kewargaan aktif atau kerelawanan yang belakangan ini meningkatkan kesadaran politik rakyat dan menjadi rute pendalaman praktik berdemokrasi; (7) Hilangnya tren reformasi birokrasi daerah yang belakangan ini berperan memberantas PNS-PNS nakal dan meningkatkan pelayanan public; dan (8) Hilangnya celah untuk memperdalam demokrasi prosedural seperti re-call, referendum, hak veto rakyat, dan penganggaran partisipatoris.

Hakikat UU Pilkada adalah Kebangkitan Oligarki Neo Orba

Sangat nyata bahwa UU Pilkada adalah pukulan balik dari Oligarki demi menjaga kepentingan bisnis-politiknya dan tidak menginginkan demokrasi di Indonesia terus menumbuh. Oligarki yang dimaksud di sini adalah para elit yang terdiri dari para konglomerat, para politisi, dan para jendral yang kepentingan bisnis dan politiknya saling berkelindan, sehingga politik yang dijalankan hanya digunakan untuk perlindungan diri dan kekayaannya. Untuk itu, politik digunakan secara spesifik sebagai upaya pelayanan diri mereka sendiri. Mereka semua adalah anak didik rezim Orde Baru. Kerajaan bisnisnya telah dirintis sejak era Orde Baru, dan bisa menggurita tidak terlepas dari KKN yang menjamur sejak era tersebut. Pasca Orde Baru yang sentralistis runtuh dan situasi politik bertransormasi menjadi desentralisasi, Oligarki tidak serta merta hilang, melainkan mereka dengan licin menyesuaikan diri dengan menguasai kembali konsesi-konsesi bisnis di daerah-daerah bersama raja-raja kecil.

Setelah 15 tahun demokratisasi berjalan, rupanya mereka telah berhasil mengkonsolidasikan diri mereka kembali untuk mengkonkretkan tatanan politik Orba yang sejak dulu melayani mereka. Melalui KMP, mereka membuktikan bahwa segala kekhawatiran aktivis pro-demokrasi semasa kampanye Pilpres bukanlah isapan jempol belaka. Setelah menggolkan UU MD3 dan UU Pilkada, mereka mulai mewacanakan Pilpres Tidak Langsung, pembubaran MK, dan pelemahan KPK. Semua ini adalah produk Reformasi yang sedikit banyak menyulitkan permainan politik mereka. Bagi mereka, semakin baik jika politik semakin terpisahkan dari kehidupan sehari-hari tiap warga negara dan terlokalisasi hanya menjadi urusan segelintir elit pejabat, dan bukan urusan rakyat banyak. Dengan begitu akan semakin memudahkan mereka untuk mengontrol politik sedemikian rupa, menggerogoti APBN, memperkaya kelompok sendiri, dan menindas rakyat banyak.

UU Pilkada Bukan Sebatas Persoalan Hukum; Ini Soal Politik!

Berdasar ulasan singkat di atas, alangkah terang benderangnya bahwa persoalan UU Pilkada ini bukanlah sebatas masalah hukum, melainkan masalah politik. Ia tidak lebih dari sebuah perebutan kekuasaan. Lebih jelasnya, antara Oligarki melawan rakyat banyak. Bahkan, bukan persoalan antara dua capres atau antara dua kumpulan parpol. Ini adalah persoalan apakah Oligarki akan menang dan demokrasi Indonesia akan mundur, atau rakyat banyak yang menang dan demokrasi Indonesia semakin maju menumbuh dan mendalam.

Persoalan ini terlepas dari apakah UU Pilkada bertentangan atau tidak dengan budaya Indonesia, Sila Ke-4, Demokrasi Pancasila, atau tafsir MK atas Konstitusi, bahkan terlepas juga dari apakah secara prosedural pengesahan UU Pilkada yang tidak mencapai kuorum DPR itu, sah secara hukum. Uji Materi ke MK jangan menjadi langkah final, begitu juga tak perlu terlalu mempersoalkan masalah prosedural pengambilan keputusan yang sudah terjadi. Apakah, andai saja dan harusnya tidak, MK menolak Uji Materi, lantas kita harus berhenti berjuang merebut kembali demokrasi dari segelintir Oligarki? Apakah, andai saja secara prosedural pengambilan keputusan memang bermasalah, Oligarki tidak bisa dengan mudahnya mengulang proses tersebut dan lalu meraih hasil yang sama dengan yang sekarang?

Perjuangan merebut kembali hak memilih langsung kepala daerah jangan dikanalisasi hanya pada persoalan di atas saja, karena ia bukan virus penyebab penyakitnya, melainkan hanya salah satu gejala. Virus yang sejati yang harus ditumpas adalah Oligarki yang ingin mempertahankan diri dari hantaman demokratisasi di Indonesia.

Karena itu, kami Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia dengan ini menyatakan sikap sekaligus menyerukan untuk:
1. Tolak UU Pilkada sebagai bentuk dari akal-akalan Oligarki!
2. Kembalikan hak rakyat untuk memilih langsung kepala daerahnya!
3. Perjuangkan pendalaman demokrasi prosedural menjadi demokrasi substansial yang berkeadilan sosial!
4. Menyerukan kepada mahasiswa, buruh, tani, dan sektor gerakan rakyat lainnya, untuk terlibat dan bersatu dalam merebut kembali dan memperjuangkan hak dan kepentingan politik kita semua!

Depok, 3 Oktober 2014

Serikat Mahasiswa Progresif Universitas Indonesia
Serikatmahasiswaprogresif.blogspot.com
0857 9049 9259

@SemarUI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar