Oleh Eleanor Marx-Aveling
Catatan Redaksi:
Tulisan ini dimuat dalam rangka ulang tahun
Karl Marx (5 Mei 1813-14 Maret 1883). Sosok pemikir yang memiliki pengaruh
besar dalam dunia akademik dan gerakan sosial-politik di seluruh dunia. Karena
pemikirannya, banyak orang memuja dia bak Nabi, tapi juga dihujat seakan-akan setan
yang bergentayangan. Saat ini, meskipun pemikirannya berusaha dibunuh dan dikubur
berkali-kali dalam berbagai rezim politik, pengaruhnya tak lekang oleh zaman. Marxisme
tetap hidup dan kokoh menantang zaman yang didominasi kapital. Dalam ulang
tahunnya sekarang, redaksi menerbitkan tulisan yang tidak biasa, karena tulisan
yang dihadirkan ini untuk melihat sosok laki-laki tersebut dari dekat, terutama
dari sudut pandang anaknya, Eleanor Marx. Selamat membaca.
Teman-teman saya di Austria minta dikirimi beberapa kenang-kenangan
menyangkut ayah saya. Dan mereka tidak dapat meminta sesuatu lainnya yang lebih
sulit dari saya. Laki-laki dan perempuan Austria akan berusaha sekuat tenaga
untuk mendapatkan sesuatu yang berkenaan dengan kehidupan dan karya Karl Marx,
sehingga saya tidak bisa berkata "tidak" pada mereka. Dan saya akan
berusaha untuk mengirimi mereka beberapa catatan yang tercecer dan
terpotong-potong tentang ayah saya.
Banyak cerita aneh yang tersebar berkenaan dengan Karl Marx, mulai dari
kekayaannya yang berjuta-juta (tentu dalam pundsterling) sampai dengan cerita
tentang subsidi yang diberikan oleh Bismarck, dengan mengunjungi Berlin secara
rutin selama The International masih hidup (!). Tetapi secara keseluruhan, bagi
orang-orang yang mengenal Karl Marx, tidak ada legenda yang lebih lucu daripada
cerita yang banyak dikenal yang menggambarkan dia sebagai seorang yang muram,
tidak menyenangkan, keras hati dan tidak mudah didekati, seperti Jupiter
Tonans, halilintar yang bergemuruh, yang tidak pernah tersenyum, duduk
menyendiri di Olympus. Orang-orang yang mengetahui Karl Marx justru mengagumi
bahwa dia adalah jiwa yang riang dan gembira, orang yang penuh humor, yang tawa
hatinya selalu menggelitik dan memancing tawa orang lain, seorang teman yang
ramah, ksatria dan simpatik.
Manakala melihat kehidupan kesehariannya, seperti juga ketika berhubungan
dengan teman-temannya dan bahkan dengan kenalan-kenalannya, saya kira orang
akan berkomentar bahwa sifat utama Karl Marx terletak pada rasa humornya yang
tinggi dan simpatinya yang tiada batas. Keramahan dan kesabarannya benar-benar
mulia. Orang yang kurang baik seringkali dibuat takut oleh gangguan dan
tuntutan yang selalu datang dari berbagai tipe orang, dan Marx tidaklah
demikian. Seorang pengungsi Komune, orang tua yang sangat membosankan, yang
bersama Marx selama tiga jam, ketika akhirnya diberitahu oleh Marx bahwa
dirinya tidak punya waktu lagi karena masih banyak pekerjaan yang harus
diselesaikan, menjawab, "Mon cher
Marx, je vous excuse", adalah sifat hormat dam keramahan Marx.
Seperti bagi orang tua tersebut, bagi siapa saja, laki-laki maupun
perempuan, yang dipercaya Marx (dan dia memberikan waktunya yang berharga untuk
memperhatikan tidak sedikit orang yang justru benar-benar menyalahgunakan
kebaikan hatinya), Marx selalu menjadi orang yang sangat bersahabat dan ramah.
Kemampuannya untuk menarik perhatian orang dan membuatnya merasa bahwa dia (Marx)
tertarik dengan apa yang menjadi ketertarikan orang-orang, sangatlah
mengagumkan. Saya telah mendengar orang-orang yang memiliki beragam jabatan dan
kedudukan membicarakan kemampuan khusus Marx dalam memahami mereka beserta
masalahnya. Ketika dia memikirkan sesuatu secara sungguh-sungguh, kesabarannya
luar biasa. Tidak ada pertanyaan yang dianggap remeh untuk dijawabnya, tidak
ada argumentasi yang kekanak-kanakan ketika berdiskusi secara serius. Waktu dan
ketekunan belajarnya selalu ditujukan untuk melayani laki-laki maupun perempuan
yang ingin belajar.
* * *
Ketika bercengkrama dengan anak-anak, mungkin Marx-lah orang yang paling
luwes. Anak-anaknya memang tidak pernah mempunyai seorang teman bermain yang
lebih menyenangkan dibandingkan dengan dia. Kenangan pertama mengenai ayah saya
adalah ketika saya berusia sekitar tiga tahun, dan "Mohr" (julukan di
rumah untuk Marx) memanggul saya di pundaknya mengelilingi kebun kecil kami di
Grafton Terrace, dan menyuntingkan bunga di rambut keriting saya yang coklat.
Mohr adalah "seekor kuda" yang sangat menyenangkan. Pada awalnya,
saya tidak ingat dengan kenangan-kenangan tersebut, namun saudara-saudara saya
menceritakannya (dua kakak perempuan dan dan seorang adik kecil saya, yang
kematiannya membuat kedua orang tua saya lama bersedih), anak-anak akan
menjadikan Mohr sebagai kuda yan kami naiki, dan dia harus "menarik
bebannya". Secara pribadi, mungkin karena saya tidak memiliki saudara
perempuan yang hampir seusia, saya menyukai Mohr ketika menjadi kuda-kudaan.
Dengan duduk di pundaknya, memegangi rambutnya yang lebat, hitam dan beberapa
yang sudah menguban, saya puas "mengendarainya" berkeliling kebun kecil
kami dan mengitari lapangan, kini di atasnya telah didirikan bangunan-yang
melingkari rumah kami di Grafton Terrace.
Satu kata untuk menjulukinya yaitu "Mohr". Di rumah kami, semua
memiliki nama panggilan. (Para pembaca Capital akan mengetahui bagaimana Marx
memberikan nama-nama panggilan itu). "Mohr" nama setengah resmi Marx,
bukan hanya kami yang memanggilnya demikian, tetapi semua teman dekat Marx. Dia
juga dipanggil "Challey" (awalnya "Charley") dan "Nick
Tua". Ibu saya selalu dipanggil dengan sebutan "Mohme". Sahabat
tua kami Helene Demuth, sahabat seumur hidup kedua orang tua kami, setelah
berganti-ganti nama panggilan, akhirnya kami memanggilnya "Nym".
Engels setelah tahun 1870, menjadi "Jenderal" kami. Seorang teman
yang sangat dekat, Lina Sholer, kami panggil "Mole Tua". Saudara saya
Jenny juga dipanggil "Qiu Qui, Kaisar Cina" dan "Di".
Saudara saya lainnya, Laura (Madame Lafargue), dipanggil "the
Hottentot" dan "Kakadou". Saya dipanggil "Tussy", sebuah
nama yang masih terus dipakai, dan Quo Quo, “Penerus Kaisar Cina", dan
juga lama dipanggil dengan sebutan "Getwerg Alberich" (dari
Niebelengun Lied).
Mohr menjadi seekor kuda yang sempurna karena mempunyai kualifikasi
tersendiri. Dia adalah seorang tukang cerita yang unik dan tak tertandingi.
Saya mendengar bibi-bibi saya berkata bahwa ketika masih anak-anak, Marx adalah
seorang tiran yang bengis bagi saudara-saudara perempuannya; dia akan
menunggangi Markusberg sebagai kudanya dengan sepenuh kecepatan di Trier, dan
parahnya Marx akan memberinya kue yang diadoni dengan tangannya yang kotor.
Tetapi "kuda-kuda" itu akan berpacu dan makan kue tanpa protes,
karena dianggapnya sebagai imbalan yang diberikan Karl. Bertahun-tahun kemudian
Marx suka mengarang cerita-cerita untuk anak-anaknya. Ayah menceritakannya
kepada saudara-saudara saya, saya masih terlalu kecil waktu itu, ketika
mengadakan perjalanan, dan cerita-cerita ini mengalir bermil-mil sepanjang
perjalananan tanpa dibagi menjadi bab-bab. "Ceritakan
lagi yang lainnya!", selalu menjadi rengekan dua orang gadis. Satu
cerita yang paling menarik dan menyenangkan di antara banyak cerita yang
dikisahkan Mohr adalah "Hans Rockle". Cerita ini dikisahkan selama
berbulan-bulan secara berseri. Sangat menakjubkan orang yang telah merangkai
cerita iniyang dipenuhi dengan puisi, kecedikan dan humor! Hans Rockle sendiri
adalah seorang pesulap mirip Hoffmann, yang menjadi penjaga sebuah toko mainan,
dan keberadaannya selalu susah dicari. Tokonya penuh dengan mainan yang sangat
menarik, seperti orang-orangan, laki-laki dan perempuan, dari kayu, raksasa dan
orang kerdil, raja dan ratu, pekerja dan majikan, binatang dan burung sebanyak
binatang-binatang Nabi Nuh yang naik ke kapalnya, berbagai jenis dan ukuran
meja dan kursi, kereta, serta kotak. Meskipun dia seorang pesulap, Hans tidak
tidak pernah memenuhi keinginan setan atau penyembelih hewan, dan oleh
karenanya harus menjual mainan-mainannya kepada setan, perbuatan ini sangat
dibenci orang. Cerita ini berkembang secara mengasyikkan dan selalu berakhir di
toko Hans Rockle. Beberapa bagiannya mengerikan dan menyeramkan; beberapa
lainnya menggembirakan; semua diceritakan dengan semangat yang tak pernah
kering, cerdas dan jenaka.
Mohr juga akan membacakan buku kepada anak-anaknya. Untuk saya, juga untuk
kakak-kakak saya sebelumnya, dia membacakan seluruh buku Homer, Nielbelungen
Lied, Gudrun, Don Quixote, Arabian Nights, dan sebagainya. Karya-karya
Shakespeare menjadi Bibel di keluarga kami, jarang terlepas dari tangan dan
mulut kami. Sebelum saya berusia enam tahun saya hafal drama-drama Shakespeare
di luar kepala.
Pada hari ulang tahun ke enam saya, Mohr menghadiahkan sebuah novel
pertama, Peter Simple. Kemudian saya
juga diberi novel karya Marryat dan Cooper. Dan ayah membaca setiap novel yang
saya baca, kemudian mendiskusikannya dengan saya. Ketika saya, karena
terinspirasi oleh kisah laut Marryat, bercita-cita menjadi seorang
"Post-Captain" (apapun itu) dan meminta saran ayah apakah saya boleh
berdandan seperti anak laki-laki dan menjadi seorang tentara perang, ayah
mengijinkannya, apapun yang menurut ayah baik untuk dilakukan. Kami, saya dan
ayah, tidak akan menceritakan rencana ini sampai semua persiapnnya matang.
Sebelum rencana ini dimatangkan, namun demikian, Scott mania telah muncul, dan
saya mendengar cerita horornya seolah-olah saya sendiri menjadi anggota suku
Campbell yagn menjijikkan. Alur ceritanya dimulai di Highlands, dan saya
bertahan di sana selama 45 tahun. Perlu saya katakan bahwa Scott adalah seorang
pengarang yang bukunya seringkali dibaca dan dibaca lagi oleh ayah, yang
dikagumi dan diketahuinya secara baik sebagaimana Balzac dan Fielding. Ketika
berbicara tentang buku-buku mereka dan buku-buku lainnya lainnya, ayah, meski
tanpa saya sadari, akan menunjukkan mana buku-buku terbaik, mengajarkan tanpa
merasa diajari sampai saya merasa bosan berpikir dan memahaminya.
Dengan cara yang sama, orang yang "pahit" dan "sakit
hati" ini akan berbicara tentang politik dan agama pada saya. Saya ingat
betul ketika saya mungkin berusia lima atau enam tahun merasakan kecemasan
religius tertentu dan (kami sudah pernah datang ke Gereja Katolik Roma untuk
mendengarkan musik yang indah); saya menceritakan semua ini kepada Mohr dan dia
menjelaskannya secara gamblang dan langsung, sehingga sejak itu kecemasan ini
tidak menganggu pikiran saya lagi. Saya juga teringat ketika dia mengisahkan
sebuah cerita, yang sebelum dan sesudahnya tidak pernah dikisahkan, tentang
seorang tukang kayu yang dibunuh oleh orang-orang kaya. Berkali-kali ayah
mengatakan, "Di atas semua itu kami benar-benar dapat memaklumi agama
Kristen, karena agama ini mengajarkan kepada kita untuk menghargai anak".
Marx sendiri pernah berkata "Berikan anak-anak pada saya," karena
kemanapun dia pergi anak-anak itu akan mengikutinya. Ketika dia duduk pada
sebuah kursi di salah satu kebun di Heath at Hampstead, sebuah tempat yang luas
dan terbuka di sebelah utara kota London, dekat rumah tua kami, sekelompok anak
akan segera mengelilingi dan memanggilnya dengan sebutan yang sangat ramah dan
akrab "orang besar dengan rambut dan jambang yang panjang, serta mata
coklat yang bagus". Anak-anak entah siapa, akan mendatanginya ketika Marx
sedang jalan-jalan, dan memintanya berhenti. Suatu ketika, saya ingat, seorang
anak sekolah kecil yang berumur sekitar sepuluh tahun tanpa sungkan menghadang
pemimpin The International yang "menakutkan" ini di Maitland Park dan
memintanya bertukar pisau. Setelah anak itu sedikit menjelaskan apa maksudnya
menukar pisau, terjadilah peristiwa ini. Pisau anak itu hanya bermata satu,
sedangkan pisau Marx bermata dua, tetapi keduanya tumpul. Setelah tawar-menawar
secara panjang lebar, bertukarlah pisau kedua orang ini, dan karena pisau
pemimpin The International itu tumpul maka dia menambahkan satu sen dollar
kepada anak kecil tadi.
Saya juga ingat, kesabaran dan kebaikannya yang luar biasa ketika perang
Amerika dan Blue Books telah mengusir Marryat dan Scott, dia menjawab setiap
pertanyaan dan tidak pernah mengeluhkan gangguan yang menimpanya. Dia tidak
merasa terganggu karena seorang anak kecil mengajaknya mengobrol ketika dia
sedang menyelesaikan buku besarnya. Anak itu tidak pernah diberi kesempatan
untuk berpikir bahwa dirinya sedang berbicara dengan orang yang sibuk. Saya
juga ingat pada suatu ketika saat itu saya sangat yakin bahwa Abraham Lincoln
betul-betul membutuhkan nasehat saya berkenaan dengan perangnya, dan saya
menulis beberapa surat panjang kepadanya, kemudian Mohr membaca dan
mengeposkannya. Bertahun-tahun kemudian dia menunjukkan kepada saya surat-surat
itu yang ternyata tidak dikirimkannya, namun malah disimpan karena surat-surat
itu menggelikannya.
Sepanjang masa kanak-kanak kami, Mohr adalah seorang teman yang sangat
ideal. Di rumah, kami semua adalah teman, dan dia selalu menjadi seorang yang
sangat humoris. Bahkan ketika bertahun-tahun dia menderita radang bisul sampai
akhir hayatnya, humor-humor Mohr tidak pernah lekang.
* * *
Saya telah menuliskan sedikit kenangan yang terpotong-potong ini, tetapi
tidak akan lengkap jika saya tidak menambahkan sepatah kata tentang ibu saya.
Tidaklah berlebihan mengatakan bahwa Karl Marx tidak akan pernah menjadi
seperti yang banyak dikagumi orang jika tidak ada peran Jenny von Westphalen.
Kehidupan dua orang hebat ini tidaklah satu, tetapi saling melengkapi.
Kecantikan ibu saya menyenangkan ayah yang memujinya sampai akhir hayat dan
menimbulkan kekaguman bagi orang-orang seperti Heine, Herwegh dan Lassalle;
kecantikan dan kecerdasannya sama-sama brilian. Jenny von Westphalen adalah
seorang dengan sejuta pesona. Ketika Jenny dan Karl masih kecil, mereka bermain
bersama; mereka bertunangan ketika Karl berusia tujuh belas dan Jenny dua puluh
satu tahun, dan sebagaimana Jacob dan Rachel, mereka menunggu tujuh tahun
sebelum akhirnya melangsungkan pernikahan. Kemudian sepanjang kebersamaannya,
mereka berdua ditemani oleh Helena Demuth yagn setia dan terpercaya mengarungi
dunia yang sarat dengan badai dan tekanan, pengusiran, kemiskinan yang getir,
fitnah, perjuangan yang keras dan dahsyat; mereka tidak pernah mengelak maupun
tenggelam walaupun didera tugas berat dan bahaya. Kehidupan mereka benar-benar
seprti kata Browning: “Oleh karena dia selamanya
adalah pasangan saya. Kesempatan tidak pernah mengubah cinta saya. Waktu pun
tidak bisa memisahkan kami.”
Dan kadang-kadang saya berpikir bahwa ikatan di antara mereka yang sama
kuatnya dengan komitmen mereka pada kaum pekerja adalah rasa humor mereka yang
tinggi. Tidak pernah ada orang yang menikmati humor seperti mereka berdua. Lagi
dan lagi, khususnya ketika mereka sedang sama-sama rileks dan tenang, saya
melihat mereka tertawa sampai air matanya berlelehan ke pipi, dan bahkan
orang-orang yang bersedih ketika bersamanya tidak ada pilihan lain kecuali
tertawa. Saya seringkali melihat mereka tidak berani saling menatap karena satu
lirikan saja bisa menebar tawa yang panjang. Kalau saya amati mereka seperti
dua anak sekolah yang selalu tertawa, sehingga menjadi kenangan indah saya yang
tidak bisa ditukar dengan lainnya dan mungkin sifat itu menurun pada saya. Ya,
saya berkhayal di sela-sela penderitaan, perjuangan dan kekecewaan, mereka
adalah pasangan yang bahagia laiknya Jupiter Tonans. Jika mereka sedang
dihinggapi kekecewaan, jika mereka diliputi rasa tidak enak, mereka tetap
memiliki dua sahabat sejati, yaitu Engels dan Helene Demuth. Di mana nama Marx
dikenal, di situ juga dikenal nama Frederich Engels. Selain itu, orang-orang
yang mengetahui Marx di rumahnya juga akan teringat dengan nama seorang
perempuan yang mulia, Helene Demuth.
Bagi para mahasiswa yang mempelajari watak manusia, akan terlihat aneh pada
orang ini, yang seperti pejuang, karena sangat ramah sekaligus ksatria. Mereka
akan memahami bahwa dia bisa sangat membenci sesuatu hanya karena dia sangat
mencintainya; bahwa jika penanya yang tajam dapat memenjarakan sebuah jiwa
sebagaimana Dante sendiri, karena dia sangat ramah dan tidak lekas marah; bahwa
humornya yang sarkartis dapat melukai seperti asam yang korosif, dan sekaligus
humor sedemikian dapat menjadi balsem bagi mereka yang sedang dilanda kesusahan
dan penderitaan.
Ibu saya meninggal pada bulan Desember 1881. Lima belas bulan kemudian ayah
saya yang tidak pernah bisa terpisah dengannya juga bersatu dengan ibu dalam
kematian. Setelah diserang demam dan kegelisahan, ayah tidur untuk selamanya.
Jika ibu adalah seorang perempuan ideal, maka ayah juga, "Dia seorang manusia, manfaat keseluruhan dirinya untuk semua,
kita tidak akan melihat manusia seperti dia lagi".
Tulisan ini diambil dari,
Eleanor Marx, “Karl Marx: Berbagai Catatan Ringan”, diunduh dari https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-eleanor/001.htm
Tidak ada komentar:
Posting Komentar