Senin, 20 April 2015

Negara Terperangkap?: Jebakan Business Confidence dan Kekuatan Struktural Kapital

Oleh Mitrardi Sangkoyo dan Dicky D. Ananta
Mahasiswa Ilmu Politik UI dan Anggota SEMAR UI

Pendahuluan
Kamis, 16 April 2015, lagi-lagi untuk ke sekian kalinya gugatan rakyat dikalahkan oleh kepentingan bisnis. Hampir setahun ini masyarakat Rembang menggugat secara hukum pendirian pabrik semen yang telah “merampas” tanah pertanian mereka. Namun di akhir putusan, keadilan yang diharapkan ternyata tak kunjung datang, justru putusan hakim memperkuat dan mempertegas adanya pendirian pabrik semen, yang tidak hanya merugikan secara sosial, tetapi juga secara ekologis.

Hampir setahun lalu, pada bulan Juli 2014, masyarakat tiga desa di Karawang harus terusir dari tanah kelahirannya. Tanah-tanah di desa mereka, melalui putusan pengadilan dimenangkan sebagai milik PT. Agung Podomoro Land. Melalui putusan pengadilan pula, perintah eksekusi lahan harus dilaksanakan pada bulan tersebut, akibatnya warga yang berusaha mempertahankan tanah kelahirannya harus bentrok dengan aparat kepolisian yang berjumlah tidak kurang dari 7000 aparat.

Hampir dua tahun lalu, bulan Mei 2013, ribuan kios pedagang kecil di stasiun-stasiun Jabodetabek digusur atas nama “penataan stasiun”. Upaya dialog dengan PT. KAI yang diajukan oleh berbagai pihak diacuhkan dan program penggusuran tetap berjalan sepanjang periode Nopember 2012-Mei 2013. Selama periode itu, penggusuran secara operasional dijalankan oleh PT. KAI, Brimob dan Marinir. Pasca digusur, ribuan pegiat usaha di stasiun-stasiun mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Tapi, sekali lagi melalui putusan pengadilan, upaya tersebut ditolak dan PT. KAI dimenangkan olehnya. Pasca kios-kios tersebut digusur, saat ini bisa kita saksikan berdiri berbagai waralaba dan retail di bekas kios-kios itu dulu berdiri.

Kasus yang mirip dan sejenis dengan di atas sangat banyak terjadi dan tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Bila dihitung tentu mencapai bilangan ratusan hingga ribuan. Namun, dari tiga kasus di atas, setidaknya kita bisa menarik pola yang sama, bahwa pertama, berbagai pengusiran, penggusuran, dan penyingkiran masyarakat dirangkum dalam usaha negara melaksanakan program pembangunan yang dinamakan MP3EI atau sejenisnya, kedua, secara nyata negara berpihak kepada investor dibanding pada masyarakat yang mendiami wilayah tersebut, ketiga, keberpihakan negara itu manifes dalam penggunaan instrumen kekerasan negara, berupa aparat kepolisian atau tentara, dan didukung oleh instrumen hukum untuk menggusur, mengusir dan menyingkirkan rakyatnya sendiri.

Dengan demikian, sudah jelas bahwa negara pada dasanya hadir secara penuh dalam kasus-kasus di atas. Anehnya, meski pemerintahan berganti tetapi karakter negara itu tidak berubah. Dengan demikian, memeriksa karakter negara menjadi mendesak saat ini. Namun, sekarang pertanyaannya jelas, negara hadir dan ada itu untuk siapa? Mengapa negara lebih berpihak pada investor daripada rakyatnya sendiri? Apa yang melatarbelakangi keberpihakan negara tersebut?

Jebakan Business Confidence dan Kekuatan Struktural Kapital
Upaya mencari tahu atas jawaban di atas, kita perlu menengok pada tulisan-tulisan Fred Block. Dalam tulisannya yang berjudul The Ruling Class Does Not Rule: Notes on the Marxist Theory of the State,  Fred L. Block, seorang sosiolog berkebangsaan Amerika, mengembangkan konsep business confidence, yang merupakan faktor kunci dalam analisisnya terhadap relasi struktural antara pengurus negara (state managers), para kapitalis, dan pekerja, yang menyebabkan negara cenderung melayani kepentingan kelas kapitalis.

Pemikiran Block mengenai teori struktural negara berawal dari penolakan terhadap cara pandang instrumentalis yang melihat negara sebagai alat bagi kelas-penguasa yang memiliki kesadaran kelas (dan dengan demikian bertindak selalu untuk memperjuangkan kepentingan kapital). Cara pandang tersebut dianggap lemah karena dua alasan: pertama, ia melupakan peran ideologis negara untuk mempertahankan legitimasi tatanan sosial masyarakat dengan memperlihatkan kesan bahwa negara bersikap netral dalam perjuangan kelas, sebagai syarat untuk dapat mempertahankan kekuasaan melalui dukungan populis; kedua, ia gagal menjelaskan bagaimana negara dapat mengambil kebijakan yang, walaupun menguntungkan kapital dalam jangka panjang, namun dalam pelaksanaannya mengancam laju keuntungan dari sejumlah kapitalis.

Block juga menolak model alternatif dari para pengkritik instrumentalisme, yakni teori otonomi relatif negara terhadap penguasaan kelas-penguasa, dikarenakan teori tersebut memiliki asumsi yang kontradiktif antara keharusan kelas-penguasa untuk memiliki kesadaran kelas (baca: kesadaran mengenai syarat-syarat yang diperlukan untuk mereproduksi relasi-relasi sosial yang kapitalistik dalam keadaan sejarah yang terus berubah) untuk dapat menyiasati otonomi relatif negara, dengan adanya otonomi relatif itu sendiri. Jika kelas-penguasa memang memiliki kesadaran kelas yang tinggi, tentu sangat terbatas tingkat otonomi yang dapat dimiliki oleh negara.



Block menolak adanya kelas-penguasa yang sadar kelas, dan mensubstitusikan ide otonomi relatif dengan ide mengenai pembagian kerja (division of labor) antara mereka yang mengakumulasikan kapital dan mereka yang mengurusi aparatus negara. Ide ini didasarkan atas penafsirannya terhadap tulisan Marx yang menggambarkan adanya pembagian di dalam kelas borjuasi antara mereka yang extra-parliamentary—mereka yang fokus pada akumulasi keuntungan—dan mereka yang merupakan parliamentary and literary representatives—wakil-wakil kelas yang bukan anggota tipikal dari kelas mereka dan belum tentu memiliki pandangan yang sama dengan anggota kelas yang lain. Di satu sisi, mereka yang mengakumulasikan kapital sadar akan kepentingan mereka sebagai kapitalis pemburu keuntungan, namun secara umum tidak sadar bagaimana mereproduksi tatanan sosial dalam keadaan yang terus berubah; di sisi yang lain, mereka yang mengurusi aparatus negara terpaksa lebih fokus kepada reproduksi tatanan sosial untuk mempertahankan tatanan ekonomi-politik, sebagai syarat mempertahankan status quo.

Pertanyaan selanjutnya adalah: dengan adanya pembagian kerja seperti demikian, apa yang menyebabkan negara tetap cenderung melayani kepentingan kelas kapitalis? Jawabannya bagi Block terletak pada formulasi teori struktural negara yang baru, yang mampu melihat relasi struktural antara pengurus negara, kapitalis, dan pekerja. Teori tersebut secara mendasar bertujuan untuk menjelaskan dua poin fundamental: pertama, pembatas-pembatas struktural yang beroperasi untuk mengurangi kemungkinan pejabat negara untuk bertindak berlawanan dengan kepentingan umum kapitalis; kedua, tendensi pejabat negara untuk merasionalisasikan kapitalisme dengan mengejar kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum kapitalis.

Block menjelaskan bahwa kedua poin di atas bersumber pada ketergantungan pengurus negara secara keseluruhan kepada suatu bentuk aktivitas ekonomi—tanpanya, negara akan kesulitan untuk membiayai diri melalui pajak dan terancam kehilangan kekuasaan akibat penurunan popularitas dikarenakan peningkatan jumlah pengangguran dan kurangnya barang-barang pokok. Ini yang menjadi kunci ketika dikaitkan dengan konteks sistem ekonomi kapitalistik, yang kegiatan ekonomi sehari-harinya bersandar pada keputusan-keputusan investasi privat kalangan kapitalis. Logika dasar ini yang menyebabkan pengurus negara bernalar untuk mempertahankan dan meningkatkan iklim investasi—agar mereka dapat pertahankan pula status quo.

Poin utama Block adalah bahwa relasi ini bukan sebuah bentuk instrumentalisme yang baru, namun ia beroperasi melalui mekanisme internal yang lebih kompleks. Di sini muncul konsep business confidence—segala faktor yang dijadikan pertimbangan besarnya laju investasi untuk seorang kapitalis di sebuah negara (mulai dari variabel-variabel seperti gaji buruh dan ukuran pasar hingga faktor iklim ekonomi-politik nasional yang krusial namun tidak kasat mata), sebagai penjelasan yang paling menjanjikan untuk menuturkan rationale kelas kapitalis dan pengurus negara, serta sebagai tandingan terhadap ide ‘kesadaran kelas-penguasa’. Business confidence juga memiliki dimensi internasional yang signifikan ketika mempertimbangkan kesatuan negara-bangsa ke dalam satu model ekonomi kapitalis dunia yang terintegrasi (capitalist world economy). Block berpendapat bahwa business confidence ini yang berperan sebagai pembatas pengurus negara yang efektif agar selalu bertindak atas kepentingan akumulasi investasi; hilangnya business confidence pula yang dapat menyebabkan efek domino ekonomi yang berujung pada hilangnya kekuasaan (yang dijelaskan dengan detail oleh Block melalui gambaran pemerintah-pemerintah center-left yang reformis namun akhirnya terpaksa tunduk akibat hilangnya investor, munculnya krisis, dan kegagalan untuk mengambil alih perusahaan-perusahaan privat guna memutar kembali roda ekonomi).

Jika business confidence begitu signifikan dalam menentukan sikap pengurus negara, mengapa selama abad ke-20 terjadi peningkatan jumlah reformasi melalui membesarnya peran negara dalam meregulasi atau menyediakan jasa kepada masyarakat? Bagaimana reformasi-reformasi tersebut dapat dilihat sebagai bentuk peningkatan rasionalisasi kapitalisme? Argumen Block dalam tulisannya melirik kembali kepada literatur Marx, bahwa perjuangan kelas yang dihasilkan oleh kontradiksi kelas merupakan mekanisme struktural yang bertanggung jawab atas sebagian besar dari dinamika ekonomi kapitalisme. Perjuangan kelas merupakan respons terhadap kontradiksi pokok internal kapitalisme, namun juga (secara laten) merupakan katalis untuk mempercepat pembangunan kapitalisme itu sendiri dengan cara mereproduksi tatanan sosial masyarakat guna meningkatkan pembangunan kekuatan-kekuatan produksi. Hal ini digambarkan Block dengan mengambil contoh gerakan buruh di era kapitalisme awal yang berjuang menghapuskan child labor, menuntut peningkatan pelayanan publik dalam bidang kesehatan dan perumahan, serta jam kerja yang jauh lebih sedikit—hasilnya justru adalah peningkatan kemampuan kelas proletariat untuk mereproduksi diri, alhasil memberikan kapitalisme generasi pekerja yang baru.

Secara alamiah, peningkatan pelayanan sosial publik atau peran negara dalam meregulasi sektor ekonomi tidak muncul dikarenakan dukungan kapitalis oleh peningkatan business confidence (yang memiliki daya penglihatan yang sangat terbatas akibat mekanisme internalnya yang bekerja atas dasar analisis untung-rugi)—kebijakan-kebijakan tersebut dalam jangka pendek justru bersifat kontraproduktif bagi akumulasi investasi. Menurut Block, kebijakan reformis dapat terjadi akibat dorongan dari kelas pekerja serta pertimbangan kepentingan pengurus negara, yang melihat ekspansi peran negara sebagai ekspansi pula kekuasaan pengurusnya.

Dalam menyikapi tekanan untuk mereformasi ekonomi, pengurus negara harus mempertimbangkan tiga faktor: pertama, pengurus negara tidak ingin melukai business confidence; kedua, pengurus negara tidak ingin antagonisme kelas mencapai tingkat yang mengancam keberadaan kekuasaan mereka; ketiga, pengurus negara sadar betul bahwa kekuasaan dan sumber daya mereka akan bertambah dengan adanya perluasan peran negara. Menurut Block, pengurus negara akan selalu bertindak dengan logika untuk sesedikit mungkin menyinggung business confidence, dan memaksimalkan kekuasaan mereka. Hal ini yang menambah kemungkinan untuk kebijakan reformasi apapun pada akhirnya bertujuan untuk merasionalisasikan kapitalisme.

Pertanyaan dan argumen terakhir dalam tulisan Block berkaitan dengan bagaimana business confidence sebagai kekuasaan veto terhadap kebijakan pengurus negara, secara historis beberapa kali tidak berdaya di hadapan reformasi-reformasi besar dalam sejarah perkembangan negara-bangsa di abad ke-20. Jawaban Block adalah bahwa terdapat konteks krisis yang luar biasa seperti masa perang, depresi ekonomi yang besar, dan periode rekonstruksi pasca perang, yang menyebabkan ‘hak veto’ dari business confidence untuk tunduk pada keharusan bagi negara untuk memperluas wewenang dan kekuasaannya.

Secara keseluruhan, Block menolak adanya kelas-penguasa yang sadar-kelas dan menawarkan suatu teori tentang negara yang menaruh pengurus negara, kaum kapitalis, serta kaum pekerja dalam satu relasi yang memiliki mekanisme-mekanisme struktural yang bergerak independen dari adanya kesadaran politik di pihak kelas-penguasa. Posisi pengurus negara yang struktural memaksakan kepada mereka kesadaran dan cara pandang yang berfungsi untuk mempertahankan tatanan sosial masyarakat; ini menjelaskan tindakan mereka yang sebisa mungkin tidak membahayakan tingkat business confidence, serta kapasitas mereka untuk justru merasionalisasikan masyarakat yang kapitalis. Block menekankan bahwa pengurus negara hanya dapat bertindak pada wilayah yang merupakan titik temu antara dua faktor, yakni intensitas dari perjuangan kelas serta tingkat aktivitas ekonomi.

Daftar Pustaka
Block, Fred L. Revising State Theory: Essays in Politics and Postindustrialisastion. Philadelphia: Temple University Press. 1987.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar