Oleh Mitrardi Sangkoyo dan Dicky D. Ananta
Mahasiswa Ilmu Politik UI dan Anggota SEMAR UI
Mahasiswa Ilmu Politik UI dan Anggota SEMAR UI
Pendahuluan
Kamis,
16 April 2015, lagi-lagi untuk ke sekian kalinya gugatan rakyat dikalahkan oleh
kepentingan bisnis. Hampir setahun ini masyarakat Rembang menggugat secara
hukum pendirian pabrik semen yang telah “merampas” tanah pertanian mereka.
Namun di akhir putusan, keadilan yang diharapkan ternyata tak kunjung datang, justru
putusan hakim memperkuat dan mempertegas adanya pendirian pabrik semen, yang
tidak hanya merugikan secara sosial, tetapi juga secara ekologis.
Hampir
setahun lalu, pada bulan Juli 2014, masyarakat tiga desa di Karawang harus
terusir dari tanah kelahirannya. Tanah-tanah di desa mereka, melalui putusan
pengadilan dimenangkan sebagai milik PT. Agung Podomoro Land. Melalui putusan
pengadilan pula, perintah eksekusi lahan harus dilaksanakan pada bulan
tersebut, akibatnya warga yang berusaha mempertahankan tanah kelahirannya harus
bentrok dengan aparat kepolisian yang berjumlah tidak kurang dari 7000 aparat.
Hampir
dua tahun lalu, bulan Mei 2013, ribuan kios pedagang kecil di stasiun-stasiun
Jabodetabek digusur atas nama “penataan stasiun”. Upaya dialog dengan PT. KAI
yang diajukan oleh berbagai pihak diacuhkan dan program penggusuran tetap berjalan
sepanjang periode Nopember 2012-Mei 2013. Selama periode itu, penggusuran
secara operasional dijalankan oleh PT. KAI, Brimob dan Marinir. Pasca
digusur, ribuan pegiat usaha di stasiun-stasiun mengajukan gugatan class action ke Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Tapi, sekali lagi melalui putusan pengadilan, upaya tersebut ditolak
dan PT. KAI dimenangkan olehnya. Pasca kios-kios tersebut digusur, saat ini
bisa kita saksikan berdiri berbagai waralaba dan retail di bekas kios-kios itu dulu berdiri.
Kasus yang mirip dan sejenis dengan di atas sangat banyak terjadi dan tersebar di seluruh kepulauan Nusantara. Bila dihitung
tentu mencapai bilangan ratusan hingga ribuan. Namun, dari tiga kasus di atas, setidaknya kita bisa
menarik pola yang sama, bahwa pertama, berbagai
pengusiran, penggusuran, dan penyingkiran masyarakat dirangkum dalam usaha negara
melaksanakan program pembangunan yang dinamakan MP3EI atau sejenisnya, kedua, secara nyata negara berpihak kepada investor
dibanding pada masyarakat yang mendiami wilayah tersebut, ketiga, keberpihakan negara itu manifes
dalam penggunaan instrumen kekerasan negara, berupa aparat kepolisian atau
tentara, dan didukung oleh instrumen hukum untuk menggusur, mengusir dan
menyingkirkan rakyatnya sendiri.
Dengan
demikian, sudah jelas bahwa negara pada dasanya hadir secara
penuh dalam kasus-kasus di atas. Anehnya, meski pemerintahan berganti tetapi
karakter negara itu tidak berubah. Dengan demikian, memeriksa karakter negara menjadi
mendesak saat ini. Namun, sekarang pertanyaannya
jelas, negara hadir dan ada itu untuk siapa? Mengapa negara lebih berpihak pada
investor daripada rakyatnya sendiri? Apa yang melatarbelakangi keberpihakan negara tersebut?
Jebakan Business Confidence dan Kekuatan
Struktural Kapital
Upaya
mencari tahu atas jawaban di atas, kita perlu menengok pada tulisan-tulisan
Fred Block. Dalam tulisannya yang berjudul The
Ruling Class Does Not Rule: Notes on the Marxist Theory of the State, Fred L. Block, seorang sosiolog berkebangsaan
Amerika, mengembangkan konsep business
confidence, yang merupakan faktor kunci dalam analisisnya terhadap relasi
struktural antara pengurus negara (state
managers), para kapitalis, dan pekerja, yang menyebabkan negara cenderung
melayani kepentingan kelas kapitalis.
Pemikiran
Block mengenai teori struktural negara berawal dari penolakan terhadap cara pandang
instrumentalis yang melihat negara sebagai alat bagi kelas-penguasa yang
memiliki kesadaran
kelas (dan dengan demikian bertindak selalu untuk memperjuangkan kepentingan kapital).
Cara pandang tersebut dianggap lemah karena dua alasan: pertama, ia melupakan peran ideologis negara untuk mempertahankan
legitimasi tatanan sosial masyarakat dengan memperlihatkan kesan bahwa negara
bersikap netral dalam perjuangan kelas, sebagai syarat untuk dapat
mempertahankan kekuasaan melalui dukungan populis; kedua, ia gagal menjelaskan bagaimana negara dapat mengambil
kebijakan yang, walaupun menguntungkan kapital dalam jangka panjang, namun
dalam pelaksanaannya mengancam laju keuntungan dari sejumlah kapitalis.
Block
juga menolak model alternatif dari para pengkritik instrumentalisme, yakni
teori otonomi relatif negara terhadap penguasaan kelas-penguasa, dikarenakan
teori tersebut memiliki asumsi yang kontradiktif antara keharusan kelas-penguasa
untuk memiliki kesadaran kelas (baca: kesadaran mengenai syarat-syarat yang
diperlukan untuk mereproduksi relasi-relasi sosial yang kapitalistik dalam
keadaan sejarah yang terus berubah) untuk dapat menyiasati otonomi relatif negara,
dengan adanya otonomi relatif itu sendiri. Jika kelas-penguasa memang memiliki
kesadaran kelas yang tinggi, tentu sangat terbatas tingkat otonomi yang dapat
dimiliki oleh negara.
Block
menolak adanya kelas-penguasa yang sadar kelas, dan mensubstitusikan ide
otonomi relatif dengan ide mengenai pembagian kerja (division of labor) antara mereka yang mengakumulasikan kapital dan
mereka yang mengurusi aparatus negara. Ide ini didasarkan atas penafsirannya
terhadap tulisan Marx yang menggambarkan adanya pembagian di dalam kelas borjuasi
antara mereka yang extra-parliamentary—mereka
yang fokus pada akumulasi keuntungan—dan mereka yang merupakan parliamentary and literary representatives—wakil-wakil
kelas yang bukan anggota tipikal dari kelas mereka dan belum tentu memiliki
pandangan yang sama dengan anggota kelas yang lain. Di satu sisi, mereka yang
mengakumulasikan kapital sadar akan kepentingan mereka sebagai kapitalis
pemburu keuntungan, namun secara umum tidak sadar bagaimana mereproduksi
tatanan sosial dalam keadaan yang terus berubah; di sisi yang lain, mereka yang
mengurusi aparatus negara terpaksa lebih fokus kepada reproduksi tatanan sosial
untuk mempertahankan tatanan ekonomi-politik, sebagai syarat mempertahankan
status quo.
Pertanyaan
selanjutnya adalah: dengan adanya pembagian kerja seperti demikian, apa yang menyebabkan
negara tetap cenderung melayani kepentingan kelas kapitalis? Jawabannya bagi Block
terletak pada formulasi teori struktural negara yang baru, yang mampu melihat
relasi struktural antara pengurus negara, kapitalis, dan pekerja. Teori
tersebut secara mendasar bertujuan untuk menjelaskan dua poin fundamental: pertama, pembatas-pembatas struktural
yang beroperasi untuk mengurangi kemungkinan pejabat negara untuk bertindak
berlawanan dengan kepentingan umum kapitalis; kedua, tendensi pejabat negara untuk merasionalisasikan kapitalisme
dengan mengejar kebijakan yang berpihak pada kepentingan umum kapitalis.
Block
menjelaskan bahwa kedua poin di atas bersumber pada ketergantungan pengurus negara
secara keseluruhan kepada suatu bentuk aktivitas ekonomi—tanpanya, negara akan
kesulitan untuk membiayai diri melalui pajak dan terancam kehilangan kekuasaan
akibat penurunan popularitas dikarenakan peningkatan jumlah pengangguran dan
kurangnya barang-barang pokok. Ini yang menjadi kunci ketika dikaitkan dengan
konteks sistem ekonomi kapitalistik, yang kegiatan ekonomi sehari-harinya
bersandar pada keputusan-keputusan investasi privat kalangan kapitalis. Logika
dasar ini yang menyebabkan pengurus negara bernalar untuk mempertahankan dan meningkatkan
iklim investasi—agar mereka dapat pertahankan pula status quo.
Poin
utama Block adalah bahwa relasi ini bukan sebuah bentuk instrumentalisme yang
baru, namun
ia beroperasi melalui mekanisme internal yang lebih kompleks. Di sini muncul
konsep business confidence—segala
faktor yang dijadikan pertimbangan besarnya laju investasi untuk seorang
kapitalis di sebuah negara (mulai dari variabel-variabel seperti gaji buruh dan
ukuran pasar hingga faktor iklim ekonomi-politik nasional yang krusial namun
tidak kasat mata), sebagai penjelasan yang paling menjanjikan untuk menuturkan rationale kelas kapitalis dan pengurus negara,
serta sebagai tandingan terhadap ide ‘kesadaran kelas-penguasa’. Business confidence juga memiliki
dimensi internasional yang signifikan ketika mempertimbangkan kesatuan
negara-bangsa ke dalam satu model ekonomi kapitalis dunia yang terintegrasi (capitalist world economy). Block berpendapat
bahwa business confidence ini yang
berperan sebagai pembatas pengurus negara yang efektif agar selalu bertindak
atas kepentingan akumulasi investasi; hilangnya business confidence pula yang dapat menyebabkan efek domino ekonomi
yang berujung pada hilangnya kekuasaan (yang dijelaskan dengan detail oleh
Block melalui gambaran pemerintah-pemerintah center-left yang reformis namun akhirnya terpaksa tunduk akibat
hilangnya investor, munculnya krisis, dan kegagalan untuk mengambil alih
perusahaan-perusahaan privat guna memutar kembali roda ekonomi).
Jika
business confidence begitu signifikan
dalam menentukan sikap pengurus negara, mengapa selama abad ke-20 terjadi
peningkatan jumlah reformasi melalui membesarnya peran negara dalam meregulasi
atau menyediakan jasa kepada masyarakat? Bagaimana reformasi-reformasi tersebut
dapat dilihat sebagai bentuk peningkatan rasionalisasi kapitalisme? Argumen Block
dalam tulisannya melirik kembali kepada literatur Marx, bahwa perjuangan kelas
yang dihasilkan oleh kontradiksi kelas merupakan mekanisme struktural yang
bertanggung jawab atas sebagian besar dari dinamika ekonomi kapitalisme.
Perjuangan kelas merupakan respons terhadap kontradiksi pokok internal
kapitalisme, namun juga (secara laten) merupakan katalis untuk mempercepat
pembangunan kapitalisme itu sendiri dengan cara mereproduksi tatanan sosial masyarakat
guna meningkatkan pembangunan kekuatan-kekuatan produksi. Hal ini digambarkan Block
dengan mengambil contoh gerakan buruh di era kapitalisme awal yang berjuang menghapuskan
child labor, menuntut peningkatan
pelayanan publik dalam bidang kesehatan dan perumahan, serta jam kerja yang
jauh lebih sedikit—hasilnya justru adalah peningkatan kemampuan kelas
proletariat untuk mereproduksi diri, alhasil memberikan kapitalisme generasi
pekerja yang baru.
Secara
alamiah, peningkatan pelayanan sosial publik atau peran negara dalam meregulasi
sektor ekonomi tidak muncul dikarenakan dukungan kapitalis oleh peningkatan business confidence (yang memiliki daya penglihatan
yang sangat terbatas akibat mekanisme internalnya yang bekerja atas dasar
analisis untung-rugi)—kebijakan-kebijakan tersebut dalam jangka pendek justru
bersifat kontraproduktif bagi akumulasi investasi. Menurut Block, kebijakan
reformis dapat terjadi akibat dorongan dari kelas pekerja serta pertimbangan
kepentingan pengurus negara, yang melihat ekspansi peran negara sebagai
ekspansi pula kekuasaan pengurusnya.
Dalam
menyikapi tekanan untuk mereformasi ekonomi, pengurus negara harus mempertimbangkan
tiga faktor: pertama, pengurus negara
tidak ingin melukai business confidence;
kedua, pengurus negara tidak ingin antagonisme
kelas mencapai tingkat yang mengancam keberadaan kekuasaan mereka; ketiga, pengurus negara sadar betul
bahwa kekuasaan dan sumber daya mereka akan bertambah dengan adanya perluasan
peran negara. Menurut Block, pengurus negara akan selalu bertindak dengan logika
untuk sesedikit mungkin menyinggung business
confidence, dan memaksimalkan kekuasaan mereka. Hal ini yang menambah
kemungkinan untuk kebijakan reformasi apapun pada akhirnya bertujuan untuk
merasionalisasikan kapitalisme.
Pertanyaan
dan argumen terakhir dalam tulisan Block berkaitan dengan bagaimana business confidence
sebagai kekuasaan veto terhadap kebijakan pengurus negara, secara historis
beberapa kali tidak berdaya di hadapan reformasi-reformasi besar dalam sejarah
perkembangan negara-bangsa di abad ke-20. Jawaban Block adalah bahwa terdapat
konteks krisis yang luar biasa seperti masa perang, depresi ekonomi yang besar,
dan periode rekonstruksi pasca perang, yang menyebabkan ‘hak veto’ dari business confidence untuk tunduk pada
keharusan bagi negara untuk memperluas wewenang dan kekuasaannya.
Secara keseluruhan, Block
menolak adanya kelas-penguasa yang sadar-kelas dan menawarkan suatu teori
tentang negara yang menaruh pengurus negara, kaum kapitalis, serta kaum pekerja
dalam satu relasi yang memiliki mekanisme-mekanisme struktural yang bergerak independen
dari adanya kesadaran politik di pihak kelas-penguasa. Posisi pengurus negara
yang struktural memaksakan kepada mereka kesadaran dan cara pandang yang
berfungsi untuk mempertahankan tatanan sosial masyarakat; ini menjelaskan
tindakan mereka yang sebisa mungkin tidak membahayakan tingkat business confidence, serta kapasitas
mereka untuk justru merasionalisasikan masyarakat yang kapitalis. Block
menekankan bahwa pengurus negara hanya dapat bertindak pada wilayah yang
merupakan titik temu antara dua faktor, yakni intensitas dari perjuangan kelas
serta tingkat aktivitas ekonomi.
Daftar Pustaka
Block, Fred L. Revising State Theory: Essays in Politics and Postindustrialisastion. Philadelphia: Temple University Press. 1987.
Daftar Pustaka
Block, Fred L. Revising State Theory: Essays in Politics and Postindustrialisastion. Philadelphia: Temple University Press. 1987.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar