Oleh Rio Apinino, Alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Angkatan 2010
21 Mei. Sejak tahun 1998, tanggal tersebut selalu diperingati sebagai hari reformasi.
Tanggal tersebut menjadi penanda bagi munculnya kondisi sosial politik baru
setelah Indonesia terperangkap oleh rezim militer-fasis-patriarkis-penjahat HAM
selama 30 tahun lebih. Sebab reformasi belum usia, begitu tema umum yang selalu
diulang-ulang banyak gerakan rakyat –termasuk mahasiswa di dalamnya- untuk
memperingati tanggal tersebut. Tidak terkecuali dengan tahun ini. Berbagai
aksi-aksi dipastikan akan terjadi besok (hari ini), dan aksi-aksi lain yang
telah dilakukan pada hari-hari sebelumnya.
Salah satu elemen rakyat yang besok akan
menjalankan aksi protes adalah BEM UI (bersama dengan BEM Se Indonesia). Tidak
seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi kali ini didahului oleh sebuah fenomena
menarik, yaitu diundangnya puluhan aktivis mahasiswa yang menjabat sebagai
ketua Lembaga Formal Kemahasiswaan termasuk ketua BEM UI, Andi Aulia Rahman, ke
Istana Negara, bertemu langsung dengan presiden Joko Widodo. Berbagai macam
reaksi pun bermunculan, dari yang paling setuju, hingga yang paling kontra,
plus dengan argumennya atau hanya sekadar mengolok-olok belaka. Adapun tulisan
ini bermaksud untuk memberikan komentar terhadap hal tersebut, sekaligus berpendapat
tentang gerakan mahasiswa secara keseluruhan.
Sebelum membahas gerakan mahasiswa, kita harus
membahas konteks dimana gerakan mahasiswa itu sendiri berada. Yaitu kondisi
ekonomi politik pasca Orde Baru. Hal ini penting sebab, gerakan mahasiswa
–beserta gerakan rayat lainnya- tidaklah berjuang di ruang kosong. Ia
senantiasa berada dalam ruang yang berisi realitas-realitas tertentu yang mana
jika gerakan tidak berpijak pada hal ini, maka segala gerakan, baik yang
dilakukan sebagai aksi protes ataupun yang sifatnya konstruktif, hanya akan
menjadi aktivisme belaka yang tidak jelas ujung dan pangkalnya.
Indonesia pasca reformasi sampai saat ini masih
dikuasai oleh oligarki lama. Pada masa Orde Baru, mereka (yang kita bisa dengan
mudah tunjuk batang hidungnya) mematron hanya pada Suharto, maka di masa
keterbukaan politik seperti saat ini cara tersebut tidak lagi bisa mereka
lakukan. Oligarki ini pun kemudian bertransformasi dan melakukan cara lain agar
tetap dapat terus merampok sumber daya publik untuk keuntungan mereka sendiri.
Dengan kata lain, aktor-aktor lama tersebut memanfaatkan ruang demokrasi yang
tersedia untuk kepentingan mereka sendiri. Cara ini, misalnya, terlihat melalui
partai-partai politik baru yang dibuat sendiri oleh mereka atau merapat ke partai
politik lain yang sudah mapan. Mengapa partai politik? Jelas, karena segala
kebijakan yang mencakup hajat hidup orang banyak berada di ranah politik, yang
mana partai politiklah sarana yang paling memungkinkan agar dapat mengatur
kebijakan-kebijakan tersebut.
Sementara itu, di sisi lainnya, kondisi ekonomi
rakyat tidak banyak berubah sejak rezim-reim sebelumnya. Sebab, secara umum
kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintahan saat ini (dan tentu,
pemerintahan-pemerintahan sebelumnya) adalah kebijakan yang sama sekali tidak berorientasi
pada kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, kebijakan ekonomi pemerintan saat ini
justru mensyaratkan ketidakadilan bagi rakyat banyak. Katakanlah kebijakan
MP3EI atau yang saat ini menjadi RPJMN, kebijakan pembangunan ini justru mensyaratkan
peminggiran rakyat yang masif atas sarana-sarana produksinya (tanah, hutan,
air, dll). Belum lagi kebijakan yang berorientasi pasar (pencabutan subsidi)
yang dijustifikasi oleh dalil ‘pengalihan pada sektor-sektor lain yang lebih
produktif’, yang seakan benar, padahal sama sekali menyesatkan.
Ketidakpuasan terhadap negara inilah yang kemudian
diekspresikan oleh rakyat dengan perlawanan-perlawanan yang sifatnya individual
ataupun berkelompok, baik dengan cara-cara yang paling radikal ataupun lebih
moderat. Meskipun demikian, problem besar yang dihadapi rakyat banyak dalam
menghadapi kuasa negara, pengangguran bersenjata plus korporasi ini adalah
keterorganisiran yang secara kuantitas belumlah memadai. Hal ini tentu bukan
tanpa sebab. Memori kolektif tentang berorganisasi yang telah terbangun sejak
zaman penjajahan hingga pasca kemerdekaan dibabat habis (lagi-lagi) oleh Orde
Baru. Memori kolektif tentang keterorganisiran pun lenyap, rakyat dijauhkan
dari ingatan sejarah mereka sendiri. Meskipun memang, beberapa sektor gerakan
rakyat seperti buruh sudah cukup terorganisir. Tetapi jika dibandingkan dengan
jumah angkatan kerja, tentu jumlah yang terorganisir masih jauh dari kata
memadai.
Dapat disimpulkan secara umum, kondisi Indonesia
pasca reformasi saat ini adalah kombinasi antara belum terorganisirnya massa
rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap negara, beserta dibajaknya demokrasi
itu sendiri, yang seharusnya menjadi ruang bagi rakyat banyak untuk
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelasnya.
Lantas, bagaimana kita memaknai gerakan mahasiswa
yang ada saat ini dalam konteks yang demikian? Bagi saya, jawabannya tidak lain
merupakan antitesis yang inheren dalam pembacaan situasi ekonomi politik yang
telah dijabarkan di atas. Semua problem di atas tidak lain merupakan problem
politik, ia selalu merupakan persoalan perebutan sumber daya. Karena itu,
gerakan mahasiswa yang masih saja mengagung-agungkan diri sebagai entitas yang
bergerak hanya berdasarkan moral semata, sama sekali tidak paham dengan apa
yang mereka sendiri lakukan. Persoalan apakah subsidi BBM yang dicabut dan
dialihkan kepada ‘sektor-sektor lain yang lebih produktif’ misalnya, sama
sekali bukanlah problem moral para pembuat kebijakan yang bobrok sehingga tidak
peduli terhadap nasib rakyat di luar ruangannya yang semakin sulit karena
harga-harga naik, melainkan kepada orientasi negara yang memang melayani
kepentingan para pemilik modal. Dan sekali lagi, ini adalah soal politik.
Tentu, pembacaan yang keliru terhadap gerakan pada
dirinya sendiri menghasilkan turunan-turunan yang juga tidak tepat. Terminologi
‘mitra kritis’ yang diusung BEM UI menurut saya adalah salah satu turunan yang
keliru tersebut. Mengapa demikian? Jelas, yang disebut dengan ‘mitra’ adalah adanya dua belah pihak
yang posisinya setara, bukan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya.
Lagipula, sepengetahuan saya, yang dimaksud dengan ‘mitra’ haruslah berdasarkan
kesepakatan kedua belah pihak. Bukan satu pihak saja yang mengatasnamakannya
(kecuali memang terlalu percaya diri). Apakah Jokowi menganggap gerakan
mahasiswa adalah mitra kritis? Saya sangat sangsi dengan hal ini. Hal ini
terbukti, misalnya, dengan tendensi anti massa pada diri Jokowi yang sudah terlihat
pasca penetapan dirinya sebagai presiden beberapa bulan yang lalu. Jika
suara-suara dari para relawan yang antusiasmenya tidak pernah sefenomenal massa
pemilu kemarin saja dianggap angin lalu, apalagi dengan mahasiswa yang
jumlahnya hanya sepersekian persen saja dari rakyat Indonesia?
Memang betul apa yang dikatakan oleh Ketua BEM UI
dalam status Facebooknya tanggal 20 Mei kemarin, bahwa aksi dan perlawanan
tidak bisa dibatasi hanya melalui aksi jalanan saja, ia bisa terekspresi melalu
banyak bentuk, termasuk audiensi langsung ke para pembuat kebijakan. Tetapi
pertanyaannya adalah: seberapa efektifkah aksi-aksi tersebut? Pertanyaan ini
yang seringkali alpa dijawab, termasuk oleh gerakan mahasiswa di luar UI saja.
Pun pertanyaan ini mau tidak mau harus dihubungkan dengan kondisi objektif
rakyat banyak yang semakin terpinggirkan oleh orientasi kebijakan propasar yang
tengah di jalankan. Sebabnya jelas, orientasi kebijakan tersebut hanya
menguntungkan segelintir orang dan memaksa mayoritas lain untuk terus menerus
tereksploitasi. Maka relasi antara mereka yang terpinggirkan haruslah jelas,
bukan justru terfragmentasi oleh sekat-sekat sektoral, apalagi satu sektor yang
mengatasnamakan sektor lain yang sangat giat dilakukan para intelektual
mahasiswa kita.
Melalui pertanyaan tentang relevansi inilah kita
dapat beranjak dari jeratan aktivisme gerakan mahasiswa yang tidak jelas
juntrungannya seperti saat ini. Jika dikaitkan dengan relasi antara mahasiswa
yang kerapkali mengatasnamakan rakyat dalam tiap aksi-aksinya dengan rakyat itu
sendiri, maka dapat dikatakan bahwa kebiasaan mahasiswa tersebut justru
kontraproduktif dengan kondisi objektif perlawanan rakyat yang semakin
meningkat. Jika gerakan mahasiswa masih saja mengatas namakan rakyat, bukankan
itu menjadi semacam pembungkaman terselubung terhadap suara-suara di luar
gerakan mahasiswa? Dengan demikian, konsekuensi dari pertanyaan tentan
relevansi protes gerakan mahasiswa justru akan menghasilkan sebuah sanggahan
yang keras terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri.
Aksi-aksi yang sifatnya protes (apapun sebutannya,
baik oposisi abadi atau mitra kritis) sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan
mahasiswa hari ini tidak akan pernah memadai, meskipun memang bukan sama sekali
tidak memadai. Sebab bagaimanapun, sebagaimana yang telah dijelaskan
sebelumnya, kepentingan mereka yang menguasai negara dan mereka yang
terpinggirkan oleh kebijakan negara sangat bertentangan. Kalaupun tuntutan
dalam protes diakomodir dan dilakukan perbaikan-perbaikan dengan dasar protes tersebut,
syaratnya adalah keterorganisiran yang masif dari mereka yang melakukan protes.
Sementara itu, sebagaimana protes pada umumnya, akan selalu menyasar kepada
hal-hal yang sifatnya luaran saja, misalnya produk perundang-undangan tertentu.
Padahal, ada sistem yang lebih mendasar yang mengondisikan seluruh kebijakan
tersebut, yang mana sistem tersebut tidak akan bisa diubah hanya melalui
aksi-aksi protes saja, melainkan dengan pengambilalihan kebijakan dari tangan
minoritas ke tangan rakyat banyak.
Karena itu, harus ada relasi yang jelas antara
aksi-aksi protes dengan pembangunan gerakan rakyat itu sendiri. Aksi-aksi
protes hanya akan bergerak maju jika dibarengi dengan penguatan
keterorganisiran rakyat banyak. Dan keterorganisiran tersebut mensyaratkan
agensi yang sadar akan pentingnya pembangunan gerakan rakyat lintas sektoral,
bukan mereka yang mengagung-agungkan eksistensi sektor masing-masing dan justru
mengatasnamakan kelompok masyarakat lain. Menurut saya, mahasiswa dapat
memainkan peran yang cukup sentral disini.
Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengoreksi atau
memperbaiki rezim haruslah diselesaikan dalam pertarungan politik, spesifiknya
dalam hal perebutan negara sebagai arena kontestasi kepentingan. Cara untuk
merebut negara paling realistis dalam alam demokrasi elektoral seperti saat ini
adalah melalui partai politik. Partai yang terbebas dari kepentingan elit
borjuis dan hanya mengekspresikan kepentingan rakyat banyak yang selama ini
terpinggirkan oleh orientasi ekonomi yang menuhankan modal. Bagi saya, kearah
sinilah seluruh aksi-aksi protes dan pengorganisiran gerakan rakyat harus
ditujukan. Juga, agar reformasi tidak semakin bikin orang repot nasi. ***
Setuju.Mahasiswa harus bersatu bersama rakyat dan membuat partai. Tapi bukankah itu membutuhkan modal yang banyak? lalu jika modal yang kuasa, pada akhirnya para kapitalis akan tertawa dan lagi-lagi rakyat tak bisa apa-apa. Bagaimana Bung?
BalasHapus