Kamis, 21 Mei 2015

Catatan Kecil Tentang Reformasi dan Aksi Protes Mahasiswa

Oleh Rio Apinino, Alumni Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Angkatan 2010

21 Mei. Sejak tahun 1998, tanggal tersebut  selalu diperingati sebagai hari reformasi. Tanggal tersebut menjadi penanda bagi munculnya kondisi sosial politik baru setelah Indonesia terperangkap oleh rezim militer-fasis-patriarkis-penjahat HAM selama 30 tahun lebih. Sebab reformasi belum usia, begitu tema umum yang selalu diulang-ulang banyak gerakan rakyat –termasuk mahasiswa di dalamnya- untuk memperingati tanggal tersebut. Tidak terkecuali dengan tahun ini. Berbagai aksi-aksi dipastikan akan terjadi besok (hari ini), dan aksi-aksi lain yang telah dilakukan pada hari-hari sebelumnya.


Salah satu elemen rakyat yang besok akan menjalankan aksi protes adalah BEM UI (bersama dengan BEM Se Indonesia). Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, aksi kali ini didahului oleh sebuah fenomena menarik, yaitu diundangnya puluhan aktivis mahasiswa yang menjabat sebagai ketua Lembaga Formal Kemahasiswaan termasuk ketua BEM UI, Andi Aulia Rahman, ke Istana Negara, bertemu langsung dengan presiden Joko Widodo. Berbagai macam reaksi pun bermunculan, dari yang paling setuju, hingga yang paling kontra, plus dengan argumennya atau hanya sekadar mengolok-olok belaka. Adapun tulisan ini bermaksud untuk memberikan komentar terhadap hal tersebut, sekaligus berpendapat tentang gerakan mahasiswa secara keseluruhan.

Sebelum membahas gerakan mahasiswa, kita harus membahas konteks dimana gerakan mahasiswa itu sendiri berada. Yaitu kondisi ekonomi politik pasca Orde Baru. Hal ini penting sebab, gerakan mahasiswa –beserta gerakan rayat lainnya- tidaklah berjuang di ruang kosong. Ia senantiasa berada dalam ruang yang berisi realitas-realitas tertentu yang mana jika gerakan tidak berpijak pada hal ini, maka segala gerakan, baik yang dilakukan sebagai aksi protes ataupun yang sifatnya konstruktif, hanya akan menjadi aktivisme belaka yang tidak jelas ujung dan pangkalnya.

Indonesia pasca reformasi sampai saat ini masih dikuasai oleh oligarki lama. Pada masa Orde Baru, mereka (yang kita bisa dengan mudah tunjuk batang hidungnya) mematron hanya pada Suharto, maka di masa keterbukaan politik seperti saat ini cara tersebut tidak lagi bisa mereka lakukan. Oligarki ini pun kemudian bertransformasi dan melakukan cara lain agar tetap dapat terus merampok sumber daya publik untuk keuntungan mereka sendiri. Dengan kata lain, aktor-aktor lama tersebut memanfaatkan ruang demokrasi yang tersedia untuk kepentingan mereka sendiri. Cara ini, misalnya, terlihat melalui partai-partai politik baru yang dibuat sendiri oleh mereka atau merapat ke partai politik lain yang sudah mapan. Mengapa partai politik? Jelas, karena segala kebijakan yang mencakup hajat hidup orang banyak berada di ranah politik, yang mana partai politiklah sarana yang paling memungkinkan agar dapat mengatur kebijakan-kebijakan tersebut.

Sementara itu, di sisi lainnya, kondisi ekonomi rakyat tidak banyak berubah sejak rezim-reim sebelumnya. Sebab, secara umum kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintahan saat ini (dan tentu, pemerintahan-pemerintahan sebelumnya) adalah kebijakan yang sama sekali tidak berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, kebijakan ekonomi pemerintan saat ini justru mensyaratkan ketidakadilan bagi rakyat banyak. Katakanlah kebijakan MP3EI atau yang saat ini menjadi RPJMN, kebijakan pembangunan ini justru mensyaratkan peminggiran rakyat yang masif atas sarana-sarana produksinya (tanah, hutan, air, dll). Belum lagi kebijakan yang berorientasi pasar (pencabutan subsidi) yang dijustifikasi oleh dalil ‘pengalihan pada sektor-sektor lain yang lebih produktif’, yang seakan benar, padahal sama sekali menyesatkan.




Ketidakpuasan terhadap negara inilah yang kemudian diekspresikan oleh rakyat dengan perlawanan-perlawanan yang sifatnya individual ataupun berkelompok, baik dengan cara-cara yang paling radikal ataupun lebih moderat. Meskipun demikian, problem besar yang dihadapi rakyat banyak dalam menghadapi kuasa negara, pengangguran bersenjata plus korporasi ini adalah keterorganisiran yang secara kuantitas belumlah memadai. Hal ini tentu bukan tanpa sebab. Memori kolektif tentang berorganisasi yang telah terbangun sejak zaman penjajahan hingga pasca kemerdekaan dibabat habis (lagi-lagi) oleh Orde Baru. Memori kolektif tentang keterorganisiran pun lenyap, rakyat dijauhkan dari ingatan sejarah mereka sendiri. Meskipun memang, beberapa sektor gerakan rakyat seperti buruh sudah cukup terorganisir. Tetapi jika dibandingkan dengan jumah angkatan kerja, tentu jumlah yang terorganisir masih jauh dari kata memadai.

Dapat disimpulkan secara umum, kondisi Indonesia pasca reformasi saat ini adalah kombinasi antara belum terorganisirnya massa rakyat dalam melakukan perlawanan terhadap negara, beserta dibajaknya demokrasi itu sendiri, yang seharusnya menjadi ruang bagi rakyat banyak untuk mengartikulasikan kepentingan-kepentingan kelasnya.

Lantas, bagaimana kita memaknai gerakan mahasiswa yang ada saat ini dalam konteks yang demikian? Bagi saya, jawabannya tidak lain merupakan antitesis yang inheren dalam pembacaan situasi ekonomi politik yang telah dijabarkan di atas. Semua problem di atas tidak lain merupakan problem politik, ia selalu merupakan persoalan perebutan sumber daya. Karena itu, gerakan mahasiswa yang masih saja mengagung-agungkan diri sebagai entitas yang bergerak hanya berdasarkan moral semata, sama sekali tidak paham dengan apa yang mereka sendiri lakukan. Persoalan apakah subsidi BBM yang dicabut dan dialihkan kepada ‘sektor-sektor lain yang lebih produktif’ misalnya, sama sekali bukanlah problem moral para pembuat kebijakan yang bobrok sehingga tidak peduli terhadap nasib rakyat di luar ruangannya yang semakin sulit karena harga-harga naik, melainkan kepada orientasi negara yang memang melayani kepentingan para pemilik modal. Dan sekali lagi, ini adalah soal politik.

Tentu, pembacaan yang keliru terhadap gerakan pada dirinya sendiri menghasilkan turunan-turunan yang juga tidak tepat. Terminologi ‘mitra kritis’ yang diusung BEM UI menurut saya adalah salah satu turunan yang keliru tersebut. Mengapa demikian? Jelas, yang disebut  dengan ‘mitra’ adalah adanya dua belah pihak yang posisinya setara, bukan satu pihak lebih tinggi dari pihak lainnya. Lagipula, sepengetahuan saya, yang dimaksud dengan ‘mitra’ haruslah berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Bukan satu pihak saja yang mengatasnamakannya (kecuali memang terlalu percaya diri). Apakah Jokowi menganggap gerakan mahasiswa adalah mitra kritis? Saya sangat sangsi dengan hal ini. Hal ini terbukti, misalnya, dengan tendensi anti massa pada diri Jokowi yang sudah terlihat pasca penetapan dirinya sebagai presiden beberapa bulan yang lalu. Jika suara-suara dari para relawan yang antusiasmenya tidak pernah sefenomenal massa pemilu kemarin saja dianggap angin lalu, apalagi dengan mahasiswa yang jumlahnya hanya sepersekian persen saja dari rakyat Indonesia?

Memang betul apa yang dikatakan oleh Ketua BEM UI dalam status Facebooknya tanggal 20 Mei kemarin, bahwa aksi dan perlawanan tidak bisa dibatasi hanya melalui aksi jalanan saja, ia bisa terekspresi melalu banyak bentuk, termasuk audiensi langsung ke para pembuat kebijakan. Tetapi pertanyaannya adalah: seberapa efektifkah aksi-aksi tersebut? Pertanyaan ini yang seringkali alpa dijawab, termasuk oleh gerakan mahasiswa di luar UI saja. Pun pertanyaan ini mau tidak mau harus dihubungkan dengan kondisi objektif rakyat banyak yang semakin terpinggirkan oleh orientasi kebijakan propasar yang tengah di jalankan. Sebabnya jelas, orientasi kebijakan tersebut hanya menguntungkan segelintir orang dan memaksa mayoritas lain untuk terus menerus tereksploitasi. Maka relasi antara mereka yang terpinggirkan haruslah jelas, bukan justru terfragmentasi oleh sekat-sekat sektoral, apalagi satu sektor yang mengatasnamakan sektor lain yang sangat giat dilakukan para intelektual mahasiswa kita.

Melalui pertanyaan tentang relevansi inilah kita dapat beranjak dari jeratan aktivisme gerakan mahasiswa yang tidak jelas juntrungannya seperti saat ini. Jika dikaitkan dengan relasi antara mahasiswa yang kerapkali mengatasnamakan rakyat dalam tiap aksi-aksinya dengan rakyat itu sendiri, maka dapat dikatakan bahwa kebiasaan mahasiswa tersebut justru kontraproduktif dengan kondisi objektif perlawanan rakyat yang semakin meningkat. Jika gerakan mahasiswa masih saja mengatas namakan rakyat, bukankan itu menjadi semacam pembungkaman terselubung terhadap suara-suara di luar gerakan mahasiswa? Dengan demikian, konsekuensi dari pertanyaan tentan relevansi protes gerakan mahasiswa justru akan menghasilkan sebuah sanggahan yang keras terhadap gerakan mahasiswa itu sendiri.

Aksi-aksi yang sifatnya protes (apapun sebutannya, baik oposisi abadi atau mitra kritis) sebagaimana yang dilakukan oleh gerakan mahasiswa hari ini tidak akan pernah memadai, meskipun memang bukan sama sekali tidak memadai. Sebab bagaimanapun, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kepentingan mereka yang menguasai negara dan mereka yang terpinggirkan oleh kebijakan negara sangat bertentangan. Kalaupun tuntutan dalam protes diakomodir dan dilakukan perbaikan-perbaikan dengan dasar protes tersebut, syaratnya adalah keterorganisiran yang masif dari mereka yang melakukan protes. Sementara itu, sebagaimana protes pada umumnya, akan selalu menyasar kepada hal-hal yang sifatnya luaran saja, misalnya produk perundang-undangan tertentu. Padahal, ada sistem yang lebih mendasar yang mengondisikan seluruh kebijakan tersebut, yang mana sistem tersebut tidak akan bisa diubah hanya melalui aksi-aksi protes saja, melainkan dengan pengambilalihan kebijakan dari tangan minoritas ke tangan rakyat banyak.

Karena itu, harus ada relasi yang jelas antara aksi-aksi protes dengan pembangunan gerakan rakyat itu sendiri. Aksi-aksi protes hanya akan bergerak maju jika dibarengi dengan penguatan keterorganisiran rakyat banyak. Dan keterorganisiran tersebut mensyaratkan agensi yang sadar akan pentingnya pembangunan gerakan rakyat lintas sektoral, bukan mereka yang mengagung-agungkan eksistensi sektor masing-masing dan justru mengatasnamakan kelompok masyarakat lain. Menurut saya, mahasiswa dapat memainkan peran yang cukup sentral disini.


Pada akhirnya, kebutuhan untuk mengoreksi atau memperbaiki rezim haruslah diselesaikan dalam pertarungan politik, spesifiknya dalam hal perebutan negara sebagai arena kontestasi kepentingan. Cara untuk merebut negara paling realistis dalam alam demokrasi elektoral seperti saat ini adalah melalui partai politik. Partai yang terbebas dari kepentingan elit borjuis dan hanya mengekspresikan kepentingan rakyat banyak yang selama ini terpinggirkan oleh orientasi ekonomi yang menuhankan modal. Bagi saya, kearah sinilah seluruh aksi-aksi protes dan pengorganisiran gerakan rakyat harus ditujukan. Juga, agar reformasi tidak semakin bikin orang repot nasi. ***

1 komentar:

  1. Setuju.Mahasiswa harus bersatu bersama rakyat dan membuat partai. Tapi bukankah itu membutuhkan modal yang banyak? lalu jika modal yang kuasa, pada akhirnya para kapitalis akan tertawa dan lagi-lagi rakyat tak bisa apa-apa. Bagaimana Bung?

    BalasHapus