Jumat, 31 Juli 2015

Pembangunan-isme

oleh Gea Citta
Mahasiswi Filsafat UI.

Upaya Sukinah dan warga Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah menghadang eksekusi rencana pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (PT SI) di desanya adalah kisah lama. Mama Aleta di Nusa Tenggara juga pernah berjuang dengan latar belakang yang serupa: mempertahankan tanah, penopang utama kelangsungan hidupnya. Aleta Baun berhasil menang. Sementara itu, kemenangan yang diharap Sukinah kandas oleh putusan hakim di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, 16 April 2015. Alasannya, gugatan yang diajukan kadaluarsa. Kini, tim hukum Jaringan Masyarakat Peduli Pengunungan Kendeng Utara bersama dengan tim dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tengah bersiap mengajukan banding.

Interaksi saya dengan Ibu Sukinah hanya sekali terjadi pada santap siang di payung hijau di depan gedung II, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya—yang sekarang telah dikonversi menjadi area khusus pelanggan sebuah kedai kopi. Saat itu jurusan saya menyelenggarakan seminar bertajuk “Keadilan Ekologis” dan mengundang Ibu Sukinah sebagai anggota biokomunitas yang kelak dirugikan oleh pembangunan yang abai terhadap konteks sosial dan lingkungan. Kepada saya Ibu Sukinah menuturkan keinginannya yang tidak muluk-muluk; bisa terus bertani untuk melanjutkan hidup hari esok bersama anak-cucunya. Keinginan yang bahkan tidak pernah muncul di benak saya. Keinginan yang memang tidak mudah dipahami jika kita tidak betul-betul mengalami.

Saya meyakini, kita yang beruntung mampu mengenyam pendidikan tinggi tidak harus mengalami untuk memahami. Begitu juga dengan jajaran pengambil keputusan di PT SI yang tentu tidak berhenti sekolah di tingkat SD. Idealnya, mereka punya perangkat bernama akal dan hati nurani untuk membayangkan bahwa tanah yang ditanami beton berpotensi menghancurkan struktur tanah sebagai pelindung mata air sekaligus memutus akses warga Tegaldowo dan sekitarnya terhadap lahan yang disediakan secara cuma-cuma oleh alam. Namun, memang tidak ada korelasi positif antara tingkat pendidikan dan akal yang sukses menumbuhkan empati. Justru kerap kali ilmu yang terbaca sempurna di atas kertas akhirnya membuat orang-orang berijazah semakin berjarak dengan realitas.

**

Konsep mengenai pembangunan dan kemajuan terangkum di dalam satu paket. Hubungan keduanya kerap kali dipahami sebagai hubungan sebab-akibat secara mutlak: pembangunan memungkinkan kemajuan. Dalam rangka keluar dari kondisi yang terbelakang, pemerintah melalui segenap elitenya mengagendakan pembangunan nasional. Kerja kolektif berskala besar ini memerlukan konsep visioner yang komprehensif agar implementasinya dapat berjalan efektif dan betul-betul mentransformasi Indonesia menjadi negara ‘maju’ dalam konteks negara yang mampu menjamin perwujudan dasar kesejahteraan rakyat yang kokoh dan menjamin pembentukan masa depan yang cerah melalui warga negara yang tercerahkan.

Secara umum, berdasarkan periodenya pembangunan nasional dapat dibagi menjadi dua, yaitu pembangunan era  Orde Baru dan pembangunan era Reformasi. Penerapan pembangunan Orde Baru disusun oleh tim teknokrat yang perumusannya terpusat pada pembangunan dalam bahasa ekonomi. (Joesoef, 2014: 116) Merespon kegagalan pembangunan yang simplisistik dan sentralistik ini, pemerintahan di era Reformasi mencanangkan corak pembangunan yang lebih menyeluruh sebagai usaha pemerataan. Akan tetapi, merujuk data koefisien Gini,[1] upaya transformasi tersebut belum membuahkan perubahan yang signifikan. Ketimpangan justru semakin tinggi. Pembangunan masih diterjemahkan dalam kerangka ekonomi dengan mengukur kemajuan dari angka produk domestik bruto (PDB). Kecenderungan tersebut merupakan reduksi ide “pembangunan nasional” menjadi “pembangunan ekonomi” yang pelaksanannya dilandaskan pada penalaran logika ekonomika murni. Kebenaran penalaran ekonomika murni ditinjau dari explanatory truth yang tertuang dalam rumusan matematika formal. Nilai kebenarannya bukan diungkap melalui valuable truth yang melihat suatu kebenaran berdasarkan kebergunaannya dalam memecahkan masalah sehari-hari. Gejala-gejala sosial-politik-budaya tidak dapat terbaca menggunakan ukuran tunggal kenaikan angka PDB. Alhasil, pembangunan bertendensi mendahulukan kalkulasi keuntungan di bursa keunganan daripada kesejahteraan rill masyarakat di lapangan.

Kekeliruan yang fundamental dari pendekatan pembangunan reduksionis ini terletak pada abstraksi terhadap ruang (space). Aspek geografi fisik yang memiliki geografi sosialnya tersendiri tidak masuk dalam kalkulasi khas ekonomi yang mengutamakan variabel efisiensi. Alhasil, penguasaan ruang yang diatasnamakan pembangunan dan kemajuan menuai konsekuensi panjang. Sebagai contoh, pembabatan hutan untuk pembukaan kompleks perumahan, perkebunan, industri, waduk berdampak pada persediaan air tanah, alih-fungsi lahan persawahan untuk kompleks pertokoan, pendirian pusat-pusat perbelanjaan, area bisnis makam mewah, mencampakkan penduduk desa dari kampung halamannya dan memaksa mereka melakukan urbanisasi. Di kota mereka cenderung tersisih dari gegap-gempita modernitas dan akhirnya menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan.

Pembangunan dalam kerangka ruang sosial berangkat dari asumsi bahwa ruang sosial bukan substansi yang abstrak. Ruang sosial adalah ruang hidup manusia yang konkret dan  diciptakan dalam konteks pembangunan suatu komunitas tertentu. Ruang sosial ini adalah produk transformasi alam (daratan maupun lautan) melalui proses pikiran dan kerja manusia. Ruang sosial ini juga merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial yang direkayasa oleh penduduk dalam beragam derajat intervensi melalui tingkat modifikasi tata ruang yang skalanya berbeda-beda. Artinya, pembangunan dalam kerangka ruang sosial menitikberatkan partisipasi warga setempat sebagai orang-orang yang paling terpengaruh dengan agenda pembangunan untuk mengambil keputusan yang bertujuan pemenuhan kebutuhan dasar warga. Pembangunan dalam kerangka ruang sosial artinya masyarakat bukan sekadar penonton agenda pembangunan (spectator development) dan terkena imbasnya saja, namun masyarakat juga berperan sebagai partisipan pembangunan (participatory development).

Pembangunan nasional yang direduksi menjadi pembangunan ekonomi menunjukkan bentuk dari spectator development. Warga Aceh hanya bisa menonton saja gas dan minyak buminya digali terus menerus. Suku Dayak Ngaju juga hanya bisa menyaksikan hutannya dibabat dan ketika warga aslinya menebang sendiri pohon untuk keperluan sehari-harinya di hutan kawasan adat ia dikejar-kejar petugas keamanan perusahaan. Padahal, Suku Dayak Ngaju memiliki zonasi dalam hukum adatnya antara lain Hutan Pahewan untuk pelaksanaan ritual adat, Hutan Sapehan untuk berburu dan mencari kulit kayu serta obat-obatan, Hutan Kaleka berfungsi untuk kebun dan ladang. Selain Suku Dayak Ngaju, Suku Banjar juga dipersulit untuk mendulang emas dan batu mulia di tepian sungai tradisionalnya dengan dalih merusak lingkungan. Di Papua, penduduk asli juga terpaksa menjadi penonton saat bukit-bukit di tanah tempat hidupnya digali. (Daoed Joesoef, 2014: 178 – 179) Bukan berlebihan apabila putusan hakim di pengadilan banding tetap memenangkan PT SI, maka warga Tegaldowo, Rembang, Pati dan sekitarnya juga hanya akan melihat kepulan asap dari instalasi pabrik PT SI dan masih harus hidup dalam kecemasan akan ancaman kekeringan.

**

Eksploitasi yang telah terjadi dan berlangsung tanpa henti ini adalah demi kemajuan pembangunan yang diukur berdasarkan kenaikan angka PDB dan statistika ekonomi makro lainnya. Permasalahannya, pembangunan bukan hanya perkara statistika dan analisa untung-rugi. Bukan berarti saya anti-pembangunan. Saya kontra terhadap pembangunan yang abai terhadap eco-humanity.  Visi membangun Indonesia sebagai negara maju hanya jargon kosong apabila kebijakan yang diambil tidak dipikirkan secara matang dan hanya menguntungkan segelintir aktor negara. Model pembangunan ini mengandung kelemahan dilihat dari sisi upaya pemberdayaan masyarakat akar rumput karena, pertama, bahwa ruang sosial adalah ruang abstrak. Abstraksi ini mengandaikan ruang sosial sebagai ruang yang tidak terikat dengan aktivitas serta interaksi manusia yang ada di dalamnya. Akibatnya, atas nama pembangunan demi kemajuan, masyarakat akar rumput kerap kali terpaksa angkat kaki dan akhirnya tercerabut dari lokalitasnya; kedua, tujuan pembangunan ekonomi yang mengakumulasi profit kontraproduktif dengan nilai keberlanjutan lingkungan. Model pembangunan ini secara internal berkebutuhan untuk terus menerus melakukan investasi, memobilisasi kapital dengan kecepatan tinggi, dan mengeksploitasi aset-aset yang belum tersentuh teknologi. Model ini melihat alam semata-semata sebagai objek yang keberlanjutannya tidak masuk pertimbangan dalam pengambilan keputusan; ketiga, pembangunan ekonomi mengukur kemajuan dengan formulasi makro-ekonomi. Hal ini menyebabkan gejala-gejala problem sosial-politik-budaya dari beragam lapisan masyarakat tidak mampu terbaca sehingga pembangunan bersifat eksklusif dan memajukan kalangan yang menguasai sumber daya saja. Alhasil, masyarakat akar rumput hanya menjadi penonton sebab aksesnya untuk mengelola sumber daya lokal dalam skala kecil dieliminasi.

Saya tidak punya solusi konkret atas pembangunan-isme yang menunggalkan definisi kemajuan. Yang saya punya sekadar empati terhadap Ibu Sukinah dan rekan-rekan mana pun mereka kini tengah menggugat keangkuhan pembangunan. Semoga empati yang merekatkan kita dalam perlawananan terhadap kesemena-menaan, juga menuntun kita agar mampu menjejak pada dunia di atas kertas dan di tengah realitas.



Referensi
Joesoef, Daoed. 2014. Studi Strategi: Logika Ketahanan dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
http://www.mongabay.co.id/2015/04/28/walhi-dan-warga-ajukan-banding-atas-putusan-ptun-semarang-terkait-pabrik-semen/



[1] Di Indonesia, koefisien Gini sebagai penanda ketimpangan melonjak dari 0,30 (tahun 2000) ke 0,42 (akhir 2014). http://print.kompas.com/baca/2015/04/12/Buku

Tidak ada komentar:

Posting Komentar