Mahasiswi Filsafat UI.
Upaya Sukinah dan warga Tegaldowo, Rembang,
Jawa Tengah menghadang eksekusi rencana pembangunan pabrik PT Semen Indonesia (PT
SI) di desanya adalah kisah lama. Mama Aleta di Nusa Tenggara juga pernah berjuang
dengan latar belakang yang serupa: mempertahankan tanah, penopang utama kelangsungan
hidupnya. Aleta Baun berhasil menang. Sementara itu, kemenangan yang diharap Sukinah kandas oleh putusan hakim di
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, 16 April 2015. Alasannya, gugatan
yang diajukan kadaluarsa. Kini, tim hukum Jaringan Masyarakat Peduli Pengunungan
Kendeng Utara bersama dengan tim dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) tengah
bersiap mengajukan banding.
Interaksi saya dengan Ibu Sukinah hanya sekali
terjadi pada santap siang di payung hijau di depan gedung II, Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya—yang sekarang telah dikonversi menjadi area khusus pelanggan
sebuah kedai kopi. Saat itu jurusan saya menyelenggarakan seminar bertajuk
“Keadilan Ekologis” dan mengundang Ibu Sukinah sebagai anggota biokomunitas
yang kelak dirugikan oleh pembangunan yang abai terhadap konteks sosial dan
lingkungan. Kepada saya Ibu Sukinah menuturkan keinginannya yang tidak
muluk-muluk; bisa terus bertani untuk melanjutkan hidup hari esok bersama
anak-cucunya. Keinginan yang bahkan tidak pernah muncul di benak saya. Keinginan
yang memang tidak mudah dipahami jika kita tidak betul-betul mengalami.
Saya meyakini, kita yang beruntung mampu
mengenyam pendidikan tinggi tidak harus mengalami untuk memahami. Begitu juga
dengan jajaran pengambil keputusan di PT SI yang tentu tidak berhenti sekolah
di tingkat SD. Idealnya, mereka punya perangkat bernama akal dan hati nurani
untuk membayangkan bahwa tanah yang ditanami beton berpotensi menghancurkan
struktur tanah sebagai pelindung mata air sekaligus memutus akses warga
Tegaldowo dan sekitarnya terhadap lahan yang disediakan secara cuma-cuma oleh
alam. Namun, memang tidak ada korelasi positif antara tingkat pendidikan dan akal
yang sukses menumbuhkan empati. Justru kerap kali ilmu yang terbaca sempurna di
atas kertas akhirnya membuat orang-orang berijazah semakin berjarak dengan
realitas.
**
Konsep mengenai pembangunan dan kemajuan
terangkum di dalam satu paket. Hubungan keduanya kerap kali dipahami sebagai
hubungan sebab-akibat secara mutlak: pembangunan memungkinkan kemajuan. Dalam
rangka keluar dari kondisi yang terbelakang, pemerintah melalui segenap
elitenya mengagendakan pembangunan nasional. Kerja kolektif berskala besar ini
memerlukan konsep visioner yang komprehensif agar implementasinya dapat
berjalan efektif dan betul-betul mentransformasi Indonesia menjadi negara
‘maju’ dalam konteks negara yang mampu menjamin perwujudan dasar kesejahteraan
rakyat yang kokoh dan menjamin pembentukan masa depan yang cerah melalui warga
negara yang tercerahkan.
Secara umum, berdasarkan periodenya pembangunan
nasional dapat dibagi menjadi dua, yaitu pembangunan era Orde Baru dan pembangunan era Reformasi.
Penerapan pembangunan Orde Baru disusun oleh tim teknokrat yang perumusannya
terpusat pada pembangunan dalam bahasa ekonomi. (Joesoef, 2014: 116) Merespon
kegagalan pembangunan yang simplisistik dan sentralistik ini, pemerintahan di
era Reformasi mencanangkan corak pembangunan yang lebih menyeluruh sebagai
usaha pemerataan. Akan tetapi, merujuk data koefisien Gini,[1] upaya transformasi tersebut belum membuahkan
perubahan yang signifikan. Ketimpangan justru semakin tinggi. Pembangunan masih
diterjemahkan dalam kerangka ekonomi dengan mengukur kemajuan dari angka produk
domestik bruto (PDB). Kecenderungan tersebut merupakan reduksi ide “pembangunan
nasional” menjadi “pembangunan ekonomi” yang pelaksanannya dilandaskan pada
penalaran logika ekonomika murni. Kebenaran penalaran ekonomika murni ditinjau
dari explanatory truth yang tertuang
dalam rumusan matematika formal. Nilai kebenarannya bukan diungkap melalui valuable truth yang melihat suatu
kebenaran berdasarkan kebergunaannya dalam memecahkan masalah sehari-hari.
Gejala-gejala sosial-politik-budaya tidak dapat terbaca menggunakan ukuran
tunggal kenaikan angka PDB. Alhasil, pembangunan bertendensi mendahulukan
kalkulasi keuntungan di bursa keunganan daripada kesejahteraan rill masyarakat
di lapangan.
Kekeliruan yang fundamental dari pendekatan
pembangunan reduksionis ini terletak pada abstraksi terhadap ruang (space). Aspek geografi fisik yang
memiliki geografi sosialnya tersendiri tidak masuk dalam kalkulasi khas ekonomi
yang mengutamakan variabel efisiensi. Alhasil, penguasaan ruang yang
diatasnamakan pembangunan dan kemajuan menuai konsekuensi panjang. Sebagai contoh,
pembabatan hutan untuk pembukaan kompleks perumahan, perkebunan, industri,
waduk berdampak pada persediaan air tanah, alih-fungsi lahan persawahan untuk
kompleks pertokoan, pendirian pusat-pusat perbelanjaan, area bisnis makam
mewah, mencampakkan penduduk desa dari kampung halamannya dan memaksa mereka
melakukan urbanisasi. Di kota mereka cenderung tersisih dari gegap-gempita
modernitas dan akhirnya menjadi kelompok masyarakat yang terpinggirkan.
Pembangunan dalam kerangka ruang sosial
berangkat dari asumsi bahwa ruang sosial bukan substansi yang abstrak. Ruang
sosial adalah ruang hidup manusia yang konkret dan diciptakan dalam konteks pembangunan suatu
komunitas tertentu. Ruang sosial ini adalah produk transformasi alam (daratan
maupun lautan) melalui proses pikiran dan kerja manusia. Ruang sosial ini juga
merupakan sebuah pementasan dari hubungan-hubungan sosial yang direkayasa oleh
penduduk dalam beragam derajat intervensi melalui tingkat modifikasi tata ruang
yang skalanya berbeda-beda. Artinya, pembangunan dalam kerangka ruang sosial
menitikberatkan partisipasi warga setempat sebagai orang-orang yang paling
terpengaruh dengan agenda pembangunan untuk mengambil keputusan yang bertujuan
pemenuhan kebutuhan dasar warga. Pembangunan dalam kerangka ruang sosial
artinya masyarakat bukan sekadar penonton agenda pembangunan (spectator development) dan terkena
imbasnya saja, namun masyarakat juga berperan sebagai partisipan pembangunan (participatory development).
Pembangunan nasional yang direduksi menjadi pembangunan
ekonomi menunjukkan bentuk dari spectator
development. Warga Aceh hanya bisa menonton saja gas dan minyak buminya
digali terus menerus. Suku Dayak Ngaju juga hanya bisa menyaksikan hutannya
dibabat dan ketika warga aslinya menebang sendiri pohon untuk keperluan
sehari-harinya di hutan kawasan adat ia dikejar-kejar petugas keamanan
perusahaan. Padahal, Suku Dayak Ngaju memiliki zonasi dalam hukum adatnya
antara lain Hutan Pahewan untuk pelaksanaan ritual adat, Hutan Sapehan untuk
berburu dan mencari kulit kayu serta obat-obatan, Hutan Kaleka berfungsi untuk
kebun dan ladang. Selain Suku Dayak Ngaju, Suku Banjar juga dipersulit untuk
mendulang emas dan batu mulia di tepian sungai tradisionalnya dengan dalih
merusak lingkungan. Di Papua, penduduk asli juga terpaksa menjadi penonton saat
bukit-bukit di tanah tempat hidupnya digali. (Daoed Joesoef, 2014: 178 – 179) Bukan
berlebihan apabila putusan hakim di pengadilan banding tetap memenangkan PT SI,
maka warga Tegaldowo, Rembang, Pati dan sekitarnya juga hanya akan melihat
kepulan asap dari instalasi pabrik PT SI dan masih harus hidup dalam kecemasan
akan ancaman kekeringan.
**
Eksploitasi yang telah terjadi dan berlangsung
tanpa henti ini adalah demi kemajuan pembangunan yang diukur berdasarkan kenaikan
angka PDB dan statistika ekonomi makro lainnya. Permasalahannya, pembangunan
bukan hanya perkara statistika dan analisa untung-rugi. Bukan berarti saya
anti-pembangunan. Saya kontra terhadap pembangunan yang abai terhadap eco-humanity. Visi membangun Indonesia
sebagai negara maju hanya jargon kosong apabila kebijakan yang diambil tidak dipikirkan
secara matang dan hanya menguntungkan segelintir aktor negara. Model
pembangunan ini mengandung kelemahan dilihat dari sisi upaya pemberdayaan
masyarakat akar rumput karena, pertama,
bahwa ruang sosial adalah ruang abstrak. Abstraksi ini mengandaikan ruang
sosial sebagai ruang yang tidak terikat dengan aktivitas serta interaksi
manusia yang ada di dalamnya. Akibatnya, atas nama pembangunan demi kemajuan,
masyarakat akar rumput kerap kali terpaksa angkat kaki dan akhirnya tercerabut
dari lokalitasnya; kedua, tujuan
pembangunan ekonomi yang mengakumulasi profit kontraproduktif dengan nilai
keberlanjutan lingkungan. Model pembangunan ini secara internal berkebutuhan
untuk terus menerus melakukan investasi, memobilisasi kapital dengan kecepatan
tinggi, dan mengeksploitasi aset-aset yang belum tersentuh teknologi. Model ini
melihat alam semata-semata sebagai objek yang keberlanjutannya tidak masuk
pertimbangan dalam pengambilan keputusan; ketiga, pembangunan ekonomi mengukur
kemajuan dengan formulasi makro-ekonomi. Hal ini menyebabkan gejala-gejala
problem sosial-politik-budaya dari beragam lapisan masyarakat tidak mampu
terbaca sehingga pembangunan bersifat eksklusif dan memajukan kalangan yang
menguasai sumber daya saja. Alhasil, masyarakat akar rumput hanya menjadi
penonton sebab aksesnya untuk mengelola sumber daya lokal dalam skala kecil
dieliminasi.
Saya tidak punya solusi konkret atas
pembangunan-isme yang menunggalkan definisi kemajuan. Yang saya punya sekadar
empati terhadap Ibu Sukinah dan rekan-rekan mana pun mereka kini tengah
menggugat keangkuhan pembangunan. Semoga empati yang merekatkan kita dalam
perlawananan terhadap kesemena-menaan, juga menuntun kita agar mampu menjejak
pada dunia di atas kertas dan di tengah realitas.
Joesoef, Daoed. 2014. Studi Strategi: Logika Ketahanan dan
Pembangunan Nasional. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
http://www.mongabay.co.id/2015/04/28/walhi-dan-warga-ajukan-banding-atas-putusan-ptun-semarang-terkait-pabrik-semen/
[1] Di Indonesia,
koefisien Gini sebagai penanda ketimpangan melonjak dari 0,30 (tahun 2000) ke
0,42 (akhir 2014). http://print.kompas.com/baca/2015/04/12/Buku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar