Oleh Bayu Baskoro Febrianto
Judul buku : Why Marx Was Right
Penulis : Terry Eagleton
Penerbit : Yale University Press,
2011
Tebal : 239 halaman
“Belum ada seseorang dengan gerakan yang lebih gigih akan emansipasi perempuan,
perdamaian dunia, perang melawan fasisme atau berjuang untuk kebebasan kolonial
selain gerakan politik oleh Marxisme.” (Terry
Eagleton)
DARI beberapa diskusi dengan
kawan-kawan saya di kampus, banyak yang mengira Marxisme sudah habis
relevansinya dan tidak dapat digunakan kembali dalam suatu pemerintahan.
Kesimpulan ini muncul karena mayoritas menganggap bahwa dengan hancurnya
negara-negara komunis di dunia, khususnya hancurnya kedigdayaan Uni Soviet di
tahun 1992, maka Marxisme telah gagal dalam pengaplikasiannya di dalam suatu
sistem pemerintahan. Dengan kata lain, ada yang salah di dalam Marxisme sebagai
suatu ajaran dan ideologi. Selain ideologi yang dianggap telah berakhir, banyak
mitos lain yang muncul di masyarakat terkait Marxisme. Misalnya, sering kita
dengar bahwa cita-cita Marxisme akan masyarakat komunis adalah utopis; Marx
mereduksi segalanya ke dalam tatanan ekonomi semata; Marxisme menghilangkan
nilai spiritualitas dan lain-lain.
Dalam selimut kabut mitos
Marxisme inilah Terry Eagleton menulis karyanya: Why Marx was Right ini. Eagleton, kritikus sastra sekaligus Marxis asal
Inggris, juga mendapati permasalahan yang sama terkait mitos-mitos seputar
Marxisme. Di dalam buku ini Eagleton mendapati 10 pertanyaan, mitos dan kritik
terhadap pemikiran Marx. Terry Eagleton berusaha menghadirkan mitos-mitos
tersebut dan menjawabnya satu per satu berdasarkan analisa dan pembacaannya terhadap
sejarah dan argumentasi yang beroposisi terhadap mitos tersebut. Setiap bab
yang dituliskan di buku ini merupakan pertanyaan dan jawaban atas mitos-mitos
dan pertanyaan seputar Marxisme.
Pemikiran Utopis
Salah satu kritik yang cukup
populer terhadap Marxisme adalah ia dianggap sesuatu yang utopis. Marxisme
dianggap mempercayai adanya kemungkinan kondisi masyarakat yang sempurna.
Padahal, pada hakikatnya manusia itu hidup dalam kompetisi, agresif dan egois,
sesuai dengan sifat manusia sebagai kendaraan bagi gen untuk bersaing satu sama
lain agar dapat bertahan hidup dan menuju eksistensi yang abadi. Hal tersebut
sangat berbeda dari pandangan Marxisme yang tidak menghendaki adanya
persaingan, sifat egois, ketiadaan kepemilikan pribadi, kompetisi maupun
ketidaksetaraan. Manusia akan mencapai kehidupan yang harmonis satu sama lain
dan keinginan akan material akan berakhir (p. 64).
Penggunaan kata utopia sendiri
cukup menarik untuk diperhatikan. Salah seorang Marxis asal Inggris,
William Morris, menuliskan makna utopia di dalam Newsfrom Nowhere yang tidak seperti hampir setiap kerja para utopia lai.
Di sana Morris menunjukkan detail bagaimana proses perubahan politik
kelak. Marx sendiri menunjukkan sedikit minat tentang masa depan seperti
faktanya, karena itu ia tidak menunjukkan dengan detail bagaimana masyarakat
sosialis atau komunis akan dibangun. Mungkin para kritikus menuduhnya atas
ketidakjelasan tersebut. Tetapi sebagai seorang materialis, Marx berhati-hati
akan ide tentang masa depan yang justru terpisah dari realitas sejarah. Poin
yang ditekankan oleh Marx bukanlah bermimpi tentang masa depan yang ideal,
tetapi untuk menyelesaikan kontradiksi yang ada di masa sekarang. (p. 68). Hal
ini dengan jelas dinyatakan Marx dalam The German Ideology, bahwa komunisme bukanlah ‘kondisi yang ideal dimana
realitas harus menyesuaikan diri.’[1]Sebaliknya,
ia memandang komunisme sebagai ‘gerakan nyata yang menghapuskan kondisi
sekarang.’[2]
Jadi, apakah Marx seorang pemikir
utopis? Ya, jika hal ini berarti bahwa ia membayangkan masa depan yang akan
menjadi kemajuan besar dibandingkan pada saat ini. Dia percaya pada akhir dari
kepemilikan pribadi, eksploitasi, kelas sosial dan negara seperti yang kita
tahu saat ini dan hadirnya kesetaraan bagi semua orang. Kesetaraan yang
sesungguhnya yang bukan berarti memperlakukan semua orang sama, tapi
menghadirkan kesetaraan kepada kebutuhan yang berbeda untuk setiap orang. Ini
adalah jenis masyarakat yang Marx bayangkan kedepannya. Kebutuhan manusia tidak
semua sepadan dengan satu sama lain. Anda tidak bisa mengukur mereka semua
dengan ukuran yang sama. Semua orang bagi Marx memiliki hak yang sama untuk
realisasi diri, dan untuk berpartisipasi aktif dalam membentuk kehidupan sosial
(p.104).
Ekonomi dan Spiritualitas
Marxisme juga dianggap terlalu
deterministik: segala laku kehidupan adalah merupakan refleksi dari kegiatan
ekonomi. Benarkan demikian?
Di satu sisi, klaim bahwa segala
sesuatu merujuk kepada ekonomi merupakan kebenaran yang tak dapat disangkal.
Marx dalam tulisannya di The German
Ideology menulis bahwa aksi sejarah pertama merupakan produksi
untuk memenuhi kebutuhan material manusia. Basis dari kebudayaan adalah
perburuhan, tidak mungkin ada masyarakat tanpa produksi material. Marxisme
menginginkan klaim lebih dari itu, Marxisme menginginkan perdebatan bahwa produksi
material adalah hal yang fundamental, tidak hanya dalam klaim bahwa masyarakat
tidak ada tanpa produksi material melainkan hal tersebut juga yang akhirnya
menentukan dalam kehidupan masyarakat. Inilah yang kemudian dikenal dengan
Materialisme Historis. Masyarakat tentu saja harus dapat memenuhi kebutuhan
dasar mereka terlebih dahulu, dan dengan demikian merupakan aktivitas ekonomi,
sebelum akhirnya berkembang ke aspek-aspek lainnya seperti berkebudayaan dan
bereproduksi.
Eagleton menulis bahwa hanya ekonomi
sebagai ide terdekat yang akan membawa kita masuk ke dalam ruang ekonomi.
Dengan cara mengatur kembali sumber kapitalisme dengan penuh pertimbangan,
sosialisme bisa mengikuti ekonomi dan tidak akan menguap melainkan akan menjadi
yang paling menonjol. Marx juga menginginkan sebuah masyarakat dimana aktivitas
ekonomi tidak lagi memonopoli begitu banyak waktu dan energi (p. 126). Kerja,
sebagai bentuk konkret dalam aktivitas ekonomi, bagi Marx, adalah tentang
kebahagiaan manusia. Kebaikan hidup untuk Marx adalah untuk waktu luang.
Pembebasan diri adalah pola seharusnya dari ‘produksi,’ bukan sesuatu yang
memaksa. Waktu luang tentunya dibutuhkan jika manusia ingin mengerjakan urusan
mereka, berekspresi sedemikian rupa, berkebudayaan, dan lain sebagainya.
Sebagai seorang yang materialis,
Marx memercayai materi sebagai satu-satunya yang eksis. Kritik yang muncul
kemudian adalah bahwa Marxisme tidak memiliki ketertarikan pada aspek spiritual
dalam kemanusiaan dan melihat kesadaran manusia hanya sebagai refleksi dari
dunia material. Marx secara brutal menafikan agama dan memandang moralitas
sebagai pertanyaan akan pembenaran; Marxisme mengosongkan kemanusiaan dan aspek
berharga di dalamnya, mengecilkannya ke dalam bagian kecil gumpalan-gumpalan
yang bergantung kepada lingkungan, demikian para kritikus berkata. Problem,
demikian dalam buku Eagleton, ini harus ditempatkan dalam konteksnya. Sebagai
salah satu buah pikiran yang paling modern, Marx terutama alergi terhadap
ide-ide khayalan. Abstraksi menurut pemikiran Marx adalah sederhana dan tidak
menarik, berbeda dengan sifat konkrit yang kaya dan kompleks.
Memang benar dikatakan bahwa Marx
cukup sering mencela moralitas–sebagai bentuk paling nyata dari
spiritualitas–namun ia memahami jenis penelitian sejarah yang mengabaikan
faktor-faktor material tetapi mendukung faktor moralitas. Istilah yang pantas
untuk ini bukan moralitas tapi moralisme. Moralisme abstrak merupakan sesuatu
yang disebut sebagai ‘nilai-nilai moral’ dari seluruh sejarah dimana mereka
diatur dan kemudian hasilnya digunakan untuk menjatuhkan penilaian moral
mutlak. Penyelidikan moral yang sesungguhnya adalah menyelidiki semua aspek
dari situasi manusia. Penyelidikan tersebut menolak untuk menceraikan
nilai-nilai kemanusiaan, perilaku, hubungan dan kualitas karakter dari keadaan
sosial dan kekuatan-kekuatan sejarah yang membentuk mereka. Dengan demikian,
penyelidikan tersebut dapat memilah perbedaan antara pertimbangan moral di satu
sisi dan analisis ilmiah di sisi lain. Sebuah penilaian moral yang benar perlu
memeriksa semua fakta yang relevan seketat mungkin. Dalam hal ini, Marx sendiri
adalah seorang moralis yang benar di tradisi Aristoteles, meskipun ia tidak
selalu tahu bahwa dia termasuk salah satu diantaranya. Moralitas untuk Marx,
tulis Eagleton, pada akhirnya adalah tentang tentang menikmati diri sendiri;
tetapi karena tidak ada yang bisa menjalani kehidupan mereka yang terisolasi,
moral harus melibatkan politik juga. Spiritual memang tentang dunia lain. Tapi
itu bukan dunia lain yang sama seperti bayangan para agamawan. Spiritual adalah
dunia lain dimana sosialisme terbangun di masa depan.
Marx sendiri, bagaimanapun,
menganggap pemikiran tentang moralitas semacam ini benar-benar ideologis. Untuk
satu hal, pemikiran tersebut mengurangi kondisi pasif manusia terhadap
keadaannya. Pikiran mereka dipandang sebagai lembaran kosong, di mana mereka
menerima tayangan sensorik dari dunia luar material, dan dari tayangan ini
mereka membentuk ide-ide mereka. Jika tayangan ini bisa, entah bagaimana, dimanipulasi
untuk menghasilkan jenis ide yang “benar,” manusia bisa membuat kemajuan yang
stabil menuju tingkat kesempurnaan sosial. Melalui ide untuk dapat mengubah
realitas, mereka berharap memiliki cara untuk mempengaruhi perilaku orang-orang
biasa. Bagi Eagleton, sulit untuk percaya bahwa Marx dapat berpikiran
materialisme seperti ini (p.129).
Pemikiran Marx akan Kelas
Argumen serangan terhadap
Marxisme kembali timbul: tidak ada yang lebih usang tentang Marxisme
dibandingkan obsesi membosankan tentang kelas. Bagi para kritikus, Marxis
tampaknya tidak menyadari bahwa lanskap kelas sosial telah berubah, bahkan pada
masa ketika Marx sendiri masih hidup. Dalam kondisi tertentu, kelas pekerja
yang mereka bayangkan akan mengantar mereka menuju sosialisme telah menghilang
hampir tanpa jejak. Kini, kita hidup dalam dunia di mana kelas menjadi semakin
tidak penting, di mana ada mobilitas sosial dan di mana pembicaraan perjuangan
kelas adalah hal yang kuno. Kelas Pekerja revolusioner, seperti orang fasik
yang bertopi kapitalis, adalah isapan jempol dari imajinasi Marxis (p. 160).
Marxisme tidak mendefinisikan
kelas dalam hal gaya, status, pendapatan, aksen, atau pekerjaan. Konsep Amerika
kuno misalnya, menunjukkan konsep kelas sebagian besar merupakan masalah
tentang sikap. Tapi, Marxisme bukanlah pertanyaan akan sikap. Kelas menurut
Marxisme, bukanlah suatu hal bagaimana Anda merasa tapi apa yang Anda lakukan.
Ini adalah pertanyaan tentang di mana Anda berdiri dalam moda produksi, baik
sebagai budak, petani wiraswasta, pertanian penyewa, pemilik modal, pemodal,
pemilik kecil atau sebagainya.
Jika Marxisme begitu
memperhatikan konsep kelas, hal itu karena ia ingin melihat latar belakang itu.
Marx sendiri tampaknya melihat kelas sosial sebagai bentuk keterasingan. Untuk memanggil
laki-laki atau perempuan hanya sebagai kelas “pekerja” atau “kapitalis” adalah
untuk mengubur individualitas mereka di bawah labelisasi yang tak terlihat.
Tapi itu adalah bentuk keterasingan yang dapat dihancurkan hanya dari dalam.
Hanya dapat berjalan melalui kelas dan menerimanya sebagai realitas sosial yang
tidak dapat dihindari, permasalahan itu dapat dibongkar.
Marx menyatakan bahwa konsentrasi
kelas pekerja di pabrik-pabrik merupakan prasyarat emansipasi politik mereka.
Dengan membawa kelas pekerja bersama-sama bersatu untuk tujuan kepentingan
mereka, kapitalisme akan menciptakan kondisi dimana mereka bisa mengorganisir
diri secara politik. Hal yang tentu tidak terpikirkan di dalam pikiran para
penguasa. Kapitalisme tidak dapat bertahan hidup tanpa kelas pekerja, sedangkan
kelas pekerja dapat berkembang jauh lebih bebas tanpa kapitalisme. Mereka yang
tinggal di daerah kumuh kota-kota besar di dunia tidak terorganisir di titik
produksi, tetapi tidak ada alasan untuk menganggap bahwa ini adalah
satu-satunya tempat di mana berbagai halangan dan permasalahan dapat
bersekongkol untuk mengubah situasi mereka. Seperti kaum proletariat klasik
mereka ada sebagai kolektif, memiliki keinginan yang sangat kuat akan
berlalunya tatanan dunia saat ini. Keinginan tersebut tidak akan merugikan
kelas pekerja selain hancurnya rantai belenggu mereka sebagaimana dikatakan
dalam Manifesto Komunis.
Revolusi dan Negara
Pengritik Marxisme kembali
mengajukan argumen bahwa kaum Marxis adalah para advokat dari tindakan politik
menggunakan kekerasan. Mereka menolak pemikiran moderat atau reformasi demi
revolusi yang penuh kekacauan dan berlumuran darah. Segelintir pemberontak akan
bangkit, menggulingkan negara dan memaksakan kehendaknya kepada mayoritas.
Ide dari sebuah revolusi biasanya
membangkitkan gambar kekerasan dan kekacauan. Dalam hal ini, dapat dibandingkan
dengan reformasi sosial, yang kita cenderung berpikir sebagai damai, moderat
dan bertahap. Hal ini, bagaimanapun, adalah perlawanan palsu. Banyak reformasi telah
melakukan apapun secara damai. Lantas, pikirkan kembali gerakan hak-hak sipil
Amerika Serikat yang jauh dari revolusioner, namun melibatkan banyak kematian,
pemukulan, pembunuhan tanpa pengadilan dan represi brutal. Dalam kolonial yang
mendominasi Amerika Latin pada abad kedelapan belas dan abad kesembilan belas,
setiap upaya reformasi liberal memicu kekerasan konflik sosial.
Terry Eagleton kemudian
memberikan bukti bahwa pada beberapa revolusi, sebaliknya, relatif berjalan
dengan damai. Tidak banyak orang tewas dalam pemberontakan Dublin dari tahun
1916, dimana revolusi bertujuan menghasilkan kemerdekaan parsial untuk
Irlandia. Anehnya lagi, sedikit darah tertumpah dalam revolusi Bolshevik tahun
1917. Faktanya, pengambilalihan titik kunci di Moskow dicapai tanpa adanya
tembakan dikeluarkan. Sangat menakjubkan melihat dukungan yang begitu kuat dari
masyarakat umum kepada kaum pemberontak. Ketika sistem Soviet jatuh lebih dari
tujuh puluh tahun kemudian, negeri dengan daratan luas yang memiliki sejarah dan
konflik runtuh tanpa banyak terjadi pertumpahan darah dari pada ketika Soviet
berdiri. Memang benar bahwa perang sipil berdarah mengikuti langkah revolusi
Bolshevik. Tapi hal ini terjadi karena tatanan sosial baru diserang secara buas
dari kekuatan sayap kanan serta para penyerbu asing. Pasukan Inggris dan
Perancis turun mendukung pasukan kontrarevolusioner melawan kaum Bolshevik
(p.180)
Bagi Marxisme, revolusi tidak
ditandai dengan berapa banyak kekerasan. Rusia tidak bangun pada pagi hari
setelah revolusi Bolshevik untuk kemudian menemukan semua hubungan pasar
dihapuskan dan semua industri menjadi milik publik. Sebaliknya, pasar dan
kepemilikan pribadi bertahan untuk waktu yang cukup setelah Bolshevik merebut
kekuasaan. Partai sayap kiri mengambil garis yang sama dengan kaum tani. Tidak
ada pertanyaan kaum revolusioner mengarahkan mereka ke pertanian kolektif
secara paksa; sebaliknya, proses itu dilakukan secara bertahap dan konsensual.
Revolusi biasanya membutuhkan waktu yang lama untuk timbul, dan memakan waktu
berabad-abad untuk mencapai tujuan mereka. Kelas menengah Eropa tidak
menghapuskan feodalisme hanya dalam waktu satu malam. Perebutan politik adalah
urusan untuk jangka pendek; mengubah kebiasaan, lembaga dan sifat masyarakat
membutuhkan waktu lebih banyak lagi. Hal tersebut melibatkan proses panjang
pendidikan dan perubahan budaya.
Marx sendiri tampaknya percaya
bahwa di negara-negara seperti Inggris, Belanda dan Amerika Serikat, sosialis
mungkin mencapai tujuan mereka dengan cara damai. Marx tidak menampik parlemen
atau reformasi sosial. Dia juga berpikir bahwa partai sosialis bisa mendapat
kekuatan hanya dengan dukungan dari mayoritas kelas pekerja. Marx adalah
seorang yang antusias akan hadirnya organ reformis seperti partai politik kelas
pekerja, perdagangan serikat pekerja, asosiasi budaya dan koran politik. Selain
itu, Marx juga berbicara untuk langkah-langkah reformis tertentu seperti
pemendekan jam kerja. Bahkan, pada satu titik ia dianggap agak optimis bahwa
hak pilih universal akan melemahkan sendiri kekuasaan kapitalis.
Pada bab berikutnya dari buku
ini, kritik muncul kembali dengan pandangan bahwa Marxisme percaya akan sebuah
negara yang sangat kuat. Setelah dihapuskannya kemilikan pribadi, kaum
revolusioner sosialis akan memerintah dengan kekuasaan yang sewenang-wenang,
dan kekuatan yang akan mengakhiri kebebasan individu. Hal ini terjadi di mana
pun ketika Marxisme dimasukkan ke dalam praktek; tidak ada alasan untuk
mengharapkan hal-hal akan berbeda di masa depan. Ini adalah bagian dari logika
Marxisme bahwa orang-orang akan tunduk kepada partai, partai tunduk kepada
negara, dan negara patuh kepada seorang diktator yang mengerikan (p. 196).
Padahal, apa yang Marx harap
dalam masyarakat komunis bukanlah negara dalam arti pemerintahan pusat.
Faktanya, Marx menulis di volume ketigaCapital, bahwa sebuah negara sebagai “kegiatan umum yang timbul
dari sifat seluruh masyarakat.” Negara sebagai badan administratif akan hidup.
Seperti yang ia katakan dalam Manifesto Komunis, kekuasaan publik di bawah
komunisme akan kehilangan karakter politiknya. Dalam hal ini, Marx memandang
negara dengan kacamata realisme. Negara jelas bukan organ yang netral secara
politik, bahkan bertindak secara hati-hati terhadap suatu bentrokan kepentingan
sosial. Negara paling tidak memihak dalam konflik antara buruh dan kapital.
Negara ada, antara lain untuk mempertahankan tatanan sosial yang ada saat ini
terhadap mereka yang berusaha untuk mengubahnya. Jika secara inheren tidak
adil, maka dalam hal ini negara bertindak tidak adil juga.
Gerakan Sosial Baru
Kritik lain yang juga muncul
terkait Marxisme dalam buku ini adalah klaim bahwa semua gerakan radikal yang
paling menarik dari empat dekade masa lalu bermunculan di luar Marxisme.
Feminisme, gerakan lingkungan, gay dan etnis politik, hak-hak binatang, anti
globalisasi, gerakan perdamaian: semuanya kini tidak lagi diambil oleh komitmen
kuno untuk perjuangan kelas, dan merupakan bentuk-bentuk baru dari aktivitas
politik. Salah satu yang paling berkembang dari arus politik baru dikenal
sebagai gerakan antikapitalis, sehingga sulit untuk melihat bagaimana telah
terjadi pemutusan hubungan dengan Marxisme. Pergeseran dari Marxisme ke anti
kapitalisme hampir merupakan kesamaan. Bahkan, hubungan Marxisme dengan tren
radikal lainnya telah memiliki nama dan bagian di dalamnya. Misalnya, hubungan
dengan gerakan perempuan.
Beberapa Marxis seringkali
menepis seluruh pertanyaan tentang seksualitas atau berusaha menyesuaikan
politik feminis untuk tujuan mereka sendiri. Ada banyak tradisi Marxis yang
puas dan masih buta perspektif gender dan paling buruk masih menggunakan
kebudayaan patrialtikal. Banyak kaum Marxis laki-laki telah belajar dari
feminisme, baik secara pribadi dan politik. Dan Marxisme pada gilirannya
memiliki kontribusi besar untuk pemikiran dan praktek feminis.
Beberapa dekade yang lalu, ketika
dialog Marxis-feminis berada di masa yang paling enerjik, seluruh rangkaian
pertanyaan penting bermunculan. Apa pandangan Marxis tentang pekerja domestik,
yang mana Marx sendiri telah abaikan? Apakah perempuan membentuk kelas sosial
dalam ranah Marxis? Bagaimana teori yang berkaitan dengan produksi industri
untuk memahami perawatan anak, konsumsi, seksualitas, keluarga? Apakah keluarga
merupakan pusat masyarakat kapitalis, atau apakah kapitalisme akan mengumpulkan
orang menuju barak komunal dan berpikir bahwa hal tersebut lebih menguntungkan?
Apakah bisa ada kebebasan bagi perempuan tanpa penggulingan masyarakat kelas?
Apa hubungan antara kapitalisme dan patriarki –mengingat bahwa yang terakhir
lebih kuno dari pertanyaan lainnya.
Beberapa Marxis-feminis
berpendapat bahwa penindasan perempuan hanya bisa berakhir dengan jatuhnya
kapitalisme. Mengenai pandangan yang terakhir, Eagleton menjelaskan bahwa tidak
ada sifat kapitalisme yang mengharuskan tunduknya wanita. Tetapi dua sejarah
tersebut: patriarki dan masyarakat kelas, begitu erat terjalin dalam praktek
yang mana akan sulit membayangkan menggulingkan yang satu tanpa gelombang kejut
besar bergulir terhadap yang lainnya (p. 212).
Tanggapan dan Penutup
Membaca Why Marx Was Right karya Terry Eagleton seakan-akan seperti melihat adu
argumen antara seorang Marxis menghadapi para pengritiknya. Metode yang
digunakan dalam penulisan Eagleton kali ini adalah dengan merujuk klaim
terhadap Marxisme tidak relevan dari apa yang dibicarakan oleh Marx, lalu
mengakui kebenaran dalam klaim dan menunjukkan bagaimana kebenaran ini
kompatibel dengan apa yang sebenarnya dikatakan oleh Marx. Kemudian, Eagleton
juga menunjukkan bahwa konsekuensi negatif yang disorot oleh klaim yang ada
lebih banyak berlaku untuk kapitalisme daripada sosialisme, atau menunjukkan
bahwa klaim tersebut tidak benar. Jantung dari buku ini adalah kebenaran yang
sederhana namun mendesak. Kita perlu Marx lagi lebih dari sebelumnya. Namun
sayang, beberapa pembahasan yang berputar membuat agak sedikit sulit untuk
memahami inti dari gagasan yang dibawakan oleh Terry Eagleton kepada pembaca.
Dalam buku Why Marx was Right,
Eagleton telah meringkas semua jawaban atas kritik terhadap Marxisme secara
singkat. Menurut Eagleton, tidak ada keraguan bahwa karya Marx dibatasi oleh
kondisi sosialnya. Marx adalah seorang intelektual kelas menengah Eropa. Tapi
tidak banyak intelektual kelas menengah Eropa yang menyerukan penggulingan
kerajaan atau emansipasi pekerja pabrik. Nyatanya banyak intelektual masa
kolonial besar yang bertindak demikian. Kampanye untuk kebebasan, bernalar dan
progresif, yang muncul dari kelas menengah abad kedelapan belas Eropa, adalah
sebagai pembebasan dari kehidupan tirani dan bentuk halus dari despotisme sendiri;
dan Marx yang membuat kita sadar akan kontradiksi ini. Dia membela cita-cita
borjuis besar akan kebebasan, bernalar dan progresif, tetapi ingin tahu mengapa
mereka cenderung mengkhianati diri mereka sendiri setiap kali mereka
diimplementasikakan ke dalam praktek. Dengan demikian, ia seorang kritikus akan
Pencerahan-tapi seperti semua bentuk kritik yang paling efektif, ia
melakukannya dari dalam (kritik imanen). Marx memerankan peran apologis yang
tegas, sekaligus antagonis yang buas.
Marx memiliki keyakinan penuh
akan individu dan kecurigaan mendalam terhadap dogma abstrak. Dia tidak punya
waktu untuk konsep masyarakat yang sempurna, berhati-hati terhadap gagasan
kesetaraan, dan tidak bermimpi masa depan di mana semua manusia akan memakai
jas boiler dengan nomor Asuransi Nasional tertera di punggung. Keragaman, bukan
keseragaman, yang Marx harap menjadi kenyataan. Dia juga tidak mengajarkan
bahwa manusia hanya sebagai mainan tak berdaya dari sejarah. Dia bahkan lebih
memusuhi negara daripada sayap kanan konservatif, dan melihat sosialisme
sebagai pendalaman demokrasi, bukan sebagai musuh dari demokrasi itu sendiri.
Modelnya tentang kehidupan yang baik didasarkan pada gagasan artistik ekspresi
diri. Dia percaya bahwa beberapa revolusi mungkin dapat dicapai dengan damai,
dan menganggap tidak masuk akal menentang reformasi sosial dan tidak berfokus
sempit kepada hanya kelas pekerja.
Tiap bab per bab buku Why Marx Was Right akan membantu mempersenjatai sosialis generasi baru
dengan ide-ide yang diperlukan untuk memenangkan pertempuran di depan, guna
menghadapi para pengkritik naif yang tidak memahami benar-benar Marxisme namun
menyerangnya dengan tuduhan-tudahan. Apalagi, di negeri kita yang sangat
menabukan hal-hal terkait Marxisme dan komunisme akibat pengaruh rezim lama
Orde Baru, tentu kritik atas pemikiran Marx masih banyak ditemui. Padahal,
kehadiran Marx lebih dibutuhkan pada masa sekarang, dimana kapitalisme sedang
menjangkiti dunia dengan pengaruh kekuasaan modalnya. Selama kapitalisme masih
mewabah dan menjangkiti dunia, Marxisme akan selalu ada untuk membawa umat
manusia menuju pembebasan. Sebagaimana kata Eagleton, “Belum ada seseorang dengan gerakan yang lebih gigih akan emansipasi
perempuan, perdamaian dunia, perang melawan fasisme atau berjuang untuk
kebebasan kolonial selain gerakan politik oleh Marxisme.”
Bayu
Baskoro Febrianto adalah Mahasiswa Sejarah UI dan Anggota SEMAR UI.
Artikel di atas pernah
dimuat di website IndoProgress dalam rubrik Left
Book Review edisi 18 September 2014, ( http://indoprogress.com/2014/09/marxisme-yang-belum-habis-masanya/). Dimuat ulang di sini untuk tujuan pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar