Jumat, 26 Desember 2014

Generasi Muda: Ayo, Hilangkan Budaya Orde Baru!


Oleh Bayu Baskoro Febianto dan Dicky D. Ananta

Rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto masih dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai zaman pembangunan di Indonesia. Hal yang mudah diingat adalah zaman yang serba murah, stabil, dan aman. Begitu setidaknya yang sering saya dengar dari orang-orang tua di sekitar tempat tinggal. Romantisme masa lalu untuk membangkitkan semangat Soeharto selama 32 tahun, dihembuskan dengan kalimat pertanyaan yang singkat “Piye kabare? Isih penak jamanku to?”, yang makin banyak bermunculan di berbagai tempat. Hingga saat ini, pembangunan yang dicapai dengan kestabilan ekonomi dan politik itulah yang dijadikan tolak ukur perjuangan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.

Tema pokok perjuangan Orde Baru ialah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.[1] Sesuai dengan konsesus nasional yang dijalankan Orde Baru, maka segala bentuk ideologi yang dianggap berlawanan dengan Pancasila harus dihabisi. Orde Baru selalu membayang-bayangi PKI dan komunisme sebagai hantu “bahaya laten” yang membahayakan pembangunan nasional dan penyebab kerusuhan serta pengkhianatan. Segala sesuatu yang membicarakan tentang PKI atau komunisme pada masa Orde Baru ditabukan. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menjadi pemicu sentimen komunistophobia di era Soeharto dan selanjutnya.

Siapa pun yang dianggap terlibat peristiwa G30S atau dekat dengan PKI dan komunisme akan segera disikat oleh rezim Orde Baru. Ketika pemerintah Orde Baru menggunakan klaim stabilitas politik sebagai alat untuk meredam kegiatan politik dalam rangka membersihkan pengaruh komunisme, dibentuklah BAIS (Badan Intelijen Strategis), BAKIN (Badan Kordinasi Intelijen) dan Kopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) dengan berlandaskan pada UU Anti Subversif (UU No.5 Tahun 1969).[2] Ketiga lembaga tersebut kemudian menjadi alat pemerintah untuk merepresi masyarakat Indonesia sendiri dengan dalih asas tunggal Pancasila. Pelarangan kepada komunisme di Indonesia dikonstitusikan ke dalam TAP MPRS No.XXV tahun 1966 yang menjadi puncak dari komunistophobia ala Soeharto, sekaligus mematikan gerakan-gerakan Rakyat yang sudah terbangun.

Dalam ingatan sosial masyarakat Indonesia seperti yang dibentuk rezim Soeharto, G30S merupakan kekejaman yang begitu jahat. Sehingga kekerasan massal terhadap siapa pun yang terkait dengannya dilihat sebagai sesuatu yang dibenarkan dan bahkan terhormat.[3] Hal itu menyebabkan peristiwa pembantaian massal pasca 1965, bersama dengan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya, mendapatkan pembenaran di masyarakat dalam bentuk impunitas. Hal ini yang seharusnya direduksi oleh generasi pasca-Orba yang mencoba menegakkan keadilan HAM sebagai salah satu usaha untuk mewujudkan sebuah negara yang demokratis.



Orde Baru di Indonesia tidak hanya menjadi sebuah rezim pemerintahan belaka. Tetapi, sudah mengakar hingga membentuk pola pikir dan order dalam masyarakat. Budaya depolitisasi yang membuat masyarakat begitu apolitis dengan menjauhkan persoalan politik dari kehidupan sehari-hari warga adalah kesuksesan rezim tersebut. Hal itu disadari atau tidak, masih berjalan dan eksis hingga saat ini. Politik dipandang oleh sebagian besar masyarakat kita sebagai urusan elit saja, bukan urusan warga sehari-hari. Akibatnya, kebangkitan kekuatan politik alternatif yang berangkat dari akar rumput masih merangkak untuk menandingi politik elit. Di sisi lain, oligarki semakin mencengkeram politik kita. Mengutip Hilmar Farid, hal tersebut berhubungan dengan imajinasi politik, yang dipatahkan sebelum dia tumbuh. 

Sebagai sebuah order sosial, Orde Baru masih mengakar meskipun rezimnya telah tumbang 16 tahun lalu. Hal itu tertanam dalam pola pikir Orba yang masih berjalan dalam kehidupan sekarang. Bahkan, pola pikir tersebut menjangkiti anak-anak muda yang lahir dalam periode pasca Orde Baru. Inilah kesuksesan kedua dari Orde Baru. Saya mengamati dalam kehidupan sosial di sekitar, masih banyak anak muda yang tidak ingin menunjukkan perlawanannya, khususnya apabila mengenai permasalahan politik, yang itu sangat erat berhubungan dengan kehidupan sehari-harinya, misal, mahalnya mengakses pendidikan dasar hingga tinggi, naiknya harga cabe, naiknya harga BBM, hilangnya suara kita dalam pemilihan Kepala Daerah, dll. Sebagian besar tetap ingin menjadi anak baik-baik dan santun di mata masyarakat. Ini merupakan manifestasi budaya depolitisasi yang ditanamkan Orde Baru selama berkuasa.

Hal di atas terjadi dalam satu frame yang sama, yaitu alergi massal atas ideologi dan politik. Ideologi dianggap hal yang terlarang, begitu pula dengan berideologi. Kemudian, gegap politik hanya terjadi selama lima tahun sekali, yaitu menjelang Pemilu saja. Itupun bila ada money politics-nya. Fenomena alergi berbicara ideologi dan politik, baik secara langsung ataupun tidak langsung merupakan wujud dari warisan Orde Baru di kalangan anak muda.. Ideologi tidak dibicarakan karena kalau dia meluas, maka akan mengancam stabilitas kekuasaan. Para korban Orba secara tanpa alasan biasanya merasa alergi membicarakan ideologi karena termakan oleh hasutan Orba tentang betapa buruk dan kotornya politik.

De-ideologisasi tersebut bisa berjalan mulus bersamaan dengan sterilisasi kampus dari politik. Mahasiswa yang ideal dikarakterisasikan dengan mahasiswa yang sibuk belajar saja serta tidak boleh ikut demonstrasi ataupun aktif dalam organisasi politik. Hal itu di pelopori dari program yang bernama NKK-BKK di era Menteri pendidikan Daoed Joesoef. Kebijakan ini sekarang menjelma dalam berbagai bentuk, misalnya pembatasan waktu tempuh kuliah dan pembatasan kegiatan kampus lewat pelaksanaan kebijakan jam malam di kampus, dan sangsi DO bagi mahasiswa yang berdemonstrasi.

Di sisi lain, secara materi kuliah khususnya di Ilmu Sosial,  terdapat pemotongan atau penghilangan tradisi berpikir kritis dengan dihapusnya Marxisme dalam khasanah ilmu di kampus. Sejak ’65, intelektual Kiri diusir keluar kampus, bahkan sebagian diasingkan dan dibunuh, hal tersebut membuat hilangnya tradisi pemikiran Kiri dalam kampus. Akibatnya, konflik dalam proses sosial dianggap negatif, bukan hal yang konstruktif. Bagaimana mungkin kita pahami pemikiran Weber, Parson, Schumpeter, Keynes, Dahl, bahkan Hayek, tanpa mengerti pemikiran Marx? Kampus, sebagian besar hanya melahirkan pseudo-intelektual, karena proses di dalamnya tidak dialektis, sebagaimana karakter ilmu itu sendiri.

Tatanan (order) Orde Baru secara sosial, dirangkum dengan sangat baik oleh sebuah artikel berjudul “ABC Orbais”[4], yang bila saya amati juga ada dalam kehidupan sosial di sekitar saya. Misal, selalu menggunakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pembenar tindakan, menggunakan isu SARA untuk menyerang lawan politik, mem-PKI-kan orang atau organisasi yang melawan kekuasaan, merindukan pemimpin militer yang tegap dan gagah, budaya patron dalam organisasi dan politik, dan eufimisme dalam berbahasa untuk menutupi keburukan. Berbagai hal di atas, disadari atau tidak, tertanam dalam pola pikir seakan-akan alami.  Oleh karena itu, generasi muda sekarang harus lebih banyak mencari tahu tentang sejarah perkembangan Orde Baru berkuasa, hingga bagaimana prosesnya bekerja sampai dapat bertahan dan mengakar di kehidupan.

Melalui film The Look of Silence/ Senyap karya Joshua Oppenheimer inilah, kita dapat memetik pelajaran bagaimana proses dan pengaruh Orde Baru masih mengakar di masyarakat, serta perjuangan untuk menolak impunitas atas kasus Pembantaian masssal pasa 1965. Pahami dengan seksama bahwa perjuangan untuk melawan pengaruh Orde baru yang masih mengakar hingga sekarang juga dapat dilakukan oleh kita sebagai generasi muda. Orde Baru sebagai musuh demokrasi yang konkret masih banyak berada di sekitar kita. Dan, sekarang menjadi tugas kita, khususnya generasi muda, untuk menghilangkan pengaruhnya. Sekarang Juga!
            #Indonesia Baru Tanpa Orba!
           
Bayu Baskoro Febianto adalah Mahasiswa Sejarah UI dan Koordinator Departemen Agitasi dan Propaganda SEMAR UI. Sedangkan, Dicky D. Ananta adalah mahasiswa Ilmu Politik UI dan Sekjend SEMAR UI. Keduanya beredar di twitterland dengan akun masing-masing @bayubeef dan @dickydwiananta

Tulisan ini disampaikan pada Pemutaran Film dan Diskusi “The Look of Silence” atau “Senyap”  di Gedung X FIB UI pada 10 Desember 2014.





[1] Nugroho Notosusanto, Tercapainya Konsesus Nasional 1966-1969, Balai Pustaka, 1985, hlm.28
[2] UU ini merupakan Penpres No.11/PNPS/1963 yang diundangkan menjadi UU Anti Subversif
[3] John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, 2006,Hasta Mitra, hlm.26
[4]Tulisan di atas disadur dari “ABC ORBAIS.” Diunduh dari http://abcorbais.wordpress.com/ diakses pada 9 desember 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar