Oleh Bayu Baskoro Febianto dan Dicky D. Ananta
Rezim Orde Baru yang
dipimpin oleh Soeharto masih dianggap oleh sebagian masyarakat sebagai zaman
pembangunan di Indonesia. Hal yang mudah diingat adalah zaman yang serba murah,
stabil, dan aman. Begitu setidaknya yang sering saya dengar dari orang-orang
tua di sekitar tempat tinggal. Romantisme masa lalu untuk membangkitkan
semangat Soeharto selama 32 tahun, dihembuskan dengan kalimat pertanyaan yang
singkat “Piye kabare? Isih penak jamanku
to?”, yang makin banyak bermunculan di berbagai tempat. Hingga saat ini, pembangunan
yang dicapai dengan kestabilan ekonomi dan politik itulah yang dijadikan tolak
ukur perjuangan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Tema pokok perjuangan
Orde Baru ialah melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.[1]
Sesuai dengan konsesus nasional yang dijalankan Orde Baru, maka segala bentuk
ideologi yang dianggap berlawanan dengan Pancasila harus dihabisi. Orde Baru
selalu membayang-bayangi PKI dan komunisme sebagai hantu “bahaya laten” yang membahayakan pembangunan nasional dan penyebab
kerusuhan serta pengkhianatan. Segala sesuatu yang membicarakan tentang PKI
atau komunisme pada masa Orde Baru ditabukan. Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) menjadi pemicu sentimen komunistophobia di era Soeharto dan selanjutnya.
Siapa pun yang dianggap
terlibat peristiwa G30S atau dekat dengan PKI dan komunisme akan segera disikat oleh rezim Orde Baru. Ketika
pemerintah Orde Baru menggunakan klaim stabilitas politik sebagai alat untuk
meredam kegiatan politik dalam rangka membersihkan pengaruh komunisme,
dibentuklah BAIS (Badan Intelijen Strategis), BAKIN (Badan Kordinasi Intelijen)
dan Kopkamtib (Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban) dengan berlandaskan
pada UU Anti Subversif (UU No.5 Tahun 1969).[2]
Ketiga lembaga tersebut kemudian menjadi alat pemerintah untuk merepresi
masyarakat Indonesia sendiri dengan dalih asas tunggal Pancasila. Pelarangan
kepada komunisme di Indonesia dikonstitusikan ke dalam TAP MPRS No.XXV tahun
1966 yang menjadi puncak dari komunistophobia
ala Soeharto, sekaligus mematikan gerakan-gerakan Rakyat yang sudah terbangun.
Dalam ingatan sosial
masyarakat Indonesia seperti yang dibentuk rezim Soeharto, G30S merupakan
kekejaman yang begitu jahat. Sehingga kekerasan massal terhadap siapa pun yang
terkait dengannya dilihat sebagai sesuatu yang dibenarkan dan bahkan terhormat.[3]
Hal itu menyebabkan peristiwa pembantaian massal pasca 1965, bersama dengan
peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu lainnya, mendapatkan pembenaran di
masyarakat dalam bentuk impunitas. Hal ini yang seharusnya direduksi oleh
generasi pasca-Orba yang mencoba menegakkan keadilan HAM sebagai salah satu
usaha untuk mewujudkan sebuah negara yang demokratis.
Orde Baru di Indonesia
tidak hanya menjadi sebuah rezim pemerintahan belaka. Tetapi, sudah mengakar
hingga membentuk pola pikir dan order dalam
masyarakat. Budaya depolitisasi yang membuat masyarakat begitu apolitis dengan
menjauhkan persoalan politik dari kehidupan sehari-hari warga adalah kesuksesan
rezim tersebut. Hal itu disadari atau tidak, masih berjalan dan eksis hingga
saat ini. Politik dipandang oleh sebagian besar masyarakat kita sebagai urusan
elit saja, bukan urusan warga sehari-hari. Akibatnya, kebangkitan kekuatan
politik alternatif yang berangkat dari akar
rumput masih merangkak untuk menandingi politik elit. Di sisi lain,
oligarki semakin mencengkeram politik kita. Mengutip Hilmar Farid, hal tersebut
berhubungan dengan imajinasi politik, yang dipatahkan sebelum dia tumbuh.
Sebagai sebuah order sosial, Orde Baru masih mengakar
meskipun rezimnya telah tumbang 16 tahun lalu. Hal itu tertanam dalam pola
pikir Orba yang masih berjalan dalam kehidupan sekarang. Bahkan, pola pikir
tersebut menjangkiti anak-anak muda yang lahir dalam periode pasca Orde Baru.
Inilah kesuksesan kedua dari Orde Baru. Saya mengamati dalam kehidupan sosial
di sekitar, masih banyak anak muda yang tidak ingin menunjukkan perlawanannya,
khususnya apabila mengenai permasalahan politik, yang itu sangat erat
berhubungan dengan kehidupan sehari-harinya, misal, mahalnya mengakses
pendidikan dasar hingga tinggi, naiknya harga cabe, naiknya harga BBM, hilangnya
suara kita dalam pemilihan Kepala Daerah, dll. Sebagian besar tetap ingin
menjadi anak baik-baik dan santun di mata masyarakat. Ini merupakan manifestasi
budaya depolitisasi yang ditanamkan Orde Baru selama berkuasa.
Hal di atas terjadi
dalam satu frame yang sama, yaitu alergi
massal atas ideologi dan politik. Ideologi dianggap hal yang terlarang, begitu
pula dengan berideologi. Kemudian, gegap politik hanya terjadi selama lima
tahun sekali, yaitu menjelang Pemilu saja. Itupun bila ada money politics-nya. Fenomena alergi berbicara ideologi dan politik,
baik secara langsung ataupun tidak langsung merupakan wujud dari warisan Orde
Baru di kalangan anak muda.. Ideologi tidak dibicarakan karena kalau dia
meluas, maka akan mengancam stabilitas kekuasaan. Para korban Orba secara tanpa
alasan biasanya merasa alergi membicarakan ideologi karena termakan oleh
hasutan Orba tentang betapa buruk dan kotornya politik.
De-ideologisasi
tersebut bisa berjalan mulus bersamaan dengan sterilisasi kampus dari politik. Mahasiswa yang ideal dikarakterisasikan dengan
mahasiswa yang sibuk belajar saja serta tidak boleh ikut demonstrasi ataupun
aktif dalam organisasi politik. Hal itu di pelopori dari program yang bernama NKK-BKK
di era Menteri pendidikan Daoed Joesoef. Kebijakan ini sekarang menjelma dalam berbagai
bentuk, misalnya pembatasan waktu tempuh kuliah dan pembatasan kegiatan kampus
lewat pelaksanaan kebijakan jam malam di kampus, dan sangsi DO bagi mahasiswa
yang berdemonstrasi.
Di
sisi lain, secara materi kuliah khususnya di Ilmu Sosial, terdapat pemotongan atau penghilangan tradisi
berpikir kritis dengan dihapusnya Marxisme dalam khasanah ilmu di kampus. Sejak
’65, intelektual Kiri diusir keluar kampus, bahkan sebagian diasingkan dan
dibunuh, hal tersebut membuat hilangnya tradisi pemikiran Kiri dalam kampus.
Akibatnya, konflik dalam proses sosial dianggap negatif, bukan hal yang
konstruktif. Bagaimana mungkin kita pahami pemikiran Weber, Parson, Schumpeter,
Keynes, Dahl, bahkan Hayek, tanpa mengerti pemikiran Marx? Kampus, sebagian
besar hanya melahirkan pseudo-intelektual,
karena proses di dalamnya tidak dialektis, sebagaimana karakter ilmu itu
sendiri.
Tatanan
(order) Orde Baru secara sosial,
dirangkum dengan sangat baik oleh sebuah artikel berjudul “ABC Orbais”[4],
yang bila saya amati juga ada dalam kehidupan sosial di sekitar saya. Misal,
selalu menggunakan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pembenar tindakan,
menggunakan isu SARA untuk menyerang lawan politik, mem-PKI-kan orang atau
organisasi yang melawan kekuasaan, merindukan pemimpin militer yang tegap dan
gagah, budaya patron dalam organisasi dan politik, dan eufimisme dalam
berbahasa untuk menutupi keburukan. Berbagai hal di atas, disadari atau tidak,
tertanam dalam pola pikir seakan-akan alami. Oleh karena itu,
generasi muda sekarang harus lebih banyak mencari tahu tentang sejarah
perkembangan Orde Baru berkuasa, hingga bagaimana prosesnya bekerja sampai
dapat bertahan dan mengakar di kehidupan.
Melalui film The Look of Silence/ Senyap karya Joshua
Oppenheimer inilah, kita dapat memetik pelajaran bagaimana proses dan pengaruh
Orde Baru masih mengakar di masyarakat, serta perjuangan untuk menolak
impunitas atas kasus Pembantaian masssal pasa 1965. Pahami dengan seksama bahwa
perjuangan untuk melawan pengaruh Orde baru yang masih mengakar hingga sekarang
juga dapat dilakukan oleh kita sebagai generasi muda. Orde Baru sebagai musuh
demokrasi yang konkret masih banyak berada di sekitar kita. Dan, sekarang
menjadi tugas kita, khususnya generasi muda, untuk menghilangkan pengaruhnya. Sekarang Juga!
#Indonesia Baru
Tanpa Orba!
Bayu
Baskoro Febianto adalah Mahasiswa Sejarah UI dan Koordinator Departemen Agitasi
dan Propaganda SEMAR UI. Sedangkan, Dicky D. Ananta adalah mahasiswa Ilmu
Politik UI dan Sekjend SEMAR UI. Keduanya beredar di twitterland dengan akun masing-masing @bayubeef dan @dickydwiananta
Tulisan
ini disampaikan pada Pemutaran Film dan Diskusi “The Look of Silence” atau
“Senyap” di Gedung X FIB UI pada 10
Desember 2014.
[1] Nugroho
Notosusanto, Tercapainya Konsesus Nasional
1966-1969, Balai Pustaka, 1985, hlm.28
[2] UU ini
merupakan Penpres No.11/PNPS/1963 yang diundangkan menjadi UU Anti Subversif
[3] John
Roosa, Dalih Pembunuhan Massal, 2006,Hasta
Mitra, hlm.26
[4]Tulisan di atas
disadur dari “ABC ORBAIS.” Diunduh dari http://abcorbais.wordpress.com/ diakses pada 9 desember 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar